Zakharia 1:1: Suara Tuhan di Tengah Pembuangan

Zakharia 1:1: Suara Tuhan di Tengah Pembuangan

1. Pendahuluan: Firman di Tengah Keheningan Bangsa yang Tersisa

“Pada bulan ke-8 dalam tahun ke-2 pemerintahan Darius, firman TUHAN datang kepada Nabi Zakharia, anak Berekhya, anak Ido, firman-Nya.”
Zakharia 1:1 (AYT)

Ketika zaman gelap sejarah Israel tampak memadamkan setiap cahaya harapan, firman Tuhan kembali berbicara. Setelah 70 tahun pembuangan di Babel, bangsa Israel pulang ke tanah mereka — tetapi bukan dengan kejayaan, melainkan dengan kehancuran, kemiskinan, dan kekecewaan.

Bait Allah telah runtuh, tembok Yerusalem hancur, dan semangat umat pun luntur. Mereka merasa Allah telah melupakan mereka. Namun, di tengah masa transisi penuh kesulitan itu, Tuhan mengutus nabi Zakharia — seorang imam muda dari keturunan Ido — untuk menyampaikan pesan pengharapan dan pertobatan.

Zakharia berdiri sebagai nabi pasca-pembuangan, bersama Hagai, meneguhkan kembali iman bangsa kepada Allah perjanjian. Melalui firman pembuka yang singkat ini, Allah menyingkapkan realitas besar:
bahwa firman-Nya tidak pernah terikat oleh waktu atau penguasa dunia, tetapi terus bekerja dalam sejarah untuk memulihkan umat-Nya.

2. Konteks Historis: Tahun Kedua Pemerintahan Darius

a. Kronologi dan Situasi Politik

Ayat ini diawali dengan catatan waktu yang sangat spesifik:

“Pada bulan ke-8 dalam tahun ke-2 pemerintahan Darius…”

Tahun kedua Darius I (520 SM) menandai masa ketika Kekaisaran Persia menguasai wilayah luas termasuk Yehuda. Bangsa Israel telah kembali dari Babel sekitar 18 tahun sebelumnya (538 SM), tetapi pembangunan Bait Allah terhenti akibat tekanan politik dan keputusasaan rohani.

Dalam konteks ini, Allah berbicara — bukan melalui raja atau jenderal, tetapi melalui nabi, seorang yang menjadi jembatan antara firman ilahi dan kenyataan manusia.

John Calvin menafsirkan penanda waktu ini sebagai bukti kesetiaan Allah di tengah perubahan zaman:

“Walau kerajaan berganti dan bangsa-bangsa runtuh, firman Allah tetap teguh dan berbicara pada waktu yang ditentukan-Nya.”
(Commentary on Zechariah 1:1)

b. Zakharia dan Hagai: Dua Suara, Satu Panggilan

Zakharia muncul hampir bersamaan dengan nabi Hagai (lih. Hagai 1:1).
Kedua nabi ini diutus dengan tujuan yang sama: membangkitkan umat untuk menyelesaikan pembangunan Bait Allah.

Namun, pendekatan mereka berbeda:

  • Hagai lebih menekankan tindakan praktis — dorongan untuk bekerja.

  • Zakharia menekankan dimensi rohani dan eskatologis — pemulihan batin dan janji masa depan.

Matthew Henry mencatat:

“Hagai menegur tangan yang malas, Zakharia meneguhkan hati yang lemah. Keduanya bekerja sama untuk membangun kembali rumah Tuhan dan iman umat.”
(Exposition of the Old and New Testament)

3. Makna Nama dan Identitas Zakharia

Nama “Zakharia” (זְכַרְיָה, Zekharyah) berarti “TUHAN mengingat.”
Ayahnya, Berekhya, berarti “TUHAN memberkati,” dan kakeknya, Ido, berarti “waktu yang ditentukan.”

Bersama-sama, tiga nama ini membentuk pesan teologis yang mendalam:

“TUHAN mengingat dan memberkati pada waktu yang ditentukan-Nya.”

Nama Zakharia bukan sekadar identitas, melainkan pesan profetik tersendiri.
Melalui kehidupannya, Allah ingin menunjukkan bahwa janji perjanjian-Nya belum gagal.
Allah yang mengingat Abraham, Ishak, dan Yakub kini kembali mengingat umat yang terpuruk.

Herman Bavinck menulis:

“Setiap tindakan Allah dalam sejarah berakar pada kesetiaan perjanjian-Nya. Zakharia adalah simbol bahwa Allah mengingat, bukan karena manusia layak, tetapi karena kasih setia-Nya kekal.”
(Reformed Dogmatics, Vol. 3)

4. “Firman TUHAN Datang”: Pewahyuan yang Hidup

Ungkapan “firman TUHAN datang” bukan sekadar formula literer, melainkan deklarasi pewahyuan ilahi.
Allah tidak diam — Ia berinisiatif mengunjungi manusia melalui firman-Nya.

a. Firman Sebagai Tindakan Ilahi

Dalam bahasa Ibrani, kata “datang” (hayah) menandakan gerak aktif dan kehadiran dinamis.
Firman bukan hanya informasi, tetapi intervensi Allah dalam sejarah.
Dengan demikian, setiap kali “firman TUHAN datang,” itu berarti Allah sendiri hadir untuk bertindak dan memulihkan.

