1 YOHANES 3:19-24 (HATI NURANI DAN KETAATAN YANG DITUNTUT ALLAH)
Pdt.Budi Asali, M.Div.
1Yohanes 3:19-24 - “(19) Demikianlah kita ketahui, bahwa kita berasal dari kebenaran. Demikian pula kita boleh menenangkan hati kita di hadapan Allah, (20) sebab jika kita dituduh olehnya, Allah adalah lebih besar dari pada hati kita serta mengetahui segala sesuatu. (21) Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau hati kita tidak menuduh kita, maka kita mempunyai keberanian percaya untuk mendekati Allah, (22) dan apa saja yang kita minta, kita memperolehnya dari padaNya, karena kita menuruti segala perintahNya dan berbuat apa yang berkenan kepadaNya. (23) Dan inilah perintahNya itu: supaya kita percaya akan nama Yesus Kristus, AnakNya, dan supaya kita saling mengasihi sesuai dengan perintah yang diberikan Kristus kepada kita. (24) Barangsiapa menuruti segala perintahNya, ia diam di dalam Allah dan Allah di dalam dia. Dan demikianlah kita ketahui, bahwa Allah ada di dalam kita, yaitu Roh yang telah Ia karuniakan kepada kita”.
bisnis, gadget |
I) Tuduhan hati nurani.
1) Kata ‘hati’ dalam 1Yohanes 3: 19-21 menunjuk kepada ‘hati nurani’.
2) Kadang-kadang tuduhan yang diberikan hati nurani itu benar, tetapi kadang-kadang salah, karena diilhamkan oleh setan / sang pendakwa.
Wahyu 12:10 - “Dan aku mendengar suara yang nyaring di sorga berkata: ‘Sekarang telah tiba keselamatan dan kuasa dan pemerintahan Allah kita, dan kekuasaan Dia yang diurapiNya, karena telah dilemparkan ke bawah pendakwa saudara-saudara kita, yang mendakwa mereka siang dan malam di hadapan Allah kita”.
3) 1Yohanes 3: 19-20: “(19) Demikianlah kita ketahui, bahwa kita berasal dari kebenaran. Demikian pula kita boleh menenangkan hati kita di hadapan Allah, (20) sebab jika kita dituduh olehnya, Allah adalah lebih besar dari pada hati kita serta mengetahui segala sesuatu”.
Apa maksudnya ‘Allah adalah lebih besar dari pada hati kita serta mengetahui segala sesuatu’?
a) Penghakiman Allah itu lebih keras dari penghakiman hati nurani kita.
Calvin: “if any one is conscious of guilt, and is condemned by his own heart, much less can he escape the judgment of God. ... He says, that God is greater than our heart, with reference to judgment, that is, because he sees much more keenly than we do, and searches more minutely and judges more severely” (= jika seseorang sadar akan kesalahan, dan dikecam / dituduh oleh hatinya sendiri, lebih-lebih ia tidak bisa lolos dari penghakiman Allah. ... Ia berkata bahwa Allah lebih besar dari pada hati kita, berkenaan dengan penghakiman, yaitu, karena Ia melihat dengan jauh lebih tajam dari pada kita, dan menyelidiki dengan lebih teliti dan menghakimi dengan lebih keras) - hal 222.
Calvin menambahkan bahwa karena itulah maka Paulus berkata bahwa sekalipun ia tidak sadar akan adanya kesalahan dalam dirinya, itu tidak membuat dia betul-betul tak bersalah (1Kor 4:4). Ia tahu bahwa bagaimanapun telitinya ia memeriksa dirinya sendiri, ia bersalah dalam banyak hal, sehingga bisa saja ia tidak melihat kesalahan-kesalahan yang dilihat oleh Allah.
