MATIUS 7:1-6 (ARTI JANGAN MENGHAKIMI)
Pdt.Budi Asali, M.Div.
Bacaan: MATIUS 7:1-6.
Matius 7: 1-5:
a) Yesus melarang adanya pengadilan.
Penafsiran ini jelas salah karena bertentangan dengan bagian-bagian Kitab Suci di bawah ini:
· Keluaran 18:13-26 dimana Musa dan sejumlah orang menjadi hakim.
· 1Raja-raja 3:16-28 dimana Salomo menjadi hakim.
· pemberian Undang-Undang untuk pengadilan seperti dalam Keluaran 21:12-dst.
· Roma 13:1-5 - “(1) Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah. (2) Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya. (3) Sebab jika seorang berbuat baik, ia tidak usah takut kepada pemerintah, hanya jika ia berbuat jahat. Maukah kamu hidup tanpa takut terhadap pemerintah? Perbuatlah apa yang baik dan kamu akan beroleh pujian dari padanya. (4) Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat. (5) Sebab itu perlu kita menaklukkan diri, bukan saja oleh karena kemurkaan Allah, tetapi juga oleh karena suara hati kita”.
b) Kita tidak boleh melakukan siasat gerejani.
Jaman sekarang ini kita mungkin sudah tidak lagi pernah mendengar tentang adanya gereja yang menjalankan siasat gerejani, dan kata-kata ‘jangan menghakimi’ ini sering dipakai oleh pendeta / majelis untuk tidak melakukan siasat gerejani. Tetapi ini jelas merupakan penggunaan yang salah, karena bertentangan dengan:
Matius 18:15-17 - “‘Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali. Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan. Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat. Dan jika ia tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai”.
1Korintus 5:1-2,9-13 - “(1) Memang orang mendengar, bahwa ada percabulan di antara kamu, dan percabulan yang begitu rupa, seperti yang tidak terdapat sekalipun di antara bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, yaitu bahwa ada orang yang hidup dengan isteri ayahnya. (2) Sekalipun demikian kamu sombong. Tidakkah lebih patut kamu berdukacita dan menjauhkan orang yang melakukan hal itu dari tengah-tengah kamu? ... (9) Dalam suratku telah kutuliskan kepadamu, supaya kamu jangan bergaul dengan orang-orang cabul. (10) Yang aku maksudkan bukanlah dengan semua orang cabul pada umumnya dari dunia ini atau dengan semua orang kikir dan penipu atau dengan semua penyembah berhala, karena jika demikian kamu harus meninggalkan dunia ini. (11) Tetapi yang kutuliskan kepada kamu ialah, supaya kamu jangan bergaul dengan orang, yang sekalipun menyebut dirinya saudara, adalah orang cabul, kikir, penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu; dengan orang yang demikian janganlah kamu sekali-kali makan bersama-sama. (12) Sebab dengan wewenang apakah aku menghakimi mereka, yang berada di luar jemaat? Bukankah kamu hanya menghakimi mereka yang berada di dalam jemaat? (13) Mereka yang berada di luar jemaat akan dihakimi Allah. Usirlah orang yang melakukan kejahatan dari tengah-tengah kamu”.
Kedua text ini jelas mengatakan bahwa dalam hal-hal tertentu siasat gerejani harus dilakukan!
William Hendriksen: “Luke 6:37 has been used at times as an excuse for laxity in exercising church discipline, but in the light of its context, and also of Matt. 18:15-18 and John 20:23, such use of this passage is without any justification” (= Lukas 6:37 kadang-kadang digunakan sebagai suatu alasan untuk tidak melakukan disiplin gerejani, tetapi dalam terang dari kontexnya, dan juga dari Matius 18:15-18 dan Yohanes 20:23, penggunaan seperti itu dari text ini tidak dapat dibenarkan) - ‘The Gospel of Luke’, hal 355.
c) Kita harus membutakan diri terhadap kesalahan orang lain; kita tidak boleh menilai orang lain ataupun mengkritik / menegur orang lain.
Secara sadar atau tidak, ada banyak sekali orang kristen ataupun hamba Tuhan yang mengambil penafsiran ini. Ini terlihat pada waktu mereka menggunakan kata-kata ‘jangan menghakimi’ ini terhadap orang yang mencela suatu ajaran sesat atau seorang nabi palsu.
Orang-orang ini tidak menyadari bahwa pada waktu mereka mengatakan kata-kata ‘jangan menghakimi’ kepada seseorang, mereka sendiri sudah menghakimi orang itu!
Alasan yang sering dikemukakan untuk melarang menghakimi secara total:
1. Itu tidak kasih. Ini salah, karena kita menilai seseorang bisa dengan tujuan meluruskan orang itu dari kesalahan / kesesatannya, dan juga untuk menolong supaya orang lain tidak ikut dengan kesesatan tersebut.
2. Kita tidak boleh bertengkar, kita harus cinta damai. Ini salah, karena:
· kalau kita membiarkan kesesatan dengan alasan cinta damai, kita tidak mencintai orang-orang yang bisa menjadi korban kesesatan itu.
· menyatakan kesalahan / kesesatan seseorang tidak berarti harus bertengkar. Tetapi kalau toh terpaksa bertengkar, karena orang yang ditegur tidak mau bertobat, perlu kita ketahui bahwa kebenaran lebih berharga dari pada perdamaian, dan perdamaian harus rela dikorbankan demi kebenaran. Dalam Yakobus 3:17 dikatakan: “Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik”. Perhatikan bahwa ‘murni’ mendahului ‘pendamai’, dan karena itu kebenaran harus lebih diutamakan dari perdamaian.
Pada waktu Martin Luther melihat adanya begitu banyak ajaran dan praktek yang salah dari gereja Roma Katolik pada saat itu, apakah ia tetap memelihara perdamaian? Tidak, tetapi sebaliknya ia memakukan 95 thesisnya di pintu gereja Wittenberg, dan ini akhirnya menimbulkan perpecahan dalam gereja! Beranikah saudara menyalahkan Martin Luther dan menganggapnya sebagai orang yang tidak cinta damai?
