Keadaan Tragis Manusia dan Kuasa Allah
.jpg)
Pendahuluan: Dunia dalam Krisis dan Kebutuhan Akan Injil
Pada tahun 1939, dunia berada di tepi jurang kehancuran. Eropa sedang terperangkap dalam ancaman perang besar, dan hati manusia diliputi ketakutan, kebingungan, serta kehilangan arah moral. Dalam konteks itulah Martyn Lloyd-Jones berdiri di mimbar Westminster Chapel, bukan untuk memberikan analisis politik, melainkan untuk memberitakan Injil Allah yang berkuasa menyelamatkan.
Tema utama dari buku The Plight of Man and the Power of God adalah kontras antara kondisi manusia yang rusak total (the plight of man) dan kuasa Allah yang berdaulat untuk menyelamatkan (the power of God).
Lloyd-Jones tidak menulis dengan gaya spekulatif, tetapi dengan dasar eksposisi Alkitab, terutama Roma 1:16–32, di mana Rasul Paulus menegaskan bahwa hanya Injil yang menjadi kekuatan Allah bagi keselamatan.
“Sebab aku tidak malu terhadap Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya…” (Roma 1:16)
Melalui lensa ini, Lloyd-Jones menolak optimisme liberal dan humanisme modern yang percaya bahwa manusia mampu memperbaiki dirinya sendiri. Sebaliknya, ia menegaskan:
“Masalah manusia bukan di permukaannya, tetapi di jantung hatinya.”
Bagian I – Keadaan Tragis Manusia (The Plight of Man)
1. Akar Masalah: Kejatuhan dan Pemberontakan
Lloyd-Jones memulai dengan pernyataan tegas bahwa seluruh penderitaan dan kekacauan dunia bukanlah hasil kebetulan, melainkan akibat langsung dari dosa. Manusia telah berpaling dari Allah, dan dengan demikian kehilangan tujuan, arah, serta moralitas sejati.
Dalam Roma 1:21 dikatakan:
“Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya, melainkan pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap.”
John Calvin, dalam Institutes of the Christian Religion (I.5.11), menulis:
“Manusia tidak mungkin mengenal dirinya dengan benar sebelum ia melihat dirinya dalam terang Allah.”
Dengan kata lain, akar krisis manusia adalah pemisahan rohani dari Allah. Sejak manusia berusaha hidup tanpa Allah, ia jatuh ke dalam kekosongan eksistensial dan moral.
Lloyd-Jones menolak pandangan psikologis atau sosiologis yang hanya melihat dosa sebagai kelemahan sosial. Ia berkata:
“Manusia bukan sekadar salah dididik; ia mati dalam dosa.”
Pandangan ini mencerminkan doktrin total depravity (kerusakan total) dalam teologi Reformed — bahwa setiap aspek keberadaan manusia telah tercemar dosa, sehingga ia tidak mampu mencari Allah dengan kekuatannya sendiri (Efesus 2:1–3).
2. Kebangkrutan Moral Peradaban
Dalam salah satu khotbahnya, Lloyd-Jones mengutip kondisi Eropa pra-perang sebagai bukti nyata bahwa peradaban manusia, sekalipun berbudaya dan berilmu, tetap tidak dapat menyelamatkan dirinya dari kehancuran moral.
“Kita hidup di zaman yang penuh pengetahuan, tetapi tanpa hikmat; kaya dalam penemuan, tetapi miskin dalam kasih.”
Herman Bavinck menulis dalam Reformed Dogmatics:
“Kemajuan manusia di luar penebusan hanyalah bentuk lain dari pemberontakan. Ilmu dan seni tanpa Kristus menjadi alat kebanggaan dosa.”
Lloyd-Jones menunjukkan bahwa setiap sistem politik, ekonomi, dan filsafat yang mencoba membangun dunia tanpa dasar moral dari Allah akan gagal. Ia menyebutnya “ilusi kemanusiaan otonom” — manusia yang ingin menjadi tuhan bagi dirinya sendiri.
