Kisah Para Rasul 7:42–50 Allah Tidak Berdiam di Rumah Buatan Tangan Manusia

Kisah Para Rasul 7:42–50 Allah Tidak Berdiam di Rumah Buatan Tangan Manusia

Pendahuluan

Kisah Para Rasul 7:42–50 merupakan bagian dari khotbah penuh kuasa yang disampaikan oleh Stefanus, salah satu dari tujuh diaken pertama gereja mula-mula. Dalam pembelaannya di hadapan Mahkamah Agama Yahudi, Stefanus menguraikan sejarah keselamatan dan menegur keras bangsa Israel karena terus-menerus menolak Allah.

Bagian ini berbunyi:

“Maka berpalinglah Allah dari mereka dan menyerahkan mereka untuk beribadah kepada tentara langit, seperti ada tertulis dalam kitab nabi-nabi: ‘Hai bangsa Israel, pernahkah kamu mempersembahkan kepada-Ku korban sembelihan dan persembahan selama empat puluh tahun di padang gurun itu? Kamu telah mengangkat kemah Moloch dan bintang dewa Refan, patung-patung yang kamu buat untuk disembah; sebab itu Aku akan membawa kamu ke luar dari tanah ini, sampai ke seberang Babel.’
Kemah kesaksian itu ada pada nenek moyang kita di padang gurun, seperti yang diperintahkan Allah kepada Musa untuk membuatnya menurut teladan yang telah dilihatnya.
Kemah itu dibawa masuk oleh nenek moyang kita pada waktu mereka bersama-sama dengan Yosua merebut tanah bangsa-bangsa yang dihalau Allah dari depan nenek moyang kita, sampai kepada zaman Daud.
Daud telah mendapat kasih karunia di hadapan Allah dan ia memohon supaya ia diperkenankan mendirikan tempat kediaman bagi Allah Yakub. Tetapi Salomo yang mendirikan rumah bagi-Nya.
Namun, Yang Mahatinggi tidak diam di dalam apa yang dibuat oleh tangan manusia, seperti yang dikatakan oleh nabi:
‘Langit adalah takhta-Ku dan bumi tumpuan kaki-Ku. Rumah apakah yang akan kamu dirikan bagi-Ku, demikianlah firman Tuhan, atau tempat apakah yang akan menjadi perhentian-Ku? Bukankah tangan-Ku sendiri yang membuat semuanya ini?’” (Kisah Para Rasul 7:42–50)

Ayat-ayat ini menjadi inti dari tuduhan Stefanus: umat Israel telah menjadikan agama mereka bersifat lahiriah, menggantikan penyembahan sejati dengan ritual dan bangunan fisik.

Melalui eksposisi ini, kita akan melihat bagaimana bagian ini mengajarkan tentang Allah yang tidak terbatas pada ruang dan bentuk, penyembahan sejati yang berasal dari hati, serta kesetiaan Allah di tengah pemberontakan umat-Nya.

I. Allah Menyerahkan Mereka kepada Penyembahan Berhala (Kisah Para Rasul 7:42–43)

Stefanus memulai bagian ini dengan mengutip Amos 5:25–27 untuk menunjukkan bahwa bahkan selama perjalanan Israel di padang gurun, mereka tidak benar-benar setia kepada Allah. Mereka mempersembahkan korban, tetapi hati mereka berpaling kepada ilah lain — Moloch dan Refan, dewa-dewa kafir.

Ungkapan “Maka berpalinglah Allah dari mereka dan menyerahkan mereka” menunjukkan tindakan penghakiman. Allah tidak lagi menahan mereka, tetapi membiarkan mereka menuai akibat dosa mereka. Ini mengingatkan kita pada Roma 1:24–26, di mana Paulus menulis bahwa Allah “menyerahkan mereka” kepada hawa nafsu yang memalukan karena mereka menolak untuk menyembah Dia.

