Markus 3:1-5 Yesus, Hati yang Belas Kasihan di Tengah Kekerasan Hati Manusia

Markus 3:1-5 Yesus, Hati yang Belas Kasihan di Tengah Kekerasan Hati Manusia

Pendahuluan

Hari ini kita akan merenungkan firman Tuhan dari Markus 3:1-5. Mari kita baca terlebih dahulu:

"Kemudian Yesus masuk lagi ke rumah ibadat. Di situ ada seorang yang mati sebelah tangannya. Mereka mengamati Yesus, kalau-kalau Ia menyembuhkan orang itu pada hari Sabat, supaya mereka dapat mencari alasan untuk mempersalahkan Dia. Kata Yesus kepada orang yang mati sebelah tangannya itu: 'Mari, berdirilah di tengah!' Kemudian kata-Nya kepada mereka: 'Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membunuh orang?' Tetapi mereka itu diam saja. Ia memandang sekeliling kepada mereka dengan marah, sedih karena kedegilan hati mereka, lalu kata-Nya kepada orang itu: 'Ulurkanlah tanganmu!' Dan orang itu mengulurkannya, maka sembuhlah tangannya itu."

Perikop ini menyingkapkan salah satu benturan paling tajam antara Yesus dengan kaum Farisi. Peristiwa ini bukan hanya berbicara tentang kesembuhan seorang pria dengan tangan yang mati, tetapi juga tentang hati Allah yang penuh belas kasih berhadapan dengan kekerasan hati manusia yang membatu.

Tema utama dari teks ini adalah kasih Allah yang lebih besar daripada legalisme. Kasih Kristus tidak terikat oleh aturan manusia, tetapi selalu berpihak pada pemulihan hidup.

I. Latar Belakang Teks

Markus 3:1-5 terjadi di rumah ibadat (sinagoga). Di situ hadir Yesus, seorang pria dengan tangan yang mati, dan para ahli Taurat/Farisi yang sedang mengintai Yesus.

Dalam konteks Yahudi, hari Sabat sangat dijunjung tinggi. Hukum Sabat berasal dari perintah Allah sendiri dalam Keluaran 20:8-11 dan Ulangan 5:12-15. Namun, kaum Farisi menambahkan berbagai aturan tambahan yang membatasi bahkan tindakan-tindakan yang baik pada hari Sabat. Menurut mereka, menyembuhkan hanya boleh dilakukan jika nyawa seseorang benar-benar dalam bahaya. Dalam kasus pria dengan tangan mati ini, keadaannya tidak mendesak, sehingga menurut tafsiran Farisi, Yesus tidak boleh menyembuhkannya pada hari Sabat.

Dengan kata lain, mereka lebih peduli pada aturan tradisi daripada kehidupan manusia.

II. Eksegesis Teks Markus 3:1-5

1. Markus 3:1: "Yesus masuk lagi ke rumah ibadat."

Yesus sering masuk ke sinagoga, bukan hanya untuk beribadah, tetapi juga untuk mengajar. Markus menekankan kata lagi (palin), menunjukkan bahwa pelayanan Yesus konsisten dan tidak terhenti walaupun Ia mendapat oposisi.

John Calvin menekankan bahwa Kristus hadir di sinagoga bukan karena Ia membutuhkan pengajaran, tetapi karena Ia ingin membawa terang Injil ke tengah umat Allah.

2. Ayat 1: "Di situ ada seorang yang mati sebelah tangannya."

Orang ini digambarkan memiliki cacat fisik—tangannya mati/lumpuh. Dalam masyarakat Yahudi, kondisi seperti ini sering membuat seseorang dianggap tidak berguna, bahkan dipandang sebagai beban sosial. Namun, Yesus melihatnya dengan penuh belas kasih.

Matthew Henry berkomentar bahwa orang ini datang ke rumah ibadat meski dalam keterbatasannya. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa keadaan sulit tidak boleh menghalangi kita untuk mencari Tuhan.

3. Markus 3:2: "Mereka mengamati Yesus..."

Kaum Farisi tidak datang untuk beribadah atau belajar, melainkan untuk mengintai dan mencari kesalahan. Mereka lebih peduli pada hukum buatan manusia daripada jiwa yang menderita.

J.C. Ryle menulis:

“Betapa berbahayanya hati yang legalis! Alih-alih bersukacita melihat orang dipulihkan, mereka malah mencari celah untuk menjatuhkan Sang Juruselamat.”

4. Markus 3:3: "Mari, berdirilah di tengah!"

Yesus meminta orang itu maju ke depan. Ini adalah momen publik. Yesus tidak ingin mukjizat ini tersembunyi. Ia ingin menunjukkan bahwa kasih Allah tidak pernah malu, tidak pernah bersembunyi.

