Mengenal Allah dengan Benar

Mengenal Allah dengan Benar

Teks: Hosea 6:3 – “Marilah kita mengenal dan berusaha sungguh-sungguh mengenal TUHAN...”

Pendahuluan

Salah satu kebutuhan terbesar gereja masa kini bukanlah lebih banyak pengetahuan duniawi, melainkan pengertian yang benar tentang Allah. Di tengah banjir informasi dan kerohanian yang dangkal, umat Tuhan sering kali mengenal Allah hanya di permukaan. Mereka mengenal kasih-Nya, tetapi tidak kekudusan-Nya; mengenal berkat-Nya, tetapi tidak murka-Nya; mengenal Injil sebagai penghiburan, tetapi bukan sebagai panggilan kepada ketaatan yang kudus.

Inilah sebabnya mengapa teolog-teolog Reformed besar seperti Charles Hodge, Louis Berkhof, dan Herman Bavinck menekankan pentingnya teologi bukan hanya sebagai disiplin akademik, tetapi sebagai pengetahuan rohani yang membawa kita kepada penyembahan yang sejati.

Dalam karyanya Lectures on Theology, Charles Hodge menulis, “Teologi bukanlah ilmu yang kering, melainkan pengetahuan tentang Allah yang hidup. Ia adalah kebenaran yang dihidupi, bukan sekadar dipelajari.” Pernyataan ini sangat penting bagi gereja saat ini.

Artikel ini akan menguraikan tiga hal utama berdasarkan pemikiran teologi Reformed sebagaimana diajarkan dalam Lectures on Theology:

  1. Sumber dan hakikat teologi — bahwa Allah sendiri adalah subjek utama teologi.

  2. Tujuan teologi — bahwa mengenal Allah membawa manusia kepada kekudusan dan penyembahan.

  3. Dampak teologi — bahwa pengenalan yang benar tentang Allah menghasilkan hidup yang diubahkan.

I. Sumber dan Hakikat Teologi: Allah sebagai Objek Pengetahuan

1. Teologi berasal dari penyataan Allah, bukan penemuan manusia

Charles Hodge menegaskan bahwa teologi adalah ilmu tentang Allah sebagaimana Ia menyatakan diri-Nya kepada manusia dalam firman-Nya. Teologi bukan hasil spekulasi manusia tentang ilahi, tetapi respon iman terhadap penyataan Allah di dalam Kitab Suci.

Ia menulis: “Sama seperti sains mempelajari alam ciptaan berdasarkan pengamatan terhadap karya Allah, demikian pula teologi mempelajari Allah berdasarkan penyataan-Nya dalam Kitab Suci.”

Pendapat ini sejalan dengan Calvin yang menyebut Alkitab sebagai “kacamata rohani” (spectacles) yang memungkinkan manusia berdosa melihat Allah dengan benar. Tanpa penyataan khusus, manusia hanya memiliki pengetahuan samar melalui alam (penyataan umum) yang tidak dapat membawa kepada keselamatan.

Roma 1:19–20 mengajarkan bahwa manusia memang mengetahui keberadaan Allah melalui ciptaan, tetapi pengetahuan itu tidak cukup untuk mengenal kasih karunia Allah. Oleh karena itu, teologi harus berdiri di atas wahyu Allah dalam Kitab Suci.

Louis Berkhof dalam Systematic Theology juga menegaskan hal ini: “Dasar dari setiap teologi sejati adalah penyataan Allah yang objektif dalam Firman-Nya. Tanpa wahyu ilahi, tidak akan ada teologi Kristen.”

2. Teologi adalah pengetahuan yang bersifat rohani dan rasional

Hodge menolak pandangan bahwa iman bertentangan dengan akal. Ia berkata, “Akal bukan musuh iman, tetapi alat yang ditundukkan kepada wahyu.” Dengan kata lain, iman dan akal tidak saling meniadakan, tetapi saling melengkapi.

Teologi bukan sekadar dogma yang harus dihafal, tetapi struktur kebenaran yang dipahami dengan pikiran dan diresapi dengan hati. Bavinck menulis: “Teologi adalah ilmu yang hidup karena bersumber pada Allah yang hidup.”

Ini berarti bahwa teologi sejati menuntut baik pikiran yang diperbarui maupun hati yang dibakar oleh kasih kepada Allah. Paulus berkata dalam Roma 12:2, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu.”

3. Teologi adalah pengetahuan yang membawa manusia kepada penyembahan

John Frame, salah satu teolog Reformed kontemporer, menjelaskan bahwa semua pengetahuan teologis harus bersifat doxological — artinya berujung pada penyembahan.

“Jika pengetahuan kita tentang Allah tidak menghasilkan penyembahan yang lebih dalam, maka pengetahuan itu belum menjadi teologi sejati,” tulis Frame.