Thomas Manton: “If the chiefest care must be for purity, then peace may be broken in truth’s quarrel. It is a zealous speech of Luther that rather heaven and earth should be blended together in confusion than one jot of truth perish” (= Jika perhatian yang paling utama adalah untuk kemurnian, maka damai boleh dihancurkan dalam pertengkaran kebenaran. Merupakan suatu ucapan yang bersemangat dari Luther bahwa lebih baik langit dan bumi bercampur aduk menjadi satu dari pada satu titik kebenaran binasa) - hal 316.
Calvin, dalam komentarnya tentang Efesus 5:11, berkata:
“But rather than the truth of God shall not remain unshaken, let a hundred worlds perish” (= Dari pada kebenaran Allah tergoncangkan, lebih baik seratus dunia binasa).
3. Kita tidak maha tahu. Sekalipun kita memang tidak maha tahu, tetapi Allah telah memberi kita Kitab Suci / Firman Tuhan, yang salah satu fungsinya adalah ‘menyatakan kesalahan’.
2Timotius 3:16-17 - “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik”.
Jadi, dengan belajar Kitab Suci kita bisa tahu mana yang benar dan mana yang salah / sesat. Mengatakan ‘kita tidak tahu’ seringkali bukan merupakan perwujudan dari kerendahan hati, tetapi justru merupakan perwujudan dari suatu sikap tegar tengkuk, yang sekalipun sudah diberi tahu tetapi tetap tidak mau tahu!
4. Hanya Allah yang berhak menghakimi (Yakobus 4:12 Roma 12:17-20).
Ayat-ayat ini digunakan out of context, karena Roma 12:17-20 itu diberikan dalam kontext yang melarang balas dendam, dan Yakobus 4:12 dalam kontext orang yang menyalahkan orang lain berdasarkan pemikirannya sendiri, bukan berdasarkan Firman Tuhan. Jadi, semua ini tidak bisa diterapkan kepada orang yang menilai orang lain betul-betul berdasarkan Kitab Suci / Firman Tuhan.
Saya berpendapat bahwa kita boleh menilai, menyalahkan, dan mengecam seseorang, karena:
a. Yesus sendiri mengecam dan mengutuk orang-orang Farisi, ahli-ahli Taurat, orang-orang Saduki, dan ajarannya (Matius 5:20-48 Matius 6:1-18 Matius 15:1-14 Matius 16:1-12 Matius 21:45 Mat 22:29 Matius 23:1-36).
b. Paulus juga mengutuk para nabi palsu (Galatia 1:6-9), dan memarahi jemaat Korintus karena mereka sabar terhadap nabi-nabi palsu (2Korintus 11:4). Ia juga menyetujui kecaman terhadap orang Kreta dan memerintahkan Titus untuk menegur mereka (Titus 1:12-13), mengecam Himeneus, Filetus dan Aleksander (1Timotius 1:20 2Timotius 2:17,18 2Timotius 4:14).
c. Yohanes mengecam Diotrefes (3Yoh 9-10).
d. Dalam Yohanes 7:24 Yesus berkata: “Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil”.
Dengan kata-kata ini, Yesus jelas membolehkan kita untuk menghakimi / menilai orang lain asal kita melakukannya dengan adil, dengan memperhatikan fakta-fakta secara keseluruhan.
e. Kitab Suci juga memberikan perintah atau larangan berkenaan dengan nabi-nabi palsu, seperti:
· 2Yohanes 10-11 - “Jikalau seorang datang kepadamu dan ia tidak membawa ajaran ini, janganlah kamu menerima dia di dalam rumahmu dan janganlah memberi salam kepadanya. Sebab barangsiapa memberi salam kepadanya, ia mendapat bagian dalam perbuatannya yang jahat”.
· Titus 3:10 - “Seorang bidat yang sudah satu dua kali kaunasihati, hendaklah engkau jauhi”.
Bagaimana bisa melaksanakan hal ini kalau kita tidak lebih dulu membentuk pandangan bahwa seseorang itu memang adalah nabi palsu?
f. Dalam Kitab Suci juga ada ayat-ayat yang menyuruh kita menguji segala sesuatu / pengajar-pengajar, seperti:
· 1Tesalonika 5:21 - “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik”.
Bagaimana kita bisa memegang yang baik, kalau tidak menilai lebih dulu mana yang baik dan mana yang buruk, dan lalu membuang yang buruk?
· 1Yohanes 4:1-3 - “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia. Demikianlah kita mengenal Roh Allah: setiap roh yang mengaku, bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia, berasal dari Allah, dan setiap roh, yang tidak mengaku Yesus, tidak berasal dari Allah. Roh itu adalah roh antikristus dan tentang dia telah kamu dengar, bahwa ia akan datang dan sekarang ini ia sudah ada di dalam dunia”.
g. Larangan menghakimi ini (Matius 7:1-5) disusul dengan larangan untuk memberikan barang kudus kepada anjing atau mutiara kepada babi (Matius 7:6). Bagaimana kita bisa mentaati larangan dalam Mat 7:6 ini, kalau kita tidak lebih dulu membentuk suatu pandangan bahwa seseorang itu adalah anjing / babi, yang tidak layak diberi mutiara / barang yang kudus? Juga Matius 7:15 menyuruh berhati-hati terhadap nabi-nabi palsu. Bagaimana kita bisa mentaati peringatan / perintah ini kalau kita tidak membentuk suatu pandangan bahwa seseorang itu adalah nabi palsu. Lebih-lebih Mat 7:15 itu dilanjutkan dengan Matius 7:16, yang mengatakan bahwa dari buahnya kita mengenal pohonnya. Karena itu, jelas bahwa kita boleh memastikan bahwa suatu pohon itu jelek, kalau kita melihat buah yang jelek.
h. Matius 7: 3-5 yang berbunyi: “(3) Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? (4) Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. (5) Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.’”, tidak berarti kita harus mendiamkan kesalahan orang lain, tetapi bahwa kita harus mengoreksi diri sendiri lebih dulu sebelum mengoreksi orang lain.
Bertentangan dengan banyak orang jaman sekarang yang menganggap bahwa kita sama sekali dilarang untuk menghakimi, hampir semua penafsir mengatakan bahwa kita harus menghakimi!
