Zakharia 1:12–15 - Ketika Allah Cemburu dan Berbelas Kasihan

Pendahuluan: Allah yang Berbicara dari Tengah Krisis
Kitab Zakharia lahir di tengah masa pasca-pembuangan, ketika bangsa Yehuda baru saja kembali dari Babel (sekitar 520 SM).
Mereka hidup di reruntuhan Yerusalem, penuh kelelahan, kekecewaan, dan keraguan terhadap kasih setia Allah.
Bait Allah belum selesai dibangun; semangat umat pudar. Di tengah situasi itulah, Allah menyingkapkan diri-Nya kepada Zakharia dalam serangkaian penglihatan yang penuh pengharapan.
Zakharia 1:12–15 merupakan bagian dari penglihatan pertama, di mana malaikat TUHAN berdiri di antara pohon murad di lembah dan berbicara kepada TUHAN semesta alam.
Dialog surgawi ini mengungkapkan ketegangan antara murka dan belas kasihan Allah, antara keadilan dan kasih.
Dalam teologi Reformed, bagian ini merupakan contoh indah tentang keseimbangan ilahi antara kedaulatan Allah dan kasih penebusan-Nya—di mana Allah tetap adil terhadap dosa, tetapi penuh kasih terhadap umat pilihan-Nya.
I. Konteks Historis: Seruan dari Tengah Penderitaan
1. Masa Pasca-Pembuangan: Keletihan Iman
Tujuh puluh tahun pembuangan Babel telah berakhir (Yeremia 25:11–12).
Namun, meski mereka telah kembali ke tanah perjanjian, keadaan tidak sesuai harapan.
Kota masih dalam reruntuhan, musuh di sekeliling mengancam, dan Bait Allah belum selesai dibangun.
Kata “tujuh puluh tahun” (ay. 12) menunjuk pada masa pembuangan dan murka Allah terhadap dosa Israel.
Tetapi kini, malaikat TUHAN bertanya:
“Sampai kapan Engkau tidak berbelaskasihan?”
Pertanyaan ini menggema seperti jeritan hati umat Allah di sepanjang zaman:
“Tuhan, di mana belas kasihan-Mu ketika kami menderita?”
2. Malaikat TUHAN sebagai Pengantara Ilahi
Siapakah malaikat TUHAN ini?
Dalam banyak penafsiran Reformed klasik (Calvin, Hengstenberg, Vos), malaikat TUHAN adalah manifestasi pra-inkarnasi Kristus, Sang Firman yang menjadi perantara antara Allah dan manusia.
John Calvin menulis:
“Malaikat TUHAN di sini bukan makhluk ciptaan biasa, melainkan Firman kekal Allah yang menjadi pengantara bagi umat-Nya.”
(Commentary on Zechariah, 1559)
Dengan demikian, Zakharia 1:12–15 menggambarkan doa pengantaraan Kristus sendiri untuk umat-Nya yang tertindas.
Ia berseru kepada Bapa agar belas kasihan dinyatakan atas Yerusalem.
II. Eksposisi Ayat demi Ayat
A. Zakharia 1:12 — “Sampai kapan Engkau tidak berbelaskasihan?”
Pertanyaan malaikat TUHAN ini adalah ratapan syafaat.
Ia bukan mempertanyakan kedaulatan Allah, tetapi memohon waktu kasih karunia dinyatakan.
Dalam bahasa Ibrani, frasa ‘ad matay’ (“sampai kapan”) mengandung nada penderitaan yang mendalam, tetapi juga iman yang berharap.
Matthew Henry menulis:
“Doa ini menunjukkan bahwa bahkan di masa murka Allah, umat-Nya memiliki pengantara yang tidak berhenti bersyafaat.”
1. Dimensi Teologis: Doa dalam Kedaulatan
Malaikat TUHAN tidak menentang kehendak Allah, tetapi berdoa sesuai dengan kehendak-Nya.
Inilah model bagi doa umat pilihan: doa yang menyesuaikan diri dengan rencana Allah, bukan memaksakan keinginan manusia.
