Markus 10:1–9 - Perjanjian yang Tidak Terpisahkan

Markus 10:1–9 - Perjanjian yang Tidak Terpisahkan

I. Pendahuluan: Pernikahan dalam Bayang-Bayang Kekerasan Hati

Dalam dunia modern yang dipenuhi krisis relasi dan meningkatnya angka perceraian, ajaran Yesus dalam Markus 10:1–9 menjadi seruan profetis yang mengguncang kesadaran manusia.
Perikop ini bukan sekadar diskusi etika, tetapi pewahyuan tentang rancangan Allah yang kudus atas pernikahan sebagai perjanjian yang tak terpisahkan.

Ketika orang Farisi datang kepada Yesus dengan pertanyaan licik — “Apakah melanggar hukum jika seorang suami menceraikan istrinya?” — Yesus tidak terjebak pada perdebatan hukum Musa, melainkan membawa percakapan itu kembali ke rancangan penciptaan.

Dalam terang teologi Reformed, perikop ini menyingkapkan tiga hal penting:

  1. Kegagalan manusia yang keras hati di hadapan hukum Allah.

  2. Keindahan rancangan ilahi atas pernikahan.

  3. Kesetiaan Allah sebagai dasar bagi kesetiaan manusia.

II. Teks dan Terjemahan (Markus 10:1–9, AYT)

1 Yesus meninggalkan tempat itu, lalu pergi ke wilayah Yudea dan ke seberang Sungai Yordan. Kumpulan orang banyak mengerumuni Dia lagi. Sebagaimana kebiasaan-Nya, Dia mengajar mereka lagi.
2 Kemudian, orang-orang Farisi mendatangi-Nya, dan untuk mencobai Dia mereka bertanya, “Apakah melanggar hukum jika seorang suami menceraikan istrinya?”
3 Yesus menjawab mereka, “Apa yang Musa perintahkan kepadamu?”
4 Mereka berkata, “Musa mengizinkan seorang laki-laki membuat surat cerai dan menceraikannya.”
5 Akan tetapi, Yesus berkata kepada mereka, “Karena kekerasan hatimulah, Musa menuliskan perintah ini kepadamu.
6 Namun, sejak permulaan penciptaan, ‘Allah menciptakan mereka laki-laki dan perempuan.’
7 Karena itu, seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya.
8 Keduanya akan menjadi satu daging. Dengan demikian, mereka bukan lagi dua, melainkan satu daging.
9 Jadi, apa yang telah Allah persatukan, jangan ada manusia yang memisahkan.”

III. Latar Belakang Historis dan Konteks

Yesus dalam bagian ini sedang melayani di wilayah Yudea, di bawah kekuasaan Herodes Antipas — penguasa yang dikenal karena menceraikan istrinya dan menikahi istri saudaranya, Herodias (Markus 6:17–18).
Dengan demikian, pertanyaan orang Farisi bukan hanya teologis, tetapi juga politik: mereka mencoba menjebak Yesus agar berkata sesuatu yang dapat dipakai melawan-Nya.

Namun Yesus menolak terjebak dalam politik manusia. Ia menegakkan kembali otoritas Firman Allah di atas segala peraturan manusia.

Menurut John Calvin,

“Yesus mengembalikan pernikahan kepada kemurniannya sebagaimana ditetapkan oleh Allah di taman Eden, sebelum dosa mengacaukan tatanannya.”
(Commentary on the Harmony of the Gospels, vol. 2)

IV. Eksposisi Ayat demi Ayat

1. Markus 10:2–4: Pertanyaan yang Menjaring dan Jawaban yang Mengoreksi

Orang Farisi bertanya:

“Apakah melanggar hukum jika seorang suami menceraikan istrinya?”

Pertanyaan ini mengacu pada Ulangan 24:1, di mana Musa memberi peraturan mengenai surat cerai. Dalam tradisi Yahudi, ada dua aliran besar tafsir:

  • Sekolah Shammai menafsirkan alasan perceraian hanya karena ketidaksetiaan (zina).

  • Sekolah Hillel memperluasnya, bahkan untuk hal-hal sepele seperti “istri membakar masakan.”

Mereka ingin tahu ke mana Yesus berpihak. Namun Yesus menolak kedua-duanya.
Ia tidak kembali ke “izin Musa”, melainkan ke rancangan penciptaan sebelum dosa.

Yesus menjawab:

“Apa yang Musa perintahkan kepadamu?”

Dengan ini Yesus membalikkan fokus dari izin manusia kepada perintah Allah.

R.C. Sproul menulis:

“Orang Farisi mencari celah dalam hukum untuk membenarkan keinginan mereka. Tetapi Yesus menutup celah itu dengan kebenaran tentang kekudusan pernikahan.”
(Essential Truths of the Christian Faith)

2. Markus 10:5: Kekerasan Hati Manusia

Yesus menyingkapkan akar masalahnya:

“Karena kekerasan hatimulah, Musa menuliskan perintah ini kepadamu.”

