Keluaran 5:22–23 - Ketika Janji Allah Tampak Tertunda

I. Pendahuluan: Krisis Iman di Tengah Panggilan
Setelah Musa dengan penuh ketaatan datang ke Mesir untuk melaksanakan perintah Allah membebaskan umat-Nya, yang terjadi justru kebalikan dari harapannya. Alih-alih pembebasan, penindasan atas bangsa Israel malah semakin berat. Firaun menolak tuntutan Musa dan menambah beban kerja bangsa itu dengan keras. Akibatnya, para tua-tua Israel mengeluh dan menyalahkan Musa.
Keluaran 5:22–23 mencatat momen paling jujur dari pergumulan iman Musa:
“Setelah itu, Musa kembali kepada TUHAN dan berkata, ‘Oh, TUHAN, mengapa Engkau melakukan hal yang jahat kepada bangsa ini? Mengapa pula Engkau mengutusku? Karena sejak aku menghadap Firaun untuk berbicara atas nama-Mu, dia telah berlaku jahat terhadap bangsa ini dan Engkau tidak melepaskan bangsa ini sama sekali.’” (AYT)
Ini adalah keluhan iman yang lahir dari keputusasaan rohani. Musa, yang sebelumnya penuh semangat karena janji pembebasan, kini bingung dan kecewa. Ia seolah-olah tidak mengerti jalan Tuhan yang tampak bertolak belakang dengan janji-Nya sendiri.
Namun justru dalam ayat-ayat ini, kita melihat teologi penderitaan dan penantian yang dalam — bahwa Allah seringkali menunda pembebasan bukan karena Ia lalai, melainkan karena Ia sedang menyiapkan sesuatu yang lebih besar: penyataan kemuliaan-Nya.
II. Teks dan Konteks Historis
A. Konteks Langsung
Keluaran 5 terjadi setelah Musa dan Harun pertama kali menghadap Firaun untuk menyampaikan pesan Tuhan: “Biarkanlah umat-Ku pergi supaya mereka mengadakan perayaan bagi-Ku di padang gurun.”
Namun Firaun menolak mentah-mentah dan malah menyuruh bangsa Israel bekerja lebih keras tanpa diberi jerami.
Respon ini membuat umat Allah menderita lebih parah, dan harapan mereka yang sempat muncul lewat Musa langsung padam. Ketika para tua-tua menegur Musa, ia merasa gagal total. Lalu Musa kembali kepada Tuhan, bukan dalam doa pujian, melainkan dalam pergumulan.
B. Latar Historis
Bangsa Israel telah 400 tahun diperbudak di Mesir (Kejadian 15:13). Musa diutus untuk menjadi alat pembebasan. Namun sebelum pembebasan itu tergenapi, Allah mengizinkan situasi memburuk. Dalam logika manusia, ini kontradiktif — tetapi dalam logika ilahi, penderitaan adalah jalan menuju penyataan kuasa.
Seperti yang akan terlihat dalam pasal-pasal berikutnya, kegagalan sementara ini merupakan tahap pertama dari drama penebusan besar yang akan memuliakan nama Tuhan melalui tulah-tulah dan keluaran besar dari Mesir.
III. Eksposisi Ayat demi Ayat
A. Keluaran 5:22 – Keluhan Musa kepada Allah
“Oh, TUHAN, mengapa Engkau melakukan hal yang jahat kepada bangsa ini? Mengapa pula Engkau mengutusku?”
Perhatikan dua pertanyaan Musa yang sangat manusiawi:
-
“Mengapa Engkau melakukan hal yang jahat?”
-
“Mengapa Engkau mengutusku?”
Ini adalah keluhan seorang hamba Tuhan yang jujur. Ia tidak sedang memberontak, tetapi bingung melihat paradoks antara janji Allah dan realitas penderitaan.