Seperti Babel kuno, dunia modern membangun menara kebanggaannya dengan sains, ekonomi, dan rasionalitas, tetapi Allah tetap yang berdaulat untuk merendahkan kesombongan itu (Kejadian 11:4–9).
3. Kerusakan Pikiran dan Hati
Roma 1:22–23 menyatakan bahwa manusia “menganggap dirinya bijak, tetapi menjadi bodoh.”
Lloyd-Jones menafsirkan ini sebagai pembalikan tatanan ciptaan. Manusia yang seharusnya tunduk kepada Allah justru menyembah ciptaan. Ia menulis:
“Pikiran manusia yang terpisah dari Allah tidak netral; ia menjadi musuh Allah. Setiap sistem pemikiran yang menolak Allah akan berakhir pada kebodohan spiritual.”
Cornelius Van Til, teolog Reformed Presuposisionalis, sejalan dengan pandangan ini:
“Tidak ada wilayah netral antara Allah dan manusia. Pikiran manusia yang berdosa selalu menafsirkan realitas dengan prasangka pemberontakan.”
Akibatnya, kejatuhan manusia tidak hanya bersifat moral, tetapi juga intelektual. Kegelapan batin membuat manusia tidak dapat lagi menilai kebenaran sejati. Ia menggantikan kemuliaan Allah dengan patung-patung modern: harta, ideologi, dan diri sendiri.
4. Murka Allah atas Dosa
Salah satu penekanan utama Lloyd-Jones adalah bahwa masalah utama manusia bukan hanya penderitaan, tetapi murka Allah yang adil atas dosa.
“Sebab murka Allah nyata dari surga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia.” (Roma 1:18)
Lloyd-Jones menegaskan bahwa Allah tidak hanya mencatat dosa, tetapi bereaksi terhadapnya. Murka Allah adalah ekspresi kekudusan-Nya terhadap ketidakbenaran.
Dalam khotbahnya, ia berkata:
“Injil tidak akan menjadi kabar baik sebelum kita memahami kabar buruk bahwa kita semua berada di bawah murka Allah.”
R.C. Sproul, dalam The Holiness of God, menegaskan hal yang sama:
“Masalah utama manusia bukanlah kekurangan kebahagiaan, tetapi keberadaannya di bawah murka Allah yang kudus.”
Tanpa kesadaran akan murka Allah, Injil akan direduksi menjadi sekadar terapi moral, bukan berita keselamatan.
5. Keputusasaan Manusia Tanpa Anugerah
Setelah menunjukkan kebobrokan total manusia, Lloyd-Jones mengutip Efesus 2:12:
“Tanpa Kristus, tanpa pengharapan, dan tanpa Allah di dunia.”
Ia menggambarkan keadaan manusia modern seperti kapal besar yang kehilangan kompas di tengah badai. Semua kemajuan dan prestasi tidak mampu memberikan arah atau tujuan akhir.
John Stott, dalam The Cross of Christ, menyimpulkan:
“Manusia tidak akan mencari salib sebelum ia sadar bahwa dirinya terhilang.”
Inilah yang dimaksud Lloyd-Jones dengan the plight of man — keadaan tanpa daya, tanpa arah, tanpa pengharapan, kecuali Allah sendiri yang turun tangan.
Bagian II – Kuasa Allah (The Power of God)
1. Injil: Kekuatan Allah yang Menyelamatkan
Setelah melukiskan keadaan manusia yang mengerikan, Lloyd-Jones memproklamasikan satu-satunya solusi: Injil Yesus Kristus.
Roma 1:16 menjadi teks sentral:
“Sebab aku tidak malu terhadap Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya.”
Lloyd-Jones menekankan bahwa Injil bukan sekadar nasihat moral, melainkan kekuatan supranatural yang bekerja dari Allah untuk mengubah hati manusia.
Ia berkata:
“Injil bukan saran, melainkan pengumuman; bukan ide, melainkan kuasa; bukan filosofi, melainkan tindakan Allah dalam sejarah.”