Pulpit Commentary: “Men must be judged by us also. We have to decide whether we will give them our confidence, our friendship; whether we will admit them into the family circle, into the society, into the Church. To decline to judge men is to neglect one of the most serious duties and most weighty obligation of our life” (= Kita juga harus menghakimi manusia. Kita harus memutuskan apakah kita akan memberikan mereka kepercayaan kita, persahabatan kita; apakah kita akan menerima mereka ke dalam lingkungan keluarga, ke dalam masyarakat, ke dalam Gereja. Menolak untuk menghakimi manusia berarti mengabaikan salah satu kewajiban yang paling serius dan penting dari hidup kita) - ‘The Gospel According to Luke’, hal 159.
Calvin: “this passage is altogether misapplied by those persons who would desire to make that moderation, which Christ recommends, a pretence for setting aside all distinction between good and evil. We are not only permitted, but are even bound, to condemn all sins; unless we choose to rebel against God himself, - nay, to repeal his laws, to reverse his decisions, and to overturn his judgment-seat. It is his will that we should proclaim the sentence which he pronounces on the actions of men: only we must preserve such modesty towards each other, as to make it manifest that he is the only Lawgiver and Judge, (Isa 33:22)” [= text ini disalahgunakan oleh orang-orang yang ingin membuat penghakiman terbatas / tak berlebihan yang dinasehatkan Kristus sebagai suatu alasan untuk menyingkirkan semua perbedaan antara baik dan jahat. Kita bukan hanya diijinkan, tetapi bahkan diharuskan, untuk mengecam semua dosa; kecuali kita memilih untuk memberontak terhadap Allah sendiri, - tidak, mencabut hukum-hukumNya, membalik keputusan-keputusanNya, dan membalik takhta penghakimanNya. Merupakan kehendakNya bahwa kita menyatakan hukuman yang Ia umumkan terhadap tindakan-tindakan manusia: hanya kita harus menjaga kerendahan hati satu terhadap yang lain, sehingga menjadi nyata bahwa Ia adalah satu-satunya Pemberi hukum dan Hakim (Yesaya 33:22)] - hal 346-347.
2) Arti yang benar dari kata-kata ‘jangan menghakimi’:
Larangan menghakimi ini kelihatannya ditujukan kepada para ahli Taurat dan orang Farisi, dan / atau orang-orang yang segolongan dengan mereka, yang:
a) Menganggap diri sendiri benar.
D. Martyn Lloyd-Jones memberi contoh penghakiman yang salah yang dimaksudkan oleh Yesus, yaitu orang Farisi yang berdoa di Bait Suci yang berkata: “Ya Allah, aku mengucap syukur kepadaMu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini”(Lukas 18:11). Di belakang penghakiman yang salah ada ‘self-righteous spirit’ (= roh yang menganggap diri sendiri benar). Karena itu Yesus menambahkan Matius 7:3-5 / Lukas 6:41-42.
D. Martyn Lloyd-Jones: “What is this spirit that condemns? It is a self-righteous spirit. Self is always at the back of it, and it is always a manifestation of self-righteousness, a feeling of superiority, and a feeling that we are all right while others are not. That then leads to censoriousness, and a spirit that is always ready to express itself in a derogatory manner. And then, accompanying that, there is the tendency to despise others, to regard them with contempt. I am not only describing the Pharisees, I am describing all who have the spirit of the Pharisee” (= Apakah roh yang menghukum ini? Itu adalah roh yang merasa dirinya sendiri benar. Diri sendiri / si aku selalu ada di belakangnya, dan itu selalu merupakan manifestasi dari perasaan bahwa dirinya sendiri benar, suatu perasaan superior / lebih tinggi, dan suatu perasaan bahwa kita benar sementara orang lain tidak. Itu lalu membawa kepada sikap suka mengkritik, dan suatu roh / semangat yang selalu siap untuk menyatakan dirinya sendiri dengan cara yang merendahkan orang lain. Dan lalu, bersama-sama dengan itu, di sana ada kecenderungan untuk menghina orang lain, memandang orang lain dengan jijik. Saya bukan hanya menggambarkan orang Farisi, saya menggambarkan semua yang mempunyai roh orang Farisi) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 167.
b) Terlalu gampang dan cepat menyalahkan orang lain sebelum mengetahui seluruh persoalannya lebih dulu. Bdk. Yohanes 7:24 - “Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil”.
c) Menegur / mengecam dengan kemarahan yang tak terkendali, tanpa kasih / belas kasihan.
Bandingkan dengan Yohanes dan Yakobus yang ingin menurunkan api dari langit ke atas orang-orang Samaria (Lukas 9:51-56). Pulpit Commentary (hal 159) mengatakan bahwa penghakiman seperti ini mempunyai kecenderungan untuk menghancurkan dari pada memperbaiki.
d) Membesar-besarkan kesalahan orang lain.
e) Mempunyai sikap hyper-critical / terlalu kritis, yang biasanya selalu mencari-cari kesalahan orang, dan merasa senang pada saat bisa menemukan dan mengecam kesalahan orang lain.
D. Martyn Lloyd-Jones: “a very vital part of this spirit is the tendency to be hypercritical. Now there is all the difference in the world between being critical and being hypercritical. ... The man who is guilty of judging, in the sense in which our Lord uses the term here, is the man who is hypercritical, which means that he delights in criticism for its own sake and enjoys it. I am afraid I must go further and say that he is a man who approaches anything which he is asked to criticize expecting to find faults, indeed, almost hoping to find them. ... Love ‘hopeth all things’, but this spirit hopes for the worst; it gets a malicious, malign satisfaction in finding faults and blemishes” (= suatu bagian vital dari roh ini adalah kecenderungan untuk menjadi terlalu kritis. Ada perbedaan yang sangat besar antara kritis dan terlalu kritis. ... Orang yang dipersalahkan tentang penghakiman, dalam arti yang digunakan oleh Tuhan kita di sini, adalah orang yang terlalu kritis, yang berarti bahwa ia menyenangi kritik demi kritik itu sendiri dan menikmatinya. Saya harus meneruskan dan berkata bahwa ia adalah orang yang mendekati segala sesuatu, untuk mana ia diminta untuk mengkritik, sambil mengharapkan bahwa ia akan menemukan kesalahan-kesalahan. ... Kasih ‘mengharapkan segala sesuatu’, tetapi roh ini mengharapkan yang terburuk; ia mendapatkan kepuasan yang jahat dan membahayakan dalam menemukan kesalahan-kesalahan dan cacat-cacat) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 167.
