PRIORITAS PERJANJIAN BARU ATAS PERJANJIAN LAMA BAGI PENGAJARAN KRISTEN YANG SEHAT

Pdt.Samuel T. Gunawan, M.Th.
PRIORITAS PERJANJIAN BARU ATAS PERJANJIAN LAMA BAGI PENGAJARAN KRISTEN YANG SEHAT
PRIORITAS PERJANJIAN BARU ATAS PERJANJIAN LAMA BAGI PENGAJARAN KRISTEN YANG SEHAT. Salah satu penyebab kesalahan pemahaman teologis Yahweisme, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya adalah kegagalan mereka memahami bahwa pusat dari Kekristenan adalah Kristus (Kristosentris) bukan tradisi Yahudi atau pun tradisi rabinik Yudaisme. Karena pusat dari Kekristenan adalah Kristus, maka cara menafsirkan Alkitab harus berpusat pada Kristus (Kristosentris), yaitu menafsirkan Alkitab dalam kaitannya dengan pusatnya, yaitu Kristus. 

Kesalahan yahweisme yang berikutnya adalah kegagalan memahami bahwa Perjanjian Lama wajib ditafsirkan dari sudut pandang Perjanjian Baru karena pewahyuan bersifat progresif. Bagaimanapun juga harus dipahami bahwa Perjanjian Baru memiliki prioritas yang lebih besar sebagai sumber pengajaran. 

Steven Djie, seorang teolog dan apologet Yahweisme dalam video youtobe Sarasehan Iman Kristen dengan tema Moksa atau Maksa menyatakan. “kenapa harus mengaitkan YAHWEH dengan pembuktian Perjanjian Baru. Bukankah lebih baik bertanya itu apakah YAHWEH ada di dalam Alkitab, sebab Alkitab kita itu itu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. ... Jadi lihat dulu, kalau seseorang belajar bibliologi apa yang tidak ada di Perjanjian Baru ada di Perjanjian Lama, apa yang tidak ada di Perjanjian Lama ada di Perjanjian Baru. Kalau coba dikurung giring ke Perjanjian Baru mungkin ini Marcionisme”.[2]

Prinsip menafsirkan Alkitab dengan memperhatikan prioritas Perjanjian Baru atas Perjanjian Lama dianggap oleh Steven Djie sama dengan Marcionisme. Ini tentu saja keliru! Berikut ini tanggapan dan penjelasan saya terhadap. 

1. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru merupakan satu kesatuan yang harmonis, bukan saling bertentangan seperti pandangan bidat Marcionisme.[3] Marcion yang hidup pada abad kedua mengajarkan bahwa Allah dalam Perjanjian Lama adalah Allah yang menciptakan dan yang sangat tegas dalam menjalankan keadilan, sedangkan Allah Perjanjian Baru adalah Allah yang penuh kasih. 

Marcion juga berpandangan bahwa keselamatan hanya diberikan kepada orang yang menyangkal Perjanjian Lama dan menyerahkan diri kepada Allah yang mengutus Yesus Kristus. Dualisme Marcion tentang Allah tersebut jelas bertentangan dengan ajaran Alkitab karena Allah Perjanjian Lama yang memberikan Taurat dan Allah dalam Perjanjian Baru yang menyatakan diri dalam Kristus adalah Allah yang sama. 

Dengan menggambarkan bahwa Allah Perjanjian Lama dan Allah Perjanjian itu berbeda membawa Marcion pada penolakan terhadap kesatuan Alkitab. Dampak dari ajaran Marconisme ini masih terasa hingga hari ini, yaitu adanya orang-orang yang mengontraskan Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru. Prioritas Perjanjian Baru atas Perjanjian Lama bukanlah Marconianisme; bukan juga mempertentangan Perjanjian Lama dari Perjanjian Baru. Tetapi menyatakan pewahyuan Allah yang bersifat progresif dimana Perjanjian Lama mencapai penggenapannya di dalam Perjanjian Baru. 

Kevin J. Conner menjelaskan keselarasan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sebagai berikut, “Alkitab berisi dua bagian utama, Perjanjian Lama dan Baru, yang keduanya memiliki penekanannya yang unik. Namun, masing-masing tidak lengkap tanpa yang lain dan masing-masing saling melengkapi secara sempurna. Ada sekitar 6.600 referensi silang di antara keduanya yang mendukung keterkaitan mereka. 

