Kejadian 9:20: Nuh, Anggur, dan Makna Anugerah Setelah Banjir

Kejadian 9:20: Nuh, Anggur, dan Makna Anugerah Setelah Banjir

Pendahuluan: Dari Penyelamatan ke Permulaan Baru

Kejadian 9:20 adalah ayat sederhana secara tekstual, tetapi sarat makna teologis. Setelah kisah besar tentang air bah dan penyelamatan keluarga Nuh, narasi ini menandai permulaan baru bagi manusia. Nuh, yang sebelumnya dikenal sebagai “orang benar di antara orang sezamannya” (Kejadian 6:9), kini muncul dalam peran baru sebagai petani—seorang penggarap tanah.

Ayat ini seolah menandai bahwa setelah penyelamatan besar, kehidupan harus dilanjutkan. Dunia pasca-banjir bukanlah akhir, tetapi awal dari suatu tatanan ciptaan yang diperbarui oleh Allah. Namun, kisah berikutnya (Kejadian 9:21–27) menunjukkan sisi lain dari kemanusiaan yang tetap rapuh—bahwa dosa tetap ada bahkan setelah penghukuman ilahi berlalu.

Dengan demikian, Kejadian 9:20 bukan sekadar catatan agraris, tetapi jendela teologis untuk memahami sifat manusia, anugerah Allah, dan hubungan antara pekerjaan, dosa, dan penebusan.

Konteks Naratif: Setelah Air Bah

Sebelum ayat ini, Allah membuat perjanjian dengan Nuh (Kejadian 9:8–17), yang dikenal sebagai Perjanjian Nuhik. Perjanjian ini menandai komitmen Allah untuk tidak lagi memusnahkan bumi dengan air, dan pelangi dijadikan tanda pengingat kasih setia-Nya.

Dengan latar belakang itu, ayat 20 menampilkan Nuh yang kini memulai kembali kehidupan. Dunia telah berubah, dan manusia diundang untuk mengelola ciptaan dengan tanggung jawab yang diperbarui.

Namun, ironi segera muncul: Nuh, yang diselamatkan karena ketaatannya, akan segera diperlihatkan sebagai manusia berdosa (Kejadian 9:21). Kisah ini bukan untuk merendahkan Nuh, melainkan untuk menegaskan bahwa penyelamatan Allah tidak bergantung pada kesempurnaan manusia, tetapi pada kasih karunia-Nya.

Teks dan Analisis Eksegetis

1. “Nuh menjadi petani…”

Kata “petani” dalam bahasa Ibrani berasal dari ’ish ha’adamah (אִישׁ הָאֲדָמָה), yang secara harfiah berarti “orang tanah.” Ini adalah ungkapan yang mengingatkan kita pada Adam, yang juga disebut ’adam min ha’adamah — manusia dari tanah (Kejadian 2:7).

Dengan demikian, Nuh tampil sebagai “Adam baru,” pelanjut misi pengelolaan bumi setelah penciptaan kembali dunia melalui air bah.

John Calvin, dalam komentarnya atas Kejadian, menulis:

“Nuh menjadi petani bukan karena kejatuhan, tetapi karena panggilan ilahi untuk bekerja. Pekerjaan di tanah bukanlah kutuk, melainkan bagian dari panggilan manusia untuk mencerminkan gambar Allah dalam pengelolaan ciptaan.” (Commentary on Genesis, 1554).

Calvin melihat pekerjaan sebagai aspek penting dari ketaatan manusia pasca-penebusan. Dengan demikian, tindakan Nuh mencerminkan keberlanjutan mandat budaya yang diberikan Allah kepada Adam (Kejadian 1:28).

Dalam teologi Reformed, ini terkait dengan konsep vocatio — panggilan hidup sebagai bentuk ibadah. Pekerjaan petani, pengrajin, atau ilmuwan sama-sama merupakan bentuk pelayanan kepada Allah jika dilakukan dengan hati yang takut akan Dia.

2. “…dan mulai menggarap kebun anggur.”

Frasa ini menggambarkan langkah awal Nuh dalam mengelola hasil bumi. Kebun anggur (kerem) memiliki makna simbolis yang kaya dalam Alkitab. Dalam banyak bagian, anggur melambangkan sukacita, berkat, dan kelimpahan Allah (Mazmur 104:15; Yesaya 55:1).

Namun, dalam kisah ini, kebun anggur juga menjadi panggung bagi kelemahan manusia (ayat 21). Dengan demikian, anggur memiliki dua sisi: berkat yang dapat menjadi batu sandungan bila disalahgunakan.

Matthew Henry menafsirkan bagian ini dengan bijak:

“Nuh menanam kebun anggur dengan niat baik, tetapi dosa masuk bukan dari pekerjaan, melainkan dari penyalahgunaan hasil pekerjaan itu.” (Commentary on the Whole Bible, 1710).