D. Martyn Lloyd-Jones: “If ever we know the feeling of being rather pleased when we hear something unpleasant about another, that is this wrong spirit. If we are jealous, or envious, and then suddenly hear that the one of whom we are jealous or envious has made a mistake and find that there is an immediate sense of pleasure within us, that is it” (= Jika kita pernah mengetahui perasaan senang pada waktu kita mendengar sesuatu yang tidak menyenangkan tentang orang lain, maka inilah roh yang salah itu. Jika kita cemburu atau iri hati, dan lalu tiba-tiba kita mendengar bahwa orang terhadap siapa kita cemburu atau iri hati itu telah membuat kesalahan dan kita mendapatkan bahwa di dalam diri kita langsung ada perasaan gembira, maka itulah roh itu) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 168.
3) Mengapa kita tidak boleh menghakimi?
Catatan: tentu saja yang saya maksud dengan ‘tidak menghakimi’ di sini adalah ‘tidak menghakimi secara salah’.
a) Kita sendiri mempunyai banyak kesalahan, bahkan mungkin kesalahan yang lebih besar (Matius 7: 3-5). Bdk. Roma 2:1-3 - “Karena itu, hai manusia, siapapun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab, dalam menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama. Tetapi kita tahu, bahwa hukuman Allah berlangsung secara jujur atas mereka yang berbuat demikian. Dan engkau, hai manusia, engkau yang menghakimi mereka yang berbuat demikian, sedangkan engkau sendiri melakukannya juga, adakah engkau sangka, bahwa engkau akan luput dari hukuman Allah?”.
b) Orang yang menghakimi / menghukum akan dihakimi / dihukum; balasan ini bisa datang dari manusia dan / atau dari Allah.
Ada orang yang keberatan terhadap kata ‘dihakimi’ / ‘dihukum’, karena mereka berpendapat bahwa orang kristen tidak bisa dihakimi / dihukum. Untuk menjawab ini maka Lloyd-Jones mengatakan bahwa ada 3 macam penghakiman dari Allah kepada kita:
1. Penghakiman akhir jaman yang menentukan kita masuk surga atau neraka.
Orang kristen yang sejati pasti lulus dalam penghakiman ini. Penebusan Kristus membuat mereka pasti diampuni dan masuk surga. Tetapi masih ada 2 penghakiman lain, yang mempengaruhi orang kristen!
2. Penghakiman / penghukuman dalam arti menghajar (Ibrani 12:5-11).
3. Penghakiman untuk menentukan pahala.
2Kor 5:10 - “Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat”.
D. Martyn Lloyd-Jones lalu menyimpulkan:
“Though we are Christians, and are justified by faith, and have an assurance of our salvation, and know we are going to heaven, we are yet subject to this judgment here in this life, and also after this life” (= Sekalipun kita adalah orang-orang Kristen, dan dibenarkan oleh iman, dan mempunyai keyakinan keselamatan, dan tahu bahwa kita akan pergi ke surga, tetapi kita menjadi sasaran penghakiman ini di sini dalam kehidupan ini, dan juga setelah kehidupan ini) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 176.
c) Penghakiman yang kita lakukan akan menjadi standard penghakiman terhadap diri kita sendiri.
Matius 7: 2: “Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu”.
D. Martyn Lloyd-Jones: “The second reason for not judging is that, by so doing, we are not only produce judgment for ourselves, we even set the standard of our own judgment” (= Alasan kedua untuk tidak menghakimi adalah bahwa dengan melakukan itu kita bukan hanya menghasilkan penghakiman terhadap diri kita sendiri, tetapi kita bahkan menetapkan standard penghakiman kita sendiri) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 176.
Calvin mengatakan bahwa ini berarti bahwa orang yang murah hati akan diperlakukan dengan murah hati. Tetapi Calvin juga mengingatkan bahwa juga sering terjadi bahwa orang kristen yang murah hati justru diperlakukan dengan jelek, difitnah dan sebagainya. Kalau ini terjadi maka harus dingat 2 hal:
1. Tidak ada orang kristen yang bisa melakukan semua ini dengan sempurna. Semua orang pernah melakukan penghakiman yang salah, sehingga kalau mereka mengalami penghakiman yang salah, mereka tetap layak mendapatkannya.
2. Suatu saat Tuhan akan memunculkan kebenaran mereka.
4) Cara memberikan kritikan / teguran yang benar.
a) Kita harus mempunyai motivasi yang benar, yaitu kasih.
Kalau kita mau mengkritik / menegur tetapi dalam hati kita tidak ada kasih maka sebaiknya kita membatalkan rencana untuk menegur itu. Kalau kita menegur dengan motivasi kasih maka kita akan menegur untuk kebaikan orang yang kita tegur. Teguran yang diberikan hanya untuk melampiaskan kejengkelan jelas tidak diberikan dengan kasih.
b) Kritikan baru boleh diberikan setelah kita mengetahui duduk perkaranya dengan benar / jelas. Bdk. Yohanes 7:24 - “Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil.’”. Jadi, jangan mengkritik hanya karena saudara mendengar kabar angin, atau pada waktu saudara hanya tahu sebagian dari fakta-fakta yang ada.
c) Kritikan baru boleh diberikan setelah saudara mengintrospeksi diri saudara sendiri (Matius 7: 3-5).
· Adanya dosa dalam diri kita bisa menyebabkan kita ‘melihat’ dosa-dosa yang sebetulnya tidak pernah ada pada diri orang yang kita tegur. Misalnya: kalau saudara benci / sentimen pada seseorang, maka segala yang orang itu lakukan akan saudara rasakan sebagai sesuatu yang salah. Saudara harus membereskan dosa saudara ini dulu, dan kalau saudara sudah bisa mengasihi orang itu, maka saudara mungkin akan melihat bahwa banyak (bahkan mungkin semua) kesalahan orang itu sebetulnya tidak pernah ada.
