APAKAH AJARAN TRINITARIANISME KRISTEN BERTENTANGAN DENGAN PANCASILA

Pdt.Samuel T. Gunawan.,M.Th.
APAKAH AJARAN TRINITARIANISME KRISTEN BERTENTANGAN DENGAN PANCASILA
Pengacara Dr. Eggi Sudjana, SH.,M.Si menjadi viral di media sosial berhubungan dengan beredarnya sebuah rekaman video yang berisi pernyataan Eggi Sudjana yang dianggap mengandung ujaran kebencian. Didalam video itu Eggi Sudjana menyatakan dan sangat menekankan bahwa selain agama Islam maka ajaran-ajaran agama lain seperti Kristen, Hindu dan Budha bertentangan dengan Pancasila. Secara spesifik, untuk Agama Kristen Eggi Sudjana menyatakan bahwa ajaran Trinitas Kristen itu bertentangan dengan Pancasila terutama sila pertama. Dia mengklaim bahwa pernyataannya itu bisa dikaji secara intelektual. 

Perlu diketahui, pernyataan Eggi Sudjana itu diduga disampaikan pada tanggal 9 September 2017 saat menghadiri persidangan pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas). Perlu saya jelaskan juga bahwa koreksi saya ini muncul sebagai tanggapan atas tantangan Eggi Sudjana untuk menguji pengetahuannya secara intelektual. Namun kajian saya ini masih merupakan kajian awal untuk menunjukkan bahwa Eggi Sudjanan dalam hal ini keliru ketika mengatakan agama Kristen bertentangan dengan Pancasila. 

Pertanyaan pentingnya adalah “benarkah ajaran agama Kristen tentang Trinitas bertentangan dengan Pancasila khususnya sila pertama seperti yang dilontarkan oleh Dr. Eggi Sudjana, SH.,M.Si dalam video tanyangan tersebut?” Tanggapan saya dengan jelas menyatakan “Tidak!” Mengapa ? Alasannya karena ajaran Agama Kristen tentang Trinitas apabila dipahami secara benar dan dikaji secara intelektual akademikal jelas tidak bertentang dengan Pancasila. Tidak hanya itu, sila pertama Pancasila itu harus juga dipahami dengan benar sesuai konteks pada saat Negara Indonesia didirikan. 

Dengan demikian ada dua hal yang menjadi koreksi saya terhadap pernyataan Eggi Sudjana tersebut, yaitu : (1) Eggi Sudjana keliru memahami isi dan makna sila pertama Pencasila; dan (2) Ia sama sekali tidak mengerti ajaran Trinitas Agama Kristen. Berikut ini penjelasan ringkas kedua hal tersebut.

1. Sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” selama ini secara keliru telah dipahami menunjuk kepada Tuhan yang satu, karena itu dianggap mengesahkan kepercayaan kepada Allah yang Esa dan karena itu satu-satunya agama yang dianggap sesuai dengan Pancasila adalah agama yang mengakui Allah itu Esa. 

Namun yang perlu diketahui dan dipahami dengan cerdas (atau dikaji secara intelektual jika meminjam istilah Eggi Sudjana) adalah bahwa sila pertama Pancasila tidak menggunakan kata “Allah” atau pun “Tuhan”, melainkan memakai kata yang lebih netral dan abstrak yaitu “Ketuhanan”. Secara lengkap sila yang pertama Pancasila berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Secara gramatikal, kata “Ketuhanan” berasal dari kata dasar “Tuhan” yang diberi imbuhan berupa awalan “ke” dan akhiran “an”. 

Pemakaian imbuhan tersebut merubah makna dari kata dasar itu dan membentuk makna baru, sehingga menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “ketuhanan” tersebut menunjuk kepada keadaan Tuhan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan. Selanjutnya secara semantikal perlu diketahui bahwa kata “Maha Esa” dalam sila pertama Pancasila tersebut berasal dari bahasa Sansekerta, dimana kata “Maha” berarti “mulia atau besar” namun bukan dalam pengertian bentuk konkret tetapi abstrak, sedangkan kata “esa” berasal dari kata “etad” yang lebih mengacu pada pengertian keberadaan bukan pada jumlah. 

Apabila yang dimaksud dalam sila pertama Pancasila adalah jumlah Tuhan yang satu, maka kata sansekerta yang seharusnya digunakan adalah “eka” yang berarti “satu” bukannya kata “esa”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sila pertama Pancasila, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” bukan menunjukkan Tuhan yang hanya satu atau pun menunjuk kepada pribadi yang kita sebut Tuhan yang jumlahnya satu, melainkan yang ditekankan adalah makna dari sifat besar dan mulia dari Tuhan. 

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, saya menyimpulkan bahwa kelihatan Eggi Sudjana kurang cerdas dalam memahami arti dan makna “Ketuhanan Yang Maha Esa” dari sila pertama Pancasila, sehingga ia akhirnya mengubah makna “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu menjadi “Allah Yang Maha Esa” atau “Allah yang Satu”. 

