Kisah Para Rasul 7:51–53 Hati yang Keras terhadap Roh Kudus
.jpg)
Pendahuluan: Suatu Tuduhan yang Mengguncang
Kisah Para Rasul 7:51–53 berisi bagian akhir dari khotbah penuh kuasa yang disampaikan oleh Stefanus sebelum ia dirajam. Dengan keberanian yang berasal dari Roh Kudus, ia menegur para pemimpin Yahudi:
“Hai orang-orang yang keras kepala dan tidak bersunat hati dan telinga, kamu selalu menentang Roh Kudus; sama seperti nenek moyangmu, demikian juga kamu. Siapakah dari nabi-nabi yang tidak dianiaya oleh nenek moyangmu? Bahkan mereka membunuh orang-orang yang lebih dahulu memberitakan kedatangan Orang Benar itu, yang sekarang telah kamu khianati dan bunuh. Kamu telah menerima hukum yang disampaikan oleh malaikat-malaikat, tetapi kamu tidak menuruti-Nya.”
Kata-kata ini bukan sekadar tuduhan moral, melainkan penghakiman ilahi terhadap penolakan terus-menerus bangsa Israel terhadap Allah. Dalam terang teologi Reformed, bagian ini menyingkapkan tema besar tentang kekerasan hati manusia, perlawanan terhadap Roh Kudus, dan penolakan terhadap anugerah Allah dalam Kristus.
I. Konteks Historis: Pembelaan Stefanus dan Kesaksian terhadap Injil
Stefanus, salah satu dari tujuh diaken yang dipenuhi Roh Kudus (Kisah 6:5), dituduh menghujat hukum Taurat dan Bait Allah. Namun, dalam pidatonya yang panjang (Kisah 7), ia tidak membela diri secara pribadi. Ia justru menelusuri sejarah keselamatan, menunjukkan bagaimana bangsa Israel secara konsisten menolak para utusan Allah.
John Calvin menulis dalam Commentary on Acts:
“Stefanus tidak berbicara untuk membebaskan dirinya, tetapi untuk menegur bangsa yang keras hati terhadap Allah. Ia menunjukkan bahwa penolakan terhadap Kristus adalah kelanjutan dari sejarah panjang pemberontakan umat terhadap firman Tuhan.”
Dengan demikian, konteks Kisah Para Rasul 7:51–53 adalah klimaks dari khotbah Stefanus — bukan sekadar kritik terhadap individu, tetapi penyingkapan dosa kolektif bangsa Israel yang menolak pekerjaan Roh Kudus dalam sejarah.
II. “Keras Kepala dan Tidak Bersunat Hati dan Telinga” — Kondisi Rohani Manusia yang Pemberontak
Frasa “keras kepala” (Yunani: sklērotrachēloi) secara harfiah berarti “leher yang kaku,” suatu ungkapan yang sering digunakan Allah terhadap Israel di Perjanjian Lama (Keluaran 32:9; 2 Tawarikh 30:8). Ini melambangkan penolakan terhadap bimbingan Allah dan ketidakmauan untuk tunduk.
“Tidak bersunat hati dan telinga” berarti ketidakmurnian batin dan ketulian rohani. Sunat fisik menjadi tidak berarti bila hati tidak diubahkan (Ulangan 10:16; Yeremia 9:25–26).
John Gill menjelaskan:
“Stefanus menuduh mereka bukan karena kurang pengetahuan, melainkan karena hati mereka belum disucikan oleh Roh Allah. Mereka memiliki tanda lahiriah perjanjian, tetapi menolak kuasa rohaninya.”
Dalam pandangan teologi Reformed, ini menggambarkan kondisi manusia yang jatuh dalam dosa — total depravity. Hati manusia begitu keras sehingga tanpa karya Roh Kudus, ia tidak akan pernah tunduk kepada Allah (Roma 8:7–8).
R.C. Sproul menulis:
“Hati yang keras adalah hati yang menolak keindahan anugerah, karena dosa telah merusak keinginan dan kehendak manusia. Tidak ada satu pun bagian dari dirinya yang mampu mencari Allah tanpa pembaruan ilahi.”
