Kisah Para Rasul 9:36–43: Kasih yang Menghidupkan

(Eksposisi Kisah Para Rasul 9:36–43 dalam Perspektif Teologi Reformed)
Pendahuluan: Antara Kematian dan Kasih yang Tidak Pernah Mati
Kisah ini menggambarkan peristiwa yang luar biasa: seorang perempuan bernama Tabita (atau Dorkas), yang dikenal karena kasih dan kebaikannya, mati — dan dihidupkan kembali oleh kuasa Allah melalui doa Petrus.
Namun kisah ini lebih dari sekadar laporan mujizat. Di dalamnya, kita melihat cerminan Injil — kematian yang tak terhindarkan, kasih yang tidak sia-sia, dan kuasa kebangkitan yang menegaskan Allah adalah Allah kehidupan.
Bagi tradisi Reformed, bagian ini bukan hanya kisah ajaib, tetapi pernyataan teologis tentang kasih karunia yang berdaulat, iman yang hidup, dan kasih yang berbuah dalam perbuatan baik.
John Calvin menulis:
“Mujizat ini bukanlah tentang kemuliaan Petrus, melainkan tentang kasih karunia Kristus yang bekerja melalui hamba-Nya. Petrus hanyalah alat; Allah-lah yang membangkitkan.”
I. Profil Seorang Murid Perempuan: Tabita yang Penuh Kasih (Kisah Para Rasul 9:36)
“Suatu saat, di Yope, ada seorang murid perempuan bernama Tabita, yang jika diterjemahkan berarti Dorkas. Ia penuh dengan perbuatan baik dan tindakan sedekah.”
Tabita adalah murid perempuan (mathētria) — satu-satunya kali istilah ini muncul dalam seluruh Perjanjian Baru.
Ini menunjukkan bahwa dia adalah pengikut Yesus yang sejati, bukan hanya secara nominal, tetapi juga dalam perbuatan.
1. Iman yang Berbuah dalam Kasih
Ayat ini menyoroti dua hal penting:
-
penuh dengan perbuatan baik
-
penuh dengan tindakan sedekah
Dalam teologi Reformed, ini bukan gambaran tentang keselamatan oleh perbuatan, melainkan iman yang menghasilkan buah nyata (Yakobus 2:17).
John Calvin menafsirkan:
“Iman yang sejati selalu berbuah dalam kasih. Tabita tidak melakukan perbuatan baik untuk menyelamatkan dirinya, tetapi karena ia telah diselamatkan.”
Kasih yang menggerakkan Tabita berasal dari kasih Allah yang telah mengubah hatinya.
Herman Bavinck menulis:
“Setiap tindakan kasih orang percaya adalah cerminan kasih ilahi yang telah dicurahkan ke dalam hati mereka oleh Roh Kudus.” (Reformed Dogmatics)
2. Karya Kasih yang Melayani
Dorkas dikenal karena karya sosialnya — membuat pakaian untuk janda-janda miskin.
Dalam budaya Perjanjian Baru, janda adalah simbol ketidakberdayaan. Dengan demikian, pelayanan Dorkas bersifat diakonal — bentuk nyata dari Injil kasih yang mengangkat yang lemah.
R.C. Sproul menegaskan:
“Kasih sejati bukanlah emosi yang kosong, melainkan tindakan yang berakar dalam kebenaran dan melayani mereka yang paling tidak berdaya.”
Dorkas tidak berkhotbah dari mimbar, tetapi menyampaikan Injil dengan jarum dan benang.
Inilah bukti bahwa pelayanan kecil yang dilakukan dengan kasih besar tidak pernah kecil di mata Allah.
II. Kematian yang Mengguncang dan Iman yang Bertahan (Kisah Para Rasul 9:37–38)
“Pada hari-hari itu terjadilah, ia sakit dan mati... para murid mengutus dua orang kepada Petrus dan memohon kepadanya, ‘Jangan menunda pergi ke tempat kami!’”
Kematian Dorkas menjadi peristiwa yang mengguncang komunitas Kristen di Yope.
Namun, reaksi jemaat menunjukkan iman yang berani berharap di tengah kehilangan.
1. Kesedihan yang Kudus
Duka mereka bukan tanda keputusasaan, melainkan ekspresi kasih terhadap orang yang mereka cintai.
Dalam tradisi Reformed, kesedihan tidak dilarang — bahkan adalah bagian dari kasih yang tulus.
Charles Spurgeon berkata:
“Air mata orang kudus bukan tanda kelemahan, melainkan penghormatan terhadap kasih Allah yang telah bekerja melalui seseorang.”
2. Iman yang Bergerak dalam Harapan
Alih-alih pasrah, para murid segera mengutus orang ke Lida untuk memanggil Petrus.
