Allah Melawat Umat-Nya

Pendahuluan: Allah yang Tidak Diam
Salah satu kebenaran paling menggetarkan dalam iman Kristen adalah bahwa Allah tidak pernah diam. Ia bukan Allah yang jauh, pasif, atau acuh terhadap penderitaan manusia. Sejak awal Alkitab, kita melihat Allah yang aktif, yang “melihat penderitaan umat-Nya” dan “turun tangan” untuk menolong mereka.
Dalam Perjanjian Lama, kata melawat (Ibrani: pāqad) sering digunakan untuk menggambarkan tindakan aktif Allah yang memperhatikan, mengingat, dan bertindak bagi umat-Nya. Dalam konteks tertentu, Allah melawat untuk menghukum, tetapi lebih sering Ia melawat untuk menyelamatkan dan memulihkan.
Dalam Perjanjian Baru, istilah ini diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani sebagai ἐπισκέπτομαι (episkeptomai), yang berarti “menengok dengan penuh perhatian, memperhatikan dengan kasih, dan bertindak untuk menolong.” Maka ketika orang banyak di Nain berseru, “Allah telah melawat umat-Nya,” mereka sedang mengakui bahwa Allah sendiri telah hadir melalui Kristus untuk memulihkan kehidupan manusia.
Eksposisi Lukas 7:16 – Allah yang Turun Menolong
Konteks ayat ini adalah peristiwa kebangkitan anak muda di kota Nain (Lukas 7:11–17). Yesus bertemu dengan iring-iringan jenazah seorang pemuda, anak tunggal seorang janda. Didorong oleh belas kasihan, Ia berkata kepada si ibu, “Jangan menangis,” lalu Ia membangkitkan anak itu dari kematian.
Reaksi orang banyak yang menyaksikan mukjizat itu luar biasa: mereka tidak hanya kagum, tetapi juga mengakui bahwa Allah sedang melawat umat-Nya.
Makna Teologis dari “Melawat” (ἐπισκέπτομαι)
Kata ini membawa nuansa lebih dalam daripada sekadar “mengunjungi.” Dalam tradisi Alkitab, “melawat” berarti mengunjungi dengan tujuan membawa perubahan. Ini adalah lawatan yang menegakkan keadilan, memulihkan hidup, dan meneguhkan janji Allah.
John Calvin, dalam komentarnya atas Injil Lukas, menulis:
“Ketika orang banyak berkata bahwa Allah telah melawat umat-Nya, mereka dengan benar memahami bahwa di dalam Kristus, Allah sendiri turun untuk memperbaiki keadaan manusia yang rusak. Kunjungan ini bukan sekadar perhatian dari jauh, melainkan tindakan nyata penyelamatan.”
(Commentary on the Harmony of the Gospels, 1555)
Dengan kata lain, “melawat” berarti Allah bertindak dalam waktu dan ruang, bukan hanya menyampaikan pesan, tetapi hadir dalam kuasa yang menyembuhkan, menghidupkan, dan menebus.
Allah yang Melawat dalam Perjanjian Lama
Untuk memahami kedalaman makna lawatan Allah, kita harus melihat bagaimana konsep ini berkembang sejak zaman para leluhur Israel.
1. Allah Melawat Sara (Kejadian 21:1)
“TUHAN melawat Sara seperti yang telah difirmankan-Nya, dan TUHAN melakukan kepada Sara seperti yang telah dijanjikan-Nya.”
Dalam konteks ini, melawat berarti menggenapi janji Allah. Setelah bertahun-tahun mandul, Sara akhirnya mengandung Ishak — tanda nyata bahwa Allah tidak melupakan janji-Nya kepada Abraham.
Matthew Henry menafsirkan:
“Lawatan Allah kepada Sara bukanlah kunjungan kosong, tetapi kunjungan yang penuh dengan kasih setia dan kuasa untuk memenuhi janji-Nya.”
