Markus 10:17–22: Panggilan Mengikut Kristus dan Bahaya Kekayaan

Markus 10:17–22: Panggilan Mengikut Kristus dan Bahaya Kekayaan

Pendahuluan: Sebuah Pertemuan yang Mengguncang

Perikop ini merupakan salah satu narasi paling menggugah dalam Injil Markus. Kisah tentang “orang muda yang kaya” ini bukan hanya kisah moralitas, melainkan pertemuan eksistensial antara manusia yang religius dan Sang Sumber Kehidupan itu sendiri. Pertanyaan yang diajukan sang pemuda — “apa yang harus aku lakukan untuk menerima hidup yang kekal?” — menggemakan kerinduan terdalam hati manusia di segala zaman.

Namun, kisah ini juga menyingkapkan paradoks yang tajam: seseorang yang taat hukum, saleh, dan bermoral tinggi ternyata gagal untuk masuk ke dalam kehidupan kekal, karena hatinya terikat oleh kekayaan duniawi.

Dalam perspektif teologi Reformed, teks ini berbicara tentang ketidakmampuan manusia mencapai keselamatan melalui usaha moral, kebutuhan akan kasih karunia ilahi, serta panggilan radikal untuk mengikut Kristus sepenuhnya.

I. Eksposisi Ayat demi Ayat

Markus 10:17 – Pertanyaan yang Tulus tetapi Keliru

“Seorang laki-laki berlari dan berlutut di hadapan-Nya dan bertanya kepada-Nya, ‘Guru yang baik, apa yang harus aku lakukan untuk menerima warisan hidup yang kekal?’”

Gambaran pemuda ini menarik. Ia berlari — suatu tindakan yang menunjukkan kesungguhan dan urgensi. Ia berlutut — tanda penghormatan dan pengakuan terhadap otoritas Yesus. Namun pertanyaannya memperlihatkan pemahaman yang keliru: “Apa yang harus aku lakukan?”

Dalam teologi Reformed, inilah bentuk klasik dari legalisme — keyakinan bahwa manusia dapat memperoleh keselamatan melalui perbuatan baik. Pemuda ini menganggap hidup kekal sebagai hasil usaha, bukan anugerah.

John Calvin dalam Commentary on the Synoptic Gospels menulis:

“Pemuda itu tidak memahami bahwa kehidupan kekal adalah karunia Allah, bukan upah dari ketaatan manusia. Ia datang kepada Kristus bukan untuk menerima, tetapi untuk menawarkan kebaikannya sendiri.”

Sikap seperti ini umum dalam natur manusia yang berdosa: ingin mengontrol keselamatan. Padahal, inti Injil adalah bahwa keselamatan diberikan, bukan diusahakan.

Markus 10:18 – Allah Sumber Segala Kebaikan

“Yesus berkata kepadanya, ‘Mengapa kamu menyebut Aku baik? Tidak ada seorang pun yang baik, kecuali Allah sendiri.’”

Jawaban Yesus tampak aneh jika dilihat sekilas. Ia tidak menolak sebutan “baik”, tetapi menantang cara pandang pemuda itu tentang kebaikan. Pemuda ini menganggap kebaikan sebagai hasil moral manusiawi, sementara Yesus mengarahkan dia kepada standar ilahi: kebaikan sejati berasal hanya dari Allah.

R.C. Sproul menjelaskan:

“Yesus tidak menyangkal keilahian-Nya; sebaliknya Ia menantang sang pemuda untuk memahami implikasi dari kata-katanya. Jika Yesus benar-benar ‘baik’, maka Ia adalah Allah. Jika Ia bukan Allah, maka Ia tidak ‘baik’ dalam pengertian mutlak.” (Essential Truths of the Christian Faith)

Yesus, dengan bijaksana, membawa pemuda itu dari moralitas ke teologi, dari etika ke penyembahan. Ia ingin membuka mata rohani sang pemuda agar melihat bahwa hidup kekal tidak dimulai dari apa yang kita lakukan, tetapi dari siapa Allah itu.

Markus 10:19 – Ketaatan terhadap Hukum Taurat

“Kamu tahu hukum-hukum itu: ‘Jangan membunuh, jangan berzina, jangan mencuri, jangan memberi kesaksian palsu, jangan menipu, hormatilah ayah dan ibumu.’”

Yesus mengutip sebagian dari Sepuluh Perintah Allah, khususnya yang berkaitan dengan relasi manusia dengan sesamanya (kedua loh hukum). Ia tidak menyebut hukum pertama — tentang kasih kepada Allah — karena itulah yang sedang diuji.

John Stott menafsirkan bahwa Yesus “menggunakan hukum bukan sebagai jalan keselamatan, tetapi sebagai cermin untuk memperlihatkan dosa.” (The Contemporary Christian)

Dalam teologi Reformed, fungsi pertama Taurat adalah diagnostik: menyingkapkan ketidakmampuan manusia untuk memenuhinya. Dengan mengingatkan hukum, Yesus ingin menuntun pemuda itu kepada kesadaran bahwa ketaatan lahiriah tidak menjamin hati yang kudus.