5. Markus 3:4: "Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membunuh orang?"

Yesus mengajukan pertanyaan retoris yang menusuk. Prinsip Sabat seharusnya adalah hari untuk berbuat baik, bukan menjadi alasan untuk mengabaikan kebutuhan sesama.

John Stott menegaskan bahwa moralitas Kristen bukanlah sekadar menghindari perbuatan jahat, tetapi juga aktif berbuat baik. Mengabaikan kebaikan ketika kita mampu melakukannya adalah bentuk kejahatan.

6. Markus 3:4b: "Tetapi mereka itu diam saja."

Diamnya orang Farisi menunjukkan hati yang keras. Mereka tahu jawaban yang benar, tetapi memilih menolak kebenaran karena kebencian terhadap Yesus.

7. Ayat 5: "Ia memandang sekeliling kepada mereka dengan marah, sedih karena kedegilan hati mereka."

Inilah satu-satunya ayat di mana Markus mencatat Yesus marah. Namun, amarah-Nya bukanlah amarah berdosa, melainkan amarah kudus (righteous indignation) terhadap dosa dan kekerasan hati.

John Calvin menulis:

“Amarah Kristus adalah cerminan dari kasih-Nya. Ia marah bukan karena kebencian, melainkan karena kedegilan manusia menghalangi mereka menerima anugerah Allah.”

8. Markus 3:5: "Ulurkanlah tanganmu!... maka sembuhlah tangannya itu."

Yesus menyembuhkan tanpa menyentuh, hanya dengan perintah firman. Ini menunjukkan kuasa ilahi-Nya. Pria itu taat, meski secara manusiawi tidak mungkin meluruskan tangan yang lumpuh, namun ketika ia melakukannya dalam iman, kuasa Allah bekerja.

III. Pesan Teologis dari Teks

  1. Yesus adalah Tuhan atas hari Sabat.
    Hari Sabat bukan tentang legalisme, tetapi tentang istirahat sejati yang hanya ada di dalam Kristus (Ibrani 4:9-10).

  2. Kasih Allah lebih besar daripada aturan manusia.
    Kesembuhan pada hari Sabat menegaskan bahwa belas kasih lebih utama daripada ritual keagamaan.

  3. Kekerasan hati adalah musuh iman.
    Farisi menolak kebenaran bukan karena mereka tidak tahu, melainkan karena hati mereka keras. Kekerasan hati adalah bahaya terbesar dalam kehidupan rohani.

IV. Pandangan Beberapa Pakar Teologi Reformed

  • John Calvin: menekankan bahwa peristiwa ini menunjukkan kesia-siaan hukum yang diputarbalikkan oleh manusia. Kristus hadir untuk mengembalikan makna sejati Sabat, yaitu perhentian dalam Allah.

  • Matthew Henry: menyoroti kasih Yesus kepada pria dengan tangan yang mati, sebagai lambang Kristus yang datang untuk menyembuhkan kelemahan rohani kita.

  • J.C. Ryle: melihat ini sebagai gambaran bahaya legalisme. Ia menulis bahwa orang Farisi lebih peduli pada peraturan daripada jiwa manusia, padahal kasih jauh lebih besar daripada aturan.

  • R.C. Sproul: menekankan kemarahan Yesus sebagai kemarahan kudus. Menurutnya, kasih sejati tidak pernah kompromi dengan dosa; justru karena kasih, Kristus marah terhadap kekerasan hati.

V. Aplikasi bagi Kehidupan Orang Percaya

  1. Kasih lebih utama daripada aturan.
    Jangan sampai pelayanan atau kehidupan rohani kita hanya dipenuhi ritual, tetapi kosong dari kasih.

  2. Bahaya kekerasan hati.
    Seringkali kita tahu kebenaran, tetapi menolak karena tidak sesuai dengan kehendak kita. Mari kita belajar memiliki hati yang lembut di hadapan firman.

  3. Iman menuntut tindakan.
    Pria itu diminta mengulurkan tangan. Secara manusiawi mustahil, tetapi ia taat, dan kuasa Allah bekerja. Demikian juga, iman kita harus disertai ketaatan meski terlihat mustahil.

  4. Kristus hadir untuk memulihkan.
    Seperti tangan yang lumpuh dipulihkan, demikian juga jiwa kita yang mati dalam dosa dipulihkan oleh Kristus.

VI. Penutup

Markus 3:1-5 menyingkapkan Yesus sebagai Tuhan yang penuh belas kasih, yang tidak terikat oleh legalisme manusia. Ia datang untuk memulihkan yang lemah, menyembuhkan yang sakit, dan memberikan hidup bagi yang mati.

Namun, kita juga melihat bahaya besar: hati yang keras. Orang Farisi menyaksikan kuasa Allah, tetapi menolak karena kebencian.

Kiranya kita tidak memiliki hati yang keras, melainkan hati yang lembut, yang selalu siap taat kepada Kristus.

Amin. Soli Deo Gloria!

Next Post Previous Post