Bersukacita dalam Allah
.jpg)
Pendahuluan
Salah satu ciri khas iman Kristen sejati adalah sukacita yang berakar pada Allah. Sukacita sejati bukan berasal dari keadaan yang baik, keberhasilan, atau kenyamanan dunia, melainkan dari persekutuan yang hidup dengan Allah melalui Kristus. John Piper, seorang teolog Reformed kontemporer, dengan tajam menyatakan bahwa “Allah dimuliakan dalam diri kita ketika kita paling bersukacita di dalam Dia.” Pernyataan ini menegaskan bahwa sukacita dalam Allah bukanlah pilihan tambahan bagi orang Kristen, melainkan inti dari penyembahan dan ketaatan.
Tema “Bersukacita dalam Allah” juga menjadi fokus klasik dalam tulisan-tulisan para teolog Reformed terdahulu seperti Jonathan Edwards, John Owen, dan Thomas Watson. Mereka menekankan bahwa kenikmatan dalam Allah merupakan buah dari kasih karunia yang menyatukan manusia dengan Kristus. Sukacita ini bukanlah perasaan yang dangkal, tetapi hasil dari pemahaman mendalam akan kemuliaan Allah dan karya penebusan Kristus.
I. Dasar Alkitabiah: Bersukacita dalam Tuhan
Mazmur 37:4 berkata, “Dan bergembiralah karena TUHAN, maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu.” Ayat ini menunjukkan hubungan erat antara sukacita dan pemenuhan kehendak Allah. Sukacita sejati bukan hanya menikmati berkat-Nya, tetapi menikmati Dia sebagai sumber segala berkat.
Demikian pula Rasul Paulus menulis dalam Filipi 4:4, “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” Sukacita dalam Tuhan bukanlah kondisi emosional yang bergantung pada keadaan, tetapi merupakan keputusan iman yang bersandar pada kedaulatan dan kebaikan Allah. Paulus menulis ayat ini ketika berada dalam penjara—sebuah bukti bahwa sukacita dalam Allah dapat tetap hidup meskipun dalam penderitaan.
Calvin dalam Institutes of the Christian Religion menegaskan bahwa sukacita dalam Tuhan adalah buah Roh Kudus yang tumbuh dari iman yang sejati. Menurut Calvin, ketika hati manusia telah diikat oleh kasih Allah, maka segala penderitaan dunia menjadi ringan, karena jiwa telah menemukan kesenangan tertinggi dalam Allah sendiri.
II. Sukacita dalam Allah dan Hubungannya dengan Pengenalan Akan Dia
Dalam pandangan teologi Reformed, mengenal Allah adalah inti dari hidup yang kekal. Yesus berkata dalam Yohanes 17:3, “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.”
Pengenalan yang sejati tentang Allah bukanlah pengetahuan akademis semata, tetapi relasi yang menghasilkan kesukaan. Thomas Watson dalam bukunya A Body of Divinity menulis bahwa “sebagaimana jiwa tidak dapat hidup tanpa Allah, demikian pula jiwa yang hidup dalam kasih karunia tidak dapat bahagia tanpa menikmati Allah.” Sukacita muncul ketika pengetahuan akan Allah diterjemahkan menjadi persekutuan yang penuh kasih.
Jonathan Edwards menambahkan bahwa kenikmatan tertinggi manusia adalah menikmati keindahan moral Allah. Dalam karyanya The End for Which God Created the World, Edwards menjelaskan bahwa tujuan utama Allah menciptakan dunia adalah agar kemuliaan-Nya dinyatakan dan umat-Nya bersukacita dalam kemuliaan itu. Dengan demikian, bersukacita dalam Allah adalah respons wajar dari jiwa yang telah diselamatkan dan disinari oleh kasih karunia.
III. Sukacita yang Mengalahkan Dunia
Sukacita duniawi bersifat sementara dan bergantung pada keadaan; sedangkan sukacita dalam Allah bersifat kekal karena bersumber pada pribadi yang kekal. Dunia menawarkan hiburan yang cepat lenyap, tetapi Roh Kudus memberikan kebahagiaan sejati yang melampaui semua keadaan.
John Owen dalam Communion with God menulis bahwa sukacita rohani adalah hasil dari persekutuan yang intim dengan Allah Tritunggal. Ia berkata bahwa orang percaya “memiliki persekutuan dengan Bapa dalam kasih, dengan Anak dalam kasih karunia, dan dengan Roh Kudus dalam penghiburan.” Dari sinilah lahir sukacita yang tak tergoncangkan.
Rasul Paulus dalam Roma 5:2–3 menulis bahwa kita dapat “bermegah dalam pengharapan akan kemuliaan Allah” bahkan “bermegah juga dalam kesengsaraan.” Hal ini hanya mungkin jika hati kita telah berakar dalam sukacita ilahi, bukan kebahagiaan duniawi.
IV. Bersukacita dalam Allah di Tengah Penderitaan
Bersukacita dalam Allah tidak berarti menolak kenyataan penderitaan. Sebaliknya, penderitaan menjadi ladang di mana sukacita sejati diuji dan dimurnikan. Petrus menulis, “Sekalipun kamu sekarang ini harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan, maksud semuanya itu ialah supaya kemurnian imanmu—lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana—terbukti.” (1 Petrus 1:6–7).
John Calvin menafsirkan bahwa penderitaan adalah alat Allah untuk menajamkan iman dan memperdalam sukacita rohani. Ia berkata, “Allah tidak menaruh sukacita-Nya pada kita agar kita tidak lagi merasakan kesakitan, tetapi agar kita memiliki sumber penghiburan yang lebih besar daripada segala penderitaan.”