R.C. Sproul menafsirkan:
“Doa orang benar tidak mengubah rencana Allah, tetapi menjadi sarana yang Allah pakai untuk melaksanakan rencana itu.”
(The Prayer of the Lord, 2009)
2. Dimensi Kristologis: Bayangan Doa Kristus
Doa malaikat TUHAN ini menubuatkan doa syafaat Kristus bagi gereja-Nya.
Sebagaimana Ia berseru dari salib, “Ya Bapa, ampunilah mereka” (Lukas 23:34), demikian juga di sini Ia memohon belas kasihan bagi umat yang tertindas.
Herman Bavinck menulis:
“Dalam setiap ratapan umat Allah, ada gema dari syafaat Kristus yang abadi di hadapan takhta Allah.”
(Reformed Dogmatics, Vol. III)
B. Zakharia 1:13 — “TUHAN berfirman... dengan kata-kata yang baik, yang menghibur.”
Respon Allah datang bukan dengan penghakiman, tetapi dengan firman penghiburan.
Frasa “kata-kata yang baik” (debarim tovim) dalam bahasa Ibrani menunjukkan janji pemulihan dan kasih setia Allah.
Inilah inti pengharapan iman Reformed:
Allah tidak tinggal diam selamanya; kasih karunia selalu menjadi kata terakhir.
1. Allah yang Menjawab dengan Kelembutan
Dalam teologi Reformed, Allah dikenal bukan hanya sebagai Hakim, tetapi juga Bapa yang penuh belas kasihan.
Ketika umat meratap, Ia menjawab bukan dengan petir Sinai, tetapi dengan kelembutan Sion.
John Calvin mengulas:
“Allah yang sama yang menghukum karena dosa juga yang menghibur karena kasih. Murka-Nya sementara, tetapi belas kasihan-Nya kekal.”
Ayat ini menegaskan bahwa belas kasihan Allah selalu datang di dalam konteks kedaulatan-Nya.
Ia tidak dituntut untuk berbelas kasihan, tetapi memilih untuk melakukannya karena kasih-Nya yang kekal.
2. Kata yang Menghibur sebagai Firman yang Hidup
Allah menjawab dengan “kata-kata,” bukan perasaan.
Dalam teologi Reformed, hal ini penting: penghiburan sejati datang dari firman Allah yang diwahyukan, bukan dari perasaan manusia.
Berkhof menegaskan:
“Penghiburan sejati dalam penderitaan bukan berasal dari keadaan, melainkan dari firman yang pasti.”
(Systematic Theology, hlm. 290)
C. Zakharia 1:14 — “Aku cemburu terhadap Yerusalem dan Sion dengan kecemburuan yang besar.”
Ini adalah salah satu pernyataan paling menggugah dalam kitab Zakharia.
Allah menggambarkan diri-Nya sebagai Allah yang cemburu.
Kata qanna’ (קַנָּא) berarti kecemburuan yang berakar pada kasih eksklusif.
Allah tidak cemburu seperti manusia yang iri, tetapi karena Ia mengasihi dengan totalitas.
1. Cemburu Ilahi: Kasih yang Melindungi
Dalam Perjanjian Lama, kecemburuan Allah selalu terkait dengan kasih perjanjian-Nya.
Ia cemburu karena umat-Nya menyembah berhala, tetapi Ia juga cemburu untuk mereka — artinya, Ia melindungi mereka dari penghinaan bangsa-bangsa.
Calvin menulis:
“Cemburu Allah bukanlah emosi, melainkan ekspresi kasih yang menolak membiarkan umat-Nya binasa.”
Dengan kata lain, Allah yang cemburu adalah Allah yang tidak acuh.
Ia mencintai dengan api yang membakar.
2. Yerusalem dan Sion: Pusat Perhatian Kasih Allah
Yerusalem dan Sion mewakili kehadiran Allah dan umat perjanjian.
Cemburu Allah berarti Ia tidak akan membiarkan tempat kediaman-Nya diremehkan atau dihancurkan tanpa pembalasan.