John Calvin menulis:
“Kata-kata Musa bukanlah bentuk pemberontakan, melainkan bukti bahwa imannya sedang berjuang melawan ketidakmengertian. Iman sejati bukan tanpa pertanyaan, tetapi tetap berpegang kepada Allah bahkan saat tidak mengerti jalan-Nya.”
(Commentary on Exodus 5:22)
Bagi Calvin, keluhan ini mencerminkan “iman yang sedang diuji,” bukan iman yang hilang. Musa datang kembali kepada Tuhan — artinya, meski keluhannya keras, ia tetap membawa semua kebingungannya kepada Allah, bukan kepada manusia.
B. Keluaran 5:23 – Kekecewaan atas Janji yang Tampak Gagal
“Karena sejak aku menghadap Firaun untuk berbicara atas nama-Mu, dia telah berlaku jahat terhadap bangsa ini dan Engkau tidak melepaskan bangsa ini sama sekali.”
Musa mengeluh bahwa hasil pelayanan pertamanya malah berbalik menjadi kutuk. Ia mengharapkan pembebasan cepat, tetapi justru penderitaan meningkat.
Secara teologis, ini menyingkapkan bahwa iman yang sejati sering kali diuji melalui penundaan janji Allah.
Matthew Henry memberi komentar klasik:
“Tuhan terkadang menunda pembebasan agar iman umat-Nya dimurnikan. Ia sering kali membiarkan kesulitan bertambah sebelum campur tangan-Nya supaya karya keselamatan-Nya lebih jelas nyata.”
(Matthew Henry’s Commentary on Exodus 5)
Musa belajar bahwa panggilan Allah tidak menjamin jalan mulus, tetapi menuntut kesetiaan bahkan saat hasil belum terlihat.
IV. Makna Teologis dalam Terang Teologi Reformed
1. Allah Berdaulat di Atas Penderitaan
Dalam narasi ini, tampak bahwa Allah bukan sekadar penonton. Ia memperkeras hati Firaun (Kel. 4:21; 7:3) sebagai bagian dari rencana besar-Nya. Apa yang tampak sebagai keterlambatan atau kegagalan justru adalah penggenapan rencana ilahi.
John Calvin menegaskan:
“Tidak ada penderitaan yang terjadi di luar tangan Allah. Bahkan kejahatan Firaun pun menjadi alat untuk menyatakan kemuliaan Allah. Ketika tangan manusia menghambat, tangan Allah bekerja lebih dalam.”
(Institutes, I.17.3)
Dalam perspektif Reformed, Allah adalah Penguasa mutlak atas sejarah. Ia tidak hanya mengizinkan penderitaan, tetapi memakai penderitaan untuk tujuan penebusan.
2. Misteri Penundaan Ilahi: Allah yang Menunggu untuk Bertindak
Mengapa Allah tidak segera bertindak membebaskan umat-Nya? Karena Allah bekerja bukan hanya untuk mengubah situasi, tetapi untuk mengajar hati.
Stephen Charnock menulis:
“Penundaan janji bukan tanda penolakan, melainkan latihan bagi iman. Allah menunggu hingga waktu yang paling memuliakan-Nya.”
(The Existence and Attributes of God)
Demikian pula, Allah menunda pembebasan Israel agar umat-Nya belajar mengenal karakter-Nya — bahwa Ia bukan hanya Penyelamat, tetapi juga Tuhan atas waktu dan sejarah.
3. Panggilan Musa dan Ketegangan antara Ketaatan dan Keberhasilan
Musa merasa gagal karena ukuran keberhasilannya masih manusiawi. Ia mengira, jika Tuhan benar-benar bersamanya, hasilnya pasti langsung nyata. Namun Allah ingin mengajarkan bahwa ketaatan tidak selalu disertai hasil cepat.
R.C. Sproul menulis:
“Ketaatan adalah keberhasilan itu sendiri. Tugas kita bukan menghasilkan hasil, tetapi setia terhadap panggilan.”
