PERSEPULUHAN DAN KEPEMILIKAN ALLAH (6)

Pdt.Samuel T. Gunawan, M.Th.
PERSEPULUHAN (PASAL 6) PERSEPULUHAN DAN KEPEMILIKAN ALLAH: SUATU ANALISIS DAN INTERPRETASI TEOLOGIS PERSEPULUHAN BERLAKU BAGI ORANG PERCAYA PERJANJIAN BARU

PERSEPULUHAN DAN KEPEMILIKAN ALLAH (Suatu Eksegesis dan Analisis Teologis Bahwa Persepuluhan Berlaku bagi Orang Percaya)
gadget, bisnis, otomotif
“Demikian juga segala persembahan persepuluhan dari tanah, baik dari hasil benih di tanah maupun dari buah pohon-pohonan, adalah milik TUHAN; itulah persembahan kudus bagi TUHAN” (Imamat 27:30).
Intitesis saya: (1) Persepuluhan termasuk dalam hukum moral atau hukum etis dengan alasan logis bahwa persepuluhan itu telah ditetapkan Allah sebagai persembahan milik-Nya (Imamat 27:30). (2) Allah selaku pemilik persepuluhan itu berdasarkan kehendak-Nya yang berdaulat berhak menentukan kepada siapa persepuluhan tersebut harus diberikan.
PEMBAGIAN HUKUM TAURAT MENURUT TEOLOGI KRISTEN
Beberapa pendeta, ahli teologi dan pengajar Alkitab telah berusaha menjelaskan persepuluhan dengan menggunakan pendekatan yang berhubungan dengan hukum Taurat dan karya Kristus yang telah menggenapi hukum Taurat. Para ahli teologi Kristen telah mengklasifikasi hukum Taurat ke dalam tiga bagian yaitu: hukum moral (moral law), hukum seremonial (ceremonial law), dan hukum sipil (judicial law).

Paul Enns mengatakan, “Setelah memasuki sebuah kovenan dengan bangsa Israel, Allah memberikan Israel konstitusinya, yang terdapat dalam Keluaran, Imamat, dan Bilangan. Itu semua merupakan stipulasi dari kovenan dalam kerajaan meditorial bahwa Israel harus taat apabila bangsa itu mau menikmati berkat Allah. Hukum itu dapat dibagikan ke dalam tiga kategori: hukum sipil, hukum seremonial, dan hukum moral”.

Ezehiel Hopkins dengan mengutip pada tradisi Reformed berpendapat bahwa hukum Perjanjian Lama bisa dibagi menjadi tiga aspek, yaitu: (1) seremonial, yaitu pelaksanaan ritual yang menunjuk pada penebusan akhir dalam Kristus; (2) judicial atau sipil, yaitu hukum yang ditentukan Allah untuk digunakan dalam pemerintahan sipil Israel; dan (3) moral, yaitu tubuh peraturan moral yang memiliki penerapan yang universal dan kekal untuk semua manusia.”
Charles C. Ryrie, mengatakan “secara umum hukum Taurat dibagi menjadi tiga bagian: moral, seremonial, dan yudisial. Sepuluh perintah Allah merupakan bagian dari moral (Keluaran 34:28). Peraturan-peraturan di mulai pada Keluaran 21:2 dan memuat suatu daftar peraturan mengenai hak-hak di antara orang laki-laki dengan peraturan-peraturan yang menyertai tentang ketentuan-ketentuan bagi para pelanggarnya. Bagian seremonial mulai dari Keluaran 25:1 dan mengatur kehidupan ibadah umat Israel”.

Menurut Charles C. Ryrie, dalam teologi Kristen, pembagian hukum Taurat menjadi tiga (moral, seremonial, dan yudisial) tersebut hampir secara universal di terima. Serupa itu, Robert H. Stein menjelaskan bahwa berdasarkan isinya dan bukan bentuknya , hukum Taurat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:

(1) Hukum etis, seperti sepuluh perintah atau kesepuluh firman (Keluaran 20; 34:27-28; Ulangan 4:13;10:4);

(2) Hukum kultik (seremonial), seperti hukum ritual yang melibatkan korban persembahan, kualifikasi untuk tugas keimaman, dan larangan memakan makanan yang tidak halal;

(3) Hukum sipil, seperti hukum atas kejahatan, peraturan warisan, dan lain sebagainya. Di sini terlihat bahwa yang dimaksud dengan hukum etis oleh Robert H. Stein sama artinya dengan hukum moral.

