1 Tesalonika 4:8–10 Dipanggil Untuk Hidup Dalam Kasih Dan Kekudusan

Pendahuluan
Kehidupan Kristen bukan sekadar pengakuan iman atau rutinitas keagamaan. Kekristenan sejati adalah kehidupan yang dipanggil untuk menjadi kudus dan hidup dalam kasih. Rasul Paulus, melalui suratnya kepada jemaat di Tesalonika, menegaskan bahwa mereka dipanggil bukan untuk kecemaran, melainkan untuk kekudusan (1 Tesalonika 4:7), dan bahwa kehidupan kudus itu harus terwujud dalam kasih persaudaraan yang tulus (1 Tesalonika 4:9–10).
Dalam bagian ini, 1 Tesalonika 4:8–10, Paulus menghubungkan dua pilar utama kehidupan Kristen — ketaatan kepada Allah dan kasih kepada sesama. Tanpa ketaatan, kasih kehilangan arah. Tanpa kasih, kekudusan menjadi kering dan legalistis.
Mari kita baca bersama:
“Karena itu, siapa yang menolak ini, bukanlah menolak manusia, melainkan menolak Allah yang telah memberikan juga Roh-Nya yang kudus kepada kamu. Tentang kasih persaudaraan tidak perlu dituliskan kepadamu, karena kamu sendiri telah diajar oleh Allah untuk saling mengasihi. Dan memang kamu telah melakukannya terhadap semua saudara di seluruh Makedonia. Tetapi kami menasihatkan kamu, saudara-saudara, supaya kamu makin bertambah-tambah dalamnya.” (1 Tesalonika 4:8–10)
Ayat-ayat ini memanggil kita untuk merenungkan dua hal besar:
-
Menolak kekudusan berarti menolak Allah sendiri.
-
Kasih persaudaraan adalah bukti kehidupan yang dipimpin oleh Roh Kudus.
I. MENOLAK KEKUDUSAN BERARTI MENOLAK ALLAH (1 Tesalonika 4:8)
“Karena itu, siapa yang menolak ini, bukanlah menolak manusia, melainkan menolak Allah yang telah memberikan juga Roh-Nya yang kudus kepada kamu.”
Paulus menegaskan dengan tegas bahwa panggilan untuk hidup kudus bukan berasal dari manusia, melainkan dari Allah sendiri. Ketika seseorang menolak hidup dalam kekudusan, ia tidak sekadar menolak nasihat Paulus, tetapi menolak otoritas Allah yang berdaulat.
1. Konteks Kekudusan
Sebelum ayat ini, Paulus berbicara tentang menjauhkan diri dari percabulan (1 Tesalonika 4:3–7). Dalam dunia Yunani-Romawi, moralitas seksual sangat longgar; bahkan praktik amoral dianggap biasa. Namun Paulus mengatakan, orang percaya harus berbeda. Mereka dipanggil untuk hidup suci di tengah dunia yang najis.
R.C. Sproul menjelaskan bahwa:
“Kekudusan bukanlah pilihan tambahan bagi orang percaya; kekudusan adalah inti dari panggilan Allah. Allah tidak hanya menyelamatkan kita dari murka-Nya, tetapi juga memisahkan kita bagi diri-Nya.”
Jadi, kekudusan bukanlah beban hukum, melainkan bukti kasih dan ketaatan kepada Allah. Menolak hidup kudus berarti menolak Allah yang memberikan Roh Kudus — Pribadi yang bekerja di dalam kita untuk memperbarui dan menguduskan hidup kita.
2. Roh Kudus Sebagai Agen Kekudusan
Paulus menegaskan: “...Allah yang telah memberikan juga Roh-Nya yang kudus kepada kamu.” Kata kerja “memberikan” dalam bahasa Yunani di sini (δίδωμι – didōmi) menunjukkan tindakan berkelanjutan. Allah terus-menerus memberikan Roh-Nya untuk bekerja dalam hidup orang percaya.
