Kejadian 9:28–29: Akhir dari Seorang yang Dibenarkan

“Setelah air bah, Nuh masih hidup 350 tahun lagi.
Jadi, seluruh masa hidup Nuh adalah 950 tahun, kemudian dia mati.”
(Kejadian 9:28–29, AYT)
Pendahuluan: Dua Kalimat yang Mengandung Sejarah Keselamatan
Kedua ayat ini tampak sederhana — hanya mencatat sisa umur Nuh dan fakta kematiannya. Namun, dalam kesederhanaan naratif itu, tersimpan makna teologis yang dalam. Ayat ini bukan sekadar catatan genealogis, melainkan penutup sebuah era besar dalam sejarah penyelamatan.
Kisah hidup Nuh adalah jembatan antara dunia sebelum air bah (antideluvian) dan dunia setelah air bah (postdiluvian). Ia menjadi saksi transisi besar dari penghakiman universal menuju pembaharuan ciptaan melalui perjanjian kasih karunia Allah.
Kejadian 9:28–29 menunjukkan tiga hal penting dalam teologi Reformed:
-
Kedaulatan dan kesetiaan Allah dalam menopang umat pilihan-Nya,
-
Keterbatasan manusia bahkan yang saleh, dan
-
Kepastian kematian sebagai bagian dari kondisi manusia yang menantikan penebusan sempurna dalam Kristus.
I. Nuh: Manusia yang Dibenarkan oleh Iman
Sebelum kita menelusuri dua ayat terakhir ini, kita perlu kembali melihat siapa Nuh di dalam rencana Allah.
Dalam Kejadian 6:9, Nuh digambarkan:
“Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; Nuh hidup bergaul dengan Allah.”
1. Kebenaran yang berasal dari iman
Kata “benar” (tsaddiq) di sini tidak berarti sempurna tanpa dosa, tetapi menunjuk kepada status kebenaran yang diberikan oleh Allah karena iman.
Hal ini ditegaskan dalam Ibrani 11:7:
“Karena iman, maka Nuh—dengan petunjuk Allah tentang hal-hal yang belum kelihatan—dilakukannya dengan taat dan dengan demikian ia menjadi ahli waris kebenaran yang sesuai dengan iman.”
John Calvin menulis:
“Nuh dibenarkan bukan karena pekerjaan jasmani, tetapi karena imannya kepada janji Allah. Ia menjadi contoh pertama tentang pembenaran oleh iman yang kemudian dijelaskan dalam Injil.”
Dengan demikian, sejak permulaan Alkitab, kita melihat benih doktrin sola fide (hanya oleh iman) yang menjadi pusat teologi Reformed.
II. “Setelah air bah, Nuh masih hidup 350 tahun lagi” – Kesetiaan Allah yang Berkelanjutan
1. Kasih karunia yang menopang setelah penghakiman
Peristiwa air bah adalah penghakiman besar Allah atas dunia yang rusak oleh dosa (Kejadian 6:5–7). Namun, Allah menyelamatkan Nuh dan keluarganya melalui bahtera — simbol kasih karunia di tengah murka.
Fakta bahwa Nuh masih hidup 350 tahun setelah air bah menunjukkan bahwa Allah bukan hanya menyelamatkan dia dari air bah, tetapi juga memelihara hidupnya dengan kasih karunia yang berkelanjutan.
Charles Spurgeon menulis:
“Anugerah yang menyelamatkan kita dari murka hanyalah permulaan. Allah yang sama akan menjaga kita dalam perjalanan panjang sesudahnya, sebagaimana Ia menjaga Nuh setelah air bah.”
Kehidupan pasca-air bah tidak mudah. Dunia baru masih memikul akibat kutukan dosa (Kejadian 9:20–27). Namun, Allah yang setia tidak meninggalkan hamba-Nya.
2. Hidup panjang sebagai tanda kesabaran Allah
Hidup Nuh selama 950 tahun adalah tanda kesabaran Allah terhadap manusia.