Henry mengingatkan bahwa pekerjaan manusia tidak berdosa, tetapi hasilnya dapat menjadi alat pencobaan bila tidak dijaga dalam takut akan Tuhan.

Dalam teologi Reformed, hal ini sejalan dengan pandangan bahwa setiap ciptaan Allah adalah baik (1 Timotius 4:4), namun dapat diselewengkan oleh dosa manusia.

Kebun Anggur: Simbol Anugerah dan Bahaya

1. Kebun Anggur sebagai Tanda Restorasi

Menanam kebun anggur memerlukan waktu dan kesabaran. Tindakan ini menunjukkan bahwa Nuh beriman bahwa dunia akan berlanjut—ia menanam untuk masa depan.

Herman Bavinck dalam Reformed Dogmatics menulis:

“Setiap kali manusia menanam dan membangun, ia sedang mengakui janji Allah bahwa dunia ini tidak akan binasa begitu saja. Dalam tindakan sederhana seperti menanam, ada iman kepada pemeliharaan Allah.”

Dengan demikian, Nuh sedang menegaskan kepercayaannya pada janji Allah dalam perjanjian Nuhik. Ia percaya bahwa bumi tidak lagi akan diliputi oleh murka, dan karena itu ia dapat bekerja dalam damai.

2. Kebun Anggur sebagai Cermin Kerapuhan

Namun, kebun yang sama menjadi tempat kejatuhan Nuh. Ketika ia meminum hasil kebunnya dan menjadi mabuk (ayat 21), kisah ini mengingatkan kita bahwa dosa tidak pernah hilang, bahkan setelah hukuman besar.

Augustinus, yang pemikirannya banyak memengaruhi teologi Reformed, menulis dalam City of God:

“Banjir air tidak dapat membasuh dosa dari hati manusia. Hanya darah Kristus yang dapat melakukannya.”

Dengan kata lain, walaupun Nuh hidup dalam perjanjian anugerah, ia tetap manusia yang berdosa. Dosa tidak disapu bersih oleh air, tetapi hanya oleh penebusan Kristus yang dijanjikan sejak Kejadian 3:15.

Makna Teologis: Nuh sebagai Gambar Kristus dan Adam Baru

1. Nuh dan Adam: Pararel Ciptaan Ulang

Nuh, seperti Adam, adalah “kepala” dari umat manusia baru. Keduanya memulai kehidupan di bumi yang baru dan keduanya jatuh dalam konteks tanaman.

  • Adam jatuh karena buah pohon pengetahuan (Kejadian 3:6).

  • Nuh jatuh karena buah dari pohon anggur (Kejadian 9:21).

Dalam hal ini, narasi Nuh menggemakan realitas bahwa kejatuhan manusia bersifat berulang dan universal. Namun, ada juga kontras yang menunjukkan rahmat Allah: jika Adam diusir dari taman, Nuh diberi janji bahwa dunia ini tidak akan lagi dimusnahkan.

2. Nuh sebagai Bayangan Kristus

Dalam perspektif typology Reformed, Nuh adalah gambaran Kristus—penyelamat keluarga manusia melalui air (1 Petrus 3:20–21). Namun, perbedaannya adalah bahwa Kristus tidak jatuh.

Geerhardus Vos, seorang teolog Reformed klasik, menyatakan:

“Nuh adalah tipe Kristus dalam hal penyelamatan melalui penghakiman; tetapi Kristus melampaui Nuh karena Ia tidak membawa dosa, melainkan menanggung dosa dunia.” (Biblical Theology, 1948).

Dengan demikian, kisah Kejadian 9:20–27 bukan sekadar tragedi, tetapi juga panggilan untuk menantikan Penebus sejati yang sempurna.

Analisis Teologis Reformed: Pekerjaan, Dosa, dan Anugerah

1. Teologi Pekerjaan (Doctrine of Vocation)

Dalam pandangan Reformed, pekerjaan adalah sarana untuk memuliakan Allah (Coram Deo—hidup di hadapan Allah).

Abraham Kuyper menulis:

“Tidak ada satu inci pun di dunia ini di mana Kristus tidak berkata: ‘Itu milik-Ku.’”

Pekerjaan Nuh sebagai petani menunjukkan bahwa setiap bidang kehidupan berada di bawah pemerintahan Kristus. Dunia pasca-banjir bukan dunia sekuler, melainkan arena penyembahan.

Namun, pekerjaan itu sendiri tidak imun dari dosa. Kejatuhan Nuh menunjukkan bahwa bahkan dalam konteks panggilan yang kudus, manusia tetap membutuhkan anugerah pemeliharaan Allah setiap saat.

2. Dosa yang Tetap Ada Setelah Penghakiman

Salah satu pesan teologis utama dari peristiwa ini adalah bahwa dosa tetap hadir bahkan setelah penghakiman ilahi.

Cornelius Van Til menjelaskan bahwa:

“Air bah adalah penghakiman terhadap dosa, tetapi bukan solusi akhir bagi dosa. Allah menunjukkan bahwa natur manusia tetap memerlukan anugerah khusus, bukan hanya anugerah umum.”