Telah dikatakan bahwa: Perjanjian Baru dimasukkan dalam Perjanjian Lama, Perjanjian Lama dijelaskan dalam Perjanjian Baru; Perjanjian Baru dibungkus dalam Perjanjian Lama, Perjanjian Lama disingkapkan dalam Perjanjian Baru; Perjanjian Baru disembunyikan dalam Perjanjian Lama, Perjanjian Lama diungkapkan dalam Perjanjian Baru”.[4] 

Henry C. Thiessen menyatakan, “Sekalipun Alkitab ditulis oleh sekitar empat puluh penulis berbeda selama rentang waktu sekitar 1.600 tahun, amanatnya satu. Alkitab mempunyai satu sistem doktrinal, satu tolok ukur moral, satu rencana keselamatan, satu program untuk segala zaman”.[5] Orang-orang yang mengontraskan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru itu perlu benar-benar mempertimbangan bahwa: 

(1) Allah Perjanjian Lama dan Allah Perjanjian Baru itu satu dan Allah sama adanya; 

(2) Pewahyuan Allah tentang diriNya dan rencana keselamatan serta penggenapannya bersifat progresif. Karena tidak memahami kedua hal ini, orang-orang tersebut akhirnya berkesimpulan bahwa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru itu memang berbeda secara tajam dan tidak memiliki kesinambungan. Walau Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam hal tertentu memiliki perbedaan namun merupakan suatu kesatuan yang harmonis jika dilihat dari Kristus sebagai sentralitas (pusat) berita Alkitab. 

2. Walaupun Kitab Suci diilhami dan bermanfaat, namun Perjanjian Baru memiliki prioritas yang lebih besar sebagai sumber pengajaran. 

Hal ini ditegaskan Charles C. Ryrie ketika ia menjelaskan, “Perjanjian Baru memiliki prioritas yang lebih besar sebagai sumber pengajaran. Pernyataan Perjanjian Lama merupakan persiapan dan tidak lengkap, sedangkan pernyataan Perjanjian Baru merupakan klimaks dan lengkap”.[6] 

Telah disebutkan dalam prinsip Kristosentris di atas bahwa setiap ajaran utama dalam Alkitab selalu ditemukan dalam perkataan Tuhan Yesus? Ajaran Yesus ini kemudian dikembangkan melalui pewahyuan Roh Kudus dalam tulisan Injil dan surat-surat apostolik Perjanjian Baru. 

Yesus berjanji bahwa saat Roh Kudus datang, Dia akan memimpin rasul-rasul pertama itu dalam seluruh kebenaran dan mengungkapkan segala sesuatu kepada mereka (Yohanes 14:26 bandingkan 16:13-14). Yesus memang telah mengajarkan segala sesuatu kepada murid-muridNya, tetapi dalam ukuran tertentu sebelum Roh Kudus datang, mereka tidak mampu memahami perkataan-perkataan Kristus. 

Pada hari Pentakosta, saat Roh Kudus diberikan, murid-murid mendapatkan pemahaman baru terhadap perkataan Kristus dan Perjanjian Lama, dan mereka mencatatnya dalam apa yang kita kenal dengan Perjanjian Baru. Karena itu bagi orang percaya, Perjanjian Baru memiliki prioritas atas Perjanjian Lama. Artinya, Perjanjian Lama harus dipahami dalam terang Perjanjian Baru, yang menjelaskan, menegaskan kembali dan mengoreksi Perjanjian Lama. 

Dengan demikian harus di mengerti bahwa ajaran Kekristenan yang Alkitabiah tidak didasarkan atas Perjanjian Lama, melainkan berdasarkan Perjanjian Baru yang didasarkan pada ajaran Kristus. Roh Kudus yang mencerahkan pengertian para Rasul terhadap ajaran Kristus dan memberikan pewahyuan kepada mereka dalam menuliskan Perjanjian Baru di bawah pengilhaman Roh Kudus, adalah Roh Kudus yang sama yang memberikan kemampuan kepada kita untuk memahami ajaran Kristus, ajaran Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama, yaitu Alkitab. Para teolog menyebutnya dengan istilah “iluminasi” Roh Kudus.[7] 

Petrus mengatakan “Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah” (1 Petrus 1:20-21 ). 