Sebelum air bah, Allah menunda hukuman selama 120 tahun (Kejadian 6:3), dan sesudah air bah, Ia memperpanjang usia manusia untuk menggenapi rencana perjanjian-Nya.
Herman Bavinck menjelaskan:
“Usia panjang para patriark bukan kebetulan biologis, melainkan simbol dari kesabaran dan kemurahan Allah yang menopang umat manusia dalam masa persiapan menuju kedatangan Mesias.”
Melalui kehidupan panjang Nuh, Allah menjaga keberlangsungan garis keturunan yang kelak akan membawa kepada Abraham, Daud, dan akhirnya Kristus.
III. “Seluruh masa hidup Nuh adalah 950 tahun” – Hidup di bawah perjanjian kasih karunia
1. Perjanjian yang ditegakkan (Kejadian 9:8–17)
Sebelum ayat 28–29, Allah telah menegakkan perjanjian-Nya dengan Nuh dan seluruh ciptaan:
“Aku menegakkan perjanjian-Ku dengan kamu, bahwa tidak ada lagi yang akan dimusnahkan oleh air bah.” (Kejadian 9:11)
Ini adalah perjanjian kasih karunia umum (covenant of preservation), bukan perjanjian keselamatan pribadi, tetapi jaminan bahwa dunia akan tetap dipelihara untuk menggenapi rencana penebusan Allah.
Geerhardus Vos menulis:
“Pelangi di langit adalah tanda bukan hanya bagi manusia, tetapi bagi Allah sendiri — bahwa Ia berkomitmen menjaga tatanan ciptaan sampai penebusan sempurna datang melalui Kristus.”
Seluruh hidup Nuh berada di bawah terang pelangi perjanjian itu. Hidupnya menjadi saksi bahwa Allah setia pada janji-Nya meskipun manusia tetap berdosa.
2. Hidup panjang bukan jaminan kekudusan
Namun, panjangnya umur Nuh tidak menandakan kesempurnaan moral.
Dalam Kejadian 9:20–21, Nuh jatuh dalam kelemahan — ia mabuk karena hasil kebun anggurnya.
Momen ini menunjukkan bahwa bahkan orang yang dibenarkan pun tetap rentan terhadap dosa.
John Owen menulis:
“Kisah Nuh mengingatkan kita bahwa orang benar pun harus terus-menerus mematikan dosa. Pembenaran bukan akhir, tetapi awal dari peperangan rohani.”
Hidup panjang memberi lebih banyak waktu untuk bersyukur, tetapi juga lebih banyak kesempatan untuk diuji. Nuh, seperti semua orang percaya, hidup hanya karena anugerah Allah yang menopang.
IV. “Kemudian dia mati” – Kesudahan yang pasti bagi setiap manusia
1. Kematian: upah dosa yang tetap berlaku
Meskipun Nuh hidup dalam kasih karunia, ia tetap mengalami kematian.
Ini menunjukkan bahwa akibat dosa Adam masih bekerja dalam seluruh umat manusia (Roma 5:12).
Tidak ada satu pun manusia, bahkan yang paling saleh, yang dapat menghindari hukum kematian kecuali Kristus sendiri.
John Calvin menulis:
“Kematian Nuh adalah kesaksian bahwa pembenaran tidak menghapus kondisi kematian tubuh. Allah belum meniadakan maut, tetapi menundukkannya di bawah kasih karunia agar tidak lagi menjadi hukuman kekal.”
2. Kematian orang benar berbeda dari orang fasik
Dalam teologi Reformed, kematian orang benar bukanlah kutukan, melainkan pintu menuju persekutuan sempurna dengan Allah.
Nuh “mati” (Ibrani: wayamot) — kata yang sederhana namun penuh makna. Ia tidak “dihapus” atau “dilenyapkan”, tetapi meninggalkan dunia dengan damai, dalam iman.
Spurgeon berkata:
“Kematian orang percaya adalah tidur yang tenang di dalam kasih Allah, bukan hukuman, tetapi perhentian dari perjuangan.”
3. Hidup 950 tahun, tetapi tetap fana
Nuh hidup lama, tetapi tetap mati.