Nampaknya, Kevin J. Conner dan Ken Malmin, juga mengakui pembagian hukum Taurat menjadi: moral, seremonial, dan yudisial. Perhatikan pernyataan berikut, “Di gunung Sinai Allah membawa bangsa itu ke dalam aturan Musa. Pengaturan tersebut meliputi hukum moral, hukum sipil, dan hukum seremonial. Hukum seremonial mencakup Kemah Suci, keimaman, persembahan kurban, perayaan, dan hari Sabat”.
Jadi secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:

(1) Hukum moral yang telah dinyatakan Allah tetap berlaku dan tidak dihapuskan oleh kematian Kristus. Hukum moral ini berkaitan dengan karakteristik Allah sendiri, tidak hanya berlaku bagi bangsa Israel tetapi juga bagi semua manusia.

(2) Hukum seremonial yang telah dinyatakan Allah tidak berlaku lagi karena telah dihapuskan oleh kematian Kristus. Hukum seremonial ini secara khusus berkaitan dengan tata ibadat Israel dan tidak berlaku bagi bangsa-bangsa lain.

(3) hukum sipil dikaitkan dengan keberadaan Israel sebagai suatu bangsa. Hukum sipil memuat peraturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan berbangsa dan bermasyarakat bagi bangsa Israel yang disertai dengan ketentuan hukuman bagi pelanggarnya.
MENAFSIRKAN HUKUM TAURAT
Telah disebutkan di atas bahwa berdasarkan isinya pembagian hukum Taurat menjadi tiga bagian hampir secara universal di terima di dalam teologi Kristen, yaitu: hukum moral atau hukum etis, hukum seremonial atau kultik, dan hukum sipil atau yudisial.

Beberapa orang menolak tiga pembagian ini karena Perjanjian Lama tidak secara eksplisit membedakannya dan kadang-kadang pengelompokkan ini nampak bersilangan. Misalnya, apakah hukum tentang penyakit dan pentahiran (Imamat 13-15) termasuk hukum seremonial ataukah sipil? Atau apakah termasuk keduanya? Karena hukum-hukum itu melibatkan persembahan kurban, hal itu tidak mudah untuk dipastikan.

Namun, di dalam Perjanjian Baru, perbedaan antara dimensi moral, seremonial, dan sipil itu ada dan sangat bermanfaat bagi kita dalam menafsirkan hubungan hukum Taurat dengan kehidupan Kristen.
Robert H. Stein, pakar teologi dan profesor hermeneutika Perjanjian Baru di The Southern Baptis Theological Seminary menjelaskan salah satu prinsip penafsiran hukum Taurat sebagai berikut, “Ketika Perjanjian Baru mengacu pada Perjanjian Lama, kita mengerti bahwa hukum seremonial dan sipil itu tidak lagi mengikat. Perjanjian Lama menubuatkan bahwa akan tiba saatnya satu perjanjian yang baru akan ditetapkan. Pada waktu itu sebagian persyaratan yang terlibat dalam perjanjian yang lama akan berakhir.

Dalam perjanjian yang baru, semua makanan dinyatakan halal (Markus 7:19; Bandingkan Kisah Para Rasul 10:9-16), sistem pengurbanan dan keimaman menjadi tidak berguna melalui pengorbanan Yesus yang sekali untuk selamanya dan keimamanNya yang kekal demi kita (Ibrani 7-8; 10:1-10), dan sunat tidak lagi dituntut (Galatia 5:2-6). Hukum sipil dalam Perjanjian Lama juga tidak lagi mengikat, karena negara Israel Perjanjian Lama yang theokratik tidak ada lagi, dan orang-orang Perjanjian Baru tidak didefinisikan sebagai sekumpulan orang-orang dari ras dan wilayah tertentu”.
Lalu bagaimana dengan hukum moral atau dimensi etis dari Perjanjian Lama? Apakah masih berlaku ataukah tidak? Kembali Robert H. Stein menjelaskan demikian, “Berkenaan dengan dimensi etis hukum Perjanjian Lama, tidak ada alasan untuk berpikir bahwa hukum itu akan berubah secara drastis, karena hukum itu mencerminkan karakter Allah.

Para penulis Perjanjian Baru menganggapnya masih mengikat. Tentu saja Matius menganggapnya begitu ketika Ia mengutip perkataan Yesus ‘Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. ... Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga” (Matius 5:17,19).

Kemudian Matius menunjukkan bahwa kebenaran yang lebih besar yang dituntut Yesus mencakup bukan hanya menaati perintah-perintah spesifik hukum Taurat secara fisik. Itulah yang dilakukan orang-orang Farisi dan ahli Taurat. Dalam Matius 5:21-48, kebenaran lebih tinggi yang dituntut Yesus mencakup menaati seluruh prinsip yang terdapat dalam perintah-perintah ini dan berbagai implikasinya. Yesus meringkas keseluruhan hukum itu menjadi dua perintah, yakni mengasihi Allah dan mengasihi sesama (Markus 12:28-34).

