Kisah Para Rasul 6:12–15 Wajah yang Bersinar di Tengah Tuduhan

I. Pendahuluan: Ketika Kebenaran Dihadapkan dengan Tuduhan
Setiap generasi orang percaya akan menghadapi pertentangan ketika kebenaran Injil diberitakan dengan keberanian dan ketulusan. Demikian juga Stefanus, seorang diaken yang “penuh iman dan Roh Kudus” (Kis. 6:5), yang kemudian menjadi tokoh penting dalam sejarah gereja mula-mula.
Kisah Para Rasul 6:12–15 menggambarkan momen krusial ketika kebenaran yang diucapkannya membuat ia ditangkap, difitnah, dan akhirnya diadili oleh Mahkamah Agama. Namun, dalam semua itu, yang paling mencolok bukanlah kekejaman para penuduhnya, tetapi ketenangan dan kemuliaan rohani yang terpancar dari wajah Stefanus — “wajahnya seperti wajah seorang malaikat.”
Inilah pelajaran mendalam tentang integritas, keberanian, dan kemuliaan yang memancar dari kehidupan orang yang dikuasai oleh Roh Kudus.
Sebagaimana dikatakan oleh John Calvin,
“Wajah Stefanus bersinar bukan karena kemuliaan manusia, tetapi karena kehadiran Allah yang menghibur dan menguatkan hamba-Nya yang setia di saat-saat paling gelap.”
(Calvin’s Commentary on Acts 6)
II. Latar Belakang Konteks: Pertumbuhan Gereja dan Permusuhan Baru
Pada bagian awal Kisah Para Rasul 6, gereja Yerusalem sedang bertumbuh pesat. Banyak murid bertambah, termasuk para imam yang mulai percaya kepada Kristus (Kis. 6:7). Namun, pertumbuhan Injil juga menimbulkan reaksi keras dari kelompok Yahudi Helenis (Yahudi berbahasa Yunani).
Stefanus, salah satu dari tujuh diaken yang dipilih (Kis. 6:5), memiliki karunia luar biasa dalam pengajaran dan mukjizat. Ia dipenuhi dengan “kasih karunia dan kuasa” (Kis. 6:8). Namun, pengajarannya tentang Kristus yang menggenapi hukum Musa dianggap menghina tradisi Yahudi.
Konflik pun muncul — bukan karena Stefanus jahat, tetapi karena kebenaran yang ia sampaikan menantang sistem keagamaan yang mati secara rohani.
III. Eksposisi Ayat per Ayat
Kisah Para Rasul 6:12 – “Mereka menghasut orang banyak serta tua-tua dan ahli-ahli Taurat, lalu mereka menyerbu Stefanus.”
Kata “menghasut” (Yunani: sunegeiran) menunjukkan tindakan provokatif yang dirancang dengan sengaja. Ini bukanlah spontanitas massa, melainkan rencana jahat yang sistematis.
Kelompok oposisi Stefanus terdiri dari Sinagoge orang Libertini, orang Kirene, dan orang Aleksandria (Kis. 6:9) — para intelektual diaspora Yahudi. Karena mereka tidak mampu melawan hikmat Stefanus (Kis. 6:10), mereka beralih ke fitnah dan manipulasi sosial.
Ini mengingatkan kita pada nasib Kristus sendiri, yang juga dituduh secara palsu oleh imam-imam kepala dan ahli Taurat (Matius 26:59–60). Pekerjaan Allah sering kali mendapat perlawanan bukan dari orang luar, tetapi dari mereka yang merasa kehilangan kekuasaan religius.
Matthew Henry menulis:
“Ketika argumen kebenaran tidak dapat dibantah, orang jahat akan beralih ke tipu daya dan kekerasan. Stefanus bukan ditaklukkan oleh logika, tetapi diserang oleh kebencian.”