Istilah “keras hati” (sklerokardia dalam bahasa Yunani) menunjukkan ketegaran rohani yang menolak kasih karunia Allah.
Musa bukan mengesahkan perceraian, tetapi mengatur agar kejahatan manusia tidak semakin merusak tatanan sosial.

John Murray menjelaskan:

“Peraturan Musa bukanlah legitimasi moral, tetapi regulasi terhadap dosa yang sudah ada, agar tidak meluas.”
(Principles of Conduct)

Dalam pandangan Reformed, hukum Allah tidak pernah kompromi dengan dosa, tetapi mengungkapkan keberdosaannya, agar manusia berlari kepada kasih karunia.

3. Markus 10:6: Rancangan Allah Sejak Penciptaan

“Namun, sejak permulaan penciptaan, Allah menciptakan mereka laki-laki dan perempuan.”

Yesus mengutip Kejadian 1:27, mengingatkan bahwa pernikahan adalah bagian dari rancangan penciptaan yang baik.
Manusia diciptakan berbeda — laki-laki dan perempuan — bukan untuk bersaing, tetapi melengkapi dalam kesatuan kasih yang merefleksikan gambar Allah.

Herman Bavinck menulis:

“Perbedaan jenis kelamin adalah manifestasi dari hikmat Allah. Melalui dua yang berbeda, Allah menyingkapkan kesatuan di dalam keberagaman.”
(Reformed Dogmatics, Vol. 2)

Yesus tidak berbicara tentang “hak” untuk menceraikan, tetapi tentang panggilan untuk memelihara persekutuan yang Allah sendiri tetapkan.

4. Markus 10:7–8: Kesatuan dalam Perjanjian

“Seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya. Keduanya akan menjadi satu daging.”

Yesus mengutip Kejadian 2:24, dasar teologis dari pernikahan sebagai perjanjian kudus (covenant), bukan sekadar kontrak sosial.

Dalam teologi Reformed, pernikahan dipahami sebagai perjanjian kasih yang mencerminkan hubungan antara Kristus dan gereja (Efesus 5:31–32).

John Calvin menyatakan:

“Pernikahan adalah cermin dari kesatuan Kristus dan gereja. Karena itu, perceraian adalah pengingkaran terhadap Injil itu sendiri.”
(Institutes, II.8.41)

Kesatuan “satu daging” bukan hanya fisik, tetapi eksistensial — penyatuan hidup, kehendak, dan tujuan.
Di dalam kasih yang demikian, Allah dimuliakan karena dua pribadi yang berbeda bersatu dalam satu arah: memuliakan Dia.

5. Markus 10:9: “Apa yang telah Allah persatukan, jangan ada manusia yang memisahkan.”

Kalimat ini adalah deklarasi otoritatif Kristus yang menegaskan bahwa Allah sendirilah yang mengikat pernikahan.
Pernikahan bukan sekadar keputusan dua individu, melainkan tindakan ilahi yang menyatukan dua kehidupan.

Louis Berkhof menulis:

“Ketika dua orang menikah di hadapan Allah, itu bukan sekadar persetujuan horizontal, tetapi ikatan vertikal yang melibatkan Allah sebagai saksi dan pengikat.”
(Systematic Theology, 664)

Dengan demikian, perceraian bukan hanya pelanggaran sosial, tetapi penghinaan terhadap karya Allah sendiri.

V. Tema Teologis dalam Terang Teologi Reformed

1. Kekudusan Institusi Pernikahan

Pernikahan adalah lembaga pertama yang ditetapkan Allah dalam penciptaan, bahkan sebelum dosa masuk ke dunia.
Maka, pernikahan bukan ciptaan manusia, melainkan penetapan ilahi.

Bavinck menegaskan:

“Pernikahan adalah bagian dari ciptaan yang baik, dan karenanya memiliki nilai teologis yang permanen.”
(Reformed Ethics, Vol. 2)

Itu sebabnya gereja Reformed menolak pandangan modern yang merelatifkan pernikahan atau menjadikannya hanya kontrak legal.

2. Dosa dan Distorsi Relasi

Ketika dosa masuk, relasi antara laki-laki dan perempuan rusak (Kejadian 3:16).
Ketegangan, kekuasaan, dan egoisme menggantikan kasih yang sejati.

John Owen menulis:

“Dosa menjadikan kasih manusia berpusat pada diri, bukan pada Allah; dari sinilah lahir segala kehancuran relasi.”
(Of the Mortification of Sin)

Yesus mengaitkan perceraian dengan kekerasan hati — bukti bahwa dosa bukan hanya merusak perbuatan, tetapi akar hati.

Namun Injil membawa pengharapan: di dalam Kristus, hati yang keras dapat dilembutkan.

3. Perjanjian yang Mencerminkan Injil

Dalam Efesus 5:31–32, Paulus menafsirkan Kejadian 2:24 sebagai misteri besar tentang Kristus dan gereja.
Artinya, pernikahan diciptakan untuk menjadi cermin kasih penebusan.

Sebagaimana Kristus setia kepada gereja-Nya, demikianlah suami dan istri dipanggil untuk setia satu sama lain.