Tindakan ini menunjukkan iman yang aktif — bukan karena mereka yakin Petrus pasti akan membangkitkan Dorkas, tetapi karena mereka percaya bahwa Tuhan masih bekerja.
John Calvin menulis:
“Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi mereka tahu kepada siapa mereka harus berlari.”
III. Kasih yang Dikenang dan Air Mata yang Berbicara (Kisah Para Rasul 9:39)
“Semua janda berdiri di samping Petrus sambil menangis, serta menunjukkan tunik-tunik dan pakaian-pakaian lainnya yang biasanya dibuat oleh Dorkas...”
Pemandangan ini sangat menyentuh: air mata kasih dari mereka yang telah dilayani.
1. Warisan Kasih yang Nyata
Janda-janda itu menunjukkan hasil karya Dorkas — pakaian yang ia buat sebagai bukti kasihnya.
Mereka tidak berbicara panjang lebar, tetapi tindakan kasih Dorkas berbicara lebih keras dari kata-kata.
Spurgeon menulis:
“Beberapa orang hidup lama tanpa meninggalkan jejak; tetapi orang yang hidup dalam kasih meninggalkan kesaksian yang tidak bisa dilenyapkan oleh maut.”
2. Kasih Sebagai Bukti Kehidupan yang Ditebus
Dalam teologi Reformed, buah kasih adalah bukti kehidupan baru.
Kasih bukan syarat keselamatan, tetapi tanda regenerasi.
Jonathan Edwards, dalam Charity and Its Fruits, berkata:
“Kasih kepada sesama adalah tanda paling jelas bahwa hati telah diperbarui oleh kasih Allah.”
IV. Doa yang Membuka Jalan Bagi Kuasa Allah (Kisah Para Rasul 9:40)
“Namun, Petrus menyuruh mereka semua keluar, lalu berlutut dan berdoa. Kemudian, ia berpaling kepada mayat Tabita dan berkata, ‘Tabita, bangunlah!’...”
Di sini puncak kisah terjadi. Tetapi perhatikan: Petrus tidak bertindak sebagai penyihir yang memiliki kuasa sendiri. Ia berdoa terlebih dahulu.
Kuasa kebangkitan tidak berasal dari Petrus, melainkan dari Tuhan yang menjawab doa hamba-Nya.
1. Doa Sebagai Pengakuan Ketergantungan
Sikap Petrus berlutut menunjukkan kerendahan hati dan penyerahan diri total kepada Allah.
Ia tahu bahwa tanpa kuasa Allah, semua usaha manusia sia-sia.
Calvin menegaskan:
“Petrus tidak berdoa untuk mendapatkan kuasa, tetapi untuk menundukkan dirinya di bawah kuasa Allah. Mujizat sejati selalu dimulai dari doa yang rendah hati.”
2. Kuasa Firman yang Menghidupkan
Ketika Petrus berkata, “Tabita, bangunlah!”, kata-kata ini menggemakan peristiwa kebangkitan anak Yairus oleh Yesus (Markus 5:41).
Yesus berkata, “Talita koum!” (Hai anak, bangunlah!), dan kini Petrus berkata, “Tabita, bangunlah!”
Ini bukan kebetulan. Kisah ini menunjukkan kontinuitas kuasa Kristus melalui gereja-Nya.
R.C. Sproul menulis:
“Ketika Petrus berbicara, Kristuslah yang berbicara melalui dia. Kuasa bukan milik rasul, tetapi berasal dari Kristus yang hidup di dalamnya.”
Petrus tidak menyembah mukjizat; ia menyembah Allah yang berdaulat atas hidup dan mati.
V. Kehidupan yang Dipulihkan dan Gereja yang Dikuatkan (Kisah Para Rasul 9:41–42)
“Petrus mengulurkan tangan kepadanya dan membantunya berdiri... Dan, kejadian itu tersebar di seluruh Yope, dan banyak orang percaya kepada Tuhan.”
1. Gambar Kehidupan Baru
Tindakan Petrus yang mengulurkan tangan dan membantu Dorkas berdiri menggambarkan anugerah yang membangkitkan.
Dalam Injil, Allah tidak hanya berkata “hiduplah,” tetapi juga menarik kita keluar dari kubur dosa.
Calvin menulis:
“Kristus tidak hanya memberi hidup, tetapi juga mengulurkan tangan-Nya untuk menegakkan kita yang lemah.”
2. Efek Injil yang Meluas
Peristiwa ini menyebar dan membawa banyak orang percaya kepada Tuhan.
Inilah buah misi dari mujizat kasih karunia.
Bagi teologi Reformed, mujizat bukanlah tontonan, melainkan tanda yang menunjuk pada Kristus dan memperluas kerajaan Allah.
Bavinck berkata:
“Mujizat tidak dimaksudkan untuk menggantikan iman, tetapi untuk membangkitkan iman dan mengokohkan kesaksian Injil.”