Illustrasi: Orang melihat tetangganya menjemur pakaian yang masih kotor, padahal sebetulnya kaca jendelanya sendiri, melalui mana ia melihat jemuran tetangganya, yang kotor.
· Pada waktu saudara introspeksi mungkin saudara lalu melihat bahwa saudara pernah melakukan dosa-dosa tertentu di masa lalu terhadap mana saudara sudah bertobat. Ini tidak perlu dan tidak boleh menyebabkan saudara takut untuk menegur. Matius 7: 5 menunjukkan bahwa kalau balok di mata kita itu sudah dikeluarkan, maka kita boleh mengeluarkan selumbar dari mata saudara kita.
d) Pada waktu mengkritik, saudara harus menunjukkan kesalahan orang itu dengan jelas / specific, bukan secara samar-samar / kabur / tidak jelas. Kalau saudara menyatakannya secara samar-samar, maka orang itu tidak tahu tindakan apa yang menyebabkan ia menjadi batu sandungan sehingga ia tidak bisa mengubah tindakannya. Jadi, sebutkan tindakan apa yang menyebabkan ia menjadi batu sandungan.
Misalnya:
· jangan menegur seseorang dengan kata-kata ‘kamu itu menjengkelkan’. Ini tidak jelas, dan tidak memungkinkan orang itu untuk bertobat / memperbaiki dirinya. Saudara harus menegur dengan jelas, misalnya: ‘kamu itu menjengkelkan, karena kalau berhutang tidak pernah membayar’, atau ‘kamu itu menjengkelkan, karena selalu tidak menepati janji’.
· jangan menegur seorang pengkhotbah dengan mengatakan ‘khotbahmu jelek’. Saudara harus memberi tahu ‘jelek dalam hal apa’? Tidak ada arahnya? Tidak sistimatis? Tidak ada penerapan? Tidak ada pendalaman?
· jangan menegur seorang pengurus dengan mengatakan ‘kamu tidak becus jadi pengurus’. Saudara harus menjelaskan ‘dalam hal apa dia tidak becus’. Tidak becus karena acara yang dibuat tidak menarik? Tidak becus dalam mengakrabkan anggota-anggota pengurus yang lain? Tidak becus dalam menggerakkan anggota-anggota pengurus yang lain untuk bekerja?
e) Kritikan harus diberikan dengan cara yang tepat dan pada saat yang tepat.
1. Cara yang tepat tergantung situasi dan kondisi; bisa berupa teguran yang keras atau yang lemah lembut, bisa langsung atau melalui orang lain atau bahkan melalui surat (tetapi jangan melalui surat kaleng, karena ini bertentangan dengan Matius 18:15).
2. Saat yang tidak tepat juga sangat penting (Amsal 15:23 25:11).
Kalau kita menegur orang pada saat orang itu sedang marah atau sedang sangat sedih, itu tentu salah.
Matius 7: 6: “‘Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu.’”.
1) Barang kudus dan mutiara (barang berharga). Apa artinya? Ada 2 penafsiran:
a) Perjamuan kudus. Jadi, yang dimaksud dengan ‘barang kudus’ dan ‘mutiara’ adalah roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus. Ini tidak boleh diberikan kepada ‘anjing’ / ‘babi’yang diartikan sebagai orang yang belum kristen. Penafsiran ini tidak bisa dibenarkan karena ay 6b ada kata-kata ‘diinjak-injak’ dan ‘mengoyak’ yang menjadi kehilangan artinya kalau ‘barang kudus’ dan ‘mutiara’ diartikan demikian.
b) Firman Tuhan / Injil. Dari kedua istilah yang digunakan oleh Yesus ini, kita harus tahu betapa tingginya kita harus menilai Firman Tuhan / Injil! Jangan sedikitpun punya perasaan merendahkan terhadap Firman Tuhan / Injil, kalau saudara tidak mau disebut sebagai babi dan anjing!
2) Babi dan anjing. Ada 2 pandangan lagi tentang babi dan anjing ini:
a) Orang-orang non Yahudi.
Ini jelas adalah penafsiran dari orang-orang Yahudi abad-abad pertama. Mereka menganggap Injil / Firman Tuhan hanya boleh diberitakan kepada orang Yahudi. Ini tentu bertentangan dengan Mat 28:19 dan Kis 1:8, yang jelas memerintahkan kita untuk memberitakan Injil kepada semua bangsa.
b) Orang-orang yang tidak menghargai Injil dan lalu menghina / menghujat injil atau membuatnya sebagai lelucon / bahan guyonan. Terhadap orang-orang seperti ini penginjilan harus dihentikan.
Injil adalah sesuatu yang kudus / berharga. Memang Injil harus diberitakan kepada orang jahat / yang belum percaya, tetapi kalau mereka menghinanya, kita harus berhenti dalam memberitakan Injil. Jelas bahwa tidak semua orang yang tidak percaya bisa dianggap sebagai anjing / babi. Hanya mereka yang menghinanya bisa dianggap seperti itu.
Karena itu kalau saudara tetap ‘bertekun’ dalam memberitakan Injil sekalipun orang yang saudara injili itu membuatnya sebagai guyonan dan ejekan, sadarilah bahwa itu bukanlah ketekunan dalam memberitakan Injil, tetapi dosa!
William Hendriksen: “Christ’s disciples must not endlessly continue to bring the gospel message to those who scorn it. To be sure, patience must be exercised, but there is a limit. ... Staying on and on in the company of those who ridicule the Christian religion is not fair to other fields that are waiting to be served” (= Murid-murid Kristus tidak boleh terus menerus membawa berita Injil kepada mereka yang memandang rendah / mencemoohkannya. Jelas bahwa kita harus sabar, tetapi ada batasnya. ... Tinggal terus menerus dalam kumpulan orang-orang yang mengejek / mentertawakan / mencemoohkan agama Kristen merupakan sikap yang tidak adil terhadap ladang-ladang lain yang sedang menunggu untuk dilayani) - hal 359-360.