Lawatan Allah kepada Sara adalah bentuk pemulihan dan penggenapan, memperlihatkan bahwa setiap janji Allah pasti digenapi dalam waktu-Nya yang sempurna.
2. Allah Melawat Umat Israel di Mesir (Keluaran 4:31)
“Lalu bangsa itu percaya. Ketika mereka mendengar bahwa TUHAN telah melawat keturunan Israel dan bahwa Ia telah memperhatikan penderitaan mereka, mereka sujud menyembah.”
Inilah salah satu gambaran paling kuat tentang Allah yang melawat umat-Nya: Allah tidak tinggal diam melihat penindasan. Lawatan-Nya berarti pembebasan.
John Owen menulis dalam The Works of John Owen:
“Lawatan Allah kepada Israel adalah cerminan kasih karunia-Nya yang aktif — Ia tidak hanya mengetahui penderitaan umat-Nya, tetapi turun tangan untuk membebaskan mereka dengan kuasa-Nya.”
Dengan demikian, “lawatan” di sini adalah tindakan anugerah yang mengubah situasi — dari perbudakan menuju kebebasan, dari keluh kesah menuju penyembahan.
3. Allah Melawat dalam Penghakiman
Namun, dalam beberapa bagian, pāqad juga digunakan untuk menggambarkan lawatan dalam murka atau disiplin.
Misalnya, dalam Yeremia 6:15, Allah berkata bahwa Ia akan “melawat” bangsa itu karena dosa mereka.
Stephen Charnock menafsirkan:
“Kasih Allah yang sejati tidak meniadakan kekudusan-Nya. Ia melawat umat-Nya dalam kasih, tetapi juga dalam penghakiman, supaya mereka kembali kepada kebenaran.”
Maka, dalam teologi Alkitab, lawatan Allah selalu bersifat moral dan redemptif. Baik dalam pengampunan maupun dalam disiplin, tujuan-Nya adalah pemulihan umat-Nya.
Allah yang Melawat dalam Yesus Kristus
Klimaks dari seluruh kisah lawatan Allah terjadi ketika Firman menjadi manusia. Dalam diri Yesus Kristus, Allah tidak lagi melawat dari jauh, melainkan menjadi salah satu di antara kita.
B.B. Warfield menulis:
“Inkarnasi Kristus adalah puncak dari semua lawatan ilahi. Ia datang bukan sekadar untuk berbicara tentang Allah, tetapi untuk menunjukkan Allah dalam wujud manusia.”
(The Person and Work of Christ, 1918)
Lukas 1:68 juga menggunakan istilah yang sama ketika Zakharia bernubuat:
“Terpujilah Tuhan, Allah Israel, sebab Ia telah melawat dan menebus umat-Nya.”
Ini berarti bahwa kedatangan Kristus adalah lawatan Allah yang menyelamatkan. Ia datang bukan hanya untuk melihat penderitaan manusia, tetapi untuk masuk ke dalam penderitaan itu, menanggung dosa, dan membawa pengharapan baru.
Dimensi Kristologis: Lawatan yang Menyelamatkan
1. Inkarnasi: Lawatan dalam Kasih
Dalam Kristus, Allah bukan hanya mengirim malaikat atau nabi, tetapi datang sendiri.
Yesus adalah bukti bahwa Allah tidak tinggal di surga menonton dunia yang rusak, tetapi turun ke dalam sejarah manusia untuk memperbarui segalanya.
John Calvin menulis:
“Dalam Kristus, Allah telah mendekat dengan kasih yang lebih besar daripada yang dapat dipahami manusia; Ia tidak hanya berbicara, tetapi hadir.”
Inkarnasi adalah puncak dari kasih Allah yang melawat. Ia melihat duka manusia — seperti janda di Nain — dan Ia bertindak.
2. Salib: Lawatan dalam Pengampunan
Di salib, Allah melawat umat-Nya dalam cara yang paling mengejutkan: bukan dalam kemuliaan, melainkan dalam penderitaan.