III. “Kamu Selalu Menentang Roh Kudus” — Dosa Melawan Anugerah Allah
Stefanus menyatakan tuduhan yang paling serius: “Kamu selalu menentang Roh Kudus.” Ini bukan hanya pelanggaran moral, tetapi pemberontakan aktif terhadap karya Roh Kudus dalam sejarah keselamatan.
Para teolog Reformed seperti Herman Bavinck menekankan bahwa penentangan terhadap Roh Kudus bukanlah kegagalan intelektual, melainkan penolakan rohani terhadap pekerjaan anugerah yang menyatakan Kristus.
Dalam konteks historis, bangsa Israel telah berulang kali menolak Roh Allah:
- Mereka menolak Musa (ayat 27, 39).
- Mereka menyembah berhala di padang gurun (ayat 41–43).
- Mereka membunuh para nabi (ayat 52).
Semua ini menunjukkan pola dosa yang sama: perlawanan terhadap panggilan pertobatan yang berasal dari Roh Kudus.
Charles Spurgeon menulis:
“Menentang Roh Kudus adalah dosa yang paling fatal, karena berarti menolak satu-satunya kuasa yang dapat melunakkan hati yang keras.”
Bagi teologi Reformed, ayat ini menegaskan prinsip “irresistible grace” bukan berarti manusia tidak pernah melawan Roh Kudus, tetapi bahwa ketika Roh bekerja secara efektif dalam panggilan yang menyelamatkan, maka tidak ada kekuatan manusia yang dapat menolak anugerah itu. Namun, secara umum, manusia yang belum diperbarui dapat dan memang sering menolak panggilan eksternal Roh melalui firman.
IV. “Mereka Membunuh Orang Benar Itu” — Penolakan terhadap Kristus sebagai Puncak Pemberontakan
Stefanus melanjutkan dengan tuduhan historis yang tajam: “Siapakah dari nabi-nabi yang tidak dianiaya oleh nenek moyangmu? Bahkan mereka membunuh orang-orang yang lebih dahulu memberitakan kedatangan Orang Benar itu.”
Istilah “Orang Benar” jelas menunjuk kepada Yesus Kristus, Mesias yang dijanjikan. Dengan demikian, Stefanus menunjukkan bahwa penolakan terhadap Kristus adalah puncak dari dosa sejarah Israel.
John Calvin menulis:
“Dengan menolak Kristus, mereka tidak hanya menolak seorang nabi, tetapi Allah sendiri yang datang dalam rupa manusia untuk menyelamatkan mereka.”
Inilah tragedi rohani terbesar: ketika manusia menolak Penyelamatnya. Dalam terang teologi Reformed, ini menyingkapkan kedalaman kebutaan rohani manusia tanpa karya pembaruan Roh Kudus.
V. “Kamu Telah Menerima Hukum… tetapi Tidak Menuruti-Nya” — Hukum Tanpa Ketaatan
Stefanus menutup dengan ironi tajam: bangsa Israel menerima hukum Taurat yang diberikan “melalui malaikat-malaikat,” namun mereka gagal menaatinya.
Ayat ini menegaskan bahwa pengetahuan agama tanpa ketaatan adalah kemunafikan. Mereka bangga memiliki hukum, tetapi hatinya jauh dari Allah.
Matthew Henry menulis:
“Orang yang mendengar firman tetapi tidak menaatinya lebih bersalah daripada mereka yang tidak pernah mendengarnya.”
Teologi Reformed menekankan bahwa hukum Taurat diberikan bukan untuk membenarkan manusia, melainkan untuk menunjukkan kebutuhan mutlak akan kasih karunia Kristus. Dengan demikian, penolakan terhadap hukum dan terhadap Kristus menunjukkan penolakan terhadap rencana keselamatan Allah itu sendiri.
VI. Eksposisi Teologis: Kekerasan Hati dan Anugerah yang Tidak Layak
Dalam kerangka teologi Reformed, Kisah 7:51–53 menyingkapkan dua kebenaran besar:
- Kekerasan hati manusia adalah total dan menyeluruh.