(Essential Truths of the Christian Faith)
Dalam kerangka Reformed, ketaatan didorong oleh anugerah, bukan motivasi pragmatis. Musa dipanggil bukan untuk berhasil, tetapi untuk menjadi alat dalam rencana Allah.
4. Penderitaan Sebagai Bagian dari Rencana Penebusan
Narasi ini menggambarkan prinsip Reformed yang dalam: tidak ada kemuliaan tanpa salib.
Sebelum bangsa Israel keluar dengan tangan kuat, mereka harus lebih dulu merasakan beratnya perbudakan. Penderitaan menjadi latar bagi kemuliaan.
Herman Bavinck menjelaskan:
“Dalam seluruh sejarah penebusan, pola ilahi selalu sama: kemuliaan datang melalui penderitaan. Salib mendahului mahkota.”
(Reformed Dogmatics, Vol. 3)
Musa harus memahami bahwa Allah sedang menulis kisah yang lebih besar daripada sekadar pelepasan fisik — yaitu penyataan kemuliaan Allah atas Mesir dan pengudusan iman umat-Nya.
V. Eksposisi Teologis: Penderitaan sebagai Ujian Iman
A. Krisis Iman Adalah Bagian dari Pertumbuhan Rohani
Keluaran 5:22–23 menunjukkan bahwa bahkan pemimpin rohani pun bisa mengalami “krisis iman.” Namun iman sejati tidak berhenti pada keluhan; ia terus mencari Tuhan di tengah kebingungan.
John Owen berkata:
“Iman tidak berarti tidak ada pergumulan, tetapi kemampuan untuk kembali kepada Tuhan di tengah gelapnya hati.”
(Communion with God)
Doa Musa adalah contoh iman yang berani bertanya, tetapi tetap bersandar. Allah tidak menegur Musa karena bertanya, tetapi akan meneguhkan dia dalam pasal berikutnya (Keluaran 6:1–8), ketika Ia menegaskan janji-Nya lagi.
B. Keterlibatan Emosi dalam Iman
Musa tidak berdoa dengan kata-kata kering; ia jujur dan emosional. Ini menunjukkan bahwa iman tidak mematikan emosi, tetapi mengarahkannya kepada Allah.
Jonathan Edwards menjelaskan:
“Afeksi rohani sejati bukan emosi tanpa kebenaran, tetapi kebenaran yang menyentuh hati hingga menimbulkan seruan jujur kepada Allah.”
(Religious Affections)
Dengan kata lain, Musa bukan sedang marah kepada Allah secara berdosa, tetapi sedang memproses imannya dalam realitas penderitaan.
C. Allah Menjawab Keluhan dengan Penyataan Diri
Menariknya, Allah tidak langsung membebaskan bangsa Israel setelah keluhan Musa. Sebaliknya, Ia meneguhkan identitas-Nya:
“Sekarang engkau akan melihat apa yang akan Kulakukan kepada Firaun...” (Keluaran 6:1)
Jawaban Allah bukan “segera” tetapi “Aku adalah TUHAN” (Keluaran 6:2–3).
Artinya, penyelesaian bukanlah langkah pertama, pengenalan akan Allah-lah yang menjadi jawaban awal.
Sinclair Ferguson menulis:
“Tuhan lebih tertarik agar kita mengenal Dia daripada sekadar melihat masalah kita selesai.”
(The Whole Christ)
VI. Aplikasi bagi Gereja Masa Kini
1. Jangan Menilai Kesetiaan Allah dari Situasi
Ketika janji tampak tertunda, iman sejati memegang karakter Allah, bukan keadaan.
Seperti Musa, gereja sering kali bertanya: “Mengapa Engkau tidak bertindak, Tuhan?” Namun dalam sejarah penebusan, diamnya Allah sering kali mendahului tindakan besar-Nya.
Contohnya:
-
Sebelum penebusan Mesir, ada masa diam panjang 400 tahun.