Geerhardus Vos menjelaskan:

“Wahyu bukan hanya komunikasi verbal dari Allah, tetapi tindakan penyataan diri di dalam sejarah penebusan.”
(Biblical Theology, 1948)

Maka, Zakharia 1:1 bukan hanya laporan historis — melainkan momen teologis: Allah menembus keheningan sejarah dan kembali berbicara kepada umat-Nya.

b. Pewahyuan Setelah Keheningan

Selama masa pembuangan, banyak orang merasa Allah tidak lagi berbicara.
Namun kini, setelah penindasan, Allah memulai kembali komunikasi-Nya.

Hal ini menunjukkan dua hal penting:

  1. Firman Allah tidak pernah terhenti.

  2. Setiap periode keheningan hanyalah persiapan bagi pewahyuan baru.

John Owen menulis:

“Ketika Allah seolah diam, Ia sedang menyiapkan telinga umat untuk mendengar dengan lebih dalam.”
(The Glory of Christ, 1684)

5. Fungsi Profetik Zakharia: Nabi, Imam, dan Penafsir Pengharapan

Zakharia bukan hanya nabi, tetapi juga imam (bdk. Nehemia 12:4,16).
Ia memahami hubungan antara ibadah dan firman, antara altar dan nubuat.
Sebagai imam-nabi, ia meneguhkan hubungan antara penebusan dan penyataan.

a. Nabi yang Menyuarakan Pertobatan dan Pengharapan

Ayat berikutnya (Zakharia 1:2–6) langsung memanggil umat untuk bertobat:

“Kembalilah kepada-Ku, maka Aku akan kembali kepadamu, firman TUHAN semesta alam.”

Pesan Zakharia selalu berpasangan: pertobatan dan pengharapan.
Ia tidak sekadar menegur dosa, tetapi menuntun umat kepada janji Mesias yang akan datang.

Charles Spurgeon menggambarkan peran ini demikian:

“Nabi sejati bukan hanya palu yang menghancurkan dosa, tetapi juga pelita yang menuntun orang berdosa pulang ke rumah Bapa.”
(Metropolitan Tabernacle Pulpit, Vol. 37)

b. Nabi yang Melihat Jauh ke Depan

Zakharia adalah salah satu nabi yang paling apokaliptik dalam Perjanjian Lama.
Penglihatannya menembus masa depan, menunjuk kepada kedatangan Kristus — Raja Mesias yang rendah hati namun perkasa (Za. 9:9).

Ia bukan hanya nabi bagi Yerusalem yang porak-poranda, tetapi bagi seluruh dunia yang menantikan penebusan.

B.B. Warfield menulis:

“Dalam Zakharia, kita melihat kilasan pertama dari terang Injil yang akan bersinar penuh dalam Kristus.”
(The Inspiration and Authority of the Bible)

6. Analisis Teologis: Firman Allah di Tengah Pemerintahan Duniawi

Penyebutan “tahun ke-2 pemerintahan Darius” menyoroti bahwa pewahyuan ilahi terjadi di bawah kekuasaan asing.
Namun justru dalam situasi ini, Allah menunjukkan bahwa pemerintahan dunia tidak membatasi kerajaan-Nya.

a. Firman Allah Melampaui Kekuasaan Politik

Di masa Persia, tidak ada raja Israel, tidak ada kekuatan militer, dan tidak ada kejayaan nasional.
Namun, Allah tetap memerintah melalui firman-Nya.

Abraham Kuyper menulis:

“Di atas setiap kekuasaan dunia berdiri kedaulatan Allah yang absolut. Tidak ada satu inci pun di seluruh keberadaan manusia yang tidak dikatakan oleh Kristus: ‘Itu milik-Ku.’”
(Sphere Sovereignty, 1880)

Dengan demikian, penanggalan berdasarkan “tahun Darius” bukan bentuk penaklukan rohani, tetapi deklarasi teologis: bahwa bahkan kekuasaan Persia berada di bawah kedaulatan Allah.

b. Kehadiran Allah di Tengah Sejarah Sekuler

Zakharia tidak hidup dalam zaman mukjizat spektakuler, tetapi dalam sejarah yang tampak biasa.
Namun, justru di tengah keseharian itu, Allah berbicara.
Hal ini mengingatkan kita bahwa Allah tidak hanya hadir di bait atau gunung kudus, tetapi juga di kalender politik dan pergumulan manusia.

