MENGAKTUALISASI KASIH KRISTIANI (1 KORINTUS13:1-3)

Pdt.Samuel T. Gunawan, M.Th.
MENGAKTUALISASI KASIH KRISTIANI (1 Korintus 13:1-3)
“Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku”. (1 Korintus 13:1-3; Bandingankan Matius 25:34-40).

1 Korintus 13 adalah salah satu pasal yang paling di kenal dalam Alkitab, sekaligus pasal yang paling rumit. Bagi kebanyakan orang Kristen, gambaran kasih disini lebih merupakan gagasan ketimbang pengalaman, atau lebih bersifat teoritik ketimbang praktis. 

Daya tarik ayat ini membuat banyak orang Kristen terpana bagaikan memandang gunung yang menjulang tinggi dalam kemegahannya sehingga tertarik untuk mengukur ketinggiannya, namun menyadari betapa kita terikat di bumi dan tidak memiliki peralatan untuk mendakinya. Kita mengenal kasih, tetapi kita juga mengenal diri kita dan betapa jauhnya aktualitas kasih kita. Kasih itu sendiri “tak pernah gagal”, kitalah yang gagal, bahkan seringkali gagal menerapkannya.

Apa gunanya penggunaan karunia, perbuatan besar dan dahsyat jika tidak ada kasih yang melatarbelakanginya? Banyak orang tidak akan setuju perlunya memeriksa motivasi dari apa yang kita sebut perbuatan baik. Banyak orang mengklaim bahwa karisma, pengetahuan, dan pengorbanan adalah sama dengan kasih. Tetapi masing-masing hal itu perlu diperiksa seperti seperti yang pasal ini sudah lakukan. Di dalam 1 Korintus 13:1-3, tercatat tujuh karunia, yaitu: karunia bahasa lidah, nubuat, hikmat (menyelami rahasia), pengetahuan, iman, memberi (membagi-bagikan), dan mati syahid (menyerahkan tubuh untuk dibakar). 

Karunia-karunia ini sangat penting, seperti ditunjukkan di pasal-pasal yang mengapitnya (khususnya pasal 12 dan 14). Namun demikian, kata Paulus, memakai atau menjalankan karunia tanpa kasih tidaklah berguna dan tidak berfaedah, bahkan sia-sia. Kasih adalah “jalan yang lebih utama” dan melampaui “karunia-karunia utama” (1 Korintus 12:31). Karena itu kasih harus “dikejar” (1 Korintus 14:1) dan karunia-karunia dijalankan dengan kasih (1 Korintus 13:1-3). Karunia-karunia (charismata) akan berhenti diakhir sejarah, tetapi kasih akan terus berlanjut (1 Korintus 13:8).

1. Fasih berbicara tanpa kasih adalah omong kosong. 

Walaupun seseorang sangat pandai berbicara, sopan, atau menghibur yang mendengarkan, tanpa kasih, dia akan menggunakan lidahnya untuk tujuan pribadinya. Meskipun ribuan orang akan terkesan, tergerak, dan tersentuh, namun perkataannya sama saja dengan bunyi gong.

2. Berpengetahuan tanpa kasih tidak berguna. 

Ilmuwan, teolog, doktor, dan filsuf semuanya dapat berpura-pura memiliki pengetahuan yang luar biasa, tetapi tanpa kasih, pengetahuan ini akan menghancurkan mereka dan orang lain. Mereka yang memiliki pengetahuan adalah mereka yang seharusnya menggerakkan dunia. Para ekonom, pemuka agama, konselor, atau peneliti, semuanya memiliki pengetahuan khusus yang akan memberikan dampak signifikan dalam sejarah manusia. 

Dampak tidak diperoleh dari pengetahuan, namun dari apa yang dilakukan seseorang dengan pengetahuan itu. Bila dia tidak mengasihi, maka pengetahuan tidak lagi penting. Ketidakpedulian yang dibarengi kasih mungkin lebih baik daripada pengetahuan yang dibarengi dengan pengejaran kepentingan diri, apa pun bidang pengetahuannya. Sekarang ini, kita menghabiskan banyak waktu, energi, dan uang untuk mengejar pengetahuan. Kita meluangkan sedikit waktu untuk memeriksa hati mereka yang bergelar tinggi. Gereja-gereja yang mencari pendeta tampaknya lebih menekankan gelar daripada kasih.

3. Kebaikan dan pengorbanan tanpa kasih tidak berfaedah. 

Kita akan berpikir bahwa mereka yang menyerahkan seluruh milik mereka dan melakukan pengorbanan diri yang besar merupakan suatu hal yang sangat mulia. Namun sekali lagi, kita bisa memberikan seluruh kekayaan kita, bahkan mengorbankan hidup kita, tetapi tanpa kasih, semua itu tidak ada gunanya. Kita bertanya-tanya seberapa besar bantuan yang diberikan atas dasar kasih daripada atas dasar motivasi memiliki reputasi terkenal. Bila nama kita tidak dikenal, akankah kita tetap memberikan sebanyak yang kita sudah kita lakukan? Pengorbanan yang besar tidak sama dengan kasih karena pengorbanan ini bisa saja berasal dari alasan egois agar dihargai dan dikenal.