Dengan demikian, ketika kita berbicara tentang “teologi”, kita tidak berbicara tentang teori semata, tetapi tentang hubungan dengan Allah yang benar dan pribadi. Teologi sejati membawa kita bersujud, bukan berdebat tanpa kasih.

II. Tujuan Teologi: Mengenal Allah untuk Hidup Kudus dan Beriman

1. Tujuan tertinggi teologi adalah kemuliaan Allah

Hodge dengan tegas mengatakan: “Teologi bukan untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia, melainkan untuk memuliakan Allah.” Ini adalah inti dari seluruh pemikiran Reformed — bahwa segala sesuatu, termasuk teologi, harus berpusat pada kemuliaan Allah (Soli Deo Gloria).

Roma 11:36 berkata: “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya.”

Dalam pandangan Reformed, Allah bukanlah objek studi yang pasif, tetapi Pribadi yang berdaulat dan aktif menyatakan diri-Nya kepada umat-Nya demi kemuliaan nama-Nya. Oleh karena itu, teologi sejati tidak berakhir pada manusia, tetapi kembali kepada Allah.

2. Teologi membawa manusia kepada kesalehan dan kekudusan

John Calvin memulai Institutes dengan kalimat terkenal: “Hampir seluruh hikmat sejati terdiri dari dua bagian: pengetahuan tentang Allah dan pengetahuan tentang diri kita.”

Pengenalan akan Allah selalu menuntun kepada pengenalan akan dosa dan kebutuhan akan kasih karunia. Teologi yang benar akan membuat kita rendah hati, bukan sombong; sujud di hadapan Allah, bukan memamerkan pengetahuan.

Thomas Watson, teolog Puritan Reformed, menulis: “Tidak ada gunanya mengenal banyak tentang Allah jika hati tidak mengenal rasa takut kepada-Nya.”

Inilah sebabnya mengapa teologi yang sehat akan menghasilkan kehidupan yang kudus. Iman sejati bukan hanya setuju secara intelektual, tetapi melibatkan transformasi moral.

3. Teologi yang sejati menumbuhkan iman yang teguh

Hodge menyebut teologi sebagai “peta kebenaran” yang menolong orang percaya berjalan dalam iman di tengah dunia yang penuh kesesatan.

Dalam Efesus 4:14, Paulus memperingatkan agar kita “jangan lagi diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran.” Teologi menjadi jangkar yang meneguhkan iman kita pada kebenaran Allah.

Teologi Reformed menekankan bahwa iman yang kokoh hanya dapat tumbuh dari dasar yang benar — yakni pengetahuan yang benar tentang Allah, Kristus, dan karya penebusan-Nya.

Sebagaimana Hodge tulis: “Tidak ada penghiburan sejati tanpa doktrin, dan tidak ada iman sejati tanpa pengenalan yang benar tentang Kristus.”

III. Dampak Teologi: Pengenalan akan Allah yang Mengubahkan

1. Teologi menghasilkan kehidupan yang berpusat pada Allah

Ketika seseorang mengenal Allah secara benar, seluruh hidupnya berubah arah. Ia tidak lagi berpusat pada dirinya, melainkan pada kehendak Allah.

Bavinck menulis: “Pengetahuan akan Allah bukan hanya memperluas wawasan, tetapi mengubah seluruh eksistensi manusia.”

Orang yang mengenal Allah akan memiliki pandangan baru tentang hidup, penderitaan, pekerjaan, dan pelayanan. Ia akan memandang segala sesuatu dalam terang kedaulatan Allah.

Seperti kata Paulus dalam 1 Korintus 10:31, “Jika engkau makan atau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.”

2. Teologi sejati membangkitkan kasih kepada Kristus

Charles Hodge berkata bahwa tujuan akhir dari semua doktrin adalah kasih kepada Kristus. Pengetahuan tanpa kasih adalah kematian rohani.

Dalam Yohanes 17:3, Yesus berkata, “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang Engkau utus.”

Kita dipanggil bukan hanya untuk mengenal tentang Kristus, tetapi mengenal Dia secara pribadi. Inilah yang membedakan teologi Reformed yang sejati dari filsafat agama — bahwa pusatnya adalah relasi kasih antara Allah dan umat-Nya dalam Kristus.

Jonathan Edwards dalam karyanya Religious Affections menulis, “Pengetahuan sejati tentang Allah selalu menghasilkan kasih yang sejati kepada Allah.” Ia menolak pengetahuan yang tidak membawa kepada kasih sebagai bentuk keangkuhan rohani.

3. Teologi menumbuhkan ketekunan dalam penderitaan

Pemahaman yang benar tentang Allah memberi kekuatan bagi orang percaya menghadapi penderitaan. Teologi Reformed menekankan providence — bahwa segala sesuatu berada di bawah kendali Allah.

