LUKAS 22:39-46 (PERGUMULAN YESUS KRISTUS DI TAMAN GETSEMANI)
LUKAS 22:39-46 (PERGUMULAN YESUS KRISTUS DI TAMAN GETSEMANI). Lukas 22:39 Lalu pergilah Yesus ke luar kota dan sebagaimana biasa Ia menuju Bukit Zaitun. Murid-murid-Nya juga mengikuti Dia.22:40 Setelah tiba di tempat itu Ia berkata kepada mereka: "Berdoalah supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan."22:41 Kemudian Ia menjauhkan diri dari mereka kira-kira sepelempar batu jaraknya, lalu Ia berlutut dan berdoa, kata-Nya:22:42 "Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi."22:43 Maka seorang malaikat dari langit menampakkan diri kepada-Nya untuk memberi kekuatan kepada-Nya.22:44 Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa. Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah.22:45 Lalu Ia bangkit dari doa-Nya dan kembali kepada murid-murid-Nya, tetapi Ia mendapati mereka sedang tidur karena dukacita.Lukas 22:46 Kata-Nya kepada mereka: "Mengapa kamu tidur? Bangunlah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan."(Lukas 22:39-46)
“Maka sampailah Yesus bersama-sama murid-murid-Nya ke suatu tempat yang bernama Getsemani. Lalu Ia berkata kepada murid-murid-Nya: "Duduklah di sini, sementara Aku pergi ke sana untuk berdoa." Dan Ia membawa Petrus dan kedua anak Zebedeus serta-Nya. Maka mulailah Ia merasa sedih dan gentar, lalu kata-Nya kepada mereka: "Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku." Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kata-Nya: "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." Setelah itu Ia kembali kepada murid-murid-Nya itu dan mendapati mereka sedang tidur. Dan Ia berkata kepada Petrus: "Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku? Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah." Lalu Ia pergi untuk kedua kalinya dan berdoa, kata-Nya: "Ya Bapa-Ku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!" Dan ketika Ia kembali pula, Ia mendapati mereka sedang tidur, sebab mata mereka sudah berat. Ia membiarkan mereka di situ lalu pergi dan berdoa untuk ketiga kalinya dan mengucapkan doa yang itu juga. Sesudah itu Ia datang kepada murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: "Tidurlah sekarang dan istirahatlah. Lihat, saatnya sudah tiba, bahwa Anak Manusia diserahkan ke tangan orang-orang berdosa. Bangunlah, marilah kita pergi. Dia yang menyerahkan Aku sudah dekat." (Matius 26:36-46)
Bagian dari injil Lukas ini mengandung beberapa hal yang membuat orang memiliki penafsiran berbeda-beda. Hari ini saya akan meluruskan dengan maksud melihat kekonsistenan dari karya Yesus Kristus dan menanggapi tafsiran yang tidak bertanggung jawab.
Ada penafsir yang mengatakan ketika Yesus Kristus di taman Getsemani, Ia mengalami goncangan iman. Jika demikian maka berarti Kristus meragukan misi-Nya datang ke dunia. Apakah benar Kristus mengalami goncangan iman? Penafsir yang setuju penafsiran ini mengatakan bahwa bagian ini bicara mengenai kemanusiaan Kristus. Ketakutan Yesus Kristus menunjukkan Dia adalah manusia sama seperti kita.
Tafsiran seperti ini sangat merendahkan Kristus. Karena Yesus Kristus beda dengan kita. Yesus Kristus adalah Allah yang menjadi manusia. Kalau Yesus Kristus sama seperti manusia berarti Ia bisa mengalami kelemahan-kelamahan seperti kita. Kita bisa meragukan janji Tuhan. Sedangkan Yesus Kristus adalah Allah yang tidak mungkin meragukan Allah. Kita meragukan Allah karena kita adalah manusia berdosa. Kita bisa berpikir negatif dan melawan kehendak Allah. Tetapi jika Yesus Kristus ditafsirkan sama seperti kita yang bisa tidak percaya janji Bapa, ini adalah hal yang tidak mungkin.