Hal ini menunjukkan bahwa pengajaran etis dari hukum Taurat masih harus ditaati. Kenyataan bahwa Paulus (Galatia 5:14; Roma 13:9) dan Yakobus (Yakobus 2:8) mengutip ringkasan Yesus tentang hukum Taurat menunjukkan bahwa mempunyai pemikiran yang sama. Karena itu, hal terbaik adalah menganggap bahwa hukum Taurat dalam Perjanjian Lama masih mengikat bagi orang percaya kecuali secara khusus dibatalkan dalam Perjanjian Baru”.
Jadi menurut Robert H. Stein, Perjanjian Lama masih berlaku dalam hal dimensi etis atau hukum moral. Dengan demikian bersifat mengikat bagi orang Kristen. Serupa itu, Douglas Stuart, profesor Perjanjian Lama di Gordon Conwell Theological Seminary dan Gordon D. Fee, profesor Perjanjian Baru di Regent College, Vancouver, British Columbia, menjelaskan bahwa beberapa segi dari hukum etika atau hukum moral Perjanjian Lama benar-benar kembali dinyatakan dalam Perjanjian Baru sebagai sesuatu yang berlaku bagi orang-orang Kristen.

Tetapi hukum tersebut memperoleh relevansinya terus menerus dari fakta bahwa ia berguna untuk menopang dua hukum utama dari perjanjian yang baru dan padanya bergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi (Matius 22:40; bandingkan Ulangan 6:5; Imamat 19:18). Dengan demikian Yesus mengutip beberapa hukum Perjanjian Lama dan membuatnya berlaku lagi (Matius 5:21-48).

Namun, Douglas Stuart dan Gordon D. Fee juga mengingatkan demikian, “Jangan memandang Taurat Perjanjian Lama sebagai hal yang mengikat orang Kristen dalam Perjanjian Baru, kecuali yang khusus dibaharui”. Hanya bagian yang dengan tegas dibaharui dari hukum Taurat Perjanjian Lama dapat dianggap sebagai bagian dari hukum Kristus di Perjanjian Baru (Galatia 6:2).

Dalam kategori demikian akan tercakup kesepuluh perintah, karena hukum-hukum ini dikutip dalam berbagai cara di Perjanjian Baru, sebagai hukum yang masih berlaku untuk orang Kristen (Matius 5:21-37; Yohanes 7:23), dan dua perintah utama dalam Ulangan 6:5 dan Imamat 19:18.
Jadi, jika pertanyaannya adalah “sejauh mana orang percaya Perjanjian Baru ada di bawah hukum Taurat?” maka jawabannya adalah bahwa orang percaya Perjanjian Baru tidak lagi berada di bawah hukum Taurat dalam tiga pengertian, yaitu:

(1) mereka tidak berada di bawah hukum seremonial karena hal itu telah digenapi di dalam Kristus;

(2) mereka tidak berada di bawah hukum sipil Yahudi karena hal itu tidak dimaksudkan bagi mereka; dan

(3) mereka tidak berada di bawah penghukuman (kutuk) hukum Taurat karena identifikasi mereka dengan kematian penebusan Kristus yang membebaskan dari hal itu (Bandingkan Galatia 3:13-14). Namun, hukum moral masih tetap berlaku karena hal itu berakar pada sifat moral Allah.
Ringkasnya: Hukum moral atau hukum etis Perjanjian Lama masih berlaku dan mengikat bagi orang Kristen karena telah diperbaharui di dalam Perjanjian Baru dan karena hukum itu mencerminkan karakter Allah.

Sedangkan hukum seremonial atau kultik dan hukum sipil atau yudisial Perjanjian Lama sudah tidak berlaku bagi orang Kristen dan dengan demikian tidak bersifat mengikat lagi. Dengan demikian, ada hal-hal yang masih berlaku dalam Perjanjian Baru dan tidak dibatalkan. Persepuluhan merupakan salah satu yang masih berlaku dan diatur di dalam gereja.
ALASAN PERSEPULUHAN MASIH BERLAKU BAGI ORANG KRISTEN
Berdasarkan pendekatan pembagian isi hukum Taurat tersebut di atas, beberapa orang berpendapat bahwa persepuluhan itu termasuk dalam hukum moral (lihat representasi pendapat Budi Asali di bagian 1). Karena hukum moral tetap berlaku dan tidak dihapuskan maka dengan demikian persepuluhan juga masih berlanjut. Sedangkan yang lainnya berpendapat bahwa persepuluhan itu termasuk dalam hukum seremonial dan dengan demikian persepuluhan itu telah dihapuskan (lihat representasi pendapat Herlianto di bagian 1).