Salib adalah “lawatan kasih karunia” terbesar — tempat di mana Allah mengunjungi manusia dengan belas kasihan dan keadilan sekaligus.
R.C. Sproul menegaskan:
“Di salib, Allah tidak hanya melawat dunia; Ia memikul beban dunia. Inilah saat ketika keadilan dan kasih bertemu dalam satu peristiwa ilahi.”
Melalui salib, Allah menegakkan keadilan terhadap dosa, tetapi juga membuka pintu kasih karunia bagi umat-Nya. Setiap kali orang percaya menatap salib, mereka sedang menyaksikan puncak lawatan Allah yang menyelamatkan.
3. Kebangkitan: Lawatan dalam Kuasa
Kebangkitan Kristus membuktikan bahwa lawatan Allah tidak pernah sia-sia.
Kematian bukanlah akhir dari kisah kasih karunia, tetapi justru awal dari kehidupan baru.
Martyn Lloyd-Jones menulis:
“Kebangkitan adalah bukti bahwa ketika Allah melawat umat-Nya, tidak ada kuasa yang dapat menghalangi-Nya — bahkan maut sekalipun.”
(The Cross: God’s Way of Salvation, 1965)
Ketika Yesus membangkitkan anak muda di Nain, Ia sedang memberikan tanda bahwa kuasa kebangkitan itu nyata dan akan digenapi secara penuh di kebangkitan-Nya sendiri.
Pandangan Teolog Reformed Tentang Lawatan Allah
Berikut adalah ringkasan pemikiran beberapa tokoh Reformed mengenai konsep “Allah melawat umat-Nya”:
1. John Calvin – Lawatan Sebagai Pemeliharaan Kasih Setia
Calvin melihat lawatan Allah sebagai bukti providensia dan covenant faithfulness (kesetiaan perjanjian).
Bagi Calvin, setiap tindakan Allah dalam sejarah umat-Nya adalah bagian dari kesetiaan-Nya terhadap perjanjian anugerah yang kekal.
“Lawatan Allah tidak pernah acak; Ia melawat sesuai janji-Nya, menjaga umat pilihan agar tidak binasa.”
2. Herman Bavinck – Lawatan Sebagai Inkarnasi yang Menyelamatkan
Dalam Reformed Dogmatics, Bavinck menulis bahwa inkarnasi adalah bentuk tertinggi dari “lawatan ilahi.”
“Dalam Kristus, Allah berkunjung bukan sebagai pengamat, tetapi sebagai Penebus. Ia memasuki keadaan manusia yang penuh penderitaan untuk membawanya kepada kemuliaan.”
Bavinck menegaskan bahwa lawatan Allah dalam Kristus bukan sekadar tindakan eksternal, tetapi penyatuan diri Allah dengan ciptaan.
3. Charles Hodge – Lawatan Sebagai Tindakan Anugerah yang Efektif
Hodge menyoroti bahwa lawatan Allah adalah manifestasi kasih karunia yang berdaulat.
Ketika Allah melawat, Ia mengubah keadaan umat-Nya secara efektif, bukan sekadar menawarkan bantuan.
“Anugerah yang melawat adalah anugerah yang menghidupkan, bukan sekadar mengasihani.”
4. R.C. Sproul – Lawatan Sebagai Panggilan untuk Bertobat
Sproul menekankan bahwa setiap lawatan Allah membawa panggilan moral dan spiritual.
“Ketika Allah melawat, Ia menyingkapkan dosa kita agar kita kembali kepada-Nya. Setiap kunjungan ilahi adalah undangan untuk bertobat.”
Dalam konteks Lukas 7, orang banyak yang menyaksikan kebangkitan di Nain dipanggil bukan hanya untuk takjub, tetapi untuk menyembah dan berbalik kepada Allah yang hidup.
5. John Piper – Lawatan Sebagai Kehadiran Kasih Karunia dalam Penderitaan
Piper menafsirkan peristiwa di Nain sebagai tanda kasih Allah kepada mereka yang berduka.