Mengapa tidak mungkin? Ketakutan Yesus Kristus di sini takut apa? Ada penafsir mengatakan bahwa Yesus Kristus sangat takut menghadapi penderitaan jasmani yang Ia hadapi (penderitaan dicambuk, diberikan mahkota duri, memikul salib, disiksa). Ada juga yang menafsirkan Kristus takut ditinggalkan murid-murid-Nya, Ia sedih. Ada juga Pendeta yang mengatakan hal yang paling membuat Yesus Kristus tidak tahan yaitu diludahi. Semua ini tafsiran yang keterlaluan.
Lalu bagaimana kita melihat Yesus Kristus dan pergumulan-Nya?
Pertama, kita lihat Matius.16:21. Di sini Tuhan Yesus Kristus sudah tahu jika Ia akan ditangkap dan dibunuh di Yerusalem. Jika Yesus Kristus memang takut menghadapi penderitaan ini, seharusnya Ia sudah menghindarinya. Ini respon umum dari kita manusia. Tuhan Yesus Kristus sudah tahu akan dibunuh, tetapi Ia malah datang ke Yerusalem. Pada saat Kristus menyatakan nubuat-Nya bahwa Anak Manusia akan menderita, dibunuh dan pada hari ketiga akan bangkit, justru rasul Petruslah yang membela-Nya. Petrus langsung menarik tangan Yesus dan berkata, “kiranya hal ini dijauhkan dari pada-Mu.” Ini adalah kalimat wajar dari seorang murid yang mencintai guru-Nya. Namun Yesus Kristus justru mengatakan, “Enyahlah engkau iblis, engkau menjadi batu sandungan.” Ini menunjukkan ketetapan Yesus Kristus untuk pergi ke Yerusalem jelas sekali. Yesus Kristus jelas dengan misi-Nya datang ke dunia. Yesus Kristus datang ke dunia tahu mau melakukan apa, berbeda dengan kita. Semua orang yang lahir ke dunia tidak tahu apa tujuan hidupnya. Ia baru tahu setelah dididik oleh keluarga dan masyarakat di sekelilingnya. Kita manusia baru bisa mengetahui apa tujuan hidup kita setelah Allah mencelikkan mata rohani kita.
Yesus punya pra-eksistensi. Sebelum datang ke dunia Yesus Kristus sudah ada. Ia tahu tujuan-Nya datang ke dunia, untuk menjadi Penebus dosa. Ia datang dengan tujuan yang jelas. Karena itu penafsir yang mengatakan Yesus takut disiksa terlalu memanusiakan dan merendahkan Yesus Kristus. Ini salah! Yesus Kristus bukan manusia yang diangkat menjadi Allah.
Yesus adalah manusia sejati dan Allah sejati. Alkitab mengatakan, “Walaupun dalam rupa Allah Ia tidak menganggap kesetaraan-Nya dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan. Ia mengosongkan diri-Nya.” Maksud mengosongkan Diri adalah menahan keilahian-Nya untuk tidak diekspos keluar. Bukan berarti Yesus Kristus tidak ada Allahnya, tetapi ke-Allah-an-Nya tidak diekspos keluar. Maka ada mekanisme antara ke-Allah-an dan ke-Manusia-an-Nya yang bisa bergantian mendominasi hidup. Ini yang merupakan misteri dan waktu-Nya. “Waktu-Nya sudah tiba” artinya momentum / waktunya Yesus untuk bertindak. Suatu waktu Yesus Kristus bisa meredakan ombak dengan sekali teriakan langsung tenang. Ia bisa membangkitkan orang mati, memberi makan 5000 orang. Ini semua adalah momentum-momentum ke-Allah-an Yesus Kristus yang dilakukan pada waktu-Nya.
Kedua, lihat Matius.10:28. Dari kata-kata ini Yesus jelas mengatakan siapa yang harus ditakuti, bukan manusia yang bisa membunuh tubuh tetapi Dia yang bisa membunuh jiwa. Kalau Yesus takut mati, berarti Ia tidak konsisten dengan ajaran-Nya. Tubuh mati tidak masalah karena memang kita kembali ke rumah Bapa. Jadi jelas Yesus Kristus bukan takut mati dan disiksa. Saya bukan mengecilkan penderitaan Kristus. Karena kalau mau dilihat mengenai penderitaan-Nya, seluruh hidup Yesus Kristus adalah penderitaan-Nya.