3. Untuk bisa menafsirkan secara wajar tetapi konsisten, harus mengakui bahwa pewahyuan Alkitab diberikan secara progresif.[8] Artinya bahwa dalam proses pewahyuan pesanNya kepada manusia, Allah bisa menambah atau bahkan mengubah dalam suatu waktu apa yang Dia telah berikan sebelumnya. 

Sangat jelas Perjanjian Baru menambah banyak yang belum dinyatakan dalam Perjanjian Lama. Apa yang Allah nyatakan sebagai kewajiban suatu saat bisa dibatalkan kemudian. Contoh : Seperti larangan makan daging babi, pernah mengikat umat Allah, kini dibatalkan (1 Timotius 4:3). Kegagalan untuk mengenal sifat progresif ini dalam pewahyuan, akan membangkitkan kontradiksi yang tidak bisa diselesaikan antara bagian-bagian Alkitab kalau diartikan secara harafiah dan wajar. 

Perhatikan contoh-contoh berikut dari Alkitab yang akan berkontradiksi jika diartikan secara sederhana atau harafiah kecuali jika kita mengenal adanya perubahan karena adanya kemajuan (progres) dalam pewahyuan : Matius 10:5-7 dan 28:18-20; Lukas 9:3 dan 22:36; Kejadian 17:10 dan Galatia 5:2; Keluaran 20:8 dan Kisah Para Rasul 20:7.Perhatikan juga perubahan penting dinyatakan dalam Yohanes 1:17; 2 Korintus 3:7-11. Mereka yang tidak secara konsisten memakai prinsip pewahyuan yang progresif ini dalam penafsiran terpaksa kembali pada penafsiran secara alegoris, mistis atau kadang-kadang mengabaikan saja bukti yang ada.[9] 

Barkaitan dengan mewajibkan nama YAHWEH oleh gerakan Yahweisme ini maka dalam hal ini gereja mengikuti teladan Kristus dan Para Rasul di Perjanjian Baru. Dimana Kristus dan Para Rasul tidak mempermasalah ketika Septaguinta (Perjanjian Lama Berbahasa Yunani) yang dipakai sebagai secara luas pada saat itu menggantikan kata YHWH dengan Kurios dan Elohim dengan Theos. 

Karena itulah teks asli Perjanjian Baru berbahasa Yunanipun ketika ditulis jelas-jelas mengikuti Septaguinta ini. Dengan demikian, memaksakan dan mewajibkan pemakian kata YAHWEH dalam Perjanjian Baru, padahal teks asli dari Perjanjian Baru sendiri tidak mempertahankan kata YHWH tentu saja merupakan suatu kekeliruan. Apakah kelompok Yahweisme merasa lebih berotoritas daripada Yesus, para rasul dan penulis Perjanjian Baru yang tidak lagi memakai kata YHWH dalam tulisan-tulisan mereka? 

Karena itu ketika Yahweisme menyalahkan Lembaga Alkitab Indonesia dan gereja-gereja yang memakai kata Tuhan untuk YHWH, maka itu artinya mereka juga menyalahkan Tuhan Yesus dan para rasul yang telah mengganti kata YHWH menjadi Kurios. Ini juga berarti Yahweisme mengabaikan Perjanjian Baru atau tidak mengakui otoritas perjanjian Baru yang di inspirasikan oleh Roh Kudus.[10] Jika mereka memahami ini tetapi dengan sengaja mengabaikan Perjanjian Baru, maka mereka bukan hanya telah melakukan kesalahan melainkan sudah mengarah kepada kesesatan.

4. Kebanyakan orang Kristen akan setuju bahwa subjek utama ayat-ayat Perjanjian Baru adalah Yesus Kristus. Namun, bagaimana orang Kristen harus menghargai Perjanjian Lama? Beberapa orang akan mengatakan “Tentu saja, ada beberapa teks dalam Perjanjian Lama yang merupakan kiasan tentang Yesus Kristus. Namun, kenyataannya mayoritas ayat-ayat ini tidak berbicara apa-apa tentang Dia?” Apakah sudut pandang yang umum ini dapat bertahan terhadap ujian pewahyuan Perjanjian Baru? 

Kita Perlu mempertimbangkan kembali apa yang dikatakan rasul Paulus dalam 2 Timotius 3:14-15, dikatakan demikian, “Tetapi hendaklah engkau tetap berpegang pada kebenaran yang telah engkau terima dan engkau yakini, dengan selalu mengingat orang yang telah mengajarkannya kepadamu. Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus”. 