Padahal sebenarnya sila pertama Pancasila itu justru mengakui adanya dimensi transenden di dalam masyarakat Indonesia, tetapi sekaligus menyerahkan kewenangan kepada setiap warga Negara Indonesia untuk mengungkapkan transendensi itu sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Jadi penggunaan bahasa sansekerta pada sila pertama Pancasila (yang telah disepakati oleh para pendiri Negara Indonesia) yang netral itu dapat diisi oleh warga Negara Indonesia yang mempunyai agama dan kepercayaan yang berbeda-beda. 

Secara historis “Ketuhanan Yang Masa Esa itu, merupakan landasan moral yang diatasnya Negara Indonesia didirikan. Dengan demikian makna sila pertama Pancasila itu justru berfungsi untuk menaungi keragaman agama dan menjamin kebebasan memeluk agama dan kepercayaan bagi warga negaranya. Hal ini dipertegaskan kembali dalam Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang menyatakan bahwa “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya”. 

2. Tidak hanya kurang cerdas memahami sila pertama Pancasila, Eggi Sudjana juga jelas sangat keliru ketika menganggap ajaran Trinitas Kristen berlawanan dengan Pancasila. Hal ini disebabkan ia tidak memahami ajaran Trinitas Kristen. Tentu saja ia tidak paham karena ia bukan seorang beragama Kristen. Namun masalahnya muncul ketika ia membangun sebuah opini yang salah dengan cara mengkonfrontasikan Pancasila dengan agama-agama lainnya yang ia sendiri tidak memahami dengan benar ajaran dari agama-agama lain tersebut. 

Apa yang dilakukan oleh Eggi Sudjana tersebut adalah membangun sendiri “lawan bayang” dan kemudian menyerangnya tanpa ampun, sambil berkata dengan angkuhnya,“semua agama lain di Indonesia berlawanan dengan Pancasila”. Padahal tuduhan tersebut salah karena dibangun menurut pandangan yang salah, yaitu pandangannya sendiri. Hal seperti ini termasuk kategori logical fallacy (penalaran cacat) yang disebut “straw man”, yaitu sebuah kesalahan logika, dengan memutarbalikan fakta yang bertujuan melemahkan lawan dengan menciptakan argumen baru, suatu argumen yang dibangun sendiri dan yang mudah dipatahkan. Itulah kekonyolan yang telah dilakukan oleh seorang Eggi Sudjana!

Perlu diketahui bahwa ajaran Kristen tentang Trinitas bukanlah ajaran yang mempercayai tiga Allah. Sekali lagi, Trinitas dalan konsep ajaran Kristen bukanlah kepercayaan kepada tiga Allah melainkan kepercayaan kepada Allah yang Esa. Namun pemahaman tentang Allah yang Esa ini memang berbeda dengan pemahaman Yahudi maupun Islam dan bersifat Monoteisme Unitarian. 

Pengkuan iman Athanasius menyatakan, “so the Father is God, the Son is God, and the Holy Spirit is God; And yet they are not three Gods, but one God” (maka demikianlah Bapa adalah Allah, Anak adalah Allah, dan Roh Kudus adalah Allah; dan meskipun demikian mereka bukanlah tiga Allah melainkan satu Allah yang Esa). 

George W. Braswell, profesor Studi Misi dan Agama Dunia di Southeastern Baptis Theological Seminary dalam bukunya What You Need to Know about Islam and Muslims mengatakan, “Baik Islam dan Kristen percaya dan mengajarkan kesatuan Allah. Kedua-duanya adalah agama-agama yang bersifat monoteistik. Alkitab berkata ‘Tuhan itu Esa!’ (Ulangan 6:4). Pernyataan ini diulang oleh Yesus dan murid-muridNya di dalam Perjanjian Baru (Markus 12:29; 1 Korintus 8:4,6). Perbedaan diantara Kekristenan dan Islam adalah bahwa Kekristenan percaya ada pluralitas pribadi atau hubungan dalam natur Allah yang Esa”. 


Secara ringkas saya memberi formulasi teologis Alkitabiah ajaran Trinitas Kristen itu sebagai berikut, bahwa “Allah adalah satu dalam esensi dan tiga dalam substansi”. Keesaan dari Allah dinyatakan sebagai esensiNya atau keberadaanNya, sedangkan keragamannya diekspresikan dalam tiga substansi atau pribadi. Formula ini memang merupakan misteri dan paradoks tetapi tidak kontradiksi, juga bukannya tidak masuk akal. 

Suatu kontradiksi dan pelanggaran terhadap hukum logika paling mendasar (hukum non kontradiksi) akan terjadi jika kita mengatakan bahwa “Allah adalah satu dalam esensi (A) dan tiga dalam esensi (Non A) pada saat yang sama dan dalam pengertian yang sama” atau “Allah adalah tiga substansi (B) dan satu substansi (non B) pada saat yang sama dan dalam pengertian yang sama”. Namun secara logis Kekristenan memformulasikan bahwa “Allah adalah satu dalam A (esensi) dan tiga dalam B (substansi). Sekali lagi ini bukanlah kontradiksi, ini disebut dengan Trinitarianisme. 