Sekarang, apa yang menjadi pergumulan Yesus Kristus di taman Getsemani? Penderitaan jasmani Yesus Kristus bukanlah menebus dosa. Karena jika penderitaan jasmani untuk menebus dosa maka kita bisa melakukannya sendiri. Kita tinggal menyiksa diri supaya dosa kita dihapus. Ada agama-agama tertentu yang sengaja menyiksa diri supaya dikasihani allahnya. Penderitaan jasmani Yesus Kristus memang ada tetapi bukan poin penebusan.
Yesus Kristus juga bukan takut ditinggal oleh murid-murid-Nya (Yohanes 6:66,67). Orientasi pelayanan Yesus Kristus adalah kebenaran. Orang yang mau lari dari kebenaran dan meninggalkan Yesus, silakan! Yesus Kristus bukan orientasi komersial. Orang yang berorientasi terhadap kebenaran tidak perlu takut orang lain meninggalkannya. Orang yang berpegang pada kebenaran tidak takut orang datang dan pergi. Gereja juga seharusnya demikian. Bukan berarti gereja tidak mempedulikan jemaat tetapi maksudnya gereja tidak boleh punya motif komersial supaya gereja laris. Kita tetap beritakan kebenaran dengan setia. Orang mau belajar kebenaran, welcome, tetapi yang mau pergi setelah mendengar kebenaran, silakan. Banyak Pendeta kompromi dengan kebenaran hanya supaya orang banyak datang. Yesus Kristus tidak pernah takut murid-murid-Nya meninggalkan-Nya. Yesus Kristus tidak berharap kepada murid-murid-Nya. Yesus pernah berkata bahwa Ia tidak pernah mempercayakan Diri-Nya kepada manusia karena Ia tahu siapa manusia. Jadi, Yesus adalah Guru yang paling agung dan konsisten dengan setiap kata-kata-Nya. Karena itu jika ditafsirkan bahwa Yesus Kristus takut ditinggal murid-murid, Ia akan menjadi Guru yang tidak konsisten. Demikian juga jika Kristus pada waktu itu menyangkali apa yang menjadi misi-Nya, maka pada waktu itu Yesus Kristus sudah berdosa karena definisi dosa bukan hanya saat melakukan tetapi mulai dari pikiran. Pikiran yang melawan kehendak Bapa adalah dosa.
Jadi bagaimana penafsiran yang seharusnya? Yesus Kristus dengan Allah Bapa tidak pernah satu kali pun berselisih dan kontradiksi. Allah Tritunggal selalu sinkron, sehati sepikir, tidak pernah bertentangan. Karena itu di taman Getsemani Yesus Kristus sejalan dan sinkron dengan kehendak Bapa-Nya. Ia datang untuk menebus dosa manusia dengan cara Ia harus menjadi korban. Korban yang bagaimana? Korban penebus dosa: Saya yang harus mati menjadi korban. Konsep domba yang menggantikan digenapi dalam Yesus Kristus. Yesus Kristus harus dipersembahkan sebagai korban yang menggantikan saya dan saudara yang seharusnya mati. Mati di sini bukan diartikan mati jasmani melainkan mati rohani. Kristus bukan menggantikan mati jasmaninya kita. Yesus Kristus menggantikan upah dosa kita yaitu maut. Kristus yang kini mengalami maut. Penebusan Yesus Kristus secara jasmani menunjukkan bahwa tugas-Nya telah selesai. Sebelum Yesus Kristus mati Ia mengatakan, “sudah selesai”.
Di dalam taman Getsemani itu, Ia mengajak tiga orang muridNya yang pernah bersamaNya di Bukit Transfigurasi, dan di sini Ia berdoa. Lebih dari itu, Ia bergumul dalam doa. Ketika kita melihat dengan penuh hormat dan kagum pada pergumulan jiwa Yesus Kristus di Taman Getsemani ini, kita menangkap empat hal yang pasti.
1. KITA MELIHAT PENDERITAAN YESUS KRISTUS
Yesus merasa pasti sekarang bahwa kematian sudah ada di depan mata. Desah nafas kematian itu ada padaNya. Dalam keberadaanNya sebagai manusia, tentu saja Ia tidak ingin mati. Tidak seorang pun ingin mati dalam usia muda, apalagi mati dalam penderitaan salib. Ia baru berusia 33 tahun, dan tak ada seorang pun yang mau mati di awal tahun-tahun terbaik dalam hidupnya. Baru sedikit yang telah Ia lakukan, dan dunia sedang menunggu untuk diselamatkan. Ia tahu persis seperti apa penyaliban itu dan Ia merasa ngeri juga.