Kita harus mulai memeriksa segala tindakan kita; apakah kita melakukannya atas dasar kasih atau pemenuhan ego. Kita memiliki kemampuan yang hebat untuk membohongi diri kita sendiri dan orang lain menurut maksud kita yang sebenarnya. Sering kali, jauh di dalam hati, kita menyukai perhatian, tepuk tangan, piala, dan kekuasaan. Kemampuan besar dalam pidato, pengetahuan, dan pengorbanan akan menggerakkan orang, namun tidak akan menyelamatkan mereka. Komunikasi, pengetahuan, dan ketaatan adalah tiga penajam hidup yang sangat berkuasa, namun ketiga hal ini membutuhkan hati yang mengasihi untuk mewujudkannya dengan benar di dunia ini sehingga memberikan manfaat bagi orang lain.


Dijantung kasih ada kekuatan untuk bertahan. Kasih “tahan menderita dan tahan menanggung segala sesuatu” (1 Korintus 13:4-7); Kasih tidak berkesudahan (1 Korintus 13:8); Kasih tetap bertahan (1 Korintus 13:13). Frase Yunani “kasih tidak berkesudahan” dalam 1 Korintus 13:8 adalah ini “hĂȘ agapĂȘ oudepote ekpiptei” yang dapat diterjemahkan “kasih sejati tidak pernah gagal; tidak pernah berhenti sampai kesudahannya”. 

Kasih bertahan dan karena itu akan ada untuk menilai kehidupan kita. Kita mungkin mengagungkan orang-orang yang memiliki karunia, tetapi kasihlah yang membuat karunia ini berkilau dalam kehidupan seseorang. Bisa berbicara dengan bahasa yang berbeda mungkin bisa membuat orang lain kagum, tetapi kemampuan itu akan sia-sia bila orang tersebut tidak memiliki kasih. Karunia akan disalahgunakan bila kita tidak membiarkan kasih mengendalikan hati kita.

Kasih bukanlah perasaan meskipun kasih menghasilkan banyak perasaan yang menyenangkan. Kasih merupakan suatu komitmen untuk dengan sengaja memberikan diri kepada orang lain. Kontras dengan banyak pemikiran dunia dalam memandang kasih hanya sebagai emosi, Alkitab dengan gamblang menjelaskan dan memperlihatkan bahwa kasih bukan semata-mata apa yang dirasakan oleh seseorang, melainkan apa yang dilakukannya! 

Disini kita mendapat hikmat Kristiani yang praktis yang tahu bagaimana kita seharusnya bertindak karena Allahlah yang pertama-tama mengasihi kita (1 Yohanes 4:19). Bila kasih menemui halangan terhadap kepribadian seseorang, keganjilan, penampilan, atau karunia, maka kita melihat kasih itu sebagai pesona atau hasrat saja. Meskipun kita sehat, bersemangat, muda, dan cantik, waktu akan membawa perubahan yang tidak diinginkan, misalnya suatu saat kita bisa sakit, mengalami kelemahan, menjadi tua dan keriput, dan secara fisik merosot. Kekuatan kasih tidak didasarkan pada apa yang kita lihat pada diri seseorang, tetapi dalam komitmen kita terhadap orang itu.

Bila kasih berhenti, maka kita tahu bahwa itu bukanlah kasih. Kasih yang sejati tidak akan pernah berkesudahan karena kasih tidak menyerah; kasih tidak bisa menyerah. Kasih yang sejati tidak berhenti, tetapi hari demi hari terus tumbuh menjadi lebih indah. Kasih tidak mengabaikan kesulitan, rasa sakit, luka, dan rasa malu yang kadang-kadang membuat kita marah, karena kasih yang berada dalam keadaan yang seperti ini akan menjadi semakin kuat. Kita semua akan memikul tanggung jawab. 

Kita seharusnya meninggalkan sikap yang buruk. Bila kita ingin dinilai secara menyeluruh, maka kita perlu memahami hati kita sekarang dan mengejar ketiga hal yang luar biasa: iman, pengharapan, dan kasih.

Kita tahu, jauh lebih mudah menulis dan membicarakan tentang kasih ketimbang melaksanakannya. Walau pun demikian, Paulus menantang kita untuk “mengejar dan mendapatkan kasih” (1 Korintus 14:1). 

Kita belum memilikinya dalam pengertian melaksanakannya, namun kita sangat mendambakannya. Bukankah ini seharusnya memberi kita semangat? Bukankah kerinduan itu sendiri merupakan kilasan kasih yang selalu berharap, selalu bertekun (1 Korintus 13:7)? Bukankah keinginan kita untuk menyingkirkan keangkuhan dan kedengkian serta ambisi merupakan tanda kasih? Ketika kita bersikap kasar, bukankah kepedihan yang muncul membuktikan kasih kita kepada orang yang kita lukai? Apabila kita mengakui diri kita kurang mengasihi, setidaknya kita telah mulai “meninggalkan sifat dan tindakan kita yang kekanak-kanakan” (1 Korintus 13:11). 

Orang yang bersifat kekanak-kanakan tidak mengasihi tetapi merasa mengasihi. Saat kita sadar bahwa kita “tidak mengasihi” namun ingin berubah kita telah membuat semacam kemajuan. Marilah kita, tetap mengaktualisasikan kasih yang telah didefinisikan ini (1 Korintus 13:1-13) dalam kehidupan kita, karena kasih adalah kekuatan untuk hidup dalam sukacita kasih adalah tanda bahwa kita ini murid-murid Kristus.MENGAKTUALISASI KASIH KRISTIANI (1 Korintus 13:1-3).  https://teologiareformed.blogspot.com/
Next Post Previous Post