John Calvin menjelaskan:

“Allah tidak menghukum mereka dengan menarik tangan-Nya dan membiarkan mereka jatuh dalam penyembahan berhala. Ini bukan karena Ia pasif, tetapi sebagai tindakan keadilan, Ia menyerahkan mereka kepada keinginan hati mereka yang jahat.”

Artinya, ketika manusia bersikeras menyembah berhala — entah berupa dewa, kekuasaan, atau harta — maka tindakan penghakiman Allah bisa terjadi bukan hanya dengan bencana, tetapi dengan membiarkan manusia menikmati dosa itu sendiri hingga binasa karenanya.

Di sinilah kita belajar bahwa penyembahan berhala tidak hanya soal patung, tetapi juga soal hati yang berpaling dari Allah yang hidup.

Matthew Henry menambahkan:

“Hati yang menjauh dari Allah akan segera menemukan berhala baru. Ketika Allah tidak lagi menjadi pusat penyembahan, ciptaan akan mengambil tempat Sang Pencipta.”

Moloch adalah dewa yang menuntut pengorbanan anak-anak, sementara Refan melambangkan dewa bintang. Keduanya menunjukkan penyembahan terhadap kekuasaan dan alam semesta, bukan kepada Sang Pencipta.

Stefanus menegaskan bahwa Israel telah menggantikan Allah dengan hal-hal ciptaan, dan akibatnya, Allah “membawa mereka ke seberang Babel.” Ini adalah penggenapan historis dari pembuangan sebagai konsekuensi spiritual dari penyembahan berhala.

II. Kemah Kesaksian: Tanda Hadirat Allah di Tengah Umat (Kisah Para Rasul 7:44–46)

Stefanus kemudian beralih dari penyembahan berhala ke simbol ibadah sejati: Kemah Kesaksian (Tabernakel). Ia menunjukkan bahwa Allah sendiri yang memerintahkan Musa untuk membuatnya “menurut teladan yang telah dilihatnya.” Artinya, ibadah sejati harus didasarkan pada wahyu Allah, bukan ciptaan manusia.

John Stott menulis:

“Stefanus ingin menunjukkan bahwa tabernakel adalah rancangan ilahi, bukan gagasan manusia. Namun, ia juga menegaskan bahwa tabernakel hanya bersifat sementara — sebuah bayangan dari kehadiran Allah yang sejati.”

Tabernakel bukan tempat Allah dibatasi, melainkan tanda kehadiran-Nya di tengah umat-Nya yang mengembara. Hal ini penting dalam konteks khotbah Stefanus, karena Mahkamah Agama menuduhnya menghina Bait Allah (Kis. 6:13). Stefanus menjawab bahwa bahkan tabernakel — dan kemudian Bait Allah — hanyalah simbol, bukan hakikat kehadiran Allah itu sendiri.

R. C. Sproul menafsirkan:

“Stefanus ingin memulihkan konsep kehadiran Allah yang benar: Allah tidak terikat pada batu, kayu, atau emas, tetapi hadir melalui perjanjian-Nya dan firman-Nya.”

Ketika Daud ingin mendirikan rumah bagi Allah, ia melakukannya karena rasa hormat dan kasihnya (2 Samuel 7:2). Namun Allah menjawab bahwa Dialah yang telah menyediakan tempat bagi umat-Nya, bukan sebaliknya. Daud hanya mendapat kasih karunia (ay. 46), dan Salomo yang akhirnya membangun Bait Allah.

Namun Stefanus menekankan: tidak ada bangunan yang bisa menampung Allah. Bait Allah pun, meski megah, tidak dapat membatasi kehadiran-Nya yang tak terbatas.

III. Allah yang Mahatinggi Tidak Berdiam di Rumah Buatan Tangan Manusia (Kisah Para Rasul 7:48–50)

Ayat-ayat ini adalah inti teologis dari perikop ini. Stefanus mengutip Yesaya 66:1–2:

“Langit adalah takhta-Ku dan bumi tumpuan kaki-Ku. Rumah apakah yang akan kamu dirikan bagi-Ku?... Bukankah tangan-Ku yang membuat semuanya ini?”