Ini adalah simbol bahwa kehidupan duniawi, betapapun panjangnya, tidak kekal.
R.C. Sproul menulis:
“Tidak ada perpanjangan usia yang dapat menggantikan kehidupan kekal. Hidup 900 tahun tanpa Kristus tetap berakhir dengan kematian kekal. Namun hidup yang singkat dalam Kristus berarti kehidupan abadi.”
Dengan demikian, ayat 29 bukan hanya catatan akhir tentang usia, tetapi pengingat teologis bahwa semua manusia harus mati — dan hanya Injil yang memberi pengharapan setelah kematian.
V. Makna Tipologis: Nuh dan Kristus
Dalam seluruh Alkitab, Nuh sering dilihat sebagai tipe (bayangan) Kristus.
1. Nuh sebagai penyelamat melalui bahtera
Seperti Nuh menyelamatkan keluarganya melalui bahtera, demikian juga Kristus menyelamatkan umat-Nya melalui salib.
1 Petrus 3:20–21 menghubungkan langsung air bah dengan baptisan Kristen:
“... di dalam bahtera hanya sedikit, yaitu delapan orang, yang diselamatkan melalui air. Hal itu melambangkan baptisan yang menyelamatkan kamu sekarang.”
Bagi teologi Reformed, ini menunjukkan kesatuan sejarah keselamatan: dari Nuh ke Kristus, dari bahtera ke salib, dari air bah ke air baptisan.
2. Nuh sebagai pembawa perjanjian baru
Nuh menerima perjanjian kasih karunia yang bersifat umum, tetapi Kristus membawa perjanjian yang sempurna dan kekal.
Pelangi Nuh menjadi tanda belas kasihan sementara; darah Kristus menjadi tanda penebusan kekal.
Herman Bavinck menulis:
“Setiap perjanjian dalam Perjanjian Lama mengarah kepada perjanjian terakhir dan sempurna dalam Kristus. Nuh berdiri sebagai saksi bahwa Allah tidak akan membiarkan ciptaan-Nya binasa, dan Kristus datang sebagai jaminan bahwa Allah juga tidak akan membiarkan umat pilihan-Nya binasa.”
VI. Pelajaran Teologis dari Hidup dan Kematian Nuh
1. Allah setia bahkan setelah penghakiman
Nuh hidup ratusan tahun setelah air bah — ini bukti bahwa penghakiman bukan akhir dari cerita.
Dalam teologi Reformed, ini melambangkan prinsip bahwa penghakiman Allah selalu diikuti oleh pemulihan kasih karunia bagi umat-Nya.
Yesaya 54:9 bahkan menggunakan perjanjian Nuh untuk menegaskan kesetiaan Allah:
“Seperti pada zaman Nuh, Aku bersumpah tidak akan lagi menimpa bumi dengan air bah, demikianlah Aku bersumpah tidak akan murka terhadapmu.”
2. Kesalehan tidak menghapus kelemahan manusia
Nuh, orang benar, jatuh dalam dosa mabuk.
Ini mengingatkan bahwa doktrin pembenaran tidak berarti dosa kita berhenti, tetapi bahwa dosa kita ditutupi oleh kebenaran Kristus.
John Owen menegaskan:
“Orang benar bukan orang tanpa dosa, tetapi orang yang bergantung sepenuhnya pada Kristus di tengah kelemahannya.”
3. Kematian sebagai bagian dari rencana Allah
Kematian bukan kekalahan, melainkan bagian dari ordo salutis (tatanan keselamatan) menuju kemuliaan.
Dalam Reformed theology, kematian adalah “the last enemy” (musuh terakhir) yang telah dikalahkan oleh Kristus, tetapi masih harus dilalui oleh setiap orang percaya.
1 Korintus 15:26:
“Musuh terakhir yang dibinasakan ialah maut.”
VII. Refleksi Historis dan Eskatologis
1. Akhir era antediluvian dan awal era baru
Dengan kematian Nuh, berakhir sudah generasi yang mengalami dunia sebelum air bah. Ia menjadi saksi terakhir dari zaman lama dan saksi pertama dari janji baru.