Hendriksen juga menunjukkan beberapa fakta yang penting berkenaan dengan hal ini, yaitu:
· Herodes telah cukup banyak mendengar dari Yohanes Pembaptis (Markus 6:20), dan karena itu Yesus tidak mau berbicara sepatah katapun kepadanya (Lukas 23:9).
· Yesus menginstruksikan murid-muridNya untuk tidak tinggal terlalu lama di tempat-tempat yang menolak pemberitaan Injil mereka (Matius 10:14,23). Ini dituruti oleh Paulus (Kisah Para Rasul 13:45-46 Kisah Para Rasul 18:5-6 Kisah Para Rasul 28:23-28).
· Yesus memberikan perumpamaan tentang pohon ara yang tidak berbuah (Lukas 13:6-9) yang jelas menunjukkan bahwa kesabaran Allah bukanlah tanpa batas.
· Titus 3:10-11 - “(10) Seorang bidat yang sudah satu dua kali kaunasihati, hendaklah engkau jauhi. (11) Engkau tahu bahwa orang yang semacam itu benar-benar sesat dan dengan dosanya menghukum dirinya sendiri”.
· Amsal 29:1 - “Siapa bersitegang leher, walaupun telah mendapat teguran, akan sekonyong-konyong diremukkan tanpa dapat dipulihkan lagi”.
3) Tuhan sendiri juga akan ‘mentaati’ Matius 7:6 ini, dengan menarik Injil / FirmanNya dari orang-orang yang tidak menghargainya.
Yohanes 12:35-36 - “Kata Yesus kepada mereka: ‘Hanya sedikit waktu lagi terang ada di antara kamu. Selama terang itu ada padamu, percayalah kepadanya, supaya kegelapan jangan menguasai kamu; barangsiapa berjalan dalam kegelapan, ia tidak tahu ke mana ia pergi. (36) Percayalah kepada terang itu, selama terang itu ada padamu, supaya kamu menjadi anak-anak terang.’ Sesudah berkata demikian, Yesus pergi bersembunyi dari antara mereka”.
Yesaya 55:6 - “Carilah TUHAN selama Ia berkenan ditemui; berserulah kepadaNya selama Ia dekat!”.
Karena itu bertobatlah secepatnya, dan hargailah Firman Tuhan!
Catatan;Made Nopen Supriadi, tentang jangan menghakimi Terhadap Roma 14:1-12
Bolehkah menghakimi???. Kata ”janganlah” menunjukkan larangan. Dalam bahasa Yunani ada dua kata yang digunakan untuk menunjukkan larangan yaitu kata ”mh” (me) dan ”ou” (ou). Kata ”mh” (me) biasanya larangan yang tidak mutlak dan kata ”ou” (ou) untuk larangan yang mutlak (Lih. Roma 13:9).
Kata ”janganlah menghakimi” ditulis dengan bahasa Yunani ”mh krinetw” (me krineto). Kata ini dituliskan dalam bentuk kata kerja present aktif imperatif dari kata dasar ”krino” (Krino) yang artinya mengkritik, melebihkan, menjatuhkan, bertindak sebagai hakim. Kata ini ditulis sebanyak 114 x dalam PB. Jadi Paulus memberi perintah larangan pada saat itu juga bagi orang Kristen yang tidak bisa makan daging agar tidak mengkritik, menjatuhkan dan menghakimi mereka.
BACA JUGA: PENGERTIAN ANUGERAH ALLAH
Kata “jangan menghina” dalam bahasa Yunani ”mh exouqeneitw” (me exoutheneito) yang ditulis dalam bentuk kata kerja present aktif imperatif, dari kata dasar ”exouqeneo” (exoutheneo) yang artinya menghina, menolak dengan penghinaan. Jadi Paulus memberi perintah larangan pada saat itu juga kepada orang percaya yang bisa makan daging agar tidak menghina dan menolak mereka yang tidak bisa makan daging.
Perhatikan!!! Kata ”menghakimi” dalam Alkitab TB LAI ditulis sebanyak 3 kali dan 2 x kata menghakimi diiikuti oleh kata ”jangan menghina”. Hal tersebut menunjukkan bahwa penghakiman yang dilakukan telah menjurus kepada penghinaan. Hal inilah yang dilarang dalam menghakimi. Jadi menghakimi yang dimaksud dalam teks Roma 14 ini adalah sebuah penghakiman dalam bentuk Kritik yang menjurus kepada penghinaan dan penolakkan.
Dalam Matius 7:1-5 dinyatakan ”jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi”. Perhatikan baik-baik ayat tersebut menunjukkan bahwa jangan berani menjadi hakim bagi sesama jika hidup kita belum bisa melakukan hal yang akan kita pakai untuk menghakimi. Itu artinya orang Kristen bisa mendapat hak menghakimi jika memang telah menguji dirinya sendiri, dan di dalam hati nuraninya memiliki keyakinan tidak ada tuduhan terhadap hal yang akan dihakimi.
Dalam Roma 12:17-20 tidak dikatakan tidak boleh menghakimi tetapi dilarang untuk melakukan pembalasan kejahatan dengan kejahatan, jadi tidak ada hubungannya dengan menghakimi.
Dalam Yakobus 4:11-12 menunjukkan larangan melakukan penghakiman disertai dengan firnahan.
Karena jika kata fitnahan yang digunakan maka orang yang dihakimi tidak mengerti bahwa Allah juga tidak setuju dengan kesalahannya. Mari melihat fakta Alkitab:
a. Yesus sendiri mengecam dan mengutuk orang-orang Farisi, ahli-ahli Taurat, orang-orang Saduki, dan ajarannya (Matius 5:20-48 Matius 6:1-18 Matius 15:1-14 Matius 16:1-12 Matius 21:45 Mat 22:29 Matius 23:1-36).
b. Paulus juga mengutuk para nabi palsu (Galatia 1:6-9), dan memarahi jemaat Korintus karena mereka sabar terhadap nabi-nabi palsu (2Korintus 11:4). Ia juga menyetujui kecaman terhadap orang Kreta dan memerintahkan Titus untuk menegur mereka (Titus 1:12-13), mengecam Himeneus, Filetus dan Aleksander (1Timotius 1:20 2Timotius 2:17,18 2Timotius 4:14).
c. Dalam Yohanes 7:24 Yesus berkata: “Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil”.