Tidaklah mudah menentukan apakah persepuluhan itu termasuk dalam hukum moral atau hukum seremonial. Kesulitan ini juga dialami oleh Gereja Katolik yang menjelaskan bahwa persepuluhan dapat ditempatkan di dalam ketiga bagian tersebut. Dikatakan dalam Website Katolisitas demikian, “Dalam pengertian yang luas, persepuluhan dapat menjadi hukum moral, karena mengatur persembahan kepada Tuhan.

Namun, pengaturan tentang hari persembahan, dengan cara bagaimana persembahan tersebut diberikan, masuk dalam kategori huku seremonial. Dan pengaturan bagi pelanggaran perpuluhan masuk dalam kategori hukum sipil”.
Menggunakan pendekatan berdasarkan pembagian hukum Taurat seperti tersebut di atas untuk menjelaskan persepuluhan memang tidak sepenuhnya berhasil menjawab berbagai persoalan yang muncul. Walau demikian pendekatan ini cukup membantu dalam menjelaskan legitimasi pemberian persepuluhan yang dilakukan oleh orang Kristen. Saya setuju dengan Budi Asali bahwa persepuluhan termasuk dalam dimensi etis atau hukum moral sehingga masih berlaku dan mengikat orang Kristen. Tetapi saya mempunyai alasan yang berbeda dari alasan yang diajukannya.

Budi Asali menempatkan persepuluhan pada hukum moral dengan alasan sebagai berikut “sekarang tentang persembahan persepuluhan, itu harus dilakukan untuk bisa berjalannya pelayanan dalam Kemah Suci atau Bait Allah. ini bukan tidak ada logikanya, bahkan sebaliknya, sangat logis, karena tujuannya mencukupi kebutuhan pelayan-pelayan bait suci! kalau tidak diberikan, maka pelayanan itu menjadi kacau. apakah ini tidak jahat? Karena itu ini termasuk hukum moral.

Dan dalam zaman Perjanjian Baru, persamaannya adalah gereja juga membutuhkan uang untuk bisa berjalan dengan baik. Hal yang lain adalah bahwa hukum seremonial selalu merupakan simbol atau tipe. Kalau persembahan persepuluhan dianggap hukum seremonial, maka hukum persembahan persepuluhan ini merupakan simbol atau tipe dari apa? Apa dari kedatangan Kristus, ataupun hal-hal yang akan datang yang lain, yang menggenapi persembahan persepuluhan? tidak ada! Dan karena itu, hukum tentang persembahan persepuluhan bukanlah hukum seremonial. Dan kalau bukan hukum seremonial, pasti termasuk hukum moral”.
Menurut saya, alasan yang paling alkitabiah mengapa persepuluhan itu termasuk dalam hukum moral atau hukum etis adalah karena persepuluhan itu merupakan milik Allah dan Allah sendiri yang menyatakanNya dengan sangat jelas, “Demikian juga segala persembahan persepuluhan dari tanah, baik dari hasil benih di tanah maupun dari buah pohon-pohonan, adalah milik TUHAN; itulah persembahan kudus bagi TUHAN” (Imamat 27:30).

Douglas Stuart dan Gordon D. Fee menuliskan, “Persepuluhan itu adalah milikNya, dan Ia telah menetapkan bagaimana menggunakannya”. Alkitab menyatakan bahwa Allah adalah Pencipta, Penguasa, dan Pemilik segalanya. Alkitab menyatakan “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya” (Mazmur 24:1 bandingkan Mazmur 50:10, 12; Wahyu 4:11). Ia adalah Pemilik dan Pemberi segala hal kepada manusia, dan manusia adalah pengelola atas apa yang dipercayakan oleh Tuhan (Kejadian 1:28; 2:5 ). Karena itu semua orang percaya diingatkan bahwa mereka bertanggung jawab kepada Tuhan atas segala sesuatu yang telah dipercayakan kepadanya (Lukas 16:1-13).
Sebenarnya seluruh hidup orang percaya adalah milik Tuhan (Roma 12:1; 1 Korintus 6:19-20; Galatia 2:20). Karena Allah menciptakan semuanya, sehingga semuanya itu adalah milikNya, maka segala sesuatu yang kita sebut sebagai milik kita sebenarnya bukanlah milik kita.

Tony Evans mengatakan, “Karena Allah memiliki segala sesuatu, maka segala sesuatu yang kita katakan sebagai milik kita hanya merupakan milik kita secara relatif, semua itu bukan milik kita secara mutlak”. Dengan demikian, secara de jure seluruh harta dan uang orang percaya itu adalah milik Tuhan, namun secara de facto harta dan uang itu adalah milik orang percaya yang Tuhan percayakan kepada mereka untuk dikelola.