Charles Hodge, teolog Princeton, menulis dalam Commentary on Romans:
“Injil bukan hanya menginformasikan, tetapi mentransformasi, karena Roh Kudus menyertainya untuk melahirbarukan hati.”
Dalam pandangan Reformed, kuasa Injil adalah karya Roh Kudus yang memanggil manusia dari kematian rohani menjadi hidup (Yohanes 3:5–8).
2. Kedaulatan Anugerah Allah
Lloyd-Jones menolak setiap bentuk teologi yang menempatkan manusia di pusat keselamatan. Ia menegaskan bahwa keselamatan adalah inisiatif Allah sepenuhnya (monergisme).
“Manusia tidak mencari Allah; Allah yang mencari manusia.”
Ia mengutip Yohanes 6:44:
“Tidak ada seorang pun yang dapat datang kepada-Ku, jika Bapa yang mengutus Aku tidak menarik dia.”
Augustinus (yang sangat berpengaruh dalam teologi Reformed) berkata:
“Anugerah bukanlah bantuan kecil bagi kehendak manusia; ia adalah karya Allah yang membangkitkan kehendak yang mati.”
Dengan demikian, keselamatan bukan hasil keputusan manusia, tetapi tindakan kuasa Allah yang menghidupkan.
3. Salib Kristus sebagai Pusat Kuasa Allah
Bagi Lloyd-Jones, inti dari “kuasa Allah” adalah salib Kristus. Di situ, keadilan dan kasih Allah bertemu.
“Sebab firman tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan, itu adalah kekuatan Allah.” (1 Korintus 1:18)
Ia menulis:
“Kuasa terbesar bukan pada mujizat, bukan pada perubahan sosial, tetapi pada kayu salib di mana Allah menebus dosa manusia.”
John Murray, dalam Redemption Accomplished and Applied, menegaskan:
“Di salib, kuasa Allah dinyatakan bukan dengan menghancurkan manusia, tetapi dengan memuaskan keadilan dan menegakkan kasih.”
Bagi teologi Reformed, salib bukan sekadar simbol kasih, tetapi juga pembenaran objektif di mana Kristus memikul murka Allah menggantikan orang berdosa.
4. Kebangkitan: Bukti Kuasa yang Menghidupkan
Kematian Kristus menyelesaikan masalah dosa, tetapi kebangkitan-Nya menyatakan kuasa yang mengalahkan maut. Lloyd-Jones menulis:
“Kebangkitan adalah bukti bahwa kuasa Allah lebih besar dari dosa, maut, dan Iblis. Tanpa kebangkitan, salib hanyalah tragedi; dengan kebangkitan, salib menjadi kemenangan.”
Geerhardus Vos melihat kebangkitan sebagai “permulaan ciptaan baru” — tanda bahwa kuasa Allah tidak hanya mengampuni, tetapi menciptakan kembali manusia yang baru dalam Kristus (2 Korintus 5:17).
5. Pemberitaan Injil: Sarana Kuasa Allah
Lloyd-Jones sangat menekankan pentingnya khotbah yang setia kepada Firman. Ia percaya bahwa Allah menggunakan pemberitaan Injil sebagai sarana utama untuk menyatakan kuasa-Nya.
“Allah berkenan menyelamatkan mereka yang percaya oleh kebodohan pemberitaan Injil.” (1 Korintus 1:21)
Ia menolak pendekatan modern yang mencoba menggantikan khotbah dengan hiburan, retorika, atau emosi. Menurutnya:
“Ketika gereja kehilangan keyakinan pada Firman Allah, ia kehilangan kuasanya.”
Herman Ridderbos dalam The Coming of the Kingdom menulis:
“Kabar Injil bukan hanya berita; ia adalah tindakan kerajaan Allah yang sedang datang melalui Firman.”
Bagian III – Aplikasi Teologis dan Praktis
1. Pandangan Dunia Kristen yang Realistis
Teologi Lloyd-Jones memberi fondasi bagi pandangan dunia Reformed yang realistis:
-
Dunia berada dalam kerusakan total.
-
Manusia tidak dapat memperbaiki dirinya sendiri.
