Keluaran 6:10–11 - Panggilan yang Tidak Dapat Ditolak

Keluaran 6:10–11 - Panggilan yang Tidak Dapat Ditolak

Keluaran 6:10–11 (AYT)
“TUHAN berfirman kepada Musa,
‘Pergilah dan katakan kepada Firaun, raja Mesir, bahwa dia harus membiarkan keturunan Israel keluar dari negerinya.’”

Pendahuluan: Panggilan di Tengah Keputusasaan

Pasal ini mencatat masa tersulit dalam pelayanan Musa. Setelah Musa menyampaikan pesan Allah kepada Firaun untuk membebaskan bangsa Israel, bukan kebebasan yang terjadi, melainkan penindasan yang lebih berat (Keluaran 5:1–23). Musa sendiri mulai ragu:

“Tuhan, mengapa Engkau menimpakan malapetaka ini kepada umat-Mu?” (Keluaran 5:22).

Namun di tengah keputusasaan itu, Allah kembali berbicara. Firman yang sama bergema lagi — “Pergilah dan katakan kepada Firaun.”

Dalam dua ayat ini, kita melihat inti dari panggilan Allah yang berdaulat:

  • Panggilan Allah tidak bergantung pada keberhasilan manusia.

  • Ketaatan dituntut bahkan ketika hasil belum terlihat.

  • Kuasa Firman Allah mengatasi ketakutan dan kelemahan manusia.

John Calvin menulis dalam Commentary on Exodus:

“Allah mengulangi perintah yang sama kepada Musa bukan karena lupa, tetapi karena Ia hendak meneguhkan kembali iman hambanya yang mulai goyah. Firman Allah adalah penghiburan bagi jiwa yang ragu.”

I. Konteks Historis dan Teologis

Keluaran 6 muncul dalam konteks di mana Musa dan bangsa Israel mengalami kegagalan pertama dalam misi pembebasan. Firaun menolak, pekerjaan semakin berat, dan harapan umat mulai pudar.

Namun pasal ini menegaskan bahwa Allah tetap setia pada janji-Nya kepada Abraham, Ishak, dan Yakub. Sebelum memerintahkan Musa, Allah menyatakan identitas-Nya:

“Akulah TUHAN... Aku akan membawa kamu keluar dari perbudakan...” (Keluaran 6:6–8).

Jadi, perintah di ayat 10–11 bukan sekadar tugas, melainkan lanjutan dari perjanjian Allah yang kekal.

Dalam teologi Reformed, janji ini mencerminkan kedaulatan perjanjian Allah (covenantal sovereignty):
Allah tidak bertindak berdasarkan respons manusia, tetapi atas dasar janji yang telah Ia tetapkan dalam kekekalan.

Herman Bavinck menulis:

“Perjanjian Allah bukanlah kontrak dua arah antara pihak yang sejajar, melainkan inisiatif unilateral dari Allah yang penuh kasih karunia.” (Reformed Dogmatics, Vol. 3)

Dengan demikian, ketika Musa diperintahkan untuk “pergi dan katakan”, itu bukan sekadar tanggung jawab moral, tetapi partisipasi dalam misi ilahi yang tak dapat gagal.

II. Eksposisi Ayat per Ayat

A. Keluaran 6:10 — “TUHAN berfirman kepada Musa”

Ungkapan ini sederhana, namun merupakan inti dari seluruh pelayanan Musa: Firman mendahului tindakan.

Musa bukan nabi yang datang dengan ide-idenya sendiri; ia berbicara hanya karena Allah berfirman kepadanya.

John Owen menyatakan:

“Segala pelayanan sejati harus dimulai dengan firman Allah. Tanpa pewahyuan ilahi, bahkan semangat yang besar hanyalah kesia-siaan.” (The Glory of Christ)

Dalam konteks ini, firman Allah datang sebagai pembaruan mandat.
Musa telah mengeluh, tetapi Allah tidak berdebat. Ia tidak menjawab keluhan Musa dengan argumen panjang, melainkan dengan firman baru — tanda bahwa solusi ilahi bukanlah diskusi, melainkan ketaatan.

R.C. Sproul menegaskan dalam The Holiness of God:

“Ketika Allah berbicara, Ia tidak menawarkan saran; Ia memerintahkan. Setiap firman-Nya membawa otoritas ilahi yang menuntut respons iman.”

Firman “TUHAN berfirman” juga mengingatkan kita bahwa otoritas Musa bersifat derivatif — berasal dari Allah. Dengan demikian, keberanian Musa tidak bersumber dari dirinya, tetapi dari otoritas Firman yang ia bawa.

B. Keluaran 6:11 — “Pergilah dan katakan kepada Firaun...”

Di sini, Allah mengulang perintah yang pernah diberikan sebelumnya (Keluaran 5:1). Namun kali ini perintah itu datang setelah kegagalan.