Kebangkitan Dorkas menjadi tanda kebangkitan rohani yang lebih besar — lahirnya iman dalam banyak orang.
VI. Petrus dan Simon si Penyamak: Kasih yang Melintasi Batas (Kisah Para Rasul 9:43)
“Maka, Petrus tinggal cukup lama di Yope bersama seseorang bernama Simon, seorang penyamak kulit.”
Ayat ini tampak sepele, tetapi memiliki makna besar.
Penyamak kulit adalah pekerjaan najis dalam hukum Yahudi karena berhubungan dengan bangkai.
Namun Petrus memilih tinggal bersama dia.
Ini menandai pergeseran besar dalam pemahaman Petrus tentang kasih dan anugerah.
Sebelum kisah Kornelius di pasal berikutnya, Allah sudah mulai mempersiapkan hati Petrus untuk melihat bahwa Injil bukan hanya untuk orang suci, tetapi juga untuk yang dianggap najis.
Sproul menulis:
“Allah sering menyiapkan kita bagi tugas besar melalui perjumpaan sederhana yang menantang prasangka kita.”
Kasih yang menghidupkan bukan hanya mengalahkan kematian fisik, tetapi juga menghancurkan tembok sosial dan spiritual.
VII. Dimensi Teologis Reformed dari Kisah Ini
1. Kasih Karunia yang Berdaulat (Sovereign Grace)
Semua yang terjadi dalam kisah ini — pelayanan Dorkas, kematiannya, kebangkitannya, dan pertobatan banyak orang — adalah hasil karya Allah yang berdaulat.
Calvin berkata:
“Tidak ada sesuatu pun yang terjadi di luar rencana Allah. Bahkan kematian seorang yang saleh pun dipakai untuk memuliakan-Nya.”
Kasih karunia Allah tidak hanya menyelamatkan, tetapi mengatur seluruh sejarah hidup orang percaya.
2. Kuasa Kebangkitan (Resurrection Power)
Kebangkitan Dorkas adalah bayangan dari kebangkitan Kristus.
Kuasa yang membangkitkannya adalah kuasa yang sama yang membangkitkan Yesus dari kematian (Efesus 1:19–20).
R.C. Sproul berkata:
“Setiap kebangkitan dalam Alkitab adalah gema dari kebangkitan Kristus dan janji bagi kebangkitan kita kelak.”
3. Teologi Diakonia (Kasih yang Melayani)
Pelayanan Dorkas menunjukkan bahwa kasih praktis adalah bagian dari teologi Injil.
Reformed theology menekankan keseimbangan antara pengajaran dan perbuatan kasih.
Abraham Kuyper berkata:
“Tidak ada satu inci pun dari kehidupan manusia yang Kristus tidak klaim sebagai milik-Nya — termasuk pekerjaan tangan kasih seperti Dorkas.”
VIII. Aplikasi Bagi Gereja Masa Kini
-
Pelayanan kecil dapat berdampak besar.
Dorkas tidak berkhotbah, tetapi hidupnya mengubah kota. Gereja perlu menghargai pelayanan kasih yang sederhana. -
Doa harus mendahului setiap pelayanan.
Petrus berlutut sebelum bertindak. Gereja yang kuat adalah gereja yang berlutut sebelum bekerja. -
Kasih Allah menembus batas sosial.
Petrus tinggal bersama Simon si penyamak — lambang kasih yang melampaui stigma dan tradisi. -
Kematian bukan akhir bagi orang percaya.
Kebangkitan Dorkas mengingatkan bahwa hidup kita tidak berakhir di kubur, tetapi dalam kemuliaan Kristus. -
Kesaksian kasih menghasilkan misi.
Ketika kasih nyata terlihat, orang-orang datang kepada Tuhan — bukan karena argumen, tetapi karena kuasa kasih.
IX. Penutup: Kasih yang Tak Pernah Mati
Kisah Dorkas mengajarkan bahwa kasih yang lahir dari Kristus tidak berakhir dengan kematian.
Kasih itu berbuah, berlanjut, dan bahkan melalui kematian seseorang, Allah dapat meneguhkan kehidupan banyak orang.
Dalam kebangkitan Dorkas, kita melihat gambaran kecil dari kebangkitan besar — ketika Kristus sendiri akan berkata kepada seluruh umat pilihan-Nya:
“Bangunlah!”
Dan pada hari itu, tidak ada air mata, tidak ada kesedihan, tidak ada kematian.
Yang tinggal hanyalah kasih yang kekal di bawah pemerintahan Sang Raja.
Spurgeon menutup tafsirnya dengan kalimat sederhana namun dalam:
“Kristus tidak hanya menyentuh jasad Dorkas, tetapi menyentuh hati seluruh kota. Ketika kasih bekerja, dunia melihat cahaya kebangkitan.”