Calvin berkata: ” Kita bukan hanya diijinkan, tetapi bahkan diharuskan, untuk mengecam semua dosa; kecuali kita memilih untuk memberontak terhadap Allah sendiri,”. Jadi mengecam dosa diijinkan, justru kalau kita membiarkan dosa, kita menjadi berdosa (Bdg. Yakobus 4:17). Selanjutnya
Calvin menuliskan: ” Merupakan kehendakNya bahwa kita menyatakan hukuman yang Ia umumkan terhadap tindakan-tindakan manusia: hanya kita harus menjaga kerendahan hati satu terhadap yang lain, sehingga menjadi nyata bahwa Ia adalah satu-satunya Pemberi hukum dan Hakim (Yesaya 33:22)”. Jadi penghakiman tersebut selaras dengan firman Tuhan, sehingga yang dihakimi mengetahui bahwa sumber penghakiman adalah firman Tuhan dan mereka mengerti bahwa Tuhanlah yang sedang menghakimi mereka melalui firman-Nya dengan memakai hamba-Nya sebagai alat (Bdg. Yakobus 4:11-12).
Dengan dasar Firman Tuhan ini kita boleh untuk menghakimi / menilai orang lain asal kita melakukannya dengan adil, dengan memperhatikan fakta-fakta secara keseluruhan. Melalui firman Tuhan ini mengapa kita jangan menghakimi?
1. Allah telah menerima orang itu (Ay. 1-4)
Jika Allah telah menerima orang yang lemah imannya dalam karya keselamatan, maka kita harus menerima mereka dalam persekutuan. Apa arti istilah ”lemah imannya”?
Cranfield mengatakan bahwa mereka yang "lemah imannya" adalah orang Yahudi yang percaya kepada Tuhan Yesus tetapi masih menuruti peraturan-peraturan hukum Taurat dan adat-istiadat Yahudi, bukan sebagai cara untuk dibenarkan di hadapan Allah, tetapi hanya karena mereka betah dengan peraturan lama tersebut. Hal tersebut ditegaskan Dunn: ”Ternyata pada tahun 49 orang-orang Yahudi dikeluarkan dari Roma karena titah Kaisar Claudius. Pada tahun 54 Claudius meninggal, dan titahnya tidak berlaku lagi, sehingga orang-orang Yahudi, baik yang tidak percaya kepada Yesus maupun yang percaya kepadaNya, mulai kembali ke kota Roma untuk hidup di sana. Jadi selama beberapa tahun tidak ada orang Yahudi di dalam jemaat-jemaat di Roma, tetapi pada waktu Surat Roma dikirim sudah ada minoritas jemaat yang berlatar belakang Yahudi. Sebagian dari mereka tidak berani melepaskan diri mereka dari peraturan-peraturan hukum Taurat tertentu karena iman mereka kurang kuat. Kita harus mengingat bahwa identitas mereka sebagai orang Yahudi sangat penting bagi pribadi mereka, dan identitas tersebut berkaitan dengan kebiasaan mereka mengenai pantang makan jenis makanan tertentu dan hari raya mereka, sehingga pembahasan Paulus menyentuh masalah yang amat peka dan penting bagi orang Yahudi di Roma yang percaya kepada Tuhan Yesus”. Selanjutnya
Matthew Henry menjelaskan:
a. Anggota-anggota jemaat yang kuat dan mengetahui kemerdekaan Kristen yang mereka miliki serta menggunakannya, mencemooh anggota-anggota yang lemah, yang tidak tahu tentang kemerdekaan Kristen mereka. Seharusnya mereka mengasihani golongan yang lemah itu dan menolong mereka, serta menuntun mereka dengan lemah lembut dan ramah. Namun, mereka justru menginjak-injak jemaat yang lemah itu dengan menghina mereka tolol, menggelikan dan percaya takhayul saja, karena meragukan berbagai hal yang sebenarnya halal. Begitulah, orang-orang yang berpengetahuan cenderung menjadi besar kepala, dan mencemooh serta meremehkan sesamanya.
b. Anggota jemaat yang lemah dan tidak berani menggunakan kemerdekaan Kristen yang mereka miliki, menghakimi dan mengecam mereka yang kuat. Mereka yang kuat itu dipandang seakan-akan sebagai orang Kristen yang suka-suka hati, orang-orang percaya yang dikuasai kedagingan, berbuat sembarangan, nekat, dan tidak berpegang pada hukum. Jemaat yang lemah itu menghakimi yang kuat itu sebagai para pelanggar aturan, penghina ketetapan Allah, dan sebagainya. Kecaman semacam ini memperlihatkan betapa mereka sungguh ceroboh dan tidak bermurah hati, yang pada akhirnya jelas akan mengakibatkan hilangnya rasa kasih sayang. Inilah penyakitnya, dan sampai hari ini pun kita masih tetap melihatnya di dalam jemaat.”
Dalam 1Korintus 8:8-12, 9:22 menunjuk kepada lemah iman dalam hal-hal praktis atau tradisi. Dalam konteks Roma 14 menunjuk kepada masalah makanan dan hari-hari tertentu (ay. 2,3,5). Artinya kita harus menerima saudara seiman, meskipun ada yang tidak bisa makan-makanan tertentu dan juga menilai hari yang lain lebih penting.
Jadi istilah lemah imannya menunjuk bukan kepada persoalan pokok iman yang primer, tetapi permasalahan sekunder. Untuk dua masalah tersebut Rasul Paulus telah mengingatkan orang percaya di dalam Kolose 2:16-17 : ”16.Karena itu janganlah kamu dibiarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari sabat; 17.semuanya ini hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah kristus”. Jadi segala ceremonial dalam hukum Taurat nyata di dalam Yesus Kristus. Jadi Rasul Paulus kembali menegaskan bahwa orang yang lemah dan kuat imannya mereka telah diterima oleh Allah karena Pokok Iman-Nya yaitu percaya Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat.