Di sini Yesus bergumul dengan hebat untuk menundukkan kehendakNya pada kehendak Allah. Tidak seorang pun dapat membaca kisah ini tanpa melihat realita yang intens dalam pergumulan itu. Ini bukan permainan sandiwara. Ini adalah pergumulan yang hasilnya mungkin menang, mungkin kalah. Keselamatan dunia ini dipertaruhkan di Taman Getsemani ini, sebab saat itu Yesus Kristus bisa saja berbalik dan rencana Allah gagal sama sekali. Pada saat ini yang Yesus Kristus tahu adalah bahwa Ia harus maju terus dan di depan sana terdapat salib. Ia harus memaksa diriNya untuk melangkah terus – sama seperti yang sering harus kita lakukan.
"Kemudian Ia menjauhkan diri dari mereka kira-kira sepelempar batu jaraknya, lalu Ia berlutut dan berdoa, kata- Nya: “Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi." Maka seorang malaikat dari langit menampakkan diri kepada-Nya untuk memberi kekuatan kepada-Nya. Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa. Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah.” (Lukas 22:42-44)
Ia berada dalam kesengsaraan; kata Yunani yang dipakai di sini adalah mengenai seseorang yang melakukan perjuangan dengan ketakutan yang luar biasa. Tidak ada pertunjukan yang seperti ini di dalam segala sejarah. Ini suatu titik balik yang sangat hebat di dalam kehidupan Yesus. Ia sebenarnya dapat saja berbalik. Ia dapat saja menolak salib itu. Keselamatan dunia berada dalam neraca ketika Anak Allah itu, harfiah, sedang berkeringat laksana darah yang menetes ke bumi di Taman Getsemani; dan Ia menang !
Dengan segala penghormatan, dapat kita katakan bahwa di sini kita melihat Yesus sedang mempelajari suatu pelajaran yang harus dipelajari setiap orang pula suatu saat kelak, yaknibagaimana menerima apa yang tidak Ia mengerti. Yang Ia tahu adalah kehendak Allah memanggilNya dengan wibawa penuh. Yesus tahu pasti bahwa ini adalah kehendak Allah dan bahwa Ia harus menghadapi semuanya itu. Yesus juga harus membuat spekulasi iman yang luar biasa. Ia harus menerima apa yang Ia sendiri tidak mampu memahami – sama seperti kita juga sering diperhadapkan dengan keadaan yang demikian.
Peristiwa-peristiwa yang tidak kita pahami terjadi pada setiap orang di antara kita dalam dunia ini. Pada saat itulah iman diuji hingga pada batas paling akhir dan pada saat itulah keindahannya tampak bagi jiwa, sehingga di Getsemani, Yesus Kristus menempuhnya pula. Tertullianus, pernah berkata, “Tiada seorang pun yang belum pernah dicobai dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” Artinya, setiap orang mempunyai “Taman Getsemani” pribadinya dan setiap orang harus belajar berkata, “Jadilah kehendakMu.”
Apabila seseorang berkata, “KehendakMu jadilah”, maka akan terdapat berbagai-bagai perbedaan dalam nada suara.
(1) Ia dapat mengatakan itu dalam nada tanpa pengharapan yang menundukkan diri, seperti seorang yang berada dalam kekuasaan yang dihadapannya sedangkan ia tidak berdaya untuk menyerangnya. Kata-kata itu dapat merupakan bunyi lonceng kematian pengharapan.
(2) Ia dapat mengatakan hal itu sebagai seseorang yang dipukul KO masuk dalam kekalahan. Kata-kata itu dapat berupa pengakuan akan kekalahan total.
(3) Ia dapat mengatakan itu dengan tekanan mempercayakan diri sepenuhnya. Demikianlah Yesus mengatakannya. Ia berkata-kata kepada seseorang yang adalah Bapa. Ia berkata-kata kepada Allah dengan tanganNya yang kekal mendukung, dan tentang Dia, bahkan sampai di kayu salib sekalipun. Ia menaklukkan diri kepada kasih yang tidak akan pernah membiarkan Ia pergi.