Charles Hodge dalam kuliah tentang pemeliharaan Allah berkata, “Setiap kesusahan yang kita alami adalah bagian dari rencana Allah yang baik, walaupun kita tidak memahaminya sekarang.”

Inilah yang membedakan iman yang dangkal dari iman yang kokoh: orang yang berteologi benar tidak akan mudah goyah ketika badai datang, karena ia tahu Allah berdaulat bahkan atas penderitaan.

Roma 8:28 menjadi dasar iman semacam itu: “Kita tahu sekarang bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia.”

IV. Bahaya Ketika Teologi Ditinggalkan

1. Gereja tanpa teologi akan kehilangan arah

Ketika gereja tidak lagi berakar pada ajaran Alkitab, ia akan terbawa arus dunia. Hodge memperingatkan bahwa “gereja yang berhenti mengajar kebenaran akan segera berhenti menjadi gereja.”

Banyak gereja modern lebih menekankan pengalaman subjektif daripada pengajaran yang kokoh. Akibatnya, umat Tuhan mudah tertipu oleh pengajaran palsu dan emosionalisme tanpa dasar kebenaran.

2. Teologi yang mati tanpa kasih juga berbahaya

Sebaliknya, ada bahaya lain: menjadikan teologi sebagai kebanggaan intelektual. Calvin mengingatkan bahwa “pengetahuan tanpa kasih hanya akan menumbuhkan kesombongan.”

Teologi sejati harus berjalan bersama kasih dan ketaatan. Allah tidak mencari teolog yang pintar, tetapi penyembah yang rendah hati.

3. Hanya teologi yang berakar pada Kristus yang menyelamatkan

Kristus adalah pusat dari seluruh teologi Kristen. Semua doktrin — dari penciptaan hingga penebusan — berpusat pada Dia.

John Owen menulis, “Kristus adalah teologi yang hidup. Mengenal Dia adalah puncak dari seluruh pengetahuan rohani.”

Maka, setiap khotbah, pengajaran, dan studi teologi harus membawa kita kembali kepada Kristus — yang adalah Hikmat Allah dan Firman yang menjadi manusia.

V. Aplikasi Praktis bagi Gereja Masa Kini

  1. Pelihara kehidupan rohani melalui belajar teologi dengan rendah hati.
    Belajar teologi bukan hanya untuk para pendeta atau dosen, tetapi bagi setiap umat Tuhan. Hodge berkata, “Setiap orang Kristen adalah teolog.”

  2. Gunakan teologi untuk memperdalam kasih, bukan memperkuat ego.
    Pengetahuan harus melahirkan kerendahan hati, bukan kesombongan.

  3. Biarkan teologi membentuk karakter dan keputusan sehari-hari.
    Teologi sejati terlihat dalam tindakan — dalam cara kita mengasihi, bekerja, dan melayani.

  4. Ajarkan doktrin dengan kesetiaan di gereja.
    Gereja yang kuat dibangun di atas kebenaran Firman, bukan hiburan atau perasaan.

Penutup

Hosea 6:3 berkata, “Marilah kita mengenal dan berusaha sungguh-sungguh mengenal TUHAN.” Inilah panggilan yang hidup dari Allah bagi gereja di segala zaman.

Lectures on Theology karya Charles Hodge bukan sekadar teks akademik, tetapi seruan agar umat Tuhan kembali kepada dasar iman yang sejati — mengenal Allah sebagaimana Ia menyatakan diri-Nya dalam Firman-Nya, dan hidup untuk kemuliaan-Nya.

Seperti kata Hodge di akhir salah satu kuliahnya:

“Tujuan akhir dari setiap studi teologi bukanlah untuk mengetahui lebih banyak, melainkan untuk mengasihi Allah lebih dalam dan hidup lebih dekat dengan-Nya.”

Kiranya khotbah ini menyalakan kembali api kasih kepada kebenaran, agar setiap kita mengenal Allah dengan pikiran yang diperbarui dan hati yang menyala bagi kemuliaan-Nya.

Doa Penutup:
Ya Allah yang Mahakudus, kami bersyukur karena Engkau telah menyatakan diri-Mu kepada kami melalui Firman-Mu dan Anak-Mu, Yesus Kristus. Ajarlah kami mengenal Engkau dengan benar, agar teologi yang kami pelajari tidak hanya memenuhi pikiran kami, tetapi juga membakar hati kami dengan kasih kepada-Mu. Jadikan gereja-Mu tempat di mana kebenaran dan kasih berjalan bersama, demi kemuliaan nama-Mu. Dalam nama Yesus Kristus kami berdoa. Amin.

Next Post Previous Post