Dari semua harta dan keuangan yang Tuhan percayakan itu, Ia ingin kita mempersembahkan 10 % kepadaNya sebagai pemberian minimum yang dipakai bagi pelayanan pekerjaanNya. Pemberian tersebut merupakan ekspresi dari iman dan pengakuan akan kedaulatan Allah sebagai pemilik segalaNya. Dengan memberikan sepersepuluh dari penghasilan dan kekayaan yang kita terima, sebenarnya kita sedang mengakui bahwa Tuhanlah Pemilik sebenarnya dari segala yang kita punya itu.
PEWAHYUAN PROGESIF TENTANG KEPEMILIKAN ALLAH ATAS PERSEPULUHAN
Untuk bisa menafsirkan Alkitab secara wajar tetapi konsisten, harus mengakui bahwa pewahyuan Alkitab diberikan secara progresif. Artinya bahwa dalam proses pewahyuan pesanNya kepada manusia, Allah bisa menambah atau bahkan mengubah dalam suatu waktu apa yang Dia telah berikan sebelumnya. Mengenai pewahyuan progresif ini telah saya jelaskan secara singkat di bagian 1 buku ini ketika saya membahas pendekatan hermeneutik yang saya pakai dalam membahas persepuluhan. Secara progesif Tuhan telah menyingkapkan hal penetapan dan pemanfataan persepuluhan itu dalam berbagai keadaan.
1. Pewahyuan Kepemilikan Tuhan Disingkap dalam Praktek Pemberian Persembahan Habel.
Allah tidak berbagi status kepemilikanNya kepada manusia , tetapi Ia hanya berbagi tanggung jawab pengelolaannya kepada manusia. Allah mempercayakan manusia untuk ambil mengelola milikNya. Dari semua harta dan keuangan milik Tuhan yang dipercayakanNya itu, Ia ingin kita memberikan persembahan untuk pekerjaanNya dengan sikap hati yang mengakui akan kepemilikanNya.

Prinsip ini terlihat ketika Kain dan Habel menyampaikan persembahan kepada Tuhan. Kain dan Habel pasti telah mengetahui dari ayah mereka, Adam bahwa Allah adalah Pencipta dan Pemilik segala yang dapat mereka nikmati. Walau mengetahui kepemilikan Allah, namun Kain tidak memberikan persembahan yang terbaik, berbeda dengan Habel yang memberikan persembahan terbaiknya, yang sulung (Kejadian 5:3-4). Bahwa alasan persembahan Kain ditolak bukan karena ia mempersembahkan hasil bumi yang telah terkutuk, tetapi karena ia tidak mempersembahkan yang terbaik dari hasil pertaniannya (Kejadian 4:4).
Walaupun jumlah pemberian Kain lebih banyak dibandingkan dengan pemberian Habel, tetapi Tuhan menolak persembahan Kain. Karena Kain memberikan sebagian dari hasil pertaniannya sebagai persembahan tetapi bukan hasil pertama sebagai bentuk pengakuan akan kedaulatan dan kepemilikan Tuhan. Hal yang dilakukan oleh Kain, mirip dengan apa yang dilakukan Ananias dan Safira dalam Kisah Para Rasul 5:1-11.

Padahal tanah itu yang sebelum dijual dan setelah dijual tetap dalam kuasa mereka untuk pengelolaannya. Namun walau mereka memberi sebagian, tetapi bukan yang terbaik yang sebenarnya diberikan dengan iman dan sukarela. Kita mesti mengingat pentingnya persepuluhan dan hasil sulung sebagai pengakuan akan kepemilikan dan kedaulatan Allah yang dikemudian hari diperjelas dalam konstitusi bangsa Israel.

Tentang persembahan hasil sulung Donald C. Stamps menyatakan, “Bangsa Israel mempersembahkan hasil panen pertama mereka kepada Tuhan sebagai pengakuan bahwa Dialah pemilik tanah itu (Imamat 23:10; 25:23; Bilangan 18:12-13). Kita juga harus memberikan hasil pertama dari pendapatan kita kepada Allah supaya menghormati Dia sebagai Tuhan atas kehidupan dan harta milik kita”.
Ada penafsir yang menyatakan bahwa alasan persembahan Kain ditolak adalah karena ia mempersembahkan dari hasil tanah yang telah terkutuk setelah kejatuhan Adam. Tentu saja alasan tersebut salah! Jika Tuhan menolak hasil tanah, maka mengapa dikemudian hari Tuhan mengharuskan orang Israel untuk mempersembahkan persepuluhan dari hasil tanah mereka (Ulangan 14:22-23).