Ini adalah deklarasi tentang keagungan dan transendensi Allah. Ia adalah Pencipta segala sesuatu, tidak bisa dikurung dalam bangunan manusia.

John Calvin menulis dengan tajam:

“Ketika manusia membatasi Allah pada tempat tertentu, mereka merendahkan Dia menjadi berhala. Allah yang sejati adalah Allah yang melampaui ruang dan waktu, namun berkenan hadir di mana Ia mau melalui kasih karunia-Nya.”

Inilah kritik teologis Stefanus terhadap bangsa Israel. Mereka telah mengubah Bait Allah menjadi simbol kesombongan nasional dan pusat keagamaan yang kaku. Bagi mereka, selama Bait Allah berdiri, mereka merasa aman. Namun mereka melupakan esensi penyembahan sejati — hati yang taat dan rendah di hadapan Allah.

Charles Spurgeon mengingatkan:

“Allah tidak berkenan kepada tempat ibadah yang indah, tetapi kepada hati yang remuk karena dosa. Bait Allah bisa menjadi sarang penyamun bila hati tidak diperbarui oleh kasih karunia.”

Dengan kata lain, Stefanus mengajarkan bahwa penyembahan sejati tidak tergantung pada lokasi, tetapi pada relasi. Allah tidak berdiam dalam rumah buatan tangan manusia, tetapi di hati mereka yang mengasihi dan menaati Dia (band. Yohanes 4:23–24).

IV. Makna Teologis bagi Gereja Masa Kini

1. Allah yang Tak Terbatas dan Hadir di Mana Saja

Khotbah Stefanus menegaskan bahwa Allah tidak bisa dibatasi oleh struktur atau ritual. Gereja bukanlah bangunan, melainkan umat Allah yang dipenuhi Roh Kudus.

R. C. Sproul berkata:

“Ketika kita memahami bahwa Allah hadir di mana saja, kita akan berhenti mencari Dia dalam benda-benda lahiriah dan mulai menyembah Dia dalam roh dan kebenaran.”

Allah hadir di tengah persekutuan umat-Nya, bahkan dalam kesederhanaan. Gereja mula-mula tidak memiliki bangunan megah, tetapi dipenuhi kuasa Roh Kudus karena mereka bersekutu dalam kebenaran.

2. Bahaya Formalisme Agama

Seperti Israel, gereja bisa jatuh ke dalam jebakan formalisme — mengandalkan ritual, liturgi, atau tradisi tanpa hati yang murni. Stefanus memperingatkan bahwa penyembahan sejati menuntut hati yang diperbarui, bukan hanya tindakan lahiriah.

John Stott menulis:

“Formalisme adalah bentuk penyembahan berhala terselubung. Kita menjadikan bentuk ibadah sebagai pengganti Allah yang sejati.”

Kita harus berhati-hati agar pelayanan gereja, musik, dan liturgi tidak menjadi tujuan itu sendiri, melainkan sarana untuk membawa umat kepada persekutuan dengan Allah.

3. Penyembahan Sejati Adalah Respons terhadap Firman

Tabernakel dibuat “menurut teladan yang dilihat Musa.” Ibadah sejati harus didasarkan pada firman Allah, bukan kreasi manusia.

Dalam teologi Reformed, prinsip ini dikenal sebagai Regulative Principle of Worship — bahwa hanya apa yang diperintahkan oleh Allah dalam firman-Nya yang boleh dilakukan dalam ibadah.

John Calvin menegaskan:

“Ibadah sejati adalah ketaatan terhadap kehendak Allah yang diwahyukan. Setiap bentuk ibadah yang tidak sesuai dengan firman adalah penghinaan terhadap kekudusan Allah.”

Oleh karena itu, penyembahan sejati bukanlah kreativitas manusia, tetapi ketaatan kepada kehendak Allah yang tertulis.