(Commentary on the Whole Bible: Acts 6)
Aplikasi:
Dalam kehidupan gereja masa kini, sering kali kebenaran Injil tidak ditolak karena tidak logis, tetapi karena melukai kepentingan dan kebanggaan manusia. Ketika kebenaran disampaikan dengan kuasa Roh Kudus, dunia yang cinta kegelapan akan bereaksi keras.
Kisah Para Rasul 6:13 – “Di situ mereka mengajukan saksi-saksi palsu...”
Sama seperti Kristus, Stefanus dihadapkan pada saksi-saksi palsu. Tuduhan mereka adalah bahwa Stefanus “menghujat tempat kudus dan hukum Taurat.” Tuduhan ini merupakan serangan terhadap dua pilar utama iman Yahudi: Bait Allah dan Hukum Musa.
Namun, Stefanus tidak menghujat keduanya — ia justru menegaskan bahwa Yesus adalah penggenapan dari keduanya. Bait Allah menunjuk kepada Kristus (Yohanes 2:19–21), dan Hukum Taurat mencapai kesempurnaannya dalam Injil (Matius 5:17).
John Stott menjelaskan dalam The Message of Acts:
“Stefanus bukan menghancurkan tradisi Yahudi, tetapi membebaskannya dari bentuk legalistik yang menyesatkan. Ia menunjukkan bahwa kehadiran Allah tidak terbatas pada tempat fisik, dan kebenaran Taurat mencapai puncaknya di dalam Kristus.”
Para penuduh Stefanus gagal memahami intisari Injil — bahwa keselamatan tidak lagi bergantung pada sistem ritual, tetapi pada karya penebusan Kristus. Tuduhan mereka sebenarnya mengungkap kebutaan rohani terhadap maksud Allah yang sejati.
Aplikasi:
Kita juga sering dituduh “merusak tradisi” ketika menekankan kebenaran Alkitab di atas adat keagamaan. Tetapi seperti Stefanus, kita dipanggil untuk setia pada Firman meskipun dituduh, karena kebenaran Allah melampaui bentuk manusia.
Kisah Para Rasul 6:14 – “Kami telah mendengar dia berkata, bahwa Yesus, orang Nazaret itu, akan merobohkan tempat ini...”
Ini adalah distorsi dari pengajaran Yesus sendiri. Dalam Yohanes 2:19, Yesus berkata, “Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali.” Namun, Ia berbicara tentang tubuh-Nya sendiri sebagai Bait Allah yang sejati.
Stefanus memahami makna ini — bahwa kehadiran Allah kini tidak lagi terikat pada bangunan fisik, tetapi hadir dalam Kristus dan tubuh-Nya, yaitu Gereja (1 Korintus 3:16).
Namun, bagi orang Yahudi yang fanatik terhadap Bait Allah, pernyataan seperti ini dianggap penghinaan besar. Mereka tidak bisa menerima gagasan bahwa sistem lama telah berakhir.
R.C. Sproul dalam Acts: In the Power of the Spirit menulis:
“Reaksi keras terhadap Stefanus menunjukkan betapa manusia lebih mencintai simbol daripada realitas, lebih memuja struktur daripada Allah yang hadir di dalamnya.”
Stefanus bukan menghina Bait Allah, tetapi menyatakan bahwa kehadiran Allah kini berdiam dalam Kristus dan umat-Nya.
Aplikasi:
Banyak orang Kristen masa kini juga terjebak dalam bentuk kesalehan lahiriah — memuja bangunan gereja, ritual, dan simbol — namun kehilangan Kristus yang hidup. Peringatan Stefanus relevan bagi kita: jangan sampai kita membela sistem agama, tetapi kehilangan hubungan dengan Allah yang sejati.
Kisah Para Rasul 6:15 – “Semua orang yang duduk di Mahkamah Agama itu menatap dia, dan mereka melihat wajahnya sama seperti wajah seorang malaikat.”
Inilah puncak narasi. Di tengah tekanan, fitnah, dan ancaman kematian, wajah Stefanus bersinar. Lukas, penulis Kisah Para Rasul, dengan sengaja menulis detail ini untuk menunjukkan kontras rohani antara tuduhan palsu dan kemuliaan Allah yang nyata di dalam diri Stefanus.
