Kejadian 9:24–27: Kutuk dan Berkat

Pendahuluan
Kisah Kejadian 9:24–27 sering dianggap sebagai salah satu bagian yang paling misterius dan penuh muatan teologis dalam Kitab Kejadian. Setelah air bah berakhir dan dunia baru terbuka bagi manusia, muncul kisah ganjil: Nuh—seorang yang “benar dan tidak bercela di antara orang sezamannya” (Kejadian 6:9)—jatuh dalam kelemahan, mabuk karena anggur dari kebunnya sendiri. Peristiwa ini menyingkapkan sisi gelap manusia yang bahkan terdapat pada tokoh-tokoh besar iman, serta memperlihatkan bagaimana Allah tetap bekerja di tengah dosa manusia untuk melaksanakan rencana penebusan-Nya.
Teks ini berbunyi:
“Ketika Nuh sadar dari mabuknya, dia mengetahui yang dilakukan anak bungsunya itu kepadanya.
Karena itu, dia berkata, ‘Terkutuklah Kanaan! Kiranya dia menjadi hamba dari hamba saudara-saudaranya.’
Nuh juga berkata, ‘Terpujilah TUHAN, Allah Sem! Biarlah Kanaan menjadi hambanya.
Biarlah Allah meluaskan Yafet, biarlah dia tinggal di tenda Sem, dan biarlah Kanaan menjadi hamba baginya.’”
— Kejadian 9:24–27 (AYT)
Melalui kisah ini, kita akan menelusuri eksposisi ayat demi ayat, analisis teologis, dan pandangan para teolog Reformed tentang makna di balik kutuk terhadap Kanaan serta berkat kepada Sem dan Yafet.
I. Konteks Naratif: Kelemahan Manusia dan Kedaulatan Allah
Konteks pasal ini datang setelah Allah memulihkan bumi melalui air bah dan mengadakan perjanjian dengan Nuh (Kejadian 9:1–17). Nuh menjadi semacam “Adam kedua” — awal baru bagi umat manusia. Namun, segera setelahnya, dosa kembali muncul. Kisah ini menegaskan bahwa air bah tidak dapat menghapus dosa dari hati manusia; hanya kasih karunia Allah yang bisa melakukannya.
John Calvin dalam Commentary on Genesis menulis:
“Alkitab tidak menyembunyikan dosa para tokoh kudus karena maksudnya bukan untuk meninggikan manusia, tetapi untuk meninggikan kasih karunia Allah yang bekerja di dalam kelemahan manusia.”
Peristiwa mabuk Nuh menjadi pengingat bahwa bahkan orang benar sekalipun dapat jatuh, namun Allah tetap berdaulat dalam mengarahkan akibat dosa manusia untuk menggenapi maksud penebusan-Nya.
II. Eksposisi Ayat
Kejadian 9:24 – “Ketika Nuh sadar dari mabuknya…”
Kata Ibrani untuk “sadar” (yaqaṣ) menggambarkan kesadaran yang tajam dan tiba-tiba. Nuh, setelah tertidur karena mabuk, “mengetahui” (yada‘) apa yang dilakukan anak bungsunya—Ham. Dalam konteks Semitik, “melihat ketelanjangan” sering kali memiliki arti lebih dari sekadar pandangan fisik; itu bisa mengandung konotasi moral dan bahkan seksual. Namun, sebagian besar penafsir Reformed menilai bahwa tindakan Ham adalah pelecehan moral dan penghinaan terhadap ayahnya, bukan tindakan seksual.
R.C. Sproul menjelaskan:
“Ham tidak hanya melihat ayahnya telanjang, tetapi mempermalukannya di hadapan saudaranya. Ia tidak menutupi kehormatan ayahnya, melainkan menelanjanginya lebih jauh dengan kata-kata.”
Dengan demikian, dosa Ham bukan sekadar tindakan pasif, melainkan penghinaan aktif terhadap otoritas dan martabat ayahnya—simbol otoritas yang Allah berikan dalam keluarga manusia.
Kejadian 9:25 – “Terkutuklah Kanaan! Kiranya dia menjadi hamba dari hamba saudara-saudaranya.”
Pertanyaan utama muncul: Mengapa Nuh mengutuk Kanaan, bukan Ham yang bersalah?
Beberapa pandangan teolog Reformed memberikan penjelasan:
-
John Calvin menafsirkan bahwa kutuk ini bukan sembarang emosi manusiawi, melainkan nubuatan profetik. Allah berbicara melalui Nuh untuk menyatakan akibat dosa Ham yang akan terwariskan melalui keturunannya, khususnya Kanaan.