V. Pelajaran Rohani dari Stefanus: Keberanian dan Iman yang Teguh

Khotbah Stefanus bukan hanya pengajaran teologis, tetapi juga kesaksian iman yang luar biasa. Ia tahu bahwa kata-katanya akan menimbulkan amarah, tetapi ia tetap setia kepada kebenaran.

Dalam konteks modern, pesan Stefanus mengingatkan gereja untuk tetap berani menyampaikan kebenaran, meskipun tidak populer.

Charles Hodge menulis:

“Kebenaran Allah tidak boleh disesuaikan agar diterima manusia. Gereja harus berbicara dengan suara kenabian, meskipun dunia menolak mendengarnya.”

Seperti Stefanus, kita dipanggil untuk mengutamakan kesetiaan kepada Allah di atas keamanan pribadi.

VI. Penggenapan dalam Kristus

Seluruh pernyataan Stefanus akhirnya mengarah kepada Kristus. Dialah “kemah sejati” (Ibrani 8:2) dan “Bait Allah yang hidup” (Yohanes 2:19–21).

Yesus sendiri berkata, “Rombaklah Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali.” (Yohanes 2:19). Tubuh Kristus adalah tempat kehadiran Allah yang sejati. Melalui kematian dan kebangkitan-Nya, Kristus menggantikan sistem ibadah lama dengan hubungan langsung antara Allah dan umat-Nya melalui Roh Kudus.

Dengan demikian, setiap orang percaya sekarang menjadi “bait Roh Kudus” (1 Korintus 6:19). Allah tidak lagi berdiam dalam bangunan fisik, tetapi dalam hati mereka yang telah ditebus oleh darah Anak Domba.

Herman Bavinck menulis:

“Inkarnasi Kristus adalah puncak wahyu Allah dan bentuk tertinggi dari kehadiran-Nya di dunia. Dalam Kristus, Allah tinggal di tengah manusia, bukan dalam batu, melainkan dalam daging.”

VII. Aplikasi bagi Kehidupan Kristen

  1. Hiduplah sebagai Bait Allah yang Kudus
    Kita bukan sekadar pengunjung gereja, tetapi bait di mana Allah berdiam. Karena itu, hidup kita harus mencerminkan kekudusan dan kasih-Nya.

  2. Jangan Gantikan Relasi dengan Ritual
    Ibadah tanpa hati adalah kosong. Allah mencari penyembah yang menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran (Yoh. 4:24).

  3. Ingat bahwa Allah Hadir di Mana Saja
    Tidak perlu mencari Allah di tempat tertentu. Ia hadir dalam kehidupan kita sehari-hari.

  4. Jadilah Gereja yang Berpusat pada Firman
    Semua aspek pelayanan — khotbah, sakramen, doa, dan pujian — harus tunduk kepada otoritas firman.

VIII. Kesimpulan

Kisah Para Rasul 7:42–50 adalah teguran keras sekaligus pengajaran mendalam tentang sifat Allah yang sejati. Melalui khotbah Stefanus, kita belajar bahwa:

  • Allah tidak dibatasi oleh tempat atau struktur buatan manusia.

  • Penyembahan sejati bersumber dari hati yang taat kepada firman-Nya.

  • Gereja dipanggil untuk menolak formalisme dan hidup sebagai bait Allah yang kudus.

Stefanus mengingatkan umat Allah di setiap zaman bahwa agama tanpa kehadiran Allah adalah kosong. Allah yang Mahatinggi berdaulat atas seluruh ciptaan dan memilih untuk berdiam di hati mereka yang rendah hati dan taat.

“Langit adalah takhta-Ku dan bumi tumpuan kaki-Ku.” (Yesaya 66:1)

Kiranya kita hidup sebagai penyembah sejati yang tidak membatasi Allah pada dinding-dinding gereja, tetapi membawa kehadiran-Nya ke dalam setiap aspek kehidupan kita.

Next Post Previous Post