Kisah Para Rasul 6:9–11 Iman yang Tidak Dapat Dibungkam

Kisah Para Rasul 6:9–11 Iman yang Tidak Dapat Dibungkam

Pendahuluan: Iman yang Diperhadapkan dengan Dunia

Kisah Para Rasul 6:9–11 mencatat peristiwa penting dalam kehidupan Stefanus, seorang diaken yang penuh dengan iman dan Roh Kudus. Ia menjadi sasaran perlawanan dari orang-orang yang tidak tahan terhadap hikmat dan kuasa Roh Kudus yang bekerja di dalam dirinya. Ayat ini menunjukkan awal dari rangkaian peristiwa yang akhirnya membawa Stefanus kepada penganiayaan dan kemartiran, menjadikannya saksi pertama yang mati karena Injil Kristus.

Teks ini berbunyi:

“Tetapi tampillah beberapa orang dari jemaat Yahudi yang disebut jemaat orang Libertini, orang Kirene dan orang Aleksandria, dan juga beberapa orang dari Kilikia dan dari Asia, mereka membantah Stefanus. Tetapi mereka tidak sanggup melawan hikmatnya dan Roh yang mendorong dia berbicara. Lalu mereka menghasut beberapa orang untuk mengatakan: ‘Kami telah mendengar dia mengucapkan kata-kata hujat terhadap Musa dan terhadap Allah.’” (Kisah Para Rasul 6:9–11)

Dalam tiga ayat ini kita melihat benturan besar antara kebenaran Injil yang diwartakan oleh Stefanus dan penolakan keras dari orang-orang yang terikat oleh sistem keagamaan tradisional Yahudi. Ini bukan sekadar pertikaian argumen teologis, tetapi sebuah konflik antara terang dan gelap, antara pekerjaan Roh Kudus dan hati yang dikeraskan oleh dosa.

I. KONTEKS SEJARAH DAN LATAR BELAKANG TEKS

Stefanus adalah salah satu dari tujuh orang yang dipilih untuk melayani sebagai diaken dalam gereja mula-mula (Kis. 6:1–6). Ia dikenal “penuh iman dan Roh Kudus” (Kis. 6:5), serta “penuh kasih karunia dan kuasa” (Kis. 6:8). Dengan demikian, ia bukan hanya seorang pelayan sosial, tetapi juga seorang pemberita Injil yang dipenuhi kuasa Roh Kudus.

Dalam Kisah Para Rasul 6:9, disebutkan bahwa lawan-lawannya berasal dari berbagai sinagoge orang Yahudi Helenistik—yakni orang-orang Yahudi yang lahir atau tinggal di wilayah Romawi yang lebih luas dan menggunakan bahasa Yunani. Nama-nama seperti orang Libertini, Kirene, Aleksandria, Kilikia, dan Asia menunjukkan latar internasional dari komunitas Yahudi di Yerusalem. Salah satu di antara mereka, kemungkinan besar, adalah Saulus dari Tarsus (yang kemudian menjadi rasul Paulus), karena Tarsus terletak di wilayah Kilikia (bdk. Kis. 22:3).

John Stott dalam The Message of Acts menulis:

“Stefanus menghadapi oposisi dari kalangan yang sangat terpelajar dan berpengaruh, yang tidak hanya menolak ajarannya, tetapi merasa terancam oleh pengaruhnya yang terus berkembang di antara orang Yahudi.”

Artinya, perdebatan ini bukan sekadar soal tafsir hukum Taurat, melainkan tentang otoritas Injil yang mulai mengguncang sistem keagamaan lama.

II. TANTANGAN TERHADAP KEKUATAN ROH KUDUS (Kisah Para Rasul 6:9–10)

1. Lawan yang Terorganisir dan Intelektual

Kisah Para Rasul 6:9 menunjukkan bahwa beberapa kelompok dari sinagoge berbeda bersatu melawan Stefanus. Mereka tidak datang dengan kekerasan fisik terlebih dahulu, tetapi dengan argumen intelektual—dengan kata lain, mereka mencoba membungkam Injil melalui perdebatan rasional.

Namun, Lukas mencatat bahwa mereka “tidak sanggup melawan hikmatnya dan Roh yang mendorong dia berbicara” (Kisah Para Rasul 6:10). Di sini kita melihat bahwa hikmat sejati tidak lahir dari kecerdasan manusia, tetapi dari pekerjaan Roh Kudus yang memenuhi orang percaya.

John Calvin dalam komentarnya menulis:

“Hikmat Stefanus bukanlah hasil dari pengetahuan alami, melainkan karunia Roh Kudus. Allah mengaruniakan kepada hamba-Nya kemampuan untuk menjawab lawan-lawannya, agar kebenaran Injil tidak jatuh di tangan mereka yang menentangnya.”