Disini, yang dimaksud dengan Kitab Suci adalah apa yang sekarang ini kita sebut sebagai Perjanjian Lama, karena pada saat surat ini ditulis kanon Perjanjian Baru belum selesai. Namun yang terpenting ialah apa tujuan Perjanjian Lama dalam ayat ini bagi orang-orang yang hidup pada zaman Perjanjian Baru? Paulus mengatakan dengan jelas, “dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus”. 

Jadi Perjanjian Lama dapat menuntun orang kepada iman kepada Yesus Kristus. Tentu saja, bila kita menafsirkan ayat-ayat Perjanjian Lama sebagaimana seharusnya ditafsirkan, yaitu bukan sekedar sebagai teks yang terpisah dari seluruh Alkitab, tetapi sebagai papan penunjuk untuk mengantisipasi penebusan yang dilakukan oleh Kristus. 

Rasul Petrus menuliskan, “Keselamatan itulah yang diselidiki dan diteliti oleh nabi-nabi, yang telah bernubuat tentang kasih karunia yang diuntukkan bagimu. Dan mereka meneliti saat yang mana dan yang bagaimana yang dimaksudkan oleh Roh Kristus, yang ada di dalam mereka, yaitu Roh yang sebelumnya memberi kesaksian tentang segala penderitaan yang akan menimpa Kristus dan tentang segala kemuliaan yang menyusul sesudah itu. 

Kepada mereka telah dinyatakan, bahwa mereka bukan melayani diri mereka sendiri, tetapi melayani kamu dengan segala sesuatu yang telah diberitakan sekarang kepada kamu dengan perantaraan mereka, yang oleh Roh Kudus, yang diutus dari sorga, menyampaikan berita Injil kepada kamu, yaitu hal-hal yang ingin diketahui oleh malaikat-malaikat” (1 Petrus 1:10-12). 

Ada dua hal yang penting disini menurut rasul Petrus, yaitu bahwa sumber pewahyuan yang diberikan kepada nabi-nabi ini adalah Roh Kristus di dalam mereka; dan Roh Kristus berbicara melalui nabi-nabi ini tentang keselamatan yang dikerjakan oleh Kristus sendiri. Dengan perkataan lain, Roh yang menggilhami penulis Perjanjian Baru, yang secara reflektif berpusat pada pribadi dan pekerjaan Kristus, adalah Roh yang sama yang mengilhami penulisan Perjanjian Lama, yang juga berfokus pada Kristus , tetapi dalam cara mengantisipasi. 

5. Jika orang Kristen ingin membaca Alkitab dengan benar, mereka harus mengerti bahwa ayat-ayat Perjanjian Lama bukan pewahyuan yang berdiri sendiri (seperti yang dipahami oleh orang-orang Yahudi, karena memang orang-orang Yahudi non Kristen tidak mengakui Perjanjian Baru). 

Ini jelas sebagaimana dimaksudkan Rasul Paulus dalam pembukaan dan penutup surat rasulinya kepada jemaat di Roma, “Dari Paulus, hamba Kristus Yesus, yang dipanggil menjadi rasul dan dikuduskan untuk memberitakan Injil Allah. 

Injil itu telah dijanjikan-Nya sebelumnya dengan perantaraan nabi-nabi-Nya dalam kitab-kitab suci, tentang Anak-Nya, yang menurut daging diperanakkan dari keturunan Daud ... Bagi Dia, yang berkuasa menguatkan kamu, -- menurut Injil yang kumasyhurkan dan pemberitaan tentang Yesus Kristus, sesuai dengan pernyataan rahasia, yang didiamkan berabad-abad lamanya, tetapi yang sekarang telah dinyatakan dan yang menurut perintah Allah yang abadi, telah diberitakan oleh kitab-kitab para nabi kepada segala bangsa untuk membimbing mereka kepada ketaatan iman -- bagi Dia, satu-satunya Allah yang penuh hikmat, oleh Yesus Kristus: segala kemuliaan sampai selama-lamanya! Amin” (Roma 1:1-3; 16:25-27). 

Karena alasan ini Perjanjian Lama menjadi Alkitab bagi orang-orang Kristen yang mula-mula bukan karena mereka menganggapnya dapat menjadi panduan moral sampai Perjanjian Baru dapat ditulis, melainkan karena mereka meyakini bahwa ayat-ayat Perjanjian Lama mengarahkan mereka kepada Yesus Kristus, sampai hari-hari penggenapan dimana semua gambaran, bayangan, contoh dan janji tentang penebusan akan digenapi di dalam Kristus. Filipus pada masa-masa awal pelayanan Yesus memberi kesaksian didepan umum demikian, “Pada keesokan harinya Yesus memutuskan untuk berangkat ke Galilea. 