Sementara itu penafsir yang lain menyatakan bahwa Kain tidak mempersembahkan persembahannya dengan iman sedang Habel adiknya melakukannya dengan iman. Tentu saja ini merupakan sebagian alasannya (Ibrani 11:4), tetapi sekali lagi, ini bukan alasan utama mengapa persembahan Kain ditolak. Alasan utama mengapa persembahan Kain ditolak adalah karena ia tidak memberikan hasil sulung yang terbaik. Dan Tuhan menganggap bahwa apa yang dilakukan Kain tersebut tidaklah baik (Kejadian 4:7).

Berbeda dari Kain, Habel memberikan hasil sulung, yang utama sebagai persembahan bagi Tuhan (4:4), apalagi tindakan Habel mempersembahkan persembahan yang sulung itu dilakukannya dengan iman (Ibrani 4:4). Tindakan Habel tersebut menyenangkan Tuhan. Jadi, pemberian hasil sulung dan persepuluhan sebenarnya merupakan pengakuan tentang kedaulatan dan kepemilikan Allah terhadap segala yang kita miliki.
2. Kepemilikan Allah atas Persepuluhan Diperjelas Ketika Abraham Memberi Kepada Melkisedek.
Tuhanlah yang menggerakkan hati Abraham untuk memberikan sepersepuluh dengan iman dan sukarela kepada Melkisedek seorang Imam Allah Yang Mahatinggi (Kejadian 14:17-20). Pastilah Tuhan juga yang memerintah Melkisedek untuk menyongsong Abraham dan memberkatinya (Ibrani 7:1).

Seandainya tindakan iman Abraham memberi persepuluhan yang terbaik dari hasil rampasannya kepada Melkisedek itu tidak berkenan kepada Tuhan (Ibrani 7:4), maka pastilah Tuhan sudah memberitahunya kepada Abraham. Sebaliknya kita tidak menemukan hal tersebut. Justru kita menemukan kisah historis pemberian persepuluhan Abraham kepada Melkisedek ini diulang kembali dalam Ibrani 7. Dengan makna dan penyingkapan yang penuh bahwa Melkisedek merupakan tipologi dari Kristus (Ibrani 14:4).

Buist M. Fanning, profesor Perjanjian Baru dari Dallas Teological Seminary menyatakan demikian, “Tidak ada alasan untuk menganggap bahwa Melkisedek lebih dari seorang imam-raja historis kuno yang berinteraksi secara berarti dengan Abraham. Tetapi, Kejadian 14 bungkam tentang awal, akhir, atau asal-usul Melkisedek. Apa makna kebisuan ini, ketika dipandang dari perspektif Mazmur 110 dan posisi mulia Anak Allah saat ini? Jawabannya ialah bahwa Melkisedek dalam kaitan ini secara sempurna melambangkan keimamatan kekal yang kini Yesus kerjakan”.
Leon Morris, profesor Perjanjian Baru pada Trinity Evangelical Divinity School menjelaskan keimaman Kristus menurut Melkisedek demikian, “Fakta bahwa Allah telah memanggil Kristus untuk menjadi imam menurut Melkisedek dan telah bersumpah bahwa Ia akan menjadi imam ‘untuk selama-lamanya’, itu berarti bahwa imamat Kristus tidak bisa digantikan.

ImamatNya tetap secara absolut. Pemberian persepuluhan kepada Melkisedek dan berkat yang diberikan olehNya menunjukkan keunggulan Kristus atas imam-imam Lewi. Lewi yang merupakan bapa leluhur para imam itu, belum lahir. Ia masih ada ‘dalam tubuh’ bapa leluhurnya, Abraham, pada waktu persepuluhan itu dibayarkan; secara simbolis Lewi membayarnya (Ibrani 7:9-10).

Sedangkan berkat Melkisedek atas Abraham mempunyai makna penting, karena tak bisa diragukan bahwa yang lebih rendah diberkati oleh yang lebih tinggi (Ibrani 7:7). Kedua hal ini menunjukkan kebenaran bahwa imamat yang dijalankan Kristus itu lebih agung daripada imamat yang dijalankan oleh para imam Yerusalem”.
Tindakan Abraham memberikan persepuluhan ini mengekspresikan pengakuan dan iman Abraham tentang kedaulatan Allah terhadap segala yang dimilikinya. Frank Damazio mengatakan, “Dalam perikop ini, kita diberitahu bahwa Melkisedek adalah ‘imam Allah Yang Mahatinggi’. Ayat 19 mencatat bahwa Abraham juga ‘berasal dari Allah yang Mahatinggi’.

