1 Korintus 11:25–32 - Perjamuan Kudus: Peringatan, Penghakiman, dan Didikan Anugerah

Pendahuluan
Dalam sejarah Gereja, tidak ada sakramen yang lebih sering disalahpahami dan disalahgunakan selain Perjamuan Kudus. Sakramen ini, yang seharusnya menjadi perayaan kasih karunia dan kesatuan tubuh Kristus, sering berubah menjadi bentuk ritual kosong, bahkan menjadi sarana penghukuman bagi mereka yang melakukannya dengan cara yang tidak layak.
Rasul Paulus, dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, menegur keras penyimpangan dalam perjamuan kudus. Jemaat di Korintus telah mengubah momen kudus ini menjadi pesta egois yang mencerminkan ketidakrohanian dan perpecahan. Melalui 1 Korintus 11:25–32, Paulus menegaskan makna sejati perjamuan, tanggung jawab rohani dalam menerimanya, dan fungsi didikan ilahi di balik disiplin Tuhan.
I. Makna Teologis dari “Cawan Perjanjian Baru” (1 Korintus 11:25)
Yesus berkata, “Cawan ini adalah perjanjian baru dalam darah-Ku.”
Ungkapan ini mengacu langsung pada nubuat Yeremia 31:31–34, di mana Allah berjanji akan membuat perjanjian baru yang ditulis dalam hati umat-Nya, bukan hanya di atas loh batu.
Dalam teologi Reformed, “perjanjian baru” (new covenant) adalah puncak dari sejarah perjanjian Allah yang dimulai sejak Abraham dan digenapi dalam Kristus. Darah Kristus adalah meterai dan dasar dari perjanjian itu.
John Calvin menulis dalam Institutes (IV.17.1):
“Perjamuan Kudus adalah tanda yang tampak dari janji yang telah digenapi dalam Kristus, bahwa Ia telah menumpahkan darah-Nya untuk memeteraikan perjanjian kasih karunia.”
Dengan demikian, cawan bukan sekadar simbol anggur, melainkan lambang dari pengorbanan Kristus yang mengikat umat pilihan ke dalam relasi perjanjian kekal.
Bagi Paulus, setiap kali gereja minum dari cawan ini, mereka sedang:
-
Mengingat karya penebusan Kristus,
-
Menegaskan kesetiaan Allah terhadap janji perjanjian,
-
Dan memperbarui komitmen mereka kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat.
II. “Memberitakan Kematian Tuhan sampai Ia Datang” (1 Korintus 11:26)
Perjamuan Kudus bukan hanya peringatan (memori), tetapi juga proklamasi Injil.
Paulus berkata bahwa setiap kali roti dan cawan diambil, kita “memberitakan kematian Tuhan.”
Dalam teologi Reformed, sakramen memiliki fungsi proklamasi dan partisipasi:
-
Proklamasi — karena setiap kali dilaksanakan, gereja menyatakan secara visual kematian Kristus.
-
Partisipasi — karena melalui Roh Kudus, umat beriman benar-benar bersekutu dengan Kristus yang hidup.
Louis Berkhof menjelaskan:
“Sakramen bukan hanya tanda yang menunjuk pada Kristus, tetapi juga sarana kasih karunia yang melaluinya Roh Kudus bekerja untuk meneguhkan iman.”
Karena itu, perjamuan kudus memiliki dimensi masa lalu (ingat kematian Kristus), masa kini (persekutuan dengan Kristus), dan masa depan (menantikan kedatangan-Nya).
Perjamuan menjadi jembatan antara salib dan kedatangan Kristus yang kedua.
Jonathan Edwards menyebutnya sebagai “the visible gospel”—Injil yang terlihat, di mana kematian Kristus diberitakan bukan lewat kata, melainkan melalui tindakan kudus.
III. Bahaya Mengambil Perjamuan dengan Cara yang Tidak Layak (1 Korintus 11:27–29)
Paulus kemudian memberikan peringatan keras:
“Siapa yang makan roti atau minum cawan Tuhan dengan cara yang tidak layak, ia bersalah terhadap tubuh dan darah Tuhan.”
Apa yang dimaksud dengan “tidak layak” (anaxios)?
Ini bukan berarti seseorang harus sempurna tanpa dosa sebelum mengambil perjamuan, tetapi bahwa ia tidak menghormati makna sakramen itu.
Dalam konteks Korintus, banyak jemaat:
-
Makan dan minum dengan sikap egois (ayat 21–22),
-
Tidak mengindahkan kesatuan tubuh Kristus,
-
Dan tidak mengakui kekudusan simbol tubuh dan darah Tuhan.
John Calvin menjelaskan:
“Makan dengan tidak layak adalah ketika seseorang datang tanpa iman, tanpa penyesalan, dan tanpa menghargai pengorbanan Kristus. Dalam hal itu, ia bukan menerima hidup, tetapi memakan hukuman atas dirinya.”
Paulus menegaskan bahwa perjamuan kudus bukan makanan biasa. Ini adalah persekutuan rohani dengan Kristus yang bangkit (1 Kor. 10:16).