Ia bertemu dengan Filipus, dan berkata kepadanya: "Ikutlah Aku!" Filipus itu berasal dari Betsaida, kota Andreas dan Petrus. Filipus bertemu dengan Natanael dan berkata kepadanya: "Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam kitab Taurat dan oleh para nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret" (Yohanes 1:43-45). 

Filipus menerima pewahyuan dalam Perjanjian Lama ketika ia menyebut, “hukum Taurat dan kitab nabi-nabi” sebagai tulisan tentang Yesus Kristus. Namun yang lebih penting, Yesus sendiri menegaskan kepada orang-orang Farisi bahwa Kitab-kitab Suci (Perjanjian Lama) memberi kesaksian tentang Dia (Yohanes 5:39). 

Pada hari Pentakosta, Petrus berkhotbah dan mengutip dari 2 Samuel 7, Mazmur 16 dan 110, dan Yoel 2. Selanjutnya, dalam Kisah Para Rasul pasal 3 ketika memberitakan Injil di Bait Allah, Petrus menjelaskan “dengan jalan demikian Allah menggenapi apa yang telah difirmankanNya dahulu dengan perantaraan nabi-nabiNya, yaitu bahwa Mesias yang diutusNya hanrus menderita” (Kisah Para Rasul 3:18). Kemudian Ia mengutip Kejadian 22 dan Ulangan 18. Ketika berkhotbah dihadapan Sanhendrin dalam Kisah Para Rasul 4, Petrus mengutip Mazmur 118. Dalam Kisah Para Rasul 8, Filipus mengkhotbahkan Kristus dari teks Yesaya 53 kepada seorang sida-sida Etiopia. 

Ketika Petrus bertemu dengan Kornelius, seorang yang takut akan Allah, ia mengutip Perjanjian Lama dengan otoritasnya, “Tentang Dialah semua nabi bersaksi, bahwa barangsiapa percaya kepada-Nya, ia akan mendapat pengampunan dosa oleh karena nama-Nya” Kisah Para Rasul 10:43). Rasul Paulus ketika berada di Tesalonika menjelaskan kepada orang-orang di salah satu rumah ibadah Yahudi disana dari Perjanjian Lama bahwa Yesus adalah Mesias (Kisah Para Rasul 17:2-3). 

Ketika berhadapan dengan Raja Agripa ia menjelaskan bahwa apa yang diberitakannnya adalah tentang Yesus (Mesias) sebagaimana yang sebelumnya telah diberitahukan oleh para nabi dan juga oleh Musa (Kisah Para Rasul 26:222-23). Akhirnya, saat menjadi tahanan rumah di Roma terhadap sejumlah besar orang yang menemuinya, Rasul Paulus “menerangkan dan memberi kesaksian kepada mereka tentang Kerajaan Allah; dan berdasarkan hukum Musa dan kitab para nabi ia berusaha meyakinkan mereka tentang Yesus”. (Kisah Para Rasul 28:23). 


6. Kesimpulannya ialah bahwa eksposisi apostolik terhadap Perjanjian Lama terus menunjuk kepada Yesus Kristus. Para rasul yakin bahwa ini adalah tujuan yang dimaksudkan Roh Kudus tentang ayat-ayat Perjanjian Lama. Jelaslah pola yang apostolik untuk memberitakan Yesus Kristus dari Perjanjian Lama harus benar-benar menjadi contoh bagi Kekristenan dalam menafsirkan Perjanjian Lama. 

Hal ini tidak perlu diragukan, karena Yesus sendiri pada waktu berada di sinagoge di Nazaret, memegang gulungan kitab Nabi Yesaya ditanganNya, lalu membaca nubuat dari pasal 61. Ketika selesai membacaNya, ia berkata kepada semua orang yang berada di sinagoge itu, “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya” (Lukas 4:21). Dengan perkataan lain, Yesus hendak mengatakan kepada mereka, “Yesaya menulis tentang Aku”. Sebagai tambahan, perlu diketahui bahwa kehidupan Yesus Kristus menggenapi atau melengkapi semua janji Allah yang terdapat dalam Kitab Suci (Perjanjian Lama). 

