3 ARTI MISKIN DI HADAPAN ALLAH (MATIUS 5:3)
Pdt. Benyamin F. Intan, Ph.D.
bisnis, asuransi, otomotif |
Namun, penting untuk diingat bahwa Abraham, yang juga ada di surga, jauh lebih kaya daripada orang kaya dalam cerita tersebut. Jadi, kemiskinan di sini bukanlah kemiskinan materi. Dalam bahasa Indonesia, istilah "miskin di hadapan Allah" diterjemahkan dari ungkapan asli yang berarti "poor in spirit" (miskin secara spiritual). Istilah ini tidak sama dengan makna negatif "poor spirited," tetapi merujuk pada keadaan spiritual yang miskin.
Dalam bahasa Yunani, ada dua istilah untuk miskin: pertama, "penês," yang berarti seseorang yang hidup sederhana dan tidak kaya. Kedua, "ptôkhos," yang merujuk pada kemiskinan yang ekstrem—miskin hingga tidak memiliki apa-apa dan hanya bisa bertahan jika ada yang memberi. Istilah "miskin spiritual" merujuk pada "ptôkhos," yang menggambarkan keadaan kebangkrutan spiritual.
BACA JUGA: MATIUS 5:3 (MISKIN DALAM ROH)
Berhala keuangan dalam hidupnya dihancurkan oleh Tuhan. Lalu dia tetap dapat pekerjaan yang paling rendah di negeri itu yaitu memberi makan babi. Dia telah bekerja seminggu lewat hari sabat, bekerja hampir 10 hingga 12 jam begitu lelah dan tidak bisa makan, ingin makan hanya ada makanan babi kemudian akhirnya dia kembali ke rumah orang tuanya.
BACA JUGA: 2 ARTI MISKIN DIHADAPAN ALLAH (MATIUS 5:1-3)
Nabi Yesaya dalam Yesaya 6, ketika dia melihat Tuhan, bertemu dengan Tuhan di dalam penglihatan itu, lalu dia berkata celakalah aku, aku binasa, aku orang yang najis bibir, tinggal disekelilingku ini najis bibir, tetapi mataku telah melihat sang Raja, Tuhan alam semesta. Hal ini bukan sekedar perjumpaan dengan Tuhan tetapi juga konfrontasi sehingga Yesaya dapat melihat dia begitu najis bibir, dia begitu berdosa di hadapan Tuhan.
Pendahuluan:
ayat pertama dalam Khotbah di Bukit, Matius 5:3, merupakan salah satu ayat yang paling sering dibahas dan dipahami dalam berbagai cara:“Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga.” - Matius 5:3
Dalam terjemahan lain, ada juga yang menggunakan istilah “miskin dalam roh” (LAI TB). Tetapi apa sebenarnya maksud dari perkataan Yesus ini? Mengapa orang yang miskin di hadapan Allah dianggap berbahagia, bahkan disebut sebagai pewaris Kerajaan Surga? Artikel ini akan membahas tiga makna mendalam dari istilah "miskin di hadapan Allah" berdasarkan tafsiran Alkitab, konteks budaya saat itu, dan relevansinya dalam kehidupan kita saat ini.
1. Pengakuan Ketergantungan Total kepada Allah
Arti pertama dari miskin di hadapan Allah adalah sikap pengakuan bahwa manusia sepenuhnya bergantung pada Allah. Dalam bahasa Yunani, kata "miskin" yang digunakan dalam Matius 5:3 adalah ptōchos, yang menggambarkan seseorang yang sangat miskin sehingga ia benar-benar tidak memiliki apa pun untuk menunjang hidupnya sendiri dan bergantung sepenuhnya pada belas kasihan orang lain. Hal ini melampaui sekadar kekurangan materi; ini adalah ketidakberdayaan yang absolut.
a. Ketidakmampuan Spiritual
Sikap miskin di hadapan Allah menekankan bahwa manusia secara spiritual tidak mampu menyelamatkan dirinya sendiri. Dalam teologi Kristen, dosa telah memisahkan manusia dari Allah dan mengakibatkan kehancuran dalam relasi antara manusia dan Pencipta-Nya (Roma 3:23). Ketidakmampuan ini bukan hanya soal berbuat baik atau menaati hukum Taurat, melainkan juga ketidakmampuan untuk mencapai standar kesucian yang Allah tuntut.
Orang yang "miskin di hadapan Allah" menyadari kondisi ini. Mereka menyadari bahwa tidak ada amal, perbuatan baik, atau upaya manusia yang bisa menyelamatkan mereka dari dosa. Kesadaran ini membawa mereka pada titik ketergantungan total kepada Allah, mengakui bahwa keselamatan hanya bisa diperoleh melalui anugerah Allah yang diberikan melalui Yesus Kristus. Sebagaimana dikatakan dalam Efesus 2:8-9, keselamatan adalah pemberian Allah, bukan hasil usaha kita.
b. Penyerahan Diri
Ketergantungan total ini juga melibatkan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah. Orang yang miskin di hadapan Allah menyerahkan seluruh hidupnya ke dalam tangan Tuhan, mengakui bahwa hanya melalui kehendak Allah mereka dapat hidup sesuai rencana-Nya. Penyerahan diri ini adalah inti dari iman Kristen: hidup bukan untuk diri sendiri, melainkan bagi Allah.
Yesus mengajarkan bahwa sikap ini justru membawa kebahagiaan sejati, karena hanya dengan mengakui ketergantungan kita pada Allah, kita dapat benar-benar menerima anugerah dan kasih-Nya. Sikap ini bertolak belakang dengan sikap dunia yang cenderung mendorong manusia untuk mandiri, merasa cukup dengan diri sendiri, dan mengabaikan Allah.
2. Kerendahan Hati di Hadapan Allah
Makna kedua dari "miskin di hadapan Allah" adalah kerendahan hati. Orang yang miskin di hadapan Allah bukan hanya mengakui ketergantungan mereka pada-Nya, tetapi juga menunjukkan sikap hati yang rendah di hadapan Allah.
a. Kesadaran Akan Dosa
Kerendahan hati ini berasal dari kesadaran akan dosa. Dalam Matius 5:3, Yesus tidak berbicara tentang kemiskinan material, melainkan kemiskinan rohani. Orang yang miskin di hadapan Allah menyadari betapa mereka telah jatuh dalam dosa dan betapa jauh mereka dari kesempurnaan yang Allah inginkan. Kesadaran ini tidak menimbulkan rasa putus asa, tetapi membawa mereka untuk merendahkan hati di hadapan Allah, memohon pengampunan dan kasih karunia-Nya.
Alkitab penuh dengan kisah-kisah orang-orang yang diubahkan oleh Allah setelah mereka merendahkan diri di hadapan-Nya. Salah satunya adalah raja Daud. Setelah berbuat dosa besar dengan mengambil Batsyeba dan membunuh Uria, Daud tidak mengeraskan hati. Sebaliknya, ia mengakui dosanya dan menulis Mazmur 51 yang penuh dengan pengakuan dosa dan kerendahan hati di hadapan Allah. Daud menyadari bahwa korban persembahan yang berkenan di hadapan Allah adalah hati yang hancur dan remuk (Mazmur 51:17).
b. Menolak Kesombongan Diri
Orang yang miskin di hadapan Allah menolak kesombongan. Dunia sering kali mengajarkan bahwa kita harus membangun rasa percaya diri berdasarkan apa yang kita capai, miliki, atau lakukan. Namun, Yesus menantang konsep ini. Miskin di hadapan Allah berarti menanggalkan semua kebanggaan diri dan mengakui bahwa segala sesuatu yang kita miliki berasal dari Allah.
Rasul Paulus adalah contoh dari sikap ini. Meski sebelumnya ia sangat bangga dengan posisinya sebagai orang Farisi dan pelaksana hukum Taurat yang teliti, setelah bertemu Yesus, ia menganggap semuanya itu tidak lebih dari sampah (Filipi 3:7-8). Paulus menyadari bahwa satu-satunya yang berharga adalah pengenalan akan Kristus.
3. Kehendak untuk Mengandalkan Anugerah dan Bukan Usaha Sendiri
Makna ketiga dari "miskin di hadapan Allah" adalah kesediaan untuk mengandalkan anugerah Allah sepenuhnya, bukan usaha atau prestasi diri sendiri. Ini adalah