Karena itu, datang ke meja Tuhan dengan hati yang tidak bertobat adalah tindakan penghinaan terhadap darah perjanjian.
R.C. Sproul menggambarkannya dengan tegas:
“Ketika kita datang tanpa iman, kita bukan tamu kehormatan di meja Tuhan, melainkan penyusup yang menodai perjamuan kasih karunia.”
IV. Kewajiban untuk Menguji Diri (1 Korintus 11:28–29)
“Manusia harus menguji dirinya sendiri, dengan demikian biarlah ia makan roti dan minum dari cawan itu.”
Tindakan ini menunjukkan bahwa perjamuan kudus adalah momen introspeksi rohani.
Dalam bahasa Yunani, kata “dokimazetō” berarti menguji keaslian—yakni menilai apakah iman seseorang sungguh nyata.
Dalam teologi Reformed, ini disebut self-examination before communion, yang menjadi bagian dari disiplin gereja.
John Owen menulis:
“Meja Tuhan adalah tempat persekutuan yang kudus. Karena itu, setiap orang harus datang dengan hati yang telah diteliti dan dibersihkan melalui iman dan pertobatan.”
Namun, Paulus tidak berkata “ujilah dirimu lalu jangan datang,” tetapi “ujilah dirimu dan makanlah.” Artinya, tujuan pemeriksaan diri bukan untuk menjauh dari perjamuan, tetapi untuk datang dengan sikap yang benar.
Gereja Reformed Puritan sangat menekankan praktik ini. Sebelum Perjamuan Kudus, jemaat diarahkan untuk merenungkan:
-
Apakah aku sungguh percaya kepada Kristus?
-
Apakah aku berdamai dengan sesama?
-
Apakah aku menghormati tubuh Kristus, yaitu Gereja-Nya?
Dalam tradisi Reformed Skotlandia, bahkan ada Communion Season—masa beberapa hari untuk doa, introspeksi, dan khotbah persiapan sebelum sakramen dilayankan.
V. Hukuman Ilahi dan Didikan Anugerah (1 Korintus 11:30–32)
Ayat-ayat ini mungkin yang paling mengejutkan:
“Itulah sebabnya, mengapa banyak di antara kamu yang lemah dan sakit, bahkan cukup banyak yang meninggal.”
Paulus menyatakan bahwa ada konsekuensi jasmani bagi mereka yang memperlakukan perjamuan dengan sembarangan.
Ini bukan kebetulan, melainkan tindakan disiplin Tuhan.
Matthew Henry menulis:
“Penyakit dan kematian di antara jemaat Korintus bukan kebetulan alamiah, melainkan tongkat didikan dari Bapa yang penuh kasih, agar mereka bertobat dan menghormati sakramen Kristus.”
Dalam teologi Reformed, ini disebut discipline of grace — didikan kasih karunia.
Paulus melanjutkan:
“Namun, ketika kita dihukum, kita dididik oleh Tuhan supaya kita tidak dihukum bersama-sama dengan dunia.”
Disiplin Tuhan bukanlah penghukuman murka, tetapi pembentukan kasih.
Perbedaan pentingnya adalah:
-
Orang dunia menerima hukuman menuju kebinasaan.
-
Orang percaya menerima didikan menuju pertobatan dan pemurnian.
Louis Berkhof menegaskan:
“Disiplin Tuhan adalah tanda kasih, bukan penolakan. Ia menghajar anak-anak-Nya agar mereka tidak jatuh dalam penghukuman yang sama dengan dunia.”
Dengan demikian, kelemahan, sakit, bahkan kematian di Korintus adalah bentuk kasih karunia yang keras (severe mercy), bukan murka Allah.
Allah memakai penderitaan untuk menyadarkan jemaat bahwa persekutuan dengan Kristus adalah hal yang kudus dan serius.
VI. Aspek Sakramental: Kehadiran Kristus dalam Perjamuan Kudus
Teologi Reformed memandang Perjamuan Kudus bukan hanya sebagai simbol, tetapi sebagai persekutuan rohani nyata dengan Kristus.
John Calvin menolak pandangan Katolik Roma (transubstansiasi) dan pandangan Zwingli (simbolis murni). Ia menegaskan pandangan “real spiritual presence” — kehadiran nyata Kristus secara rohani melalui Roh Kudus.
Dalam Institutes IV.17.10, Calvin menulis:
“Kristus sungguh hadir dalam Perjamuan Kudus, bukan secara jasmani dalam roti dan anggur, tetapi secara rohani dalam hati orang percaya melalui kuasa Roh Kudus.”
Karena itu, ketika Paulus berbicara tentang “tubuh dan darah Tuhan,” ia tidak sedang berbicara secara mistik atau magis, melainkan tentang realitas rohani di mana orang percaya bersekutu dengan Kristus yang hidup.
Inilah sebabnya mengapa penghinaan terhadap sakramen menjadi begitu serius—karena berarti menolak kehadiran Kristus sendiri.