“Ketika Yesus menghampiri janda di Nain, Ia menunjukkan bahwa Allah melawat bukan hanya bangsa, tetapi individu yang terluka. Lawatan kasih karunia selalu bersifat pribadi.”
Ini menegaskan bahwa Allah yang melawat tidak hanya peduli pada bangsa Israel secara kolektif, tetapi juga setiap pribadi yang percaya kepada-Nya.
Aplikasi Teologis dan Praktis Bagi Orang Percaya
1. Allah Masih Melawat Umat-Nya Hari Ini
Meskipun Yesus tidak lagi hadir secara fisik, Roh Kudus melanjutkan karya lawatan Allah di tengah umat-Nya.
Setiap kali kita mengalami pertobatan, penghiburan, atau pembaruan rohani, kita sedang mengalami “lawatan kasih karunia.”
A.W. Pink menulis:
“Setiap kebangunan rohani sejati adalah bukti bahwa Allah kembali melawat gereja-Nya.”
2. Lawatan Allah Menuntun pada Pertobatan dan Pembaruan
Setiap lawatan Allah menuntut respons. Ia tidak datang untuk disambut dengan netralitas.
Ketika Allah melawat, Ia memanggil umat-Nya untuk meninggalkan dosa dan kembali kepada kesetiaan perjanjian.
Sebagaimana Yesaya 55:6 berkata:
“Carilah TUHAN selama Ia berkenan ditemui, berserulah kepada-Nya selama Ia dekat.”
3. Allah Melawat di Tengah Penderitaan
Seperti janda di Nain, banyak orang percaya yang merasa ditinggalkan oleh Allah. Namun, Mazmur 34:19 mengingatkan, “TUHAN dekat kepada orang yang patah hati.”
Lawatan Allah sering kali terjadi di tengah air mata, bukan di atas puncak kemenangan. Ia datang kepada kita bukan hanya untuk menyelesaikan masalah, tetapi untuk menyatakan kehadiran-Nya.
4. Gereja Dipanggil Menjadi Saluran Lawatan Allah
Sebagai tubuh Kristus, gereja dipanggil untuk meneruskan karya lawatan itu — mengunjungi yang menderita, menolong yang lemah, dan memberitakan Injil kepada yang terhilang.
John Stott menulis:
“Gereja yang tidak melawat dunia dalam kasih adalah gereja yang telah melupakan Tuhannya yang melawat dunia.”
Setiap tindakan kasih, doa, dan pelayanan kita adalah bagian dari lawatan Allah melalui tubuh Kristus di dunia.
Kesimpulan: Ketika Allah Melawat, Segalanya Berubah
Frasa “Allah melawat umat-Nya” bukan hanya deskripsi dari satu peristiwa di kota kecil Nain; itu adalah tema besar seluruh Kitab Suci.
Dari Sara yang mandul, Israel yang tertindas, hingga janda yang berduka, Allah selalu menjadi Pribadi yang turun tangan dalam kasih.
Lawatan Allah mencapai puncaknya di dalam Kristus — Dia yang datang untuk menanggung penderitaan, menebus dosa, dan membangkitkan kehidupan baru.
Dan sampai hari ini, Allah masih melawat umat-Nya melalui Roh Kudus, melalui firman-Nya yang hidup, dan melalui gereja yang setia.
Charles Spurgeon menutup khotbahnya tentang Lukas 7 dengan kata-kata ini:
“Ketika Allah melawat umat-Nya, kubur-kubur terbuka, air mata kering, dan hati yang dingin menjadi hangat. Oh, kiranya Ia melawat gereja-Nya sekali lagi!”
Kiranya doa itu menjadi juga doa kita hari ini:
“Ya Tuhan, lawatlah umat-Mu kembali. Pulihkanlah gereja-Mu, hidupkanlah kami oleh Roh-Mu, supaya dunia melihat bahwa Engkau masih Allah yang hidup dan hadir.”