Inilah ujian iman sejati: maukah Musa taat lagi setelah gagal?

Perintah ini menegaskan bahwa ketaatan bukan bergantung pada hasil, melainkan pada perintah Allah itu sendiri.

Matthew Henry menulis:

“Musa diajar untuk belajar percaya kepada Firman Tuhan lebih daripada keadaan. Ketika dunia berkata ‘tidak mungkin’, Firman berkata ‘pergilah’.”

Frasa “Pergilah” menunjukkan tindakan aktif — bukan diam, bukan menunggu tanda baru. Allah mengutus Musa kembali ke medan yang sama yang telah membuatnya kecewa. Ini adalah ujian ketaatan di tengah keputusasaan.

Geerhardus Vos dalam Biblical Theology menafsirkan perintah ini sebagai bentuk “progresi wahyu”:

“Allah menyingkapkan bahwa keselamatan umat-Nya tidak datang dengan segera, tetapi melalui proses perlawanan dan penderitaan. Firman Allah terus memanggil hamba-Nya untuk maju, bahkan ketika realitas tampak menolak.”

III. Teologi Panggilan dan Ketaatan

1. Allah yang Memanggil, Manusia yang Dikuatkan

Musa pada saat ini merasa lemah, bahkan menolak panggilan itu:

“Umat Israel tidak mendengarkan aku, bagaimana mungkin Firaun mau mendengar?” (Keluaran 6:12).

Namun, panggilan Allah tidak dibatalkan oleh kelemahan hamba-Nya.

Dalam teologi Reformed, ini disebut efektivitas panggilan Allah (effectual calling):
Ketika Allah memanggil, Ia juga memberikan kuasa untuk menanggapi panggilan itu.

John Calvin menulis:

“Ketika Allah memerintahkan Musa untuk pergi, Ia juga menanamkan dalam dirinya kekuatan yang diperlukan untuk menaati perintah itu. Perintah Allah selalu diiringi dengan kuasa.” (Commentary on Exodus)

Kelemahan Musa menjadi wadah bagi kuasa Allah yang sempurna.
Inilah prinsip soli Deo gloria dalam pelayanan: Allah memakai yang lemah untuk mempermalukan yang kuat (1 Korintus 1:27).

2. Firman Allah sebagai Dasar Keberanian

Kata “katakan” (dabber) menegaskan peran Musa sebagai penyampai Firman, bukan orator yang memengaruhi. Musa hanya harus menyampaikan dengan setia apa yang telah difirmankan.

Charles Spurgeon berkata:

“Keberanian sejati dalam pelayanan bukanlah hasil temperamen, tetapi keyakinan bahwa kita membawa Firman Allah yang hidup.” (Lectures to My Students)

Bagi teologi Reformed, Firman adalah alat utama kuasa Allah.
Firman yang diucapkan bukan hanya informasi, tetapi perbuatan Allah sendiri (bandingkan Yesaya 55:11).

Ketika Musa berbicara, sebenarnya Allah sendiri yang sedang berbicara melalui dia.
Itulah sebabnya keberhasilan misi Musa tidak bergantung pada kefasihan, tetapi pada kehadiran Allah melalui Firman-Nya.

3. Kedaulatan Allah atas Hati Firaun

Allah tidak hanya memerintahkan Musa, tetapi juga telah menetapkan respons Firaun.
Dalam ayat-ayat berikutnya (Keluaran 7:3), Allah berfirman:

“Aku akan mengeraskan hati Firaun.”

Ini menunjukkan bahwa misi Musa tidak mungkin gagal, bahkan ketika tampak gagal.

B.B. Warfield menjelaskan:

“Kedaulatan Allah tidak berarti bahwa manusia menjadi boneka, melainkan bahwa rencana Allah tergenapi melalui keputusan manusia yang nyata.” (Biblical Doctrines)

Dengan kata lain, bahkan penolakan Firaun merupakan bagian dari rencana Allah untuk menyingkapkan kemuliaan-Nya melalui tanda-tanda mujizat di Mesir.
Musa hanya perlu taat; hasilnya ada di tangan Tuhan.

IV. Dimensi Kristologis dari Teks Ini

Setiap bagian dari Keluaran menunjuk kepada karya Kristus.
Dalam teks ini, Musa berperan sebagai tipe Kristus (type of Christ):

  • Musa diutus untuk membebaskan umat dari perbudakan Mesir.

  • Kristus diutus untuk membebaskan umat dari perbudakan dosa.

Ketika Musa diperintahkan untuk “pergi kepada Firaun”, itu melambangkan misi inkarnasional Kristus yang datang ke dunia yang menolak-Nya.

Herman Ridderbos menulis:

“Seluruh sejarah penebusan adalah sejarah Allah yang mengutus. Musa diutus ke Mesir, para nabi diutus ke Israel, dan akhirnya Anak diutus ke dunia.” (The Coming of the Kingdom)

Seperti Musa, Kristus datang dengan Firman Bapa; namun dunia menolak-Nya.
Namun justru melalui penolakan itulah rencana keselamatan Allah tergenapi.