“Kutuk ini bukan dendam pribadi, tetapi penghakiman ilahi terhadap keturunan yang mengikuti jejak dosa ayahnya.”
-
Matthew Henry menambahkan bahwa Kanaan disebut secara spesifik karena ia dan keturunannya (bangsa Kanaan) kelak akan dikenal karena ketidaksucian dan penyembahan berhala. Kutuk ini adalah tanda bahwa dosa memiliki konsekuensi lintas generasi.
-
Geerhardus Vos, dalam kerangka redemptif-historis, melihat bahwa kutuk atas Kanaan berfungsi untuk menunjukkan kontras antara garis berkat (Sem) dan garis kutuk (Kanaan). Dari Sem kelak datang Mesias, sedangkan dari Kanaan muncul bangsa-bangsa yang menentang Allah dan akhirnya dihukum (bandingkan Ulangan 7:1–2).
Secara teologis, kutuk ini bukanlah pembenaran untuk diskriminasi rasial sebagaimana pernah disalahgunakan dalam sejarah, melainkan penyingkapan rencana penebusan Allah melalui pemisahan antara umat pilihan dan umat yang melawan Allah.
Kejadian 9:26 – “Terpujilah TUHAN, Allah Sem!”
Bagian ini unik: Nuh tidak berkata “diberkatilah Sem,” melainkan “Terpujilah TUHAN, Allah Sem.” Ini menunjukkan bahwa sumber berkat bukanlah manusia, melainkan Allah yang berdaulat atas hidup Sem. Sem menjadi jalur dari mana garis penebusan mengalir—melalui Abraham, Ishak, Yakub, Daud, hingga Yesus Kristus.
Calvin menulis:
“Dengan mengatakan ‘TUHAN, Allah Sem,’ Nuh mengakui bahwa berkat Sem terletak pada relasi khususnya dengan Allah yang sejati. Di dalam garis Sem, perjanjian anugerah akan dijaga.”
Bagi teologi Reformed, hal ini menunjukkan doktrin pemilihan (election) — Allah memilih garis tertentu untuk menggenapi janji penebusan. Ini bukan karena keunggulan moral Sem, melainkan karena kasih karunia Allah yang bebas dan berdaulat.
B.B. Warfield menambahkan:
“Di dalam berkat kepada Sem kita melihat benih Injil pertama yang terus berjalan sejak Eden. Allah sedang menyiapkan jalan bagi Penebus yang akan datang.”
Kejadian 9:27 – “Biarlah Allah meluaskan Yafet…”
Nama “Yafet” sendiri berarti “meluas” atau “diperluas.” Doa Nuh agar Allah “meluaskan” Yafet adalah permainan kata yang mengandung nubuatan. Dalam sejarah, keturunan Yafet berkembang ke wilayah Eropa dan Asia Minor, menjadi bangsa-bangsa non-Semitik.
Namun, bagian paling penting adalah kalimat berikutnya:
“Biarlah dia tinggal di tenda Sem.”
Ini menandakan persekutuan rohani antara bangsa-bangsa (Yafet) dan umat perjanjian (Sem). Dalam terang Perjanjian Baru, banyak teolog Reformed melihat penggenapan nubuatan ini dalam Injil Yesus Kristus, ketika bangsa-bangsa bukan Yahudi (gentiles) diundang untuk masuk ke dalam berkat perjanjian Allah melalui Kristus, keturunan Sem.
Charles Hodge menulis:
“Di dalam Kristus, keturunan Yafet benar-benar ‘berdiam dalam tenda Sem’, karena mereka menikmati berkat keselamatan yang semula dijanjikan kepada Israel.”
R.C. Sproul menambahkan:
“Ayat ini menggambarkan misi universal Injil—bahwa berkat Allah yang semula diberikan kepada Sem akhirnya meluas ke seluruh dunia.”
Sementara itu, kutuk terhadap Kanaan kembali disebut, memperlihatkan kontras antara mereka yang hidup dalam persekutuan dengan Allah dan mereka yang tetap dalam pemberontakan.
III. Tema Teologis Utama
1. Realitas Dosa dan Kasih Karunia
Nuh—orang benar—jatuh dalam dosa. Ini menegaskan pandangan Reformed tentang total depravity: tidak ada manusia yang kebal dari dosa. Namun, di sisi lain, Allah tetap bekerja melalui manusia berdosa untuk melaksanakan rencana keselamatan-Nya.
Calvin menulis:
“Tidak ada manusia, betapa pun kudusnya, yang terbebas dari kelemahan. Namun, dari kerendahan manusia, Allah menampilkan ketinggian kasih karunia-Nya.”