Dengan demikian, sukacita orang Kristen bukanlah pelarian dari realitas, melainkan penaklukan realitas di bawah kedaulatan kasih Allah. Sukacita dalam penderitaan adalah kesaksian bahwa Allah cukup bagi kita.
V. Roh Kudus sebagai Sumber Sukacita
Rasul Paulus berkata dalam Roma 14:17, “Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera, dan sukacita oleh Roh Kudus.” Sukacita adalah karya Roh Kudus yang menanamkan kasih Allah ke dalam hati manusia.
Theolog Reformed seperti Louis Berkhof menjelaskan bahwa pekerjaan Roh Kudus tidak hanya membangkitkan iman, tetapi juga memelihara persekutuan dan sukacita dalam Kristus. Sukacita yang sejati tidak dapat diproduksi oleh usaha manusia; ia adalah anugerah rohani.
John Murray menulis bahwa sukacita dalam Allah adalah bukti nyata dari pembenaran oleh iman. Orang yang telah dibenarkan hidup dalam kedamaian dengan Allah (Roma 5:1) dan dari damai itu mengalir sukacita yang mendalam.
VI. Bersukacita dalam Allah sebagai Bentuk Penyembahan
Sukacita dalam Allah bukan sekadar perasaan, tetapi tindakan penyembahan. Ketika umat Tuhan menikmati kehadiran-Nya, mereka sedang memuliakan Dia. Mazmur 16:11 berkata, “Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan; di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa.”
Jonathan Edwards menyatakan bahwa penyembahan sejati terjadi ketika hati manusia terpesona oleh keindahan moral Allah. Ia menulis, “The happiness of the creature consists in rejoicing in God.” Dengan kata lain, inti dari penyembahan adalah sukacita dalam kemuliaan Allah.
R. C. Sproul juga menegaskan bahwa “panggilan tertinggi manusia adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selamanya.” Sukacita dalam Allah bukan hanya tugas, tetapi juga hak istimewa kekal orang percaya.
VII. Hambatan terhadap Sukacita dalam Allah
Sukacita rohani sering terhalang oleh dosa, kesombongan, dan kecintaan pada dunia. Ketika hati manusia terpikat oleh hal-hal fana, sukacita dalam Allah akan pudar.
Thomas Boston dalam Human Nature in Its Fourfold State menjelaskan bahwa dosa membuat manusia mencari kebahagiaan di luar Allah, padahal hanya dalam Dia kebahagiaan sejati dapat ditemukan. Oleh karena itu, pertobatan adalah langkah pertama menuju sukacita sejati.
John Bunyan menggambarkan perjalanan ini dalam The Pilgrim’s Progress: hanya ketika sang peziarah melepaskan beban dosanya di kaki salib, ia dapat berjalan dengan ringan menuju Kota Surgawi.
VIII. Praktik Bersukacita dalam Allah
Sukacita dalam Allah bukan sekadar teori teologis, melainkan gaya hidup yang dapat dilatih melalui:
- Renungan Firman – Firman Allah adalah sumber penghiburan dan sukacita (Yeremia 15:16).
- Doa dan Penyembahan Pribadi – Dalam doa, jiwa mengalami kehadiran Allah secara pribadi.
- Persekutuan Kudus – Sukacita rohani sering dipulihkan melalui tubuh Kristus.
- Ketaatan – Sukacita yang sejati muncul dari kehidupan yang selaras dengan kehendak Allah.
- Pengharapan Eschatologis – Orang percaya bersukacita karena menantikan penggenapan janji Allah (Roma 12:12).
John Piper menulis, “Perjuangan iman adalah perjuangan untuk tetap bersukacita di dalam Allah.” Artinya, sukacita harus diperjuangkan setiap hari melalui iman dan ketekunan.
IX. Sukacita yang Menjadi Kesaksian Dunia
Sukacita orang percaya merupakan kesaksian yang kuat di tengah dunia yang gelap. Dunia mencari kebahagiaan di luar Allah dan tidak menemukannya. Tetapi ketika orang Kristen hidup dengan sukacita yang tidak bergantung pada keadaan, dunia melihat kemuliaan Kristus yang nyata.
Martyn Lloyd-Jones menulis bahwa salah satu bukti terbesar dari kehidupan Kristen yang sejati adalah “sukacita yang tidak dapat dijelaskan secara alami.” Dalam penderitaan, kehilangan, dan pergumulan, orang percaya tetap memuji Tuhan karena mereka telah menemukan harta yang tidak dapat dicuri.
X. Kesimpulan: Panggilan untuk Bersukacita dalam Allah
Bersukacita dalam Allah adalah panggilan bagi setiap orang percaya. Itu bukan emosi sementara, melainkan keadaan rohani yang lahir dari hubungan yang hidup dengan Kristus. Allah menciptakan kita untuk menikmati Dia, dan melalui karya penebusan Kristus, kita dipulihkan untuk tujuan itu.
Jonathan Edwards berkata, “Allah adalah satu-satunya kebahagiaan sejati dari makhluk yang berakal budi; tidak ada yang dapat memuaskan hati manusia selain Allah.”
Maka marilah kita memandang kepada Kristus—sumber sukacita sejati. Dalam Dia, kita menemukan kepuasan yang tidak tergoyahkan, kasih yang tidak berkesudahan, dan pengharapan yang kekal.
Sebagaimana Mazmur 73:25–26 menutup dengan indah:
“Siapakah yang kumiliki di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi. Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.”