Calvin menegaskan bahwa perlawanan terhadap kebenaran tidak akan pernah berhasil karena Roh Kudus sendirilah yang menjadi pembela Injil itu.

2. Hikmat dan Roh yang Tidak Terkalahkan

Stefanus digambarkan berbicara bukan dengan semangat manusiawi, melainkan karena didorong oleh Roh Kudus. Dalam bahasa Yunani, frasa “Roh yang mendorong dia berbicara” menggunakan kata pneumatos, yang menunjukkan pekerjaan ilahi yang aktif, bukan sekadar ilham pasif.

John Gill, teolog Baptis Reformed abad ke-18, menulis:

“Stefanus berbicara di bawah dorongan dan kuasa Roh Kudus, sehingga setiap kata yang keluar dari mulutnya membawa otoritas surgawi. Inilah alasan mengapa lawan-lawannya tidak mampu menahan hikmatnya.”

Hikmat yang dimiliki Stefanus adalah hikmat yang dijanjikan Yesus kepada murid-murid-Nya:

“Aku akan memberikan kepadamu perkataan dan hikmat yang tidak dapat ditentang atau dibantah oleh lawan-lawanmu.” (Lukas 21:15)

Janji ini tergenapi secara nyata dalam diri Stefanus. Ia menjadi teladan nyata dari seorang hamba Tuhan yang berbicara bukan dari dirinya sendiri, tetapi oleh kuasa Roh Kudus.

III. FITNAH DAN PENGHASUTAN TERHADAP KEBENARAN (Kisah Para Rasul 6:11)

Ketika argumentasi mereka gagal, lawan-lawan Stefanus beralih kepada fitnah dan manipulasi. Mereka “menghasut beberapa orang untuk mengatakan: Kami telah mendengar dia mengucapkan kata-kata hujat terhadap Musa dan terhadap Allah.”

Inilah strategi klasik dari dunia yang menolak kebenaran: ketika tidak bisa menandingi hikmat Roh Kudus, mereka berusaha mendiskreditkan saksi Kristus melalui kebohongan.

1. Tuduhan Terhadap Musa dan Allah

Bagi orang Yahudi, menghujat Musa sama dengan menghujat Allah, karena hukum Taurat dipandang sebagai wahyu langsung dari Allah melalui Musa. Maka, tuduhan ini sangat serius dan bisa berujung pada hukuman mati (bdk. Imamat 24:16).

Namun, tuduhan ini jelas palsu. Stefanus tidak menghujat Musa maupun Allah; ia justru menunjukkan bahwa hukum Taurat telah digenapi dalam Kristus. Ia tidak menolak hukum Taurat, tetapi menunjukkan bahwa semua nubuat dan ketentuan Taurat menunjuk kepada Yesus sebagai penggenapnya.

R.C. Sproul dalam Acts: In the Power of the Spirit menjelaskan:

“Stefanus tidak menghina Musa. Ia justru memuliakan Musa dengan menunjukkan bahwa misi Musa menemukan penggenapannya dalam Yesus Kristus. Tetapi mereka yang menolak Kristus menolak juga maksud sejati dari Taurat yang diberikan melalui Musa.”

2. Pola Dunia Melawan Kebenaran

Sejarah gereja menunjukkan bahwa kebohongan sering menjadi senjata utama melawan kebenaran. Seperti Yesus difitnah oleh para imam kepala, begitu pula Stefanus menghadapi tuduhan palsu.

Matthew Henry menulis:

“Ketika kebenaran tidak dapat dikalahkan oleh argumen, ia sering diserang dengan fitnah. Dunia tidak tahan terhadap terang Injil; maka mereka berusaha memadamkannya dengan kebohongan.”

Tuduhan palsu terhadap Stefanus memperlihatkan bahwa iman yang sejati akan selalu diuji melalui penderitaan dan ketidakadilan. Ini adalah bagian dari panggilan kita sebagai murid Kristus.

IV. PRINSIP REFORMED DALAM KEKUATAN IMAN STEFANUS

1. Sola Gratia – Kuasa dari Anugerah Allah

Stefanus tidak berdiri dengan kekuatannya sendiri. Seluruh keberaniannya berasal dari anugerah Allah yang bekerja melalui Roh Kudus. Teologi Reformed menegaskan bahwa setiap kemampuan rohani adalah hasil dari kasih karunia Allah, bukan usaha manusia.

Calvin berkata:

“Tidak ada satu pun yang bisa berdiri untuk Injil tanpa kekuatan dari Roh Allah. Semua hikmat, keberanian, dan kesetiaan yang ditunjukkan Stefanus adalah hasil dari anugerah yang meneguhkan hatinya.”