Ajaran ini bukannya irasional (tidak masuk akal) tetapi rasional (masuk akal) walaupun memang ajaran ini melampaui akal (suprarasional). Melampaui akal (suprarasional) tidaklah sama dengan tidak masuk akal (irasional). Ibarat sebuah segitiga, pada saat yang bersamaan ia memiliki tiga sudut namun tetap satu segitiga. Setiap sudut tidak sama dengan keseluruhan segitiga. Atau, konsep trinitas ini dapat digambarkan dengan angka satu berpangkat tiga (1 x 1 x 1 = 1 ), tetapi bukan 1 + 1 + 1 = 3 (Triteisme atau Politeisme). 

Allah adalah satu Allah yang termanifestasi secara kekal dan bersama-sama di dalam tiga pribadi. Jadi, Trinitarianisme Kristen bukanlah Triteisme (kepercayaan kepada tiga Allah). Dengan demikian ajaran Trinitarianisme ini tidak bertentangan dengan Pancasila seperti yang dilontarkan Eggi Sudjana. Namun Moniteisme Kristen yang bersifat Trinitarianisem juga berbeda dari Monotheisme Unitarian Yahudi dan Islam. Disinilah letak keunikan ajaran Kristen tentang Allah yang membedakannya dari agama-agama lainnya. 

Ringkasnya, pernyataan Eggi Sudjana bahwa ajaran Trinitas bertentangan dengan Pancasila merupakan pernyataan yang salah. Hal ini dapat dimengerti karena memang ia tidak memahami dengan benar konsep dan ajaran Kristen tentang Trinitas tersebut. Atau lebih tepatnya, ia membicarakan apa yang sebenarnya tidak ia pahami. 

Karena itu saya menyarankan agar Eggi Sudjana tidak perlu membicarakan agama orang lain yang ia sendiri bukan pemeluknya dan tidak paham seluk-beluknya. Jika kesalahpahamannya tentang Trinitas Kristen dapat ditoleransi karena ketidaktahuannya, maka tidak demikian halnya terhadap pemahamannya tentang sila pertama Pancasila yang menurutnya hanya mendukung satu agama yang dianutnya. 

Penafsiran Eggi Sudjana yang keliru tentang sila pertama Pancasila itu menimbulkan suatu opini yang salah dan berbahaya bagi keutuhan bangsa dan bernegara. Karena sila pertama Pancasila “Ketuhanan yang Maha Esa” yang seharusnya menjamin dan melindungi keragaman agama dan kebebasan warga Negara Indonesia untuk memeluk agama yang ia yakini justru telah dipelintir artinya oleh Eggi Sudjana menjadi hanya untuk melindungi satu agamanya sendiri, dan mempertentangkannya dengan agama-agama lainnya. Suatu pemahaman tidak cerdas dan yang absurd dari seorang pemegang gelar doktor. 

Demikian koreksi dari saya sebagai tanggapan atas pernyataan Eggi Sudjana yang tersebar melalui media sosial dalam rekaman video yang diduga disampaikan pada tanggal 9 September 2017 saat menghadiri persidangan pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas). 

APAKAH AJARAN TRINITARIANISME KRISTEN BERTENTANGAN DENGAN PANCASILA

Daftar Referensi:

Beker, Charles. F., 1994. A Dispensasional Theology. Terjemahan, Penerbit Alkitab Anugerah: Jakarta.

Berkhof, Louis., 2011. Systematic Theology. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta. 

Braswell, Geoge., 2004. What Yoau Need to Know about Islam and Muslims. Penerbit Broadman & Holman Publiser: Nashville Tennessee.

Chaer, Abdul., 2015. Filsafat Bahasa. Penerbit PT. Rineka Cipta : Jakarta. 

Enns, Paul., 2004.The Moody Handbook of Theology, jilid 1 & 2. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang. 

Erickson J. Millard., 2003. Christian theology. Jilid 1 & 2. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang. 

Iskandar, dkk., 1997. Pancasila. Yayasan Penerbit FKIS-IKIP: Yogyakarta.

Letham, Robert., 2011. The Holy Trinity: In Scripture, History, Theology, and Worship. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta. 

Poespoprodjo W dan EK. T. Gilarso, 1999. Logika Ilmu Menalar. Penerbit Pustaka Grafika: Bandung.

Rukiyi, dkk. 2008. Pendidikan Pancasila. Diterbitkan UNY Pres: Yogyakarta.

Ryrie, Charles C., 1991. Basic Theology. Jilid 1 dan 2, Terjemahan, Penerbit Andi Offset : Yoyakarta. 

Sproul, R.C., 1997. Essential Truths of the Christian Faith. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang. 

Thiessen, Henry C., 1992. Lectures in Systematic Theology, direvisi Vernon D. Doerksen. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang. 

Van Til, Cornelius., 2010. An Introduction to Systematic Theolog: Prolegomena and the Doctrine of Revelation, Scripture, and God. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta. 

Zacharias, Ravi & Norman Geisler., 2009. Who Made God. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung.
Next Post Previous Post