Cornelius Van Til menegaskan:

“Segala sejarah adalah teologi yang hidup; karena di balik setiap kejadian ada tangan Allah yang berdaulat.”
(Christian Apologetics, 1955)

7. Tema Besar dalam Zakharia dan Relevansinya

Dari ayat pembuka ini, tema-tema besar kitab Zakharia mulai terungkap:

  1. Pemulihan dan Pertobatan — Allah memanggil umat untuk kembali kepada-Nya.

  2. Kedaulatan Allah atas sejarah — bahkan di bawah kekuasaan asing.

  3. Harapan Mesianis — janji kedatangan Raja yang adil.

  4. Penyucian dan Ibadah yang sejati — pusatnya kembali pada kehadiran Allah.

  5. Kemenangan akhir kerajaan Allah — melampaui batas Yerusalem.

Setiap tema ini berakar dalam pembukaan yang sederhana: “Firman TUHAN datang.”

8. Eksposisi Reformed: Allah yang Berfirman, Umat yang Dipulihkan

a. Reformasi dan Prinsip “Sola Scriptura”

Dalam tradisi Reformed, pernyataan “firman TUHAN datang” menggemakan prinsip Sola Scriptura — bahwa firman Allah adalah otoritas tertinggi dalam kehidupan gereja dan individu.

Zakharia tidak berbicara dari spekulasi manusia atau pengaruh politik Persia, tetapi dari otoritas wahyu ilahi.

John Calvin menulis:

“Para nabi adalah instrumen Allah, bukan orator yang berpendapat. Apa yang mereka katakan, Allah katakan.”
(Institutes, I.6.1)

Dalam konteks modern, ini berarti bahwa gereja yang sejati tidak boleh membangun pelayanannya atas opini manusia, tetapi hanya atas firman yang datang dari Tuhan.

b. Pewahyuan Progresif: Dari Zakharia ke Kristus

Firman yang datang kepada Zakharia adalah bagian dari wahyu progresif yang berpuncak dalam pribadi Yesus Kristus.
Ibrani 1:1–2 menyatakan:

“Pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara... tetapi pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dalam Anak-Nya.”

Zakharia adalah suara yang mempersiapkan Firman yang menjadi manusia.

Herman Ridderbos menulis:

“Setiap nubuat dalam Perjanjian Lama mengarah kepada satu titik pusat — Kristus, wahyu final dari Allah yang hidup.”
(The Coming of the Kingdom, 1950)

9. Aplikasi Spiritualitas: Mendengar Kembali Suara Allah

a. Dalam Zaman yang Sunyi

Seperti Israel yang kembali dari pembuangan, gereja masa kini sering merasa bahwa Allah diam — di tengah sekularisme, penderitaan, atau kekosongan rohani.
Namun, Zakharia 1:1 mengingatkan kita: Allah masih berbicara melalui firman-Nya.

Firman itu datang bukan hanya ke bait yang megah, tetapi ke hati yang hancur.
Ia berbicara kepada umat yang lemah agar mereka bangkit kembali.

Tim Keller menulis:

“Firman Allah tidak hanya mengubah pikiran kita, tetapi menghidupkan kembali harapan kita yang mati.”
(Preaching: Communicating Faith in an Age of Skepticism, 2015)

b. Dalam Gereja yang Penuh Tantangan

Gereja pasca-modern menghadapi tantangan yang mirip dengan komunitas Zakharia: ketakutan, kompromi, dan kehilangan arah.
Solusinya bukan strategi manusia, tetapi kembali kepada firman yang datang dari Tuhan.

Zakharia menjadi contoh bagi para pelayan dan umat:

  • Mendengarkan sebelum berbicara.

  • Mentaati sebelum menuntut.

  • Menantikan janji Allah di tengah kehancuran.

c. Dalam Kehidupan Pribadi

Firman Tuhan yang datang kepada Zakharia menunjukkan bahwa Allah juga berbicara secara pribadi.
Ia mengenal nama Zakharia, Berekhya, dan Ido — dan Ia mengenal nama kita.
Dalam setiap masa kering rohani, Allah memanggil:

“Aku mengingat, Aku memberkati, pada waktu yang Kutentukan.”

10. Kesimpulan: Allah yang Mengingat dan Memulihkan

Zakharia 1:1 mungkin tampak sebagai pembuka administratif, tetapi di dalamnya tersembunyi kekayaan teologis yang mendalam:

  • Allah berdaulat atas sejarah manusia.

  • Firman-Nya tetap hidup dan bekerja.

  • Pemulihan rohani selalu dimulai dari mendengar firman.

  • Harapan sejati terletak pada Allah yang mengingat perjanjian-Nya.

  • Dan seluruh wahyu itu menunjuk kepada Kristus — Firman yang menjadi daging.

B.B. Warfield menutup refleksinya dengan kata-kata yang sangat tepat:

“Setiap kali Allah berbicara, itu adalah tindakan penebusan. Dan setiap kali manusia mendengar, sejarah keselamatan terus bergerak menuju Kristus.”
(Revelation and Inspiration)

Next Post Previous Post