Markus 10:20 – Kesalehan yang Dangkal

“Guru, semua itu sudah aku taati sejak masa mudaku.”

Jawaban ini menunjukkan dua hal: disiplin moral dan kebutaan rohani. Ia menganggap dirinya telah memenuhi hukum Allah. Namun dalam pandangan Allah, ketaatan sejati bukan hanya perbuatan luar, tetapi keadaan hati.

Jonathan Edwards menulis:

“Kebajikan lahiriah tanpa kasih kepada Allah bukanlah ketaatan sejati, melainkan keangkuhan rohani yang terselubung.” (Religious Affections)

Pemuda ini adalah representasi manusia religius — tekun, disiplin, dan terhormat — tetapi tanpa kelahiran baru. Ia mematuhi hukum, tetapi belum mengalami kasih karunia.

Markus 10:21 – Pandangan Kasih dan Panggilan yang Menuntut

“Namun, Yesus memandang kepada pemuda itu, menaruh kasih kepadanya, dan berkata kepadanya, ‘Kamu kurang dalam satu hal. Pergi dan juallah semua yang kamu miliki, dan berikanlah kepada orang miskin, maka kamu akan memiliki harta di surga. Lalu, datanglah dan ikutlah Aku.’”

Inilah momen paling dramatis. Markus satu-satunya penulis Injil yang mencatat bahwa Yesus “menaruh kasih” kepada pemuda itu. Kasih Kristus bukanlah penerimaan tanpa syarat terhadap dosa, tetapi panggilan menuju pertobatan sejati.

Perintah Yesus bukan aturan universal untuk semua orang, melainkan ujian hati. Ia mengungkap berhala tersembunyi dalam hati pemuda itu: kekayaan.

Martyn Lloyd-Jones menjelaskan:

“Kristus tidak menuntut kemiskinan sebagai syarat keselamatan, tetapi menyingkap bahwa kekayaan telah menjadi tuhan bagi orang muda itu. Injil selalu menuntut penyerahan total kepada Kristus sebagai Tuhan.” (Studies in the Sermon on the Mount)

Yesus tidak hanya memanggil dia untuk memberi, tetapi mengikut — sebuah panggilan yang melampaui moralitas menuju hubungan pribadi dengan Sang Juruselamat.

Calvin menulis dengan tajam:

“Ketaatan kepada Kristus tidak dapat dibagi. Ketika hati terikat pada dunia, kasih kepada Allah akan tercekik. Maka, Kristus menuntut seluruh hati, bukan sebagian.” (Institutes, III.6.5)

Markus 10:22 – Kesedihan karena Harta

“Orang itu sangat sedih ketika mendengar perkataan itu dan dia pergi dengan susah hati karena dia memiliki banyak harta.”

Kesedihan ini tragis — ia dekat dengan Kerajaan Allah, tetapi memilih menjauh. Kata Yunani stugnazō (στυγνάζω) berarti “mendung, muram, suram.” Hatanya menjadi gelap karena ia tidak dapat melepaskan apa yang dicintainya.

Augustinus pernah mengalami konflik serupa:

“Engkau memerintahkan aku untuk meninggalkan dunia, tetapi hatiku masih melekat pada debu.” (Confessions, VIII.1)

Dalam perspektif Reformed, ini menunjukkan kedaulatan kasih karunia: manusia tidak dapat menyerahkan dirinya kecuali Roh Kudus mengubahkan hati. Tanpa kelahiran baru, bahkan kasih Kristus pun hanya akan terasa sebagai beban.

II. Tema Teologis Utama

1. Keselamatan adalah Anugerah, bukan Usaha

Pertanyaan sang pemuda, “apa yang harus aku lakukan,” mewakili mentalitas hukum Taurat. Namun, Yesus menegaskan bahwa keselamatan bukanlah hasil perbuatan baik.

Efesus 2:8-9 menyatakan, “Sebab oleh kasih karunia kamu diselamatkan melalui iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah.”

Reformed theology menekankan doktrin sola gratia — keselamatan hanya karena anugerah. R.C. Sproul menulis, “Setiap kali kita menambahkan satu tetes usaha manusia ke dalam Injil, kita telah mencemarinya.” (Chosen by God)

2. Dosa Hati: Berhala Kekayaan

Bagi sang pemuda, harta bukan sekadar milik — ia adalah identitas, sumber keamanan, dan sukacita. Inilah esensi penyembahan berhala.