Kata “wajah malaikat” bukan berarti wajah yang bersinar secara fisik seperti cahaya matahari, tetapi menggambarkan ketenangan, kemuliaan, dan damai surgawi yang berasal dari kehadiran Roh Kudus.
Calvin berkata,
“Wajah Stefanus menjadi saksi dari penghiburan Roh Kudus. Ia dikelilingi kemuliaan surgawi bahkan sebelum kematiannya, agar semua orang tahu bahwa kebenaran Allah tidak dapat dipadamkan oleh pengadilan manusia.”
Gambaran ini mengingatkan kita pada Musa, yang wajahnya bercahaya setelah berbicara dengan Allah (Keluaran 34:29–30). Sekarang, Stefanus — yang dituduh menghujat Musa — justru memantulkan kemuliaan yang lebih besar daripada Musa, yaitu kemuliaan dari Kristus sendiri.
Charles Spurgeon menafsirkan bagian ini dengan indah:
“Di hadapan Mahkamah Agama, Stefanus tidak membela dirinya dengan kata-kata keras, tetapi dengan cahaya di wajahnya. Dunia mungkin melihat tuduhan, tetapi surga melihat kemuliaan.”
(Metropolitan Tabernacle Pulpit, Vol. 15)
Aplikasi:
Kehadiran Roh Kudus membuat wajah orang percaya tetap tenang bahkan di tengah badai. Dunia mungkin tidak mengerti, tetapi ketenangan yang berasal dari Allah adalah kesaksian paling kuat tentang kebenaran Injil.
IV. Makna Teologis dari Kisah Stefanus
1. Pekerjaan Roh Kudus Menghasilkan Keteguhan dan Keindahan Karakter
Stefanus digambarkan dalam Kisah Para Rasul 6:5 sebagai “seorang yang penuh iman dan Roh Kudus.” Ia bukan hanya pengkhotbah yang cerdas, tetapi seorang yang hidup dalam persekutuan yang mendalam dengan Allah.
Dalam Reformed theology, kita memahami bahwa iman sejati selalu disertai dengan pembaruan batin oleh Roh Kudus.
Jonathan Edwards menulis:
“Kehadiran Roh Kudus menjadikan hati orang percaya bersinar dalam kasih, dan dari hati yang demikian terpancar cahaya di wajah dan tindakan mereka.” (Religious Affections, 1746)
Stefanus menjadi cermin dari hati yang dikuasai oleh kasih dan kebenaran. Wajahnya yang bercahaya bukan hasil keberanian manusia, tetapi buah dari persekutuan dengan Allah.
2. Injil Selalu Akan Dihadapkan dengan Perlawanan
Setiap kali Injil diberitakan dengan benar, akan muncul dua reaksi: pertobatan dan permusuhan.
Kristus sendiri berkata, “Kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku” (Mat. 10:22).
Stefanus adalah bukti nyata bahwa kesetiaan kepada Kristus tidak menjamin kenyamanan duniawi, tetapi menjamin kemuliaan kekal.
John Stott menulis:
“Salib Kristus akan selalu menyingkapkan permusuhan tersembunyi hati manusia terhadap Allah. Orang yang memikul salib akan berjalan di jalan yang sama dengan Tuhannya — jalan penderitaan, tetapi juga jalan kemuliaan.”
(The Cross of Christ)
3. Kemuliaan Sejati Tampak di Tengah Penderitaan
Kisah ini menunjukkan bahwa kemuliaan sejati bukanlah saat kita diakui manusia, tetapi saat kita tetap memancarkan cahaya Kristus di tengah fitnah.
Wajah Stefanus bercahaya bukan di atas panggung kehormatan, tetapi di ruang pengadilan yang penuh kebencian. Di sanalah Allah menyingkapkan bahwa kemuliaan sejati tidak tergantung pada keadaan luar, tetapi pada kehadiran-Nya di dalam hati.