John Calvin dalam Commentary on Thessalonians menulis:
“Paulus mengingatkan bahwa menolak kekudusan berarti menghina Roh Kudus yang berdiam di dalam kita. Jika kita menolak panggilan itu, kita menolak Allah sendiri, karena Roh Kudus adalah meterai kehadiran Allah dalam diri orang percaya.”
Artinya, hidup dalam dosa berarti mempermalukan Roh Kudus yang telah dimateraikan dalam kita. Itulah sebabnya, menolak ajaran moral bukan sekadar masalah etika, melainkan masalah hubungan dengan Allah.
Martyn Lloyd-Jones menambahkan:
“Kekudusan sejati bukanlah hasil upaya manusia untuk menjadi baik, tetapi respons cinta kepada Allah yang telah menebus kita. Orang yang benar-benar mengenal Allah tidak mungkin terus hidup dalam dosa dengan tenang.”
II. DIAJAR OLEH ALLAH UNTUK MENGASIHI (1 Tesalonika 4:9)
“Tentang kasih persaudaraan tidak perlu dituliskan kepadamu, karena kamu sendiri telah diajar oleh Allah untuk saling mengasihi.”
Paulus beralih dari kekudusan pribadi menuju kasih persaudaraan (philadelphia). Dalam teologi Paulus, kedua hal ini tidak bisa dipisahkan. Orang yang hidup kudus pasti mengasihi sesamanya, sebab kasih adalah buah dari pekerjaan Roh Kudus (Galatia 5:22).
1. Kasih yang Diajarkan oleh Allah
Frasa “diajarkan oleh Allah” (Yunani: theodidaktos) hanya muncul satu kali di seluruh Perjanjian Baru. Ini menunjukkan bahwa kasih sejati tidak berasal dari ajaran manusia, tetapi hasil karya Roh Kudus di dalam hati orang percaya.
John Stott menulis:
“Kasih Kristen bukanlah sesuatu yang dipelajari di kelas teologi, melainkan sesuatu yang dicurahkan oleh Roh Kudus di dalam hati orang percaya (Roma 5:5).”
Kasih ini bukan sekadar emosi, tetapi tindakan nyata yang berakar pada pemahaman akan kasih Allah kepada kita. Orang yang sadar akan kasih karunia Allah akan memantulkan kasih itu kepada sesama.
2. Kasih Persaudaraan Sebagai Identitas Gereja
Kata “kasih persaudaraan” (philadelphia) menunjukkan kasih di antara sesama anggota tubuh Kristus. Gereja Tesalonika dikenal karena kasihnya yang nyata, bukan hanya kata-kata. Paulus memuji mereka: “kamu sendiri telah diajar oleh Allah untuk saling mengasihi.”
Dalam konteks Reformed, kasih persaudaraan adalah buah regenerasi — bukti kelahiran baru. Seperti yang dikatakan oleh Jonathan Edwards:
“Kasih yang sejati kepada sesama adalah tanda paling nyata dari kehadiran Roh Kudus di dalam hati seseorang.”
Kita tidak bisa mengaku mengenal Allah jika kita tidak mengasihi saudara seiman (1 Yohanes 4:20). Karena itu, Paulus tidak perlu menasihati mereka tentang kasih — sebab kasih sudah menjadi bagian dari hidup mereka.
Namun, kasih sejati tidak pernah berhenti bertumbuh. Paulus menegaskan hal itu di ayat berikutnya.
III. KASIH YANG TERUS BERKEMBANG (1 Tesalonika 4:10)
“Dan memang kamu telah melakukannya terhadap semua saudara di seluruh Makedonia. Tetapi kami menasihatkan kamu, saudara-saudara, supaya kamu makin bertambah-tambah dalamnya.”
Paulus memuji jemaat Tesalonika karena kasih mereka tidak terbatas. Mereka mengasihi semua saudara di seluruh Makedonia — termasuk Filipi, Berea, dan kota-kota sekitarnya. Namun, pujian itu disertai dorongan: “supaya kamu makin bertambah-tambah dalamnya.”