-
Hanya Allah yang mampu menebus.
Francis Schaeffer menulis dalam The God Who Is There:
“Kita harus menghadapi dunia dengan dua kebenaran bersamaan: kejatuhan manusia dan kasih Allah. Jika salah satunya hilang, kita kehilangan Injil.”
2. Kuasa Allah di Tengah Kelemahan
Buku ini ditulis ketika dunia berada dalam ketakutan perang, namun Lloyd-Jones mengingatkan bahwa kuasa Allah tidak pernah bergantung pada keadaan dunia.
Ia mengutip 2 Korintus 12:9:
“Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.”
Kuasa Allah bukan berarti umat-Nya bebas dari penderitaan, tetapi bahwa di tengah penderitaan itulah kuasa-Nya dinyatakan.
3. Panggilan Gereja untuk Kembali kepada Injil
Lloyd-Jones melihat kemunduran gereja disebabkan karena ia telah kehilangan kepercayaannya pada Injil yang berkuasa. Gereja mulai menggantikan khotbah dengan aktivitas sosial dan politik.
Ia berkata:
“Ketika gereja berhenti berbicara tentang dosa, salib, dan pertobatan, ia berhenti menjadi gereja.”
Bagi Lloyd-Jones, reformasi sejati bukan dimulai dari struktur organisasi, tetapi dari pemberitaan Injil murni yang mengubah hati manusia.
4. Kehidupan Baru dalam Kuasa Roh Kudus
Kuasa Allah tidak berhenti di salib dan kebangkitan, tetapi diterapkan dalam kehidupan orang percaya melalui Roh Kudus.
“Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu.” (Kisah Para Rasul 1:8)
Lloyd-Jones menegaskan bahwa kehidupan Kristen sejati bukan moralitas buatan, tetapi hasil regenerasi Roh Kudus.
Herman Bavinck berkata:
“Roh Kudus adalah aplikasi kuasa penebusan Kristus dalam hati manusia.”
Kuasa Roh mengubah hati, memperbarui pikiran, dan memampukan orang percaya hidup kudus di tengah dunia yang rusak.
5. Harapan Eskatologis: Allah Akan Menyelesaikan Segala Sesuatu
Akhir dari “kuasa Allah” adalah kemenangan penuh dalam kedatangan Kristus kedua kali. Dunia ini akan dipulihkan sepenuhnya, bukan oleh usaha manusia, tetapi oleh tindakan Allah sendiri.
Anthony Hoekema, dalam The Bible and the Future, menulis:
“Sejarah bukan siklus tanpa arah; ia bergerak menuju puncak dalam pemerintahan kekal Kristus.”
Lloyd-Jones menegaskan bahwa pengharapan Kristen bukan utopia duniawi, tetapi pengharapan pada langit dan bumi baru, di mana dosa dan maut akan dihapus selamanya.
Kesimpulan: Hanya Kuasa Allah yang Dapat Menyelamatkan Dunia
Melalui The Plight of Man and the Power of God, Martyn Lloyd-Jones memberikan diagnosis yang jujur dan pengobatan yang ilahi bagi manusia modern:
-
Diagnosis: manusia sepenuhnya rusak, terpisah dari Allah, dan berada di bawah murka-Nya.
-
Obat: hanya Injil Kristus yang berkuasa untuk membangkitkan yang mati dan memperdamaikan manusia dengan Allah.
Inilah inti teologi Reformed:
-
Keselamatan berasal dari Allah (sola gratia),
-
Melalui iman kepada Kristus (sola fide),
-
Berdasarkan karya salib-Nya (solus Christus),
-
Dinyatakan oleh Firman (sola Scriptura),
-
Demi kemuliaan Allah saja (soli Deo gloria).
Lloyd-Jones menutup serangkaian khotbahnya dengan seruan ini:
“Tidak ada harapan bagi manusia kecuali kuasa Allah yang dinyatakan dalam Injil. Dunia ini tidak dapat diselamatkan oleh manusia, tetapi hanya oleh Allah yang menjadi manusia di dalam Yesus Kristus.”