R.C. Sproul berkata:
“Kekudusan sejati bukanlah ketiadaan penderitaan, tetapi kehadiran Kristus di tengah penderitaan.” (Holiness of God)
4. Kristus Sendiri Hadir dalam Diri Orang Percaya yang Menderita
Kisah ini mengarah kepada kebenaran Kristologis yang mendalam: bahwa dalam penderitaan umat-Nya, Kristus sendiri hadir dan dimuliakan.
Ketika Stefanus bersinar, itu bukan karena dirinya, melainkan karena Kristus yang hidup di dalamnya.
Kelak dalam Kisah Para Rasul 7:56, Stefanus akan berkata, “Lihat, aku melihat langit terbuka dan Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah!” Ini menunjukkan bahwa kemuliaan Kristus nyata bagi mereka yang setia sampai akhir.
Calvin menulis:
“Allah tidak pernah meninggalkan hamba-hamba-Nya di dalam kesulitan, tetapi menyatakan hadirat-Nya dengan cara yang paling nyata pada saat-saat paling gelap.”
V. Aplikasi Praktis bagi Gereja Masa Kini
1. Tetap setia meski dituduh atau disalahpahami
Dalam pelayanan dan kesaksian iman, kita mungkin disalahpahami bahkan oleh sesama orang Kristen. Namun, seperti Stefanus, kita dipanggil untuk menjawab tuduhan dengan kasih, bukan kebencian.
Jangan melawan dengan cara dunia, tetapi dengan kebenaran dan ketenangan hati yang berasal dari Roh Kudus.
2. Berani membela kebenaran meski berisiko
Stefanus tahu bahwa perkataannya akan menimbulkan kemarahan, namun ia tidak mundur. Ia lebih takut kepada Allah daripada kepada manusia (lih. Kis. 7:51–53).
Gereja masa kini membutuhkan orang-orang seperti Stefanus — penuh iman, penuh hikmat, dan berani menyuarakan kebenaran Alkitab di tengah dunia yang menolak Kristus.
3. Belajar memancarkan kemuliaan Allah dalam sikap dan karakter
Kehidupan yang dipenuhi Roh Kudus akan terlihat bukan hanya dalam kata-kata, tetapi juga dalam wajah, sikap, dan tindakan kita.
Apakah orang lain dapat melihat ketenangan Kristus dalam wajah kita ketika kita difitnah atau dianiaya? Dunia akan mengenal Kristus bukan hanya dari khotbah kita, tetapi dari ketenangan dan kasih yang memancar dari hidup kita.
4. Fokus pada kemuliaan Allah, bukan pembelaan diri
Stefanus tidak berusaha membenarkan dirinya di hadapan Mahkamah Agama. Ia menyerahkan pembelaannya kepada Allah.
Ketika kita difitnah, kita tergoda membela diri. Namun, orang yang hidup di hadapan Allah tidak perlu membuktikan apa pun kepada dunia. Wajah yang bersinar di hadapan Allah lebih kuat daripada seribu argumen manusia.
VI. Penutup: Wajah yang Bersinar, Hati yang Teguh
Kisah Stefanus berakhir dengan kematiannya yang penuh kemuliaan (Kis. 7:59–60), tetapi kisahnya tidak berakhir di situ. Kesetiaannya menjadi benih pertama bagi pertumbuhan gereja dan pertobatan Saulus, yang kelak menjadi Paulus, rasul besar bagi bangsa-bangsa.
Stefanus menunjukkan kepada kita bahwa kemuliaan sejati tidak bergantung pada keadaan, melainkan pada kehadiran Allah yang memenuhi hati orang percaya.
Ia berdiri di hadapan Mahkamah Agama dengan wajah seperti malaikat — bukan karena ia tidak takut mati, tetapi karena ia telah melihat sesuatu yang lebih besar daripada kematian: kemuliaan Kristus.