Timothy Keller, seorang teolog Reformed kontemporer, menjelaskan:

“Berhala adalah segala sesuatu yang kita anggap lebih penting dari Allah, yang jika hilang membuat kita merasa hidup ini tak berarti.” (Counterfeit Gods)

Yesus menyingkap bahwa bahaya terbesar bukan pada kekayaan itu sendiri, tetapi pada hati yang terikat padanya. Dalam teologi Reformed, dosa bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan penyimpangan arah kasih — mengasihi ciptaan lebih dari Sang Pencipta.

3. Panggilan Mengikut Kristus adalah Penyerahan Total

Yesus tidak hanya meminta pemuda itu “memberi”, tetapi “mengikut”. Ini berarti menjadikan Kristus pusat kehidupan, bukan tambahan moral.

Dietrich Bonhoeffer (walau bukan Reformed klasik, tetapi selaras secara teologis) menulis:

“Ketika Kristus memanggil seseorang, Ia memanggilnya untuk datang dan mati.” (The Cost of Discipleship)

Dalam terang Reformed, panggilan ini disebut effectual calling — panggilan yang efektif, di mana Roh Kudus menundukkan hati manusia untuk taat dengan sukacita.

4. Kasih Kristus yang Mengungkap dan Menyelamatkan

Perhatikan: Yesus “menaruh kasih” sebelum Ia menegur. Kasih Kristus bukanlah kasih yang memanjakan, tetapi kasih yang menyelamatkan dengan cara membongkar berhala.

John Owen menulis:

“Kristus mencintai kita dengan kasih yang menyucikan, bukan sekadar menenangkan. Ia menghancurkan berhala hati agar hanya diri-Nya yang memerintah di sana.” (Communion with God)

Kasih sejati dari Kristus tidak selalu terasa nyaman, tetapi selalu membawa kepada kehidupan.

III. Aplikasi Reformed bagi Gereja Masa Kini

1. Bahaya Kesalehan yang Dangkal

Gereja masa kini sering menghasilkan “orang muda kaya” — moral, aktif melayani, tetapi tidak mengenal Kristus secara pribadi. Banyak yang menganggap iman sebagai prestasi etis, bukan relasi kasih karunia.

John Piper mengingatkan:

“Kristus tidak mati untuk membuat kita menjadi orang baik; Ia mati untuk membuat kita menjadi orang yang mengasihi Allah lebih dari segalanya.” (Desiring God)

Maka gereja harus terus mengajarkan Injil kasih karunia, bukan moralitas kosong.

2. Kekayaan sebagai Ujian Hati

Kekayaan bukan dosa, tetapi ujian spiritual. Allah sering menguji siapa yang benar-benar kita sembah melalui cara kita memperlakukan harta.

Calvin menulis, “Kekayaan adalah pelayan yang baik, tetapi tuan yang jahat.” Jika harta menguasai hati, itu menjadi rantai yang menawan.

3. Kasih Kristus adalah Penggerak Pertobatan

Yesus menatap pemuda itu dengan kasih. Pertobatan sejati tidak lahir dari rasa takut akan hukuman, tetapi dari rasa kagum terhadap kasih Kristus yang tak layak kita terima.

Seperti dikatakan oleh Thomas Chalmers dalam khotbah terkenalnya The Expulsive Power of a New Affection:

“Satu-satunya cara mengusir kasih terhadap dunia adalah dengan menggantinya dengan kasih yang lebih besar kepada Kristus.”

4. Mengikut Kristus Berarti Menyerahkan Segalanya

Panggilan Yesus selalu radikal: meninggalkan semua yang menghalangi kita untuk mengikuti-Nya. Ini bukan soal jumlah yang diberikan, tetapi totalitas hati yang diserahkan.

B.B. Warfield menegaskan,

“Kristus tidak meminta sumbangan, tetapi penyerahan diri. Ia tidak mencari pekerja paruh waktu, melainkan murid yang mengorbankan seluruh hidup.”

IV. Kesimpulan: Jalan Menuju Kehidupan Kekal

Kisah ini berakhir dengan kesedihan manusia, tetapi juga membuka jalan bagi kasih karunia Allah. Pemuda itu pergi dengan sedih, tetapi Yesus melanjutkan ajaran-Nya tentang bagaimana Allah memampukan yang mustahil (Markus 10:27).

Inilah inti teologi Reformed:

  • Manusia tidak mampu menyelamatkan dirinya.

  • Kristus adalah satu-satunya jalan keselamatan.

  • Roh Kudus mengubah hati agar kita mampu mengikut Kristus.

Dalam terang ini, Markus 10:17–22 bukan sekadar kisah kegagalan, melainkan undangan: meninggalkan berhala dunia dan menemukan harta sejati dalam Kristus.

“Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” — Matius 6:21

Kiranya kita belajar seperti pemuda itu — tetapi dengan akhir yang berbeda: bukan pergi dengan sedih, melainkan datang dengan iman, karena kita telah menemukan harta yang sejati di dalam Yesus Kristus, Tuhan kita.

Next Post Previous Post