1. Kasih yang Tidak Pernah Cukup
Kasih sejati tidak pernah puas dengan capaian yang sudah ada. Mengasihi adalah proses pertumbuhan yang tiada akhir. Karena Allah adalah kasih yang tidak terbatas, maka panggilan untuk mengasihi juga tidak mengenal batas.
R.C. Sproul menulis:
“Kekristenan sejati tidak berhenti pada kasih yang cukup, tetapi berusaha meniru kasih Allah yang tak terbatas dan tanpa syarat.”
Paulus ingin agar kasih mereka tidak berhenti pada lingkup gereja lokal, tetapi meluas — kepada semua orang, termasuk mereka yang belum mengenal Kristus. Inilah kasih yang bersifat misioner, kasih yang bersumber dari salib Kristus.
2. Kasih yang Aktif dan Bertumbuh
Kata Yunani yang digunakan Paulus, perisseuein, berarti “berlimpah-limpah” atau “meluap.” Kasih tidak boleh statis; kasih harus seperti mata air yang terus mengalir. Kasih yang sejati bukan sekadar perasaan lembut, tetapi tindakan nyata dalam memberi, menolong, dan berkorban.
John Calvin menulis:
“Tidak ada batas dalam kasih. Begitu kasih berhenti bertumbuh, itu bukan lagi kasih yang sejati.”
Paulus tahu, dalam dunia yang keras dan penuh penganiayaan, kasih bisa pudar. Karena itu, ia mengingatkan agar jemaat terus menjaga semangat kasih yang diajarkan oleh Allah sendiri.
IV. PANDANGAN TEOLOGI REFORMED TENTANG KEKUDUSAN DAN KASIH
Mari kita melihat bagaimana beberapa teolog Reformed menafsirkan bagian ini:
1. John Calvin
Dalam komentarnya tentang 1 Tesalonika 4:8–10, Calvin menekankan bahwa Roh Kudus adalah sumber kehidupan kudus dan kasih yang sejati. Ia berkata:
“Paulus menunjukkan bahwa kita tidak memiliki alasan untuk menolak panggilan kekudusan, sebab Allah telah memberikan Roh-Nya untuk menguduskan kita. Demikian juga, kasih yang sejati tidak lahir dari sifat alami manusia, melainkan dari karya Roh yang memperbarui hati.”
2. R.C. Sproul
Sproul melihat keterkaitan antara kekudusan dan kasih sebagai ekspresi dari natur Allah sendiri:
“Kekudusan dan kasih tidak bertentangan. Allah yang kudus adalah Allah yang kasih. Maka, orang yang dikuduskan oleh Roh pasti mengasihi, sebab kasih adalah refleksi dari kekudusan Allah yang bekerja dalam diri manusia.”
3. John Stott
Dalam The Message of Thessalonians, Stott menulis:
“Kekudusan adalah ketaatan terhadap kehendak Allah, dan kasih adalah ekspresi dari ketaatan itu. Tidak ada kasih sejati tanpa ketaatan, dan tidak ada ketaatan sejati tanpa kasih.”
4. Martyn Lloyd-Jones
Dalam khotbahnya tentang bagian ini, Lloyd-Jones menekankan bahwa kasih persaudaraan bukanlah hasil latihan moral, tetapi bukti bahwa seseorang telah mengalami kasih Allah. Ia berkata:
“Kita mengasihi karena kita telah dikasihi. Kita tidak bisa memanipulasi kasih, tetapi kita bisa membiarkan Roh Kudus menumbuhkannya dalam hati yang tunduk.”
5. Herman Bavinck
Dalam Reformed Dogmatics, Bavinck menulis bahwa kasih dan kekudusan adalah dua aspek dari satu realitas yang sama — yaitu persekutuan dengan Allah.