-
Sebelum kedatangan Kristus, Israel mengalami “diamnya nubuat.”
-
Sebelum kebangkitan, Yesus diam di kubur.
Diamnya Allah bukan absen, tetapi rencana.
2. Pelayanan yang Setia Tidak Selalu Berhasil Secara Instan
Pelayan Tuhan seperti Musa bisa merasa gagal ketika hasil tidak sesuai harapan. Namun dalam perspektif Reformed, keberhasilan pelayanan diukur bukan dari jumlah hasil, tetapi kesetiaan terhadap panggilan dan kebenaran Injil.
Charles Hodge berkata:
“Allah tidak memanggil kita untuk sukses, melainkan untuk setia; dan kesetiaan itulah yang menjadi bukti pemilihan-Nya.”
(Systematic Theology, Vol. 3)
Setiap pelayanan sejati harus siap diuji melalui kekecewaan, sebab di situlah kemurnian panggilan diuji.
3. Keluhan yang Kudus: Belajar Berdoa seperti Musa
Tidak salah bagi orang percaya untuk bertanya, bahkan dengan air mata. Kitab Mazmur penuh dengan doa semacam itu.
Yang penting adalah ke mana kita membawa keluhan itu. Musa datang kembali kepada TUHAN. Itulah kunci iman yang benar.
Gereja harus menumbuhkan spiritualitas yang jujur — bukan menekan emosi, tetapi menyalurkannya dalam doa yang berakar pada janji Allah.
4. Percaya pada Waktu Allah yang Tepat
Janji pembebasan dalam Keluaran bukan gagal, tetapi belum tergenapi.
Begitu juga dalam hidup kita: janji Allah sering kali tampak tertunda, namun pasti digenapi pada waktu-Nya.
Herman Ridderbos menulis:
“Waktu Allah tidak diukur oleh jam manusia. Penundaan dalam sejarah keselamatan hanyalah interval menuju kemenangan yang lebih besar.”
(The Coming of the Kingdom)
VII. Kristus dalam Keluaran 5:22–23
Seluruh kisah Musa adalah bayangan dari Kristus, Sang Pembebas sejati.
Seperti Musa, Kristus datang untuk membebaskan umat Allah; dan seperti Musa, Ia juga ditolak dan tampak gagal pada awalnya.
Ketika Yesus disalibkan, para murid mungkin bertanya seperti Musa:
“Mengapa Engkau membiarkan hal ini terjadi?”
Namun justru melalui penderitaan itulah pembebasan sejati terjadi.
Salib adalah Keluaran baru — bukan dari Mesir, tetapi dari perbudakan dosa.
John Murray menulis:
“Keluaran dari Mesir adalah bayangan dari karya penebusan Kristus. Keduanya memiliki pola yang sama: penderitaan mendahului kemuliaan.”
(Redemption Accomplished and Applied)
Dengan demikian, keluhan Musa menemukan jawabannya di salib Kristus: Allah tidak gagal, Ia sedang bekerja di balik penderitaan untuk membebaskan umat-Nya dengan kuasa yang lebih besar.
VIII. Kesimpulan: Dari Keluhan ke Keyakinan
Keluaran 5:22–23 adalah cermin dari pergumulan iman umat Allah di sepanjang sejarah: ketika janji tampak jauh, ketika doa belum dijawab, dan ketika pelayanan terasa sia-sia.
Namun dari kisah Musa, kita belajar bahwa:
-
Iman sejati boleh bertanya, tetapi tidak meninggalkan Tuhan.
-
Penderitaan sering kali adalah bagian dari rencana penebusan.
-
Allah berdaulat, bahkan atas penundaan.
-
Kristus adalah bukti bahwa Allah menepati janji-Nya pada waktu yang sempurna.
Musa belajar bahwa Allah tidak lambat, tetapi setia. Ia bekerja melalui jalan yang sering kita anggap lambat — agar kita belajar mengenal Dia, bukan sekadar hasil.