V. Pelajaran Teologis untuk Gereja

1. Ketaatan di Tengah Ketidakpastian

Musa dipanggil untuk taat tanpa jaminan hasil langsung.
Demikian juga gereja hari ini dipanggil untuk mengabarkan Injil, bukan karena hasil yang dijamin secara statistik, tetapi karena perintah Kristus yang berdaulat.

Francis Schaeffer menulis:

“Kesetiaan, bukan keberhasilan, adalah ukuran sejati dari pelayanan Kristen.” (No Little People)

2. Firman Allah Adalah Otoritas Tertinggi

Tugas Musa adalah “berkata”, bukan bernegosiasi. Ini mengingatkan gereja bahwa pekerjaan utama bukanlah kompromi dengan dunia, tetapi pemberitaan Firman Allah apa adanya.

Dalam semangat Reformasi, ini disebut sola Scriptura — Firman Allah sebagai otoritas tertinggi atas semua iman dan praktik.

John Knox pernah berkata:

“Beri aku sepuluh orang yang mencintai Allah dan membenci dosa, dan aku akan mengguncang dunia. Karena Firman Allah di dalam mulut mereka lebih kuat dari semua kekuatan dunia.”

3. Allah Setia pada Janji-Nya

Meskipun situasi tidak berubah, Allah tetap mengulangi perintah-Nya kepada Musa. Ini adalah tanda kesetiaan perjanjian Allah.

Dalam teologi Reformed, kesetiaan Allah adalah dasar penghiburan orang percaya.
Louis Berkhof menulis:

“Kesetiaan Allah adalah jaminan bahwa Ia akan menyelesaikan apa yang telah Ia mulai, sekalipun kita sering gagal.” (Systematic Theology)

4. Kelemahan Bukan Penghalang bagi Panggilan Ilahi

Musa berkali-kali menyatakan ketidaklayakan dirinya. Namun Allah tidak memilih berdasarkan kemampuan, melainkan berdasarkan kasih karunia-Nya.

Inilah prinsip sola gratia dalam pelayanan:
Setiap keberhasilan rohani adalah hasil kasih karunia semata.

Charles Hodge menyimpulkan dengan indah:

“Allah tidak memanggil yang cakap, Ia mencakapkan yang terpanggil.” (Systematic Theology, Vol. 1)

VI. Implikasi Praktis

  1. Bagi para pelayan Tuhan:
    Firman yang memanggil kita untuk melayani juga memberi kekuatan untuk taat.
    Jangan menilai keberhasilan dari hasil, tetapi dari kesetiaan pada Firman.

  2. Bagi jemaat:
    Allah tetap bekerja bahkan ketika keadaan tampak stagnan. Firman-Nya tidak pernah kembali dengan sia-sia (Yesaya 55:11).

  3. Bagi gereja di dunia modern:
    Panggilan untuk “pergi dan katakan” masih berlaku. Dunia ini adalah Mesir rohani yang menindas manusia dalam dosa, dan gereja adalah utusan Kristus yang membawa kabar pembebasan.

VII. Arah Eskatologis: Dari Mesir ke Tanah Perjanjian

Misi Musa di Mesir adalah awal dari kisah penebusan besar yang berpuncak di dalam Kristus.
Pembebasan Israel hanyalah bayangan dari pembebasan kekal dari dosa.

Ketika Allah berkata, “Pergilah dan katakan,” Ia sedang menulis sejarah keselamatan yang mengarah kepada Anak Domba yang akan datang.

Sebagaimana Musa membawa umat keluar dari Mesir, Kristus membawa umat-Nya keluar dari kematian menuju kehidupan.
Perintah yang sama kini diberikan kepada gereja:

“Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku.” (Matius 28:19)

Panggilan yang sama, kuasa yang sama, dan janji yang sama menyertai kita:

“Aku menyertai kamu senantiasa.” (Matius 28:20)

VIII. Penutup: Ketaatan di Tengah Ketidaklayakan

Keluaran 6:10–11 mengingatkan kita bahwa Allah tidak memanggil yang sempurna, tetapi Ia menyempurnakan yang dipanggil.
Musa belajar bahwa ketaatan lebih penting daripada perasaan cukup.

Ketika Firman Allah datang, ia menembus keputusasaan dan menyalakan kembali api iman.
Begitu pula dalam kehidupan kita, Firman yang sama masih berbicara:

“Pergilah, dan katakan…”

Karena di balik setiap perintah Allah, selalu ada kuasa anugerah yang memampukan kita melakukannya.

Seperti kata John Calvin:

“Ketaatan kepada Allah bukanlah hasil dari keberanian manusia, tetapi buah dari kepercayaan kepada janji Allah yang tidak pernah gagal.”

Next Post Previous Post