Itulah jalan yang ditempuh oleh Yesus pada waktu itu. Ia pergi ke Taman Getsemani pada waktu malam dalam kegelapan. Ia keluar dari sana dalam terang sebab Ia telah berkata-kata dengan Allah. Ia pergi ke Taman Getsemani dalam kesengsaraan, Ia keluar dari sana dengan kemenangan, dan dengan ketenangan di dalam jiwaNya – sebab Ia telah berkata-kata dengan Allah
Tugas yang paling berat dari kehidupan adalah menerima apa yang tidak dapat kita pahami, tetapi kita dapat melakukannya kalau kita merasa cukup yakin akan kasih Allah. Yesus berkata-kata seperti itu, dan apabila kita dapat berkata-kata seperti itu, maka kita akan dapat menengadah dan mengatakannya dalam kepercayaan yang penuh, “KehendakMu jadilah.”
2. KITA MELIHAT KESENDIRIAN YESUS KRISTUS.
Ia membawa tiga murid pilihanNya, namun mereka begitu letihnya sehingga mereka tidak dapat berjaga, dan Yesus harus bertempur sendirian. Hal ini juga berlaku bagi setiap orang. Ada hal-hal yang harus dihadapi sendiri oleh setiap orang dan ada keputusan-keputusan yang harus diambil dalam kesendirian jiwanya. Ketika Yesus pergi ke Taman Getsemani, ada dua hal yang tentu saja Ia inginkan. Ia menginginkan persekutuan dengan manusia dan Ia menginginkan persekutuan dengan Allah.
Dalam masa sulit, kita ingin agar ada orang lain bersama dengan kita. Kita mungkin tidak meminta orang tersebut melakukan sesuatu untuk kita. Bahkan kita mungkin tidak ingin bercakap-cakap dengannya ataupun meminta dia bercakap-cakap dengan kita. Yesus Kristus seperti itu. Memang aneh bahwa orang-orang yang tidak lama sebelumnya telah menegaskan bahwa mereka rela mati bagiNya, kini tidak bisa berjaga bagiNya walau pun hanya untuk satu jam. Akan tetapi tak ada seorang pun yang dapat menyalahkan mereka karena rasa terkejut dan ketegangan telah menguras kekuatan dan daya tahan mereka. Ada saat-saat ketika para penolong lain gagal dan semua penghiburan lenyap, tetapi dalam kesendirian itu Dia hadir di tengah-tengah kita, karena di Taman Getsemani, Yesus Kristus telah mengalami dan melaluinya.
3.KITA MELIHAT KEPERCAYAAN YESUS KRISTUS.
Kepercayaan ini kita lihat lebih jelas di dalam kesaksian Markus, di mana Yesus Kristus memulai doaNya, “Ya, Abba, ya Bapa” (Markus 14:36). Dalam kata Abba ini terdapat suatu dunia yang indah yang tersembunyi bagi telinga orang Barat, kecuali kita mengenal fakta-fakta tentang itu.
Joachim Jeremias dalam bukunya, The Parables of Jesus, menulis : “Pemakaian kata abba oleh Yesus untuk memanggil Allah sungguh tidak tertandingi dalam seluruh literatur Yahudi. Penjelasan untuk fakta ini dapat ditemukan dalam pernyataan bapa-bapa gereja, bahwa abba (sama dengan jaba yang masih dipakai hingga sekarang dalam bahasa Arab) adalah kata yang dipakai oleh seorang anak kecil untuk menyapa ayahnya. Kata itu merupakan suatu kata sehari-hari dalam keluarga, yang tak seorang pun berani memakainya untuk menyapa Allah. Namun, Yesus Kristus memakainya. Ia berbicara kepada BapaNya di sorga seperti anak kecil penuh kepercayaan dan keintiman, seperti seorang anak kecil kepada ayahnya.”