Dan kita diberitahu bahwa Allah Yang Mahatinggi adalah ‘pemilik langit dan bumi’ (Kejadian14:19). Tampak jelas persepuluhan dalam konteks ini merupakan pengakuan langsung atas kedaulatan dan ketuhanan Allah atas seluruh bumi. Pemberian kembali sepersepuluh dari apa yang sudah menjadi milik Allah kepadaNya merupakan pengakuan terhadap kepemilikan Allah atas seluruh kekayaan bumi”.
Pengakuan akan kedaulatan Tuhan ini juga nampak dari tanggapan Abraham yang menolak menerima harta kekayaan dari raja Sodom, padahal barang-barang rampasan itu adalah milik Abraham berdasarkan hak penaklukannya. Ketika Raja Sodom berkata kepada Abraham, "Berikanlah kepadaku orang-orang itu, dan ambillah untukmu harta benda itu”. (Kejadian 14:22).

Maka dengan tegas Abraham menjawab, “Aku bersumpah demi TUHAN, Allah Yang Mahatinggi, Pencipta langit dan bumi: Aku tidak akan mengambil apa-apa dari kepunyaanmu itu, sepotong benang atau tali kasut pun tidak, supaya engkau jangan dapat berkata: Aku telah membuat Abram menjadi kaya” (Kejadian 14:22-23). Abraham berpegang teguh pada janji Allah kepadanya, sewaktu ia diperintahkan untuk meninggalkan Haran (Kejadian 12:1-5).

Abraham percaya, bahwa Allahlah yang telah memberikan kemenangan kepadaNya. Allah sebagai sumber berkat dan perlindungannya, adalah Allah yang sama dengan yang disembah dan dilayani oleh Melkisedek raja Salem itu. Karena itulah sebagai ungkapan rasa syukurnya atas kemenangan tersebut, Abraham memberikan persembahan persepuluhan kepada Melkisedek dengan sukacita tanpa paksaan, dengan iman kepada Allah dan pengakuan akan keimaman Melkisedek.
3. Kepemilikan Tuhan atas Persepuluhan Ditetapkan dengan Tegas dalam Konstitusi Israel.
Tuhan menetapkan persepuluhan itu sebagai kewajiban yang harus dilakukan bagi bangsa Israel dalam konstitusi hukum Taurat. Karena hal ini sudah saya jelaskan secara panjang lebar pada bagian 3 dan bagian 4, maka di sini hanya dijelaskan secara sekilas bahwa persepuluhan itu diwajibkan dalam konstitusi Israel. Di dalam konstitusi hukum Taurat inilah persepuluhan dinyatakan dengan jelas sebagai persembahan khusus milik Tuhan.

Tuhan menyatakan kepada bangsa Israel melalui Musa, “Demikian juga segala persembahan persepuluhan dari tanah, baik dari hasil benih di tanah maupun dari buah pohon-pohonan, adalah milik TUHAN; itulah persembahan kudus bagi TUHAN” (Imamat 27:30). Karena persepuluhan itu milik Tuhan, maka Tuhan sendiri berhak menentukan kepada siapa Ia hendak memberikan persepuluhan tersebut. Dan Tuhan melalui Musa telah menetapkan untuk memberikan persepuluhan itu kepada suku Lewi dengan alasan yang khusus (Bilangan 18:21).
Kekhususan suku Lewi ini didasarkan atas kehendak dan pemilihan Allah yang berdaulat, dan disertai dengan alasan yang logis. Herbert Wolf menjelaskan alasannya demikian, “Pada waktu anak sulung Israel selamat selama tulah kesepuluh yang merupakan klimaks di Mesir, Allah menyatakan bahwa semua anak sulung Israel adalah milikNya.

Tetapi daripada memisah anak-anak sulung dari keluarga mereka, Allah memilih seluruh suku Lewi untuk menjadi hamba-hamba Khusus bagiNya sebagai ganti semua orang sulung Israel (Bilangan 3:11-13)”. Kita juga teringat, bahwa setelah orang Israel mengatakan kepada Tuhan “Segala yang difirmankan TUHAN akan kami lakukan”. Lalu Musa pun menyampaikan jawab bangsa itu kepada TUHAN” (Keluaran 19:8), segera setelah itu mereka melanggar perintah pertama dan kedua dari Sepuluh Perintah (Keluaran 20:1-18).