2. Kedaulatan Allah dalam Sejarah
Kutuk dan berkat dalam teks ini adalah bagian dari rencana providensia Allah. Sejarah bukan sekadar peristiwa manusiawi, tetapi panggung bagi karya Allah yang berdaulat. Di sini kita melihat prinsip Reformed bahwa segala sesuatu—bahkan dosa—tidak berada di luar kendali Allah, melainkan digunakan untuk tujuan penebusan-Nya.
3. Tipologi dan Penggenapan dalam Kristus
Berkat kepada Sem mencapai puncaknya dalam Kristus, keturunan Abraham (yang berasal dari Sem).
Kata “tenda” dalam ayat 27 dapat dibaca secara tipologis—menunjuk pada tenda pertemuan (kemah Allah), simbol kehadiran Allah di tengah umat-Nya.
Maka ketika bangsa-bangsa lain “berdiam di tenda Sem,” itu menunjuk kepada kesatuan gereja di dalam Kristus, di mana Yahudi dan non-Yahudi menjadi satu tubuh.
IV. Pandangan Para Teolog Reformed Modern
1. John Piper
Piper menyoroti aspek misi global dari nubuatan Nuh. Ia menulis:
“Ketika Yafet masuk ke tenda Sem, kita melihat janji bahwa bangsa-bangsa akan bersatu dalam Kristus. Misi Allah sejak awal adalah misi lintas budaya, lintas bangsa, dan lintas bahasa.”
2. Herman Bavinck
Dalam Reformed Dogmatics, Bavinck melihat teks ini sebagai bagian dari “struktur berkat dan kutuk” yang berulang dalam Alkitab:
“Setiap kali dosa manusia meningkat, Allah menegakkan kembali rencana penebusan melalui garis pilihan yang sempit. Namun, dari garis itu, berkat meluas ke seluruh bumi.”
3. Geerhardus Vos
Vos menafsirkan bahwa kisah ini adalah bentuk “proto-histori misi”:
“Allah sejak awal telah menanamkan prinsip perluasan kerajaan-Nya di tengah umat manusia yang terpecah. Yafet akan ‘berdiam di tenda Sem’ berarti bangsa-bangsa akan turut serta dalam kerajaan Mesias.”
V. Aplikasi Teologis dan Praktis
-
Hormati otoritas dan kekudusan.
Dosa Ham mengajarkan bahwa sikap tidak hormat terhadap otoritas dan kehormatan adalah dosa serius di hadapan Allah. Kekudusan bukan hanya soal tindakan, tetapi juga sikap hati terhadap yang kudus. -
Jaga keluarga sebagai wadah perjanjian.
Sem dan Yafet menutupi ketelanjangan ayah mereka—tindakan ini melambangkan penghormatan terhadap kasih karunia Allah dalam keluarga. Gereja, sebagai keluarga rohani, juga dipanggil menutupi kelemahan dengan kasih, bukan mempermalukan. -
Syukuri berkat keselamatan universal.
Melalui Kristus, bangsa-bangsa non-Israel kini dapat “berdiam di tenda Sem.” Kita semua adalah Yafet rohani yang diundang masuk ke dalam persekutuan perjanjian. Ini adalah panggilan untuk misi dan penginjilan global. -
Lihat sejarah sebagai karya Allah.
Teks ini mengingatkan bahwa sejarah manusia, dengan segala kekacauannya, tetap diarahkan oleh Allah menuju penggenapan rencana penebusan di dalam Kristus.
VI. Kesimpulan
Kejadian 9:24–27 bukan sekadar kisah keluarga pasca-air bah, melainkan peta kecil dari sejarah keselamatan. Dalam kelemahan manusia, Allah menyingkapkan kasih karunia dan rencana kekal-Nya. Melalui kutuk dan berkat yang keluar dari mulut Nuh, kita melihat garis pemisah antara mereka yang berjalan dalam kegelapan dan mereka yang berjalan dalam terang perjanjian.
Kanaan melambangkan dunia yang jatuh dan melawan Allah. Sem melambangkan umat pilihan yang menjadi wadah berkat Allah. Yafet melambangkan bangsa-bangsa yang kelak akan datang dan menikmati berkat keselamatan melalui Kristus.
John Calvin menutup komentarnya dengan kalimat yang penuh makna:
“Ketika manusia mempermalukan sesamanya, Allah bekerja untuk memuliakan nama-Nya. Ketika dosa muncul, kasih karunia tidak berkurang, melainkan semakin nyata.”
Dalam terang Kristus, nubuat Nuh menemukan penggenapan sejati: seluruh bangsa berdiam dalam tenda kasih karunia Allah, di mana tidak ada lagi kutuk, tetapi hanya berkat yang kekal di dalam Yesus Kristus.