Kita tahu bagaimana anak-anak berbicara kepada kita dan apa sebutan mereka kepada kita sebagai ayah. Inilah cara yang dipakai Yesus Kristus untuk berbicara kepada Allah. Walau pun Ia tidak sepenuhnya mengerti, sekalipun keyakinanNya ialah Allah mendesakNya pergi menuju salib. Ia memanggil Abba,seperti anak kecil. Sungguh, inilah kepercayaan, suatu kepercayaan yang harus kita miliki kepada Allah yang telah diperkenalkan Yesus Kristus kepada kita sebagai Bapa.
Yesus tunduk kepada kehendak Allah. Satu kata “Abba” itulah yang mernjadikan segalanya lain. Yesus Kristus tidak tunduk kepada suatu Allah yang mempermainkan manusia, tidak tunduk kepada suatu Allah yang merupakan suatu hakim yang kejam. Allah tidak seperti itu. Bahkan pada saat yang mengerikan ini, ketika Ia membuat tuntutan yang menakutkan, Ia adalah Bapa.
Ketika Richard Cameron dibunuh, kepala dan tangannya dipotong lalu dibawa ke Edinburgh. Ayahnya sedang berada di penjara. Lalu lawan-lawannya membawa potongan-potongan badan anaknya tadi kepadanya. Itu sengaja mereka lakukan untuk menambah kesedihan dan kedukaan yang memang sudah ada sebelumnya. Mereka bertanya kepadanya kalau ia mengenal potongan kepala dan tangan yang mereka bawa. Ia mengambil kepala dan potongan tangan tersebut, lalu menciumnya dan berkata, “Saya mengenalnya – Saya mengenalnya. Ini adalah kepala dan tangan anakku, anak yang kukasihi. Begitulah Tuhan itu. Kebaikan adalah kehendak Tuhan, yang tak dapat berbuat salah kepadaku maupun kepada anakku, tetapi yang telah membuat kebaikan dan kemurahan mengikuti kami seumur hidup kami.”
Jika kita dapat menyapa Allah dengan Bapa, segala sesuatu dalam hidup ini dapat kita tanggung. Kadang-kadang kita bisa saja tidak mengerti, tetapi kita akan selalu yakin bahwa “Tangan Bapa tidak akan pernah menyebabkan anakNya menangis percuma.” Itulah yang diketahui Yesus Kristus. Karena itulah Ia bisa menghadapinya – dan hal itu pun dapat terjadi pada diri kita.
4. KITA MELIHAT KEBERANIAN YESUS KRISTUS.
Kita harus memperhatikan, bagaimana perikop ini berakhir. Pengkhianat dan kelompoknya sudah datang. Apa reaksi Yesus Kristus? Ia tidak lari meskipun sebetulnya pada malam seperti itu Ia bisa saja melarikan diri. ReaksiNya adalah menghadapi mereka. Sampai pada akhirnya Ia tidak menyingkir dan juga tidak mundur.
Yesus berkata, “Bangunlah, marilah kita pergi. Dia yang menyerahkan Aku sudah dekat.” Celsius, seorang filsuf kafir yang menyerang Kekristenan, memakai kalimat ini sebagai suatu argumen bahwa Yesus Kristus berusaha melarikan diri. Yang benar adalah kebalikannya. Ia berkata, “Bangunlah. Waktu untuk berdoa, dan saat untuk berada di dalam taman sudah lewat. Sekarang adalah waktu untuk bertindak. Mari kita menghadapi hidup dalam keadaan yang paling pahit dan orang-orang dalam keadaan yang paling jahat.”
Yesus Kristus bangkit dari lututNya untuk terjun ke dalam pertempuran kehidupan. Inilah perlunya doa.Dalam doa, orang berlutut di hadapan Allah, supaya ia dapat berdiri tegak di hadapan manusia. Dalam doa, orang memasuki sorga, agar ia dapat menghadapi pertempuran di dunia.
Biarlah setiap orang Kristen senantiasa mengingat akan penderitaan dan pengorbanan Yesus Kristus, untuk menebus dosa-dosa kita. Biarlah setiap orang Kristen menyadari sepenuhnya bahwa ada harga yang harus dibayar untuk membalas kasihNya yang begitu besar kepada kita.
Kiranya perenungan kali ini membawa kita semakin dekat dengan Allah di dalam Yesus Kristus, Tuhan kita, yang telah memberikan teladan yang hidup bagi kita semua untuk kita jalankan dalam hidup dan kehidupan kita sehari-hari.
Amin.