Dalam hal ini, Nuh berdiri sebagai figur transisional, seperti Musa di antara Mesir dan Tanah Perjanjian, atau Yohanes Pembaptis antara Perjanjian Lama dan Baru.
Geerhardus Vos melihat ini sebagai “momentum redemptive-historical” — momen sejarah penebusan yang menandai perubahan besar dalam cara Allah bekerja dalam dunia.
2. Penantian terhadap Sang Benih Perempuan
Nuh hidup dan mati tanpa melihat penggenapan janji Allah dalam Kejadian 3:15.
Namun, melalui keturunannya, terutama melalui garis Sem, janji itu terus mengalir sampai kepada Yesus Kristus.
Dengan demikian, kematian Nuh bukan akhir, tetapi rantai dalam garis penebusan yang tidak terputus.
3. Simbol bagi orang percaya masa kini
Bagi gereja Reformed, hidup Nuh melambangkan perjalanan iman kita:
-
Diselamatkan oleh kasih karunia,
-
Dipanggil hidup kudus,
-
Diuji dalam kelemahan,
-
Dan akhirnya meninggal dalam pengharapan kebangkitan.
VIII. Pandangan Para Teolog Reformed
John Calvin
“Dalam hidup panjang Nuh, kita melihat kesabaran Allah; dalam kematiannya, kita melihat kelemahan manusia. Namun dalam keduanya, Allah dimuliakan.”
Charles Spurgeon
“Anugerah yang menjaga Nuh di atas air bah juga yang menuntun dia di tanah kering. Tuhan yang sama yang menyelamatkan kita juga yang akan menutup mata kita dalam damai.”
Herman Bavinck
“Nuh adalah titik peralihan dari dunia lama ke dunia baru. Dalam dirinya, Allah memperlihatkan bahwa kasih karunia-Nya tidak pernah gagal bahkan ketika dunia dihakimi.”
John Owen
“Kisah Nuh mengingatkan kita bahwa orang benar tetap harus berperang melawan dosa sampai mati; kemenangan sejati hanya ada di dalam Kristus.”
R.C. Sproul
“Fakta bahwa Nuh mati menunjukkan bahwa keselamatan bukan diukur dari panjangnya hidup, tetapi dari hubungan kita dengan Allah yang kekal.”
IX. Aplikasi bagi Gereja Masa Kini
-
Ingatlah kesetiaan Allah dalam setiap musim hidup.
Seperti Allah menjaga Nuh 350 tahun setelah badai, Ia juga memelihara kita setelah badai rohani dalam hidup kita. -
Hargai setiap hari sebagai anugerah.
Hidup panjang atau pendek sama-sama kesempatan untuk memuliakan Allah. -
Jangan menaruh pengharapan pada panjang umur, tetapi pada kehidupan kekal.
Hidup 950 tahun tetap berakhir. Tetapi hidup dalam Kristus berarti tidak pernah mati (Yoh. 11:26). -
Teruslah beriman meski tidak melihat janji secara penuh.
Nuh mati tanpa melihat Mesias, namun imannya tidak sia-sia. Kita hidup dalam terang yang lebih penuh karena Kristus telah datang.
Penutup: Nuh Mati, Tapi Kasih Karunia Hidup Selamanya
“Jadi, seluruh masa hidup Nuh adalah 950 tahun, kemudian dia mati.” (Kej. 9:29)
Dua kalimat yang menutup kisah panjang seorang hamba Allah, tetapi juga membuka babak baru dalam sejarah kasih karunia.
Nuh telah pergi, tetapi Allah yang memanggilnya tetap sama — setia dari generasi ke generasi.
Kisah ini menegaskan bahwa kehidupan yang benar bukan diukur dari lamanya umur, tetapi dari kesetiaan kepada Allah yang berdaulat.
Dan kematian orang benar bukan akhir, melainkan pintu menuju kehidupan kekal di hadapan Sang Pemberi hidup.
Soli Deo Gloria.