2. Segala sesuatu dilakukan untuk Tuhan (ay. 5-9)
Dalam Alkitab TB LAI ada 4 kali istilah ”untuk Tuhan” (to the Lord) digunakan. Kata-kata tersebut dikenakan dalam hal praktis yaitu berpegang pada suatu hari dan memakan makanan. Kata tersebut mendapatkan penekanan yaitu ”ia melakukannya” untuk Tuhan. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa segala sesuatu dilakukan dengan motivasi tertuju kepada Tuhan (Bdg. 1Korintus 10:31, Kolose 2:16-17, 3:23).
Dalam terjemahan Firman Allah Yang Hidup (FAYH) menuliskan:
”Jikalau Saudara memilih hari-hari yang khusus untuk berbakti kepada Tuhan, saudara berusaha menghormati Dia; Saudara melakukan sesuatu yang baik. Demikian jugalah halnya dengan orang yang makan daging yang telah disajikan kepada berhala. Ia merasa bersyukur kepada Tuhan atas makanan itu; ia melakukan sesuatu yang benar. Sedangkan orang yang tidak mau menyentuhnya, ia pun ingin sekali menyenangkan Tuhan, dan ua juga bersyukur”
Prinsip tersebut juga ditegaskan oleh Rasul Paulus dalam 1Korintus 10:27-33. Paulus menyatakan kita percaya segala sesuatu diperbolehkan tetapi kita harus melihat apakah itu berguna atau membangun (1Korintus 10:23). Rasul Paulus menyatakan kita bisa saja memakan makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala karena di dalam hati kita kita percaya ”bumi dan segala isinya milik Tuhan” (1Korintus 10:26). Tetapi Rasul Paulus tetap membatasi etika kita meskipun ia juga sadar orang lain tidak berhak membatasi kebebasan kita (1 Korintus 10:29), Rasul Paulus melakukan hal itu agar saudara seiman yang keberatan maka kita harus bisa menjaga perasaannya (keberatan hati nuraninya), jangan sampai kita makan tetapi menjadi syak atau batu sandungan dan lebih lagi agar orang yang belum percaya dapat diselamatkan. Jangan sampai dengan kebebasan kita orang menjadi menghina orang Kristen dan jangan sampai dengan ketaatan/kekakuan kita orang menjadi tidak mau mengenal Yesus. Rasul Paulus tetap menekankan bahwa segala sesuatu tetap dilakukan untuk Kemuliaan Allah (1Korintus 10:31).
Jadi baik hari-hari maupun makanan semua bisa dilakukan untuk kemuliaan Tuhan. Jika motivasi untuk kemuliaan Tuhan maka pastilah orang Kristen tersebut tahun mana yang etis dan estetis sehingga menjadi berkat bagi sesama.
3. Kita semua harus menghadap Tahta Pengadilan Allah (ay. 10-12)
Dalam ayat 10-12 Paulus mengajak pembaca berpikir secara eskatologis (futuristik). Bahwa semua manusia akan menghadao tahta pengadilan Allah untuk mempertanggung jawabkan tentang dirinya sendiri (ay. 12). Oleh karena itu jika kita mengahakimi dengan cara menghina dan memfitnah bukannya menyatakan firman Tuhan maka kita harus mempertanggungjawabkan hal itu kepada Tuhan. Tetapi jika kita menghakimi dengan motivasi yang benar, yaitu memuliakan nama Allah, mencegah keberdosaan dan menyatakan kesalahan. Lalu kita memakai Alkitab / Firman Tuhan sebagai dasar untuk menghakimi maka kita tidak perlu takut mempertanggungjawabkan dihadapan Allah. Karena Allah juga akan menghakimi manusia dengan firman-Nya (Lih. Wahyu 11:12).
Budi Asali menuliskan: ”Orang-orang percaya namanya tercantum dalam kitab kehidupan. Hanya mereka yang akan masuk surga. Orang-orang yang tidak percaya akan dihakimi berdasarkan perbuatan mereka, dan mereka tidak mungkin bisa selamat. Tidak ada dosa dari orang-orang percaya yang akan dinyatakan pada hari pengakiman itu, karena semuanya telah dihapuskan oleh darah Kristus. Yang ada hanya perbuatan-perbuatan baik dari orang-orang percaya, dan itu dijadikan dasar untuk menentukan pahala orang-orang percaya itu di surga.”.
Penutup
Kita tidak boleh menghakimi sesama kita dengan motivasi menghina, memfitnah dan menjatuhkannya. Penghakiman dilakukan harus dengan adil, sesuai dengan fakta, berdasarkan kebenaran (Alkitab), dimotivasi untuk mencegah manusia semakin jatuh dalam dosa dan memuliakan Allah.
Lalu kita juga tidak boleh ”menghakimi” karena masalah-masalah sekunder karena Allah telah menerima orang yang percaya kepada Yesus Kristus, segala hal praktis kita lakukan hanya untuk Tuhan dan ingat kita juga bertanggung jawab atas diri kita di tahta pengadilan Allah.
Ecclesia Reformata semper Reformanda secundum Verbum Dei, Soli Deo Gloria
Homer Hailey: Ini bukan betul-betul kitab-kitab secara hurufiah ... Kitab-kitab ini menyimbolkan catatan ilahi tentang kehidupan-kehidupan dan tindakan-tindakan dari semua orang yang pernah hidup. Pieters telah menyatakan dengan baik hal ini: ‘Kitab-kitab itu dengan jelas mewakili kemahatahuan Allah sang Hakim, bagi siapa tidak ada yang tak diketahui, dan oleh siapa tak ada yang dilupakan’ (hal 313), kecuali apa yang Ia kehendaki untuk dilupakan (Ibrani 8:12).
Catatan: Pdt. Budi Asali, M.Div: meraih gelar Master of Divinity (M.Div) dari Reformed Theological Seminary (RTS), Jackson, Mississippi, United States of America
Ikuti saya di google news untuk membaca artikel lainnya :
-AMIN-