VII. Pandangan Para Teolog Reformed tentang 1 Korintus 11:25–32
1. John Calvin
Calvin menekankan dua hal: peringatan akan Kristus dan pemberian rohani yang nyata.
“Kita tidak hanya mengenang kematian Kristus, tetapi juga menerima buahnya melalui iman. Di meja Tuhan, Ia memberikan diri-Nya kepada kita sebagaimana Ia dahulu memberikan diri-Nya di kayu salib.”
2. Louis Berkhof
Berkhof menekankan dimensi persekutuan:
“Perjamuan Kudus adalah persekutuan antara Kristus dan umat-Nya, di mana iman menerima Kristus secara rohani dan dipelihara oleh kasih karunia.”
3. R.C. Sproul
Sproul menyoroti keseriusan peringatan Paulus:
“Tidak ada tempat bagi sikap acuh dalam perjamuan kudus. Di sini kita berhadapan langsung dengan lambang pengorbanan yang menguduskan kita.”
4. Herman Bavinck
Bavinck memandang Perjamuan Kudus sebagai ekspresi nyata dari persekutuan perjanjian:
“Dalam Perjamuan Kudus, Allah memperbarui janji-Nya, dan umat memperbarui ketaatannya. Ini adalah pertemuan antara kasih karunia dan iman.”
5. Charles Hodge
Hodge menafsirkan ayat 30–32 sebagai bukti bahwa Tuhan aktif dalam kehidupan Gereja:
“Disiplin Allah atas jemaat Korintus membuktikan bahwa Ia tidak membiarkan umat-Nya hidup dalam dosa tanpa teguran. Kasih yang sejati selalu mendidik.”
VIII. Aplikasi Bagi Gereja Masa Kini
1. Perjamuan Kudus Adalah Pusat Kehidupan Gereja
Gereja yang sejati hidup dari salib Kristus, dan Perjamuan Kudus adalah peringatan nyata dari salib itu. Gereja Reformed memandang sakramen ini bukan sebagai tambahan liturgi, tetapi sebagai sumber penguatan iman.
2. Sakramen Menuntut Kekudusan dan Kasih
Mereka yang datang ke meja Tuhan harus datang dengan hati yang bertobat dan berdamai. Kasih kepada Kristus dan sesama adalah tanda kehadiran iman yang sejati.
3. Pemeriksaan Diri Bukan untuk Menjauh, Tetapi untuk Mendekat
Allah tidak memanggil kita untuk menjauh dari perjamuan karena ketidaklayakan, tetapi untuk datang dengan pertobatan dan iman baru.
John Owen menulis:
“Mereka yang sadar akan dosanya dan datang kepada Kristus dengan rendah hati adalah tamu yang paling layak di meja Tuhan.”
4. Disiplin Tuhan Adalah Kasih
Ketika Tuhan menegur, bahkan melalui penderitaan, itu adalah tanda bahwa Ia mengasihi kita. Perjamuan Kudus mengingatkan bahwa kasih Allah sanggup memulihkan, bukan menghancurkan.
5. Pengharapan Eskatologis
Setiap kali kita makan roti dan minum cawan, kita menantikan hari ketika Kristus akan datang kembali dan mengadakan Perjamuan Anak Domba (Wahyu 19:9). Sakramen ini menanamkan pengharapan bahwa persekutuan sementara ini akan digantikan oleh perjamuan kekal.
IX. Simpulan Teologis
-
Perjamuan Kudus adalah tanda kasih karunia perjanjian baru.
Allah memperbarui hubungan-Nya dengan umat melalui lambang roti dan cawan. -
Perjamuan Kudus adalah proklamasi Injil.
Gereja bukan hanya mengenang, tetapi juga memberitakan kematian Kristus dengan iman. -
Perjamuan Kudus adalah ujian iman dan kekudusan.
Mereka yang datang dengan sembarangan tidak hanya gagal menghormati Kristus, tetapi juga menolak kasih karunia. -
Perjamuan Kudus adalah sarana disiplin kasih.
Tuhan mendidik Gereja-Nya agar hidup dalam kekudusan, bukan dalam kebinasaan. -
Perjamuan Kudus adalah janji kemuliaan yang akan datang.
Setiap cawan yang diminum adalah tanda pengharapan akan kedatangan Kristus kedua kali.
Penutup
1 Korintus 11:25–32 mengajarkan bahwa Perjamuan Kudus bukan sekadar upacara, melainkan persekutuan yang kudus dengan Kristus yang hidup. Di meja Tuhan, kasih dan kekudusan bertemu; pengampunan dan penghakiman berjalan beriringan.
Setiap kali kita makan dan minum, kita mengingat salib, menerima kasih karunia, dan menantikan kemuliaan.
Namun kita juga dipanggil untuk datang dengan hati yang diuji, agar tidak mendatangkan penghukuman, melainkan menerima didikan kasih karunia yang menyucikan.
Sebagaimana John Calvin menulis:
“Meja Tuhan adalah cermin kasih Allah yang terbesar dan cermin dosa manusia yang terdalam. Hanya mereka yang datang dengan iman yang akan melihat kasih itu sebagai penghiburan, bukan penghukuman.”