Hal ini terungkap dalam perkataan Yesus di dalam Matius 5:17, ”Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya”. Kata “menggenapi” dalam ayat di atas merupakan terjemahan dari kata Yunani πληρωσαι (plêrôsai), dalam bentuk aorist aktif infinitif dari kata kerja πληροω (plêroô), yang berarti “memenuhi, mengisi, melengkapi, mengakhiri”. 

Disini, menurut Grant R. Osbone, “plêrôun berarti bahwa makna Perjanjian Lama telah dilengkapi dengan digenapi di dalam Yesus; dalam perbuatan-perbuatanNya dan ajaran-ajaranNya Ia menjunjung Perjanjian Lama ketataran yang lebih tinggi. Ada dua ide, Ia telah melengkapi atau memenuhi makna dari Perjanjian Lama, dan Ia merupakan penafsir final dari hukum Taurat”. [11] Kegagalan memahami keharusan menafsirkan Perjanjian Lama berdasarkan sudut pandang Perjanjian Baru menyebabkan kelompok Yahweisme tertentu ini memberlakukan (mewajibkan) kembali hal-hal tertentu dalam Perjanjian Lama yang seharusnya tidak diwajibkan bagi Kekristenan karena telah digenapi Kristus. 

DAFTAR PUSTAKA:
[1] Samuel T. Gunawan, S.Th.,SE.,M.Th adalah teolog Protestan Kharismatik, Pendeta dan Gembala di Bintang Fajar Ministries Palangka Raya; Dosen Filsafat dan Apologetika Kharismatik; Penulis buku Apologetika Kharismatik. Menyandang dua gelar Magister of Theology dari STT Trinity, M.Th (Christian Leadership) dan M.Th (Systematic Theology and Apologetics).

[2] Steven Djie, M.Th adalah salah seorang teolog dan apologet Yahweisme, juga pendeta dan pimpinan Gereja Kristen Holistik di Jakarta.

[3] lihat: Erickson J. Millard., 2003. Teologi Kristen, Jilid 1. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 473; dan Daun, Paulus., 1994. Bidat Kristen dari masa Ke Masa. Penerbit Yayasan Daun Family : Manado, hal. 51.

[4] Conner, Kevin J., 2004. A Practical Guide to Christian Bilief. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, 82-83. 

[5] Thiessen, Henry C., 1992. Teologi Sistematika, direvisi Vernon D. Doerksen. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 70.

[6] Ryrie, Charles C., Teologi Dasar. Jilid 1, hal 20.

[7] Penting untuk mengetahui bahwa kata “pewahyuan” berbeda dengan kata “pengilhaman” dan “ilumimasi”. Dalam pengertian teknis-teologis, kata “pewahyuan” atau disebut juga “penyataan Allah” menunjuk kepada pengalihan pikiran Allah kepada pikiran manusia yang dipilih Allah menjadi penulis-penulis kitab-kitab Alkitab; “Pengilhaman” atau disebut juga “inspirasi” menunjuk pada penulisan naskah-naskah asli Alkitab oleh para penulis pihak manusia dalam kontrol Roh Kudus; Sedangkan “iluminasi” atau disebut juga “pencerahan” menunjuk pada pimpinan Roh Kudus yang memampukan manusia memahami kebenaran Alkitab dalam relevansinya pada setiap konteks kehidupan.

[8] Kekristen dalam tradisi Reformasi sangat menekankan empat sola dan satu soli. Namun, ketika kita mengabaikan penafsiran yang ketat terhadap Kitab Suci sehingga salah dalam memahami sola scriptura (hanya oleh Kitab Suci), maka konsekuensi-konsekuensi yang tidak terhindarkan adalah kita juga akan salah memahami apa yang Kitab Suci katakan tentang sola Christo (hanya oleh Kristus), sola gratia (hanya oleh anugerah), sola fide (hanya oleh iman), dan soli Deo gloria (kemuliaan hanya bagi Allah. 

[9] Ryrie, Charles C., Teologi Dasar. Jilid 1, hal 150.

[10] Gary Mink ,www.sacrednamemovement.com.

[11] Osbone, Grant R., 2012. Spiral Hermeneutika: Pengantar Komprehensif Bagi Penafsiran Alkitab. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta, hal 401.

https://teologiareformed.blogspot.com/
Next Post Previous Post