Ini berarti perjanjian Nuhik adalah bentuk anugerah umum (common grace), di mana Allah menahan murka-Nya agar dunia dapat bertahan dan manusia dapat bekerja. Namun, keselamatan pribadi hanya datang melalui anugerah khusus (special grace) di dalam Kristus.

3. Anugerah Umum dan Kebudayaan

Kejadian 9:20 juga menjadi dasar bagi konsep cultural mandate dalam teologi Reformed—bahwa manusia dipanggil untuk mengembangkan budaya, teknologi, dan seni dalam konteks kedaulatan Allah.

Herman Dooyeweerd, filsuf Reformed Belanda, menulis bahwa “kebun anggur Nuh adalah simbol pertama dari kebudayaan pasca-penghakiman. Itu adalah awal dari peradaban yang Allah pelihara dalam rahmat-Nya.”

Namun, kebudayaan yang tidak ditopang oleh takut akan Tuhan akan jatuh ke dalam penyalahgunaan, sebagaimana Nuh jatuh dalam mabuk. Maka, setiap usaha budaya harus diarahkan kepada kemuliaan Allah, bukan kesenangan diri.

Refleksi Kristologis dan Eschatologis

1. Dari Anggur Nuh ke Anggur Perjamuan Kudus

Menarik bahwa Alkitab sering mengaitkan anggur dengan perjanjian. Nuh menanam kebun anggur setelah perjanjian Nuhik; Yesus menggunakan anggur dalam Perjamuan Kudus sebagai simbol darah perjanjian baru (Lukas 22:20).

Dengan demikian, kisah Nuh menjadi bayangan jauh dari karya Kristus:

  • Nuh menanam anggur di bumi baru setelah air bah.

  • Kristus memberikan anggur sebagai tanda kehidupan baru setelah kebangkitan.

Jonathan Edwards mengaitkan simbol ini dengan keindahan Injil:

“Apa yang Nuh lakukan secara jasmani, Kristus genapi secara rohani: Ia menanam kebun anggur anugerah, dan dari buahnya kita minum sukacita keselamatan.” (The History of Redemption, 1773).

2. Harapan Eskatologis: Dunia yang Ditebus

Kejadian 9:20 menunjukkan bahwa Allah tidak meninggalkan dunia yang telah dihukum. Ia memperbaruinya dan memanggil manusia untuk mengelolanya. Ini adalah benih dari pengharapan eskatologis: dunia yang akan ditebus sepenuhnya di dalam Kristus.

Anthony Hoekema, dalam The Bible and the Future, menulis:

“Kebun anggur Nuh adalah simbol kecil dari dunia yang dipulihkan. Allah tidak akan membuang ciptaan-Nya, tetapi memperbaruinya dalam langit dan bumi baru.”

Aplikasi Praktis untuk Orang Percaya Masa Kini

  1. Bekerjalah sebagai bentuk ibadah.
    Seperti Nuh, setiap orang percaya dipanggil untuk menggarap “tanah” yang dipercayakan Allah dengan iman dan ketaatan. Pekerjaan bukan sekadar ekonomi, tetapi ekspresi penyembahan.

  2. Nikmatilah berkat dunia dengan hati yang waspada.
    Anggur melambangkan berkat, tetapi juga mengingatkan bahwa setiap berkat dapat menjadi ujian. Kita harus menikmati anugerah dengan penuh syukur, tanpa melupakan sumbernya.

  3. Jangan heran bahwa dosa tetap hadir.
    Dunia setelah penghakiman pun masih berdosa. Ini mengingatkan kita untuk selalu bergantung pada anugerah Kristus, bukan pada kekuatan moral atau sejarah.

  4. Bangunlah kebudayaan yang memuliakan Kristus.
    Seperti Nuh menanam kebun, orang percaya dipanggil untuk menanam nilai-nilai kerajaan Allah dalam pekerjaan, pendidikan, seni, dan masyarakat.

Kesimpulan

Kejadian 9:20 tampak sederhana, namun menjadi pintu menuju pemahaman mendalam tentang karya Allah dalam sejarah manusia. Dalam satu kalimat pendek, kita melihat:

  • Mandat budaya yang diperbarui,

  • Dosa yang tetap membayangi, dan

  • Anugerah Allah yang memelihara dunia.

Bagi teologi Reformed, ayat ini adalah contoh indah bagaimana anugerah umum dan khusus Allah bekerja bersamaan: dunia tetap bertahan karena janji Allah, dan manusia dipanggil untuk bekerja dalam terang kasih karunia.

Nuh, sang petani pertama dunia baru, menunjukkan kepada kita bahwa pekerjaan manusia adalah panggilan kudus. Namun, kisah selanjutnya mengingatkan kita bahwa hanya melalui Kristus—Sang Adam terakhir—kita dapat benar-benar menggarap dunia ini tanpa dosa menguasai kita.

Next Post Previous Post