Timothy Keller menulis:

“Pernikahan bukanlah tentang kebahagiaan pribadi, tetapi tentang menggambarkan kasih yang setia dari Allah kepada umat-Nya.”
(The Meaning of Marriage)

Kesetiaan dalam pernikahan bukan hanya kewajiban etis, tetapi panggilan teologis untuk memantulkan Injil.

4. Anugerah yang Memampukan Kesetiaan

Yesus tahu bahwa manusia tidak mampu memelihara perjanjian ini dengan kekuatan sendiri.
Karena itu, Ia menyingkapkan perlunya anugerah pembaruan hati.

Herman Ridderbos berkata:

“Kerajaan Allah yang diwartakan Kristus tidak hanya menuntut standar moral, tetapi memberi kuasa rohani untuk mencapainya.”
(The Coming of the Kingdom)

Kesetiaan sejati hanya mungkin lahir dari hati yang telah disentuh kasih Kristus.
Ketika kasih Allah mengalir di hati, kesetiaan bukan beban, melainkan sukacita.

VI. Aplikasi Praktis bagi Gereja Masa Kini

1. Memulihkan Pandangan Alkitabiah tentang Pernikahan

Gereja perlu kembali menegaskan bahwa pernikahan adalah perjanjian kudus, bukan sekadar kontrak sosial.
Pernikahan adalah ibadah, karena di sanalah dua orang dipanggil untuk memuliakan Allah bersama.

John Piper menulis:

“Pernikahan bukan tujuan untuk kebahagiaan manusia, melainkan panggung di mana kemuliaan Allah dinyatakan melalui kasih yang setia.”
(This Momentary Marriage)

2. Menolak Budaya Perceraian dan Konsumerisme Relasi

Budaya modern memandang relasi sebagai alat pemenuhan diri.
Namun Injil memanggil kita kepada kasih yang berkorban.

Kesetiaan dalam pernikahan bukan hasil romansa abadi, tetapi hasil komitmen kepada Allah yang setia.

R.C. Sproul menulis:

“Cinta sejati bukanlah perasaan yang bertahan, melainkan tekad yang disucikan oleh anugerah.”
(The Intimate Marriage)

3. Pelayanan Pemulihan dalam Gereja

Yesus tidak hanya menegakkan hukum Allah, tetapi juga menyediakan kasih karunia bagi yang gagal.
Gereja Reformed harus menegakkan kebenaran sekaligus memulihkan yang hancur.

Sinclair Ferguson menegaskan:

“Kasih karunia bukan alasan untuk menurunkan standar Allah, tetapi kekuatan untuk menegakkannya dengan belas kasih.”
(The Whole Christ)

4. Pendidikan Keluarga dan Kesetiaan Antargenerasi

Yesus mengutip penciptaan untuk menunjukkan bahwa pernikahan adalah rancangan Allah bagi seluruh umat manusia.
Karena itu, pendidikan iman di rumah menjadi penting — agar generasi berikutnya memahami makna kudus pernikahan.

Abraham Kuyper menulis:

“Rumah tangga Kristen adalah bentuk kecil dari kerajaan Allah — tempat kedaulatan Allah dihidupi setiap hari.”
(Lectures on Calvinism)

VII. Refleksi Kristologis: Yesus, Mempelai yang Setia

Di balik ajaran moral tentang pernikahan, Markus 10:1–9 menyingkapkan Injil Kristus sendiri.
Yesus adalah Mempelai yang tidak pernah menceraikan mempelai-Nya, sekalipun Ia disakiti oleh ketidaksetiaan kita.

Di salib, Ia menanggung murka yang seharusnya jatuh atas “istri yang tidak setia” — yaitu gereja.
Dengan darah-Nya, Ia memperbarui perjanjian kasih itu untuk selama-lamanya.

Jonathan Edwards menggambarkan ini dengan indah:

“Kristus menanggung penderitaan mempelai yang tidak setia agar Ia dapat mempersuntingnya kembali dengan kasih yang lebih murni.”
(The Church’s Marriage to Her Sons, and to Her God)

Karena itu, setiap pernikahan Kristen dipanggil untuk menjadi cermin Injil — kesetiaan dalam kasih, kasih dalam pengampunan.

VIII. Kesimpulan: “Apa yang Telah Allah Persatukan...”

Markus 10:1–9 meneguhkan bahwa pernikahan adalah rancangan Allah, kudus, dan tak terpisahkan.
Yesus tidak datang untuk mempermudah perceraian, melainkan memulihkan makna sejati pernikahan — kasih yang berakar dalam kebenaran dan kesetiaan.

Bagi gereja Reformed, panggilan ini berarti:

  • Kembali kepada otoritas Firman.

  • Hidup dalam pertobatan dan kesetiaan.

  • Menjadi saksi kasih Kristus di tengah dunia yang rusak.

Pernikahan sejati bukanlah dua orang yang sempurna, tetapi dua orang yang terus disempurnakan oleh kasih Allah yang setia.

Next Post Previous Post