Mereka membuat patung anak lembu emas di kaki gunung sinai untuk disembah (Keluaran 32). Pada waktu itulah suku Lewi berkumpul dipihak Musa selama krisis lembu emas tersebut. Allah mengkhususkan mereka menjadi pelayanNya yang khusus (Bandingkan Keluaran 32:26-28).
4. Persepuluhan Orang Percaya Diberikan Kepada Kristus Selaku Imam Besar Dan Kepala Gereja.
Ketika Kristus mendirikan gerejaNya (Matius 16:18), Kristus ditetapkan sebagai kepala Gereja. Kebangkitan dan kenaikanNya ke surga menjadikan Dia sebagai Kepala dari Gereja (Efesus 1:20-23). Sebagai pendiri dan kepala gereja ada beberapa hal yang dilakukan oleh Kristus :

(1) Dia menjadi Batu Penjuru melalui kematian dan kebangkitanNya (Kisah Para Rasul 4:11; Efesus 2:20);

(2) Dia memilih murid-murid yang akan menempati suatu posisi sebagai dasar bangunan yang didirikanNya (Efesus 2:20);

(3) Dia mengajar murid-muridNya tentang perkara-perkara yang akan menjadi efektif apabila gereja mulai berfungsi. Sebagian besar dari pengajaranNya itu disampaikan selama percakapan di kamar atas (Yohanes 13-17); (4) Ia menebus orang-orang percaya (gereja) dengan darahNya sendiri (Kisah Para Rasul 20:28).

(5) Ia juga mengirim Roh Kudus yang menghidupkan Gereja sehingga dapat sungguh-sungguh berfungsi (Kisah Para Rasul 2:23);

(6) Ia memberikan karunia-karunia kepada anggota-anggota tubuhNya (Efesus 4:8);

(7) Ia bertanggung jawab atas keberadaan dan keberlangsungan gerejaNya sampai akhir zaman (Matius 28:19-20; Bandingkan Matius 16:18).
Selain sebagai kepala Gereja, Kristus juga adalah Imam Besar menurut peraturan Melkisedek. Imamat Melkisedek adalah suatu imamat yang kekal, karena yang menjadi imamnya tidak pernah mati. Penulis Kitab Ibrani menyatakan bahwa Yesus hidup selama-lamanya sebagai Imam Besar menurut peraturan (ordo) Melkisedek (Ibrani 7:24-25).

Sebagaimana Abraham memberikan persepuluhan dari semua yang terbaik kepada Melkisedek dengan sukarela tanpa paksaan, dengan iman dan pengakuan akan kedaulatan dan kepemilikan Tuhan, demikian juga orang percaya memberikan persepuluhan mereka kepada Kristus sebagai pengakuan akan supremasi dan keimaman Kristus. Sebagai Imam Besar, Kristus berhak menerima persembahan persepuluhan dari umatNya yang dipakai untuk menyokong pelayanan dan pekerjaanNya di dalam gereja saat ini.
Karena itulah, persepuluhan milik Allah pada saat ini ditetapkan sebagai persembahan kepada Kristus selaku Imam Besar, dan diberikan melalui tubuhNya, yaitu gerejaNya. Ia telah memberikan 5 jawatan pelayanan untuk melengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan (Efesus 4:11-16). Melalui pelayanan kelima jawatan inilah persepuluhan diterima oleh Kristus, yang digunakan melekat pada tugas dan fungsi mereka “untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus” (Efesus 4:12).


Dengan demikian persepuluhan diberikan kepada kepemimpinan atau kepengurusan gereja lokal yang dipakai untuk melaksanakan pekerjaan pelayanan dan pembangunan tubuh Kistus di gereja melalui gereja lokal, serta digunakan untuk memenuhi kebutuhan para pelayan Injil tersebut. Pemberian persepuluhan ini dilaksanakan oleh jemaat (orang-orang percaya) sebagai pengakuan akan supremasi dan keimaman Kristus, serta sebagai rasa syukur orang percaya atas anugerah keselamatan yang telah di terima dalam Kristus.
Ringkasnya:

(1) Persepuluhan adalah milik Allah, dari dahulu hingga sekarang tetap menjadi milik Allah. Di dalam Perjanjian Lama diatur dalam konstitusi Israel, dan dalam Perjanjian Baru diatur dalam gereja.

(2) Di dalam Perjanjian Lama persepuluhan diberikan kepada Allah, dan sebagai pemilik persepuluhan itu, Allah menentukan Melkisedek sebagai menerima persepuluhan dari Abraham; kemudian Orang Lewi dan para Imam menerima persepuluhan dari bangsa Israel.

(3) Di dalam Perjanjian Baru persepuluhan diberikan orang percaya kepada Kristus, selaku Imam Besar Perjanjian Baru dan Kristus telah memberikan 5 jawatan dan para pelayan Injil untuk menerima persepuluhan tersebut. PERSEPULUHAN DAN KEPEMILIKAN ALLAH (6)
Next Post Previous Post