“Semakin seseorang dipersatukan dengan Kristus, semakin ia mencerminkan kekudusan dan kasih-Nya dalam kehidupan sehari-hari.”
V. PENERAPAN PRAKTIS BAGI GEREJA MASA KINI
1. Jangan Menolak Panggilan untuk Hidup Kudus
Kita hidup di zaman di mana relativisme moral merajalela. Banyak orang Kristen ingin beriman tanpa berubah, ingin diselamatkan tanpa disucikan. Namun, firman Tuhan jelas: menolak kekudusan berarti menolak Allah.
Sebagaimana dikatakan oleh John Owen:
“Tanpa kekudusan, tidak seorang pun akan melihat Tuhan. Kekudusan bukan pilihan, melainkan syarat dari kehidupan Kristen sejati.”
Kita perlu bertobat dari kompromi, dari dosa tersembunyi, dan kembali membiarkan Roh Kudus memimpin hidup kita.
2. Kasih Persaudaraan Harus Terlihat Nyata
Kasih bukan hanya kata, tetapi tindakan. Gereja seharusnya menjadi tempat di mana orang merasakan kasih Kristus yang nyata — dalam penerimaan, pengampunan, dan pelayanan yang tulus.
Kasih harus melampaui batas-batas sosial, ekonomi, dan denominasi. Kita harus belajar mengasihi seperti Kristus yang mengasihi kita saat kita masih berdosa.
3. Kasih Harus Terus Bertumbuh
Mungkin kita sudah mengasihi, tetapi apakah kasih itu bertumbuh? Paulus berkata, “supaya kamu makin bertambah-tambah dalamnya.” Ini adalah panggilan untuk terus berkembang dalam kasih — dalam kesabaran, dalam kemurahan, dalam kesetiaan, dan dalam pengorbanan.
Kasih yang bertumbuh adalah bukti bahwa Roh Kudus bekerja di dalam kita. Gereja yang dipenuhi Roh Kudus bukan diukur dari karunia spektakuler, tetapi dari kedalaman kasih yang nyata di antara jemaatnya.
4. Kasih yang Meluas ke Dunia
Kasih yang sejati tidak berhenti di dalam gereja. Gereja yang mengasihi akan menjadi terang bagi dunia. Ketika dunia melihat kasih yang murni dan kudus dalam tubuh Kristus, mereka akan tertarik kepada Injil.
Seperti dikatakan oleh Tertulianus di abad kedua:
“Lihatlah bagaimana mereka saling mengasihi — dan dunia pun kagum.”
VI. PENUTUP: DIPANGGIL UNTUK HIDUP DALAM KASIH DAN KEKUDUSAN
1 Tesalonika 4:8–10 mengingatkan kita bahwa kekristenan sejati adalah kehidupan yang dipimpin oleh Roh Kudus — kehidupan yang kudus dan penuh kasih. Menolak hidup kudus berarti menolak Allah yang telah memberikan Roh-Nya kepada kita. Namun, bagi mereka yang taat dan mau diajar oleh Allah, kasih akan menjadi nyata dan terus bertumbuh.
Kasih dan kekudusan tidak bisa dipisahkan, karena keduanya mencerminkan natur Allah sendiri. Allah itu kudus, maka kita dipanggil untuk hidup kudus. Allah itu kasih, maka kita harus mengasihi.
Kiranya kita semua, seperti jemaat Tesalonika, dikenal sebagai orang-orang yang:
-
Hidup dalam kekudusan, bukan kompromi.
-
Mengasihi dengan tulus, bukan hanya di bibir.
-
Dan bertumbuh dalam kasih yang meluas, bukan menyusut karena dunia.
Marilah kita menanggapi panggilan ini dengan iman yang taat, membiarkan Roh Kudus memimpin setiap langkah hidup kita. Sebab ketika kita hidup dalam kekudusan dan kasih, dunia akan melihat Kristus di dalam kita — dan nama Allah akan dipermuliakan.
Amin.