1Korintus 4:3-5 - “(3) Bagiku sedikit sekali artinya entahkah aku dihakimi oleh kamu atau oleh suatu pengadilan manusia. Malahan diriku sendiripun tidak kuhakimi. (4) Sebab memang aku tidak sadar akan sesuatu, tetapi bukan karena itulah aku dibenarkan. Dia, yang menghakimi aku, ialah Tuhan. (5) Karena itu, janganlah menghakimi sebelum waktunya, yaitu sebelum Tuhan datang. Ia akan menerangi, juga apa yang tersembunyi dalam kegelapan, dan Ia akan memperlihatkan apa yang direncanakan di dalam hati. Maka tiap-tiap orang akan menerima pujian dari Allah”.
Bagian yang saya garis bawahi itu salah terjemahan.
NIV: ‘My conscience is clear, but that does not make me innocent’ (= Hati nuraniku bersih, tetapi itu tidak membuat aku tak berdosa).
Keberatan: Saya berpendapat bahwa penekanan dari 1Korintus 4:3-5 ini bukanlah bahwa penghakiman Allah lebih keras dari pada penghakiman hati nurani kita, tetapi bahwa penghakiman hati nurani sering tak bisa dipercaya, dan karena itu kita harus lebih memperhatikan penghakiman Allah.
b) Herschel H. Hobbs menganggap bahwa 1Yohanes 3: 20 ini menunjukkan bahwa sekalipun hati nurani menuduh kita, hati nurani bukan hakim, Allahlah hakimnya.
John Stott (Tyndale): “Our conscience is by no means infallible; its condemnation may often be unjust. We can, therefore, appeal from our conscience to God who is greater and more knowledgeable” [= Hati nurani kita sama sekali tidak infallible (= tak bisa salah); pengecaman / penuduhannya sering bisa tidak adil / benar. Karena itu, kita bisa naik banding dari hati nurani kita kepada Allah, yang lebih besar dan lebih tahu] - hal 146.
Saya lebih setuju dengan pandangan kedua ini.
II) Jika hati nurani tidak menuduh.
1) Kalau hati nurani tidak menuduh, maka kita beroleh keberanian percaya untuk mendekati Allah.
1Yohanes 3: 21: “Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau hati kita tidak menuduh kita, maka kita mempunyai keberanian percaya untuk mendekati Allah”.
NIV: ‘we have confidence before God’ (= kita mempunyai keyakinan di hadapan Allah).
Ini membuat kita berani datang kepada Allah dalam doa, Saat Teduh, Kebaktian, dan sebagainya.
Calvin memberikan pertanyaan: lalu bagaimana dengan orang-orang brengsek / munafik, yang tidak menyadari akan dosanya?
Jawaban:
a) Calvin sendiri menjawab (hal 223) bahwa sang rasul di sini berbicara tentang orang-orang yang dibawa kepada terang oleh Allah, bukan tentang orang-orang yang sengaja menyimpang dari Allah atau bersembunyi dari Allah. Tetapi Calvin juga menambahkan bahwa pada saat yang sama, mereka tidak bisa mendapatkan damai yang sesungguhnya kecuali yang diberikan oleh Roh Kudus kepada hati-hati yang sungguh-sungguh disucikan, karena orang-orang brengsek yang bersembunyi dari Allah itu, kadang-kadang tetap merasakan tusukan pada hati nurani.
b) Bandingkan dengan ayat-ayat ini:
1. 1Korintus 4:4 - “Sebab memang aku tidak sadar akan sesuatu, tetapi bukan karena itulah aku dibenarkan. Dia, yang menghakimi aku, ialah Tuhan”.
NIV: ‘My conscience is clear, but that does not make me innocent. It is the Lord who judges me’ (= Hati nuraniku bersih, tetapi itu tidak membuat aku tak berdosa. Tuhanlah yang menghakimi aku).
2. Amsal 16:2 - “Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati”.
2) Orang-orang yang seperti itu akan mendapatkan pengabulan doa.
1Yohanes 3: 21-22: “(21) Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau hati kita tidak menuduh kita, maka kita mempunyai keberanian percaya untuk mendekati Allah, (22) dan apa saja yang kita minta, kita memperolehnya dari padaNya, karena kita menuruti segala perintahNya dan berbuat apa yang berkenan kepadaNya”.
Matthew Henry: “Obedient souls are prepared for blessings, and they have promise of audience; those who commit things displeasing to God cannot expect that he should please them in hearing and answering their prayers, Ps. 66:18; Prov. 28:9” (= Jiwa-jiwa yang taat disiapkan untuk berkat, dan mereka mempunyai janji untuk didengarkan; mereka yang melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan Allah tidak bisa berharap bahwa Ia akan menyenangkan mereka dengan mendengar dan menjawab doa-doa mereka, Maz 66:18; Amsal 28:9).
Mazmur 66:18 - “Seandainya ada niat jahat dalam hatiku, tentulah Tuhan tidak mau mendengar”.
Amsal 28:9 - “Siapa memalingkan telinganya untuk tidak mendengarkan hukum, juga doanya adalah kekejian”.
3) Kita bisa mempunyai hati nurani yang baik kalau kita menuruti segala perintahNya dan berbuat apa yang berkenan kepada Allah.
1Yohanes 3: 21-22: “(21) Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau hati kita tidak menuduh kita, maka kita mempunyai keberanian percaya untuk mendekati Allah, (22) dan apa saja yang kita minta, kita memperolehnya dari padaNya, karena kita menuruti segala perintahNya dan berbuat apa yang berkenan kepadaNya”.
Jadi orang-orang yang taat ini akan mempunyai hati nurani yang baik, dan dengan hati nurani yang baik ini mereka akan mempunyai keyakinan dalam menghadap Allah, dan akan didengar doanya.
Tetapi persoalannya, kalau harus taat dalam segala hal baru bisa mempunyai hati nurani yang baik, lalu siapa yang bisa mempunyai hati nurani yang bersih itu?
Calvin mengatakan (hal 224) bahwa yang penting orang percaya itu sungguh-sungguh takut kepada Allah dan ingin untuk tunduk kepada kebenaranNya. Semua orang yang memenuhi syarat ini, sekalipun kehidupannya jauh dari sempurna, akan mempunyai hati nurani yang bersih, yang tidak menuduhnya.
Calvin juga memberikan keseimbangan yang penting terhadap ajaran ini.
Calvin: “He does not yet mean that a good conscience must be brought, as though it obtained favour to our prayers. Woe to us if we look on works, which have nothing in them but what is a cause of fear and trembling. The faithful, then, cannot otherwise come to God’s tribunal than by relying on Christ the Mediator. But as the love of God is ever connected with faith, the Apostle, in order that he might the more severely reprove hypocrites, deprives them of that singular privilege with which God favours his own children; that is, lest they should think that their prayers have an access to God” (= Ia tidak memaksudkan bahwa hati nurani yang baik harus dibawa, seakan-akan itu mendapatkan persetujuan / kesenangan bagi doa kita. Celakalah kita jika kita melihat pada perbuatan baik, yang tidak mempunyai apapun dalam mereka kecuali apa yang merupakan penyebab dari rasa takut dan gemetar. Maka orang-orang setia tidak bisa datang dengan cara lain kepada pengadilan Allah dari pada dengan bersandar kepada Kristus sang Pengantara. Tetapi karena kasih Allah selalu berhubungan dengan iman, sang Rasul, untuk bisa lebih keras mencela orang-orang munafik, membuang dari mereka hak tunggal dengan mana Allah bermurah hati kepada anak-anakNya sendiri; yaitu, supaya jangan mereka berpikir bahwa doa-doa mereka mempunyai jalan masuk kepada Allah) - hal 224-225.
Calvin: “By saying, ‘because we keep his commandments,’ he means not that confidence in prayer is founded on our works; but he teaches this only, that true religion and the sincere worship of God cannot be separated from faith” (= Dengan mengatakan, ‘karena kita menuruti segala perintahNya’, ia tidak memaksudkan bahwa keyakinan dalam doa didasarkan pada pekerjaan / perbuatan baik kita; tetapi ia hanya mengajarkan ini, yaitu bahwa agama yang benar dan penyembah Allah yang sungguh-sungguh / tulus tidak bisa dipisahkan dari iman) - hal 225.
Jadi, sekalipun hidup saleh itu penting, supaya kita bisa mempunyai hati nurani yang baik, dan dengan demikian kita bisa datang kepada Allah dengan berani / yakin dalam doa, perlu dicamkan bahwa kita sama sekali tidak bisa datang kepada Allah dengan ‘bondo’ perbuatan baik, atau bersandarkan pada perbuatan baik kita, karena semua perbuatan baik kita seperti kain kotor (Yesaya 64:6). Kita tetap datang kepada Allah dengan bersandarkan pada penebusan Kristus. Ingat perumpamaan tentang 2 orang yang berdoa di Bait Allah.
Lukas 18:9-14 - “(9) Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini: (10) ‘Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai. (11) Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepadaMu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; (12) aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. (13) Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. (14) Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.’”.
III) Ketaatan apa yang dituntut oleh Allah.
1Yohanes 3: 23: “Dan inilah perintahNya itu: supaya kita percaya akan nama Yesus Kristus, AnakNya, dan supaya kita saling mengasihi sesuai dengan perintah yang diberikan Kristus kepada kita”.
1) Iman dan kasih tak boleh dipisahkan, dan ini ditunjukkan oleh kata ‘perintah’ yang ada dalam bentuk tunggal.
Calvin: “He does not ... separate faith from love; but he requires both together from us. And this is the reason why he uses the word ‘commandment’ in the singular number” (= Ia tidak ... memisahkan iman dari kasih; tetapi ia menuntut keduanya dari kita. Dan ini adalah alasan mengapa ia menggunakan kata ‘perintah’ dalam bentuk tunggal) - hal 226.
Barclay: “If we feel love for our fellow-men welling up within our hearts, we can be sure that the heart of Christ is in us. John would have said that a so-called heretic whose heart was overflowing with love and whose life was beautiful with service, was far nearer Christ than someone who was impeccably orthodox, yet cold and remote from the needs of others” (= Jika kita merasakan kasih untuk sesama kita mengalir dari dalam hati kita, kita bisa pasti / yakin bahwa hati Kristus ada dalam diri kita. Yohanes ingin mengatakan bahwa orang yang disebut bidat yang hatinya melimpah dengan kasih dan yang hidupnya indah oleh pelayanan, adalah jauh lebih dekat kepada Kristus dari pada seseorang orthodox yang tanpa cela, tetapi dingin dan jauh dari kebutuhan orang-orang lain)- hal 86.
Kata-kata ini perlu direnungkan. Kalau kesalehan orang pertama itu mungkin bersifat munafik, maka iman orang kedua itu pasti iman intelektual tok! Tetapi kita juga perlu berhati-hati karena ada banyak bidat yang kelihatannya penuh kasih. Contoh: orang-orang Liberal, Saksi-Saksi Yehuwa.
Barclay: “When we put these two commandments together, we find the great truth that the Christian life depends on right belief and right conduct combined. We cannot have the one without the other. There can be no such thing as a Christian theology without a Christian ethic; and equally there can be no such thing as a Christian ethic without a Christian theology. Our belief is not real belief unless it issues in action; and our action has neither sanction nor dynamic unless it is based on belief” (= Pada waktu kita menggabungkan kedua perintah ini, kita mendapatkan kebenaran yang agung bahwa kehidupan Kristen tergantung pada kombinasi dari kepercayaan yang benar dan kelakuan yang benar. Kita tidak dapat mempunyai yang satu tanpa yang lain. Tidak bisa ada Theologia Kristen tanpa Etika Kristen; dan secara sama tidak bisa ada Etika Kristen tanpa Theologia Kristen. Kepercayaan kita bukan kepercayaan yang sungguh-sungguh kecuali itu mengeluarkan / menghasilkan tindakan; dan tindakan kita tidak mempunyai persetujuan / dukungan kecuali itu didasarkan pada kepercayaan) - hal 88.
2) Kata ‘percaya’ ada dalam bentuk lampau, sedangkan kata ‘mengasihi’ ada dalam bentuk present.
Herschel H. Hobbs mengatakan (hal 94-95) bahwa kata ‘percaya’ ada dalam aorist tense, menunjukkan suatu tindakan sekali untuk selamanya. Tetapi kata ‘mengasihi’ ada dalam present tense, menunjuk pada praktek yang terus menerus.
3) Penekanan dari ‘mengasihi’.
Matthew Henry: “The command of Christ should be continually before our eyes. Christian love must possess our soul when we go to God in prayer. To this end we must remember that our Lord obliges us, (1.) To forgive those who offend us (Mt. 6:14), and, (2.) To reconcile ourselves to those whom we have offended, Mt. 5:23-24” [= Perintah Kristus harus terus menerus ada di depan mata kita. Kasih Kristen harus menguasai jiwa kita pada waktu kita pergi kepada Allah dalam doa. Untuk tujuan ini kita harus ingat bahwa Tuhan kita mewajibkan kita (1.) Untuk mengampuni mereka yang bersalah kepada kita (Matius 6:14), dan, (2.) Untuk mendamaikan diri kita sendiri dengan mereka kepada siapa kita bersalah, Mat 5:23-24].
Setiap kali ada orang bersalah kepada saudara dan saudara tak mau mengampuni, renungkan ayat-ayat ini:
a) Matius 6:14-15 - “(14) Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. (15) Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.’”.
b) Matius 5:23-24 - “(23) Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, (24) tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu”.
c) Matius 18:21-35 - “(21) Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: ‘Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?’ (22) Yesus berkata kepadanya: ‘Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali. (23) Sebab hal Kerajaan Sorga seumpama seorang raja yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. (24) Setelah ia mulai mengadakan perhitungan itu, dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta. (25) Tetapi karena orang itu tidak mampu melunaskan hutangnya, raja itu memerintahkan supaya ia dijual beserta anak isterinya dan segala miliknya untuk pembayar hutangnya. (26) Maka sujudlah hamba itu menyembah dia, katanya: Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan. (27) Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya. (28) Tetapi ketika hamba itu keluar, ia bertemu dengan seorang hamba lain yang berhutang seratus dinar kepadanya. Ia menangkap dan mencekik kawannya itu, katanya: Bayar hutangmu! (29) Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya: Sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan. (30) Tetapi ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya. (31) Melihat itu kawan-kawannya yang lain sangat sedih lalu menyampaikan segala yang terjadi kepada tuan mereka. (32) Raja itu menyuruh memanggil orang itu dan berkata kepadanya: Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. (33) Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau? (34) Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya. (35) Maka BapaKu yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.’”.
d) Roma 2:1 - “Karena itu, hai manusia, siapapun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab, dalam menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama”.
e) Yakobus 2:13 - “Sebab penghakiman yang tak berbelas kasihan akan berlaku atas orang yang tidak berbelas kasihan. Tetapi belas kasihan akan menang atas penghakiman”.
Dalam Kebaktian Minggu lalu saya menekankan pentingnya pengudusan dalam persekutuan, karena kalau hal ini tidak ada, maka kebersamaan kita justru akan menimbulkan gegeran. Waktu itu sudah saya berikan contoh dari dosa-dosa yang bisa menyebabkan gegeran itu, seperti dusta, malas, sombong, pelit, dan sebagainya. Salah satu bentuk pengudusan yang juga harus ditekankan adalah ‘mau mengampuni’. Mengapa? Karena bagaimanapun semua jemaat mau menguduskan diri, semua tetap adalah manusia yang berdosa. Jadi dosa pasti ada. Karena itu kalau tidak ada kesabaran dan kerelaan mengampuni dalam diri yang lain, maka lagi-lagi gegeran tak akan terhindarkan.
Efesus 4:32 - “Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu”.
1Korintus 13:1-7 - “(1) Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. (2) Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. (3) Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku. (4) Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. (5) Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. (6) Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. (7) Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu”.
a) ‘Percaya segala sesuatu’ (ay 7b).
Ini berarti bahwa kita:
1. Tidak boleh mudah curiga, kecuali ada alasan yang kuat (Catatan: ‘Hati-hati’ berbeda dengan ‘mudah curiga’).
Contoh: kalau di gereja saudara menjumpai seseorang dengan wajah cemberut, jangan cepat-cepat curiga bahwa orang itu tidak senang kepada saudara! Pikirkan kemungkinan bahwa ia cemberut karena ia sedang sakit atau karena ia sedang mempunyai banyak problem.
2. Harus selalu berusaha mengambil pandangan yang paling baik terhadap sesama kita.
Contoh: koran saya tidak datang selama 3 hari. Setelah saya laporkan, besoknya semua koran yang 3 hari itu, yang jelas beritanya sudah usang, dikirimkan kepada saya. Mula-mula saya jengkel, karena saya berpikir: “Apa gunanya koran lama ini bagi saya? Bukankah lebih baik kalau koran lama ini tidak dikirim dan rekening saya nanti dipotong?”. Tetapi saya lalu berpikir bahwa setidaknya pihak koran itu mempunyai itikad baik untuk menebus kesalahannya, dan mereka menanggapi laporan saya. Ini menyebabkan akhirnya saya menerima koran lama itu.
b) ‘Mengharapkan segala sesuatu’ (ay 7c).
Artinya kita selalu mengharapkan orang yang brengsek menjadi baik. Kalau ada kasih, maka kita akan selalu mempunyai harapan, tetapi kalau tidak ada kasih, maka kita cepat putus asa dalam memperbaiki seseorang.
Misalnya: kalau anak saudara terus menerus hidup brengsek, maka saudara lebih mudah untuk terus berharap supaya anak itu jadi baik. Dan karena itu saudara tetap mendoakan dan menasehati anak itu. Mengapa? Karena saudara mengasihi dia!
Tetapi kalau yang hidup brengsek itu adalah orang lain (bahkan kadang-kadang suami / istri saudara, yang biasanya saudara kasihi kurang dari anak), maka saudara dengan cepat sampai pada kesimpulan: “Orang ini tidak bisa diperbaiki lagi!”. Dan saudarapun lalu berhenti mendoakan atau menasehati dia! Mengapa? Karena saudara kurang mengasihi atau bahkan tidak mengasihi sama sekali!
c) ‘Sabar menanggung segala sesuatu’ (ay 7d).
NASB: ‘endures all things’ (= menahan segala sesuatu).
NIV: ‘always perseveres’ (= selalu bertekun).
Kata Yunaninya adalah HUPOMONEIN, yang tidak sekedar berarti menahan secara pasif, tetapi bisa mengalahkan / mengubahkan menjadi seseorang yang baik. Jadi, kalau kita kasih, maka kita tidak hanya bersabar saja ketika ada orang yang terus merugikan / menyakiti kita. Tetapi kita juga harus berusaha untuk bisa mengalahkan semua itu dan mengubah orang itu menjadi baik.
Roma 12:20-21 - “(20) Tetapi, jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum! Dengan berbuat demikian kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya. (21) Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!”.
Kesimpulan / penutup.
Mari kita bersama-sama berjuang untuk mentaati Tuhan / menguduskan diri, khususnya dalam persoalan mengasihi dan mengampuni, supaya dengan demikian kita mempunyai hati nurani yang baik, sehingga dengan yakin bisa menghadap Allah dan mendapatkan jawaban atas doa-doa kita.
Catatan: Pdt. Budi Asali, M.Div: meraih gelar Master of Divinity (M.Div) dari Reformed Theological Seminary (RTS), Jackson, Mississippi, United States of America
1 YOHANES 3:19-24 (HATI NURANI DAN KETAATAN YANG DITUNTUT ALLAH)
-AMIN-