Ini mengingatkan kita bahwa iman sejati selalu bersandar pada anugerah, bukan pada bakat atau retorika manusia.

2. Sola Scriptura – Berdiri di Atas Kebenaran Firman

Stefanus berdebat dengan dasar kebenaran Firman Tuhan. Ia memahami bahwa Taurat, nubuat, dan seluruh Kitab Suci menunjuk kepada Kristus. Dalam pengadilan yang akan datang (Kis. 7), ia menunjukkan penguasaannya terhadap sejarah keselamatan.

Seperti dinyatakan oleh John Owen:

“Ketika orang percaya berdiri di atas Firman, ia berdiri di atas batu karang yang tidak terguncang, sekalipun seluruh dunia berusaha menjatuhkannya.”

Dalam konteks pelayanan kita hari ini, ini berarti kita harus berakar dalam kebenaran Firman agar tidak goyah menghadapi perlawanan dunia.

3. Soli Deo Gloria – Semua untuk Kemuliaan Allah

Stefanus tidak berjuang untuk mempertahankan reputasinya, melainkan untuk kemuliaan Allah. Bahkan ketika ia difitnah, ia tidak membalas dengan kemarahan manusia. Seluruh hidupnya diarahkan untuk memuliakan Kristus.

Ini menjadi teladan bagi setiap orang percaya bahwa penderitaan karena Injil adalah sarana untuk memuliakan Allah.

V. APLIKASI PRAKTIS BAGI GEREJA MASA KINI

1. Ketika Kebenaran Ditolak, Tetaplah Berbicara

Dunia modern sering menolak Injil, sama seperti orang-orang yang menolak Stefanus. Namun, tugas gereja bukanlah mencari penerimaan dunia, melainkan menyatakan kebenaran dengan kasih dan kuasa.

Seperti Stefanus, kita dipanggil untuk tidak takut berbicara, karena Roh Kudus memberi hikmat dan perkataan (Lukas 12:11–12).

2. Jangan Heran Ketika Fitnah Datang

Ketika pelayanan Kristus diserang dengan kebohongan, kita tidak perlu terkejut. Rasul Petrus menulis:

“Berbahagialah kamu, jika kamu dinista karena nama Kristus, sebab Roh kemuliaan, yaitu Roh Allah, ada padamu.” (1 Petrus 4:14)

Stefanus menjadi contoh nyata bahwa fitnah tidak bisa membungkam kebenaran, melainkan justru menjadi panggung bagi kemuliaan Allah.

3. Kesetiaan dalam Hikmat Rohani

Hikmat dunia tidak bisa menandingi hikmat yang datang dari Roh Kudus. Gereja harus membekali jemaat dengan pengajaran Firman yang kokoh, sehingga umat Allah mampu memberikan jawaban yang benar terhadap tantangan iman.

John Piper menulis:

“Hikmat dunia menekankan kemenangan, tetapi hikmat Kristus menekankan kesetiaan. Kita tidak dipanggil untuk menang dalam debat, tetapi untuk tetap setia dalam kebenaran.”

4. Kasih Karunia dalam Konfrontasi

Stefanus berhadapan dengan lawannya bukan dengan kebencian, melainkan dengan kasih karunia. Bahkan di saat pengadilan yang tidak adil, ia menampakkan wajah seperti malaikat (Kis. 6:15). Ini menunjukkan kedewasaan rohani yang dihasilkan oleh persekutuan erat dengan Kristus.

VI. PENUTUP: IMAN YANG TAK DAPAT DIBUNGKAM

Kisah Para Rasul 6:9–11 bukan hanya kisah sejarah tentang Stefanus, tetapi juga gambaran tentang setiap orang percaya yang berani berdiri bagi Injil. Dunia mungkin berusaha membungkam suara kebenaran dengan debat, fitnah, atau penganiayaan, tetapi hikmat dan Roh Kudus tidak dapat dibungkam.

Seperti yang dikatakan oleh Charles Spurgeon:

“Kebenaran Allah tidak membutuhkan pedang manusia untuk mempertahankannya; cukup Roh Kudus dan mulut seorang saksi yang setia.”

Stefanus menunjukkan bahwa iman sejati tidak hanya berbicara, tetapi juga bertahan dalam kesetiaan, bahkan di tengah kebohongan dan bahaya.

Kiranya gereja masa kini meneladani keberanian dan kerendahan hati Stefanus—berdiri teguh dalam anugerah, berbicara dengan hikmat Roh Kudus, dan hidup untuk kemuliaan Kristus semata.

Soli Deo Gloria.

Next Post Previous Post