Tanpa karya Roh Kudus, manusia selalu menentang Allah. Ini adalah bukti “total depravity” — kebobrokan moral dan spiritual manusia yang membuatnya tidak mampu mencari Allah (Efesus 2:1–3). - Anugerah Allah tetap bekerja meskipun manusia menolak.
Melalui sejarah, Allah tetap melaksanakan rencana keselamatan-Nya meskipun umat-Nya berulang kali menolak-Nya.
John Owen berkata:
“Anugerah Allah tidak dihentikan oleh penolakan manusia; justru melalui penolakan itu, kemuliaan anugerah semakin nyata.”
Stefanus sendiri menjadi saksi hidup dari anugerah ini — ia penuh dengan Roh Kudus, bahkan saat menghadapi kematian. Ia adalah contoh orang yang dikuasai oleh kasih karunia di tengah dunia yang menolak kebenaran.
VII. Penerapan Praktis bagi Gereja Masa Kini
-
Waspadai Kekerasan Hati Rohani
Kekerasan hati bukan hanya milik orang Farisi. Gereja modern juga bisa jatuh dalam sikap menolak teguran Roh Kudus, puas dengan bentuk ibadah tanpa pertobatan sejati. -
Hargai Pekerjaan Roh Kudus dalam Firman
Setiap kali Firman diberitakan, Roh Kudus sedang bekerja. Jangan menutup telinga seperti bangsa Israel, tetapi buka hati agar kebenaran itu mengubah hidup. -
Kenali Bahaya Agama Tanpa Kristus
Bangsa Israel memiliki hukum dan tradisi, tetapi kehilangan inti sejati: kasih dan ketaatan kepada Kristus. Gereja pun bisa memiliki struktur dan liturgi yang indah, tetapi mati rohani jika Kristus tidak dimuliakan di pusatnya. -
Jangan Menolak Panggilan Kasih Karunia
Saat Roh Kudus menegur, itu adalah panggilan kasih. Seperti kata Ibrani 3:15,“Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu.”
-
Belajarlah dari Teladan Stefanus
Stefanus menunjukkan keberanian dan kasih di tengah penganiayaan. Ia tidak membalas kejahatan, melainkan berdoa bagi mereka yang membunuhnya (Kisah 7:60). Itulah buah sejati dari hati yang dipenuhi Roh Kudus.
VIII. Kristus: Jawaban atas Kekerasan Hati Manusia
Seluruh khotbah Stefanus menunjuk kepada Kristus sebagai pusat sejarah keselamatan. Ia adalah “Orang Benar” yang ditolak, tetapi juga Anak Allah yang menjadi dasar keselamatan bagi semua yang percaya.
B.B. Warfield menulis:
“Kristus datang bukan untuk menegur dari jauh, melainkan untuk menebus dari dalam — Ia masuk ke dalam sejarah penolakan itu untuk mengubahnya menjadi sejarah keselamatan.”
Kristus tidak menolak orang berdosa yang menyesal. Ia datang untuk melunakkan hati yang keras melalui kasih dan pengorbanan di salib. Di kayu salib, Ia sendiri menjadi korban penolakan manusia, tetapi justru di sanalah anugerah Allah paling nyata.
Penutup: Jangan Menolak Roh Kudus
Stefanus mati dirajam, tetapi pesannya tetap hidup: jangan menolak pekerjaan Roh Kudus. Ia berbicara kepada generasi yang memiliki bentuk kesalehan tetapi menyangkal kuasanya.
Khotbah ini mengingatkan bahwa penolakan terhadap firman Allah bukanlah hal ringan — itu adalah penentangan terhadap Roh Kudus sendiri. Tetapi bagi yang mau bertobat dan tunduk, Roh yang sama mampu mengubah hati batu menjadi hati daging.
Sebagaimana Stefanus melihat langit terbuka dan Kristus berdiri di sisi kanan Allah (Kisah 7:56), demikian pula orang yang menerima Roh Kudus akan melihat kemuliaan Allah di dalam Kristus.