Dalam konteks Reformed, ini berbicara tentang gereja sebagai Yerusalem rohani — objek kasih cemburu Kristus.
R.C. Sproul menulis:
“Kristus mencintai gereja dengan kasih yang cemburu. Ia tidak mau membaginya dengan dunia atau berhala apa pun.”
(The Holiness of God, 1985)
D. Zakharia 1:15 — “Aku sangat murka kepada bangsa-bangsa yang merasa tenteram...”
Ayat ini memperlihatkan kontras tajam antara kasih Allah kepada umat-Nya dan murka-Nya terhadap bangsa-bangsa.
Bangsa-bangsa yang disebut “tenteram” adalah mereka yang hidup dalam kemakmuran setelah menindas Israel.
Allah berkata bahwa Ia murka karena ketika Ia “murka sedikit saja,” bangsa-bangsa itu memperburuk penderitaan umat-Nya.
1. Keadilan Ilahi: Allah Tidak Lupa Penindasan
Allah tidak menutup mata terhadap ketidakadilan.
Bahkan ketika Ia memakai bangsa-bangsa kafir sebagai alat didikan, Ia tetap akan menghukum mereka karena kekejaman yang berlebihan.
John Calvin menulis:
“Allah memakai bangsa-bangsa itu untuk mendidik umat-Nya, tetapi mereka melampaui batas yang telah ditetapkan. Maka murka-Nya menimpa mereka.”
2. Ironi Ketenangan Dunia
Bangsa-bangsa “yang merasa tenteram” menggambarkan dunia yang tampak aman dan makmur, tetapi tanpa takut akan Allah.
Mereka menikmati ketenangan palsu di atas penderitaan orang lain.
Matthew Henry menafsirkan:
“Ketenangan orang fasik bukanlah berkat, tetapi jebakan murka Allah yang akan datang.”
Inilah peringatan keras bagi semua bangsa — dan gereja — yang merasa aman dalam dosa.
Allah tidak diam selamanya; Ia akan bertindak untuk keadilan.
III. Makna Teologis dalam Perspektif Reformed
1. Kedaulatan dan Belas Kasihan
Bagian ini mengajarkan bahwa kedaulatan Allah tidak meniadakan belas kasihan-Nya.
Allah murka atas dosa, tetapi kasih-Nya terhadap umat pilihan tidak pernah gagal.
Herman Bavinck menulis:
“Dalam setiap tindakan ilahi, kasih dan keadilan bukanlah dua sifat yang berlawanan, melainkan satu kesatuan harmonis dari pribadi Allah yang kudus.”
(Reformed Dogmatics, Vol. II)
Kedaulatan Allah justru menjadi dasar penghiburan umat-Nya.
Karena Ia berdaulat, maka belas kasihan-Nya pasti tergenapi.
2. Syafaat Kristus sebagai Kunci Pemulihan
Malaikat TUHAN yang bersyafaat adalah bayangan Kristus yang berdoa bagi gereja.
Setiap seruan “sampai kapan?” dalam hati orang percaya dijawab dalam diri Kristus yang berkata:
“Sudah selesai.” (Yohanes 19:30)
Dalam teologi Reformed, inilah doa pengantaraan yang kekal (Ibrani 7:25).
Kristus tidak berhenti berdoa bagi umat-Nya, bahkan di tengah penderitaan dunia.
3. Cemburu dan Murka sebagai Wajah Kasih Allah
Bagi manusia modern, “Allah yang cemburu dan murka” terdengar keras.
Namun bagi umat pilihan, itu adalah kabar baik:
Allah tidak acuh terhadap kejahatan.
Cemburu berarti Allah peduli.
Murka berarti keadilan-Nya hidup.
Dan karena itu, penghiburan sejati hanya dapat ditemukan pada Allah yang kudus.
R.C. Sproul berkata:
“Kekudusan Allah adalah dasar bagi kasih dan keadilan-Nya. Tanpa kekudusan, kasih hanyalah sentimen kosong.”
4. Kasih Karunia yang Menghibur Umat Allah
Firman Allah kepada Zakharia adalah kata penghiburan (ay. 13) — bukan dengan janji kosong, tetapi dengan janji pemulihan yang konkret.
Inilah esensi teologi perjanjian (covenant theology):
Allah setia pada janji-Nya meski umat tidak setia.
Geerhardus Vos menulis:
“Setiap penglihatan dalam Zakharia adalah gema dari janji perjanjian Allah yang tidak dapat dibatalkan.”
(Biblical Theology, 1948)
IV. Aplikasi Praktis bagi Gereja Masa Kini
1. Gereja dalam Penderitaan Tidak Pernah Ditinggalkan
Seperti Israel yang letih di Yerusalem, gereja di dunia sering tampak kecil dan tertekan.
Namun Zakharia 1:12–15 mengingatkan:
Kristus berdoa bagi kita; Allah mendengar; dan kasih karunia akan menang.
Kita tidak boleh menilai kasih Allah dari keadaan kita, tetapi dari firman-Nya yang menghibur.
2. Doa Syafaat: Panggilan Gereja untuk Berdoa Seperti Kristus
Malaikat TUHAN menjadi teladan doa syafaat bagi umat Allah.
Gereja pun dipanggil untuk menjadi pengantara di dunia yang menderita.
Calvin menulis:
“Tidak ada pelayanan yang lebih mirip dengan Kristus selain doa bagi orang lain.”
3. Cemburu yang Kudus: Kasih yang Tidak Maukalah
Kasih Allah yang cemburu menjadi teladan bagi kasih kita terhadap kekudusan.
Gereja yang sejati harus cemburu terhadap kebenaran, bukan acuh terhadap dosa.
Kita dipanggil untuk mencintai Allah dengan kasih yang eksklusif, tanpa kompromi dengan dunia.
4. Keadilan Allah: Harapan bagi yang Tertindas
Ketika bangsa-bangsa tampak tenteram dalam kejahatan, Allah tidak buta.
Keadilan-Nya mungkin tertunda, tetapi tidak pernah gagal.
Ia akan menghukum bangsa-bangsa yang menindas dan mengangkat umat-Nya.
5. Penghiburan dalam Firman
Akhirnya, seperti Zakharia, gereja zaman ini menemukan penghiburan bukan dalam keadaan, melainkan dalam kata-kata Allah yang baik dan menghibur.
Kita tidak hidup dari pandangan mata, tetapi dari janji firman yang kekal.
V. Kristus dalam Zakharia 1:12–15
Bagian ini mencapai puncaknya dalam penggenapan Injil.
-
Malaikat TUHAN → Kristus sebagai Pengantara.
-
Firman yang menghibur → Injil kasih karunia.
-
Kecemburuan Allah → Kasih Kristus yang eksklusif bagi gereja.
-
Murka atas bangsa-bangsa → Penghakiman akhir atas dunia yang menolak Allah.
Semua ini menunjuk kepada karya Kristus yang menutupi murka Allah dan membawa umat ke dalam belas kasihan kekal.
John Calvin menutup komentarnya atas bagian ini dengan kalimat penuh pengharapan:
“Selama Allah masih cemburu terhadap gereja-Nya, kita tidak perlu takut; karena kecemburuan itu adalah tanda bahwa Ia belum meninggalkan kita.”
Kesimpulan: Dari Murka ke Penghiburan
Zakharia 1:12–15 mengajarkan kita tiga hal besar tentang Allah:
-
Ia mendengar doa pengantara.
Kristus selalu berdoa bagi umat-Nya. -
Ia berbicara dengan kata-kata penghiburan.
Firman-Nya adalah sumber kekuatan di tengah reruntuhan hidup. -
Ia cemburu dengan kasih yang kudus.
Ia tidak akan membiarkan umat-Nya hilang dalam dosa atau tertindas oleh dunia.
Di balik murka sementara, ada belas kasihan kekal.
Di balik kehancuran, ada janji pemulihan.
Dan di balik “sampai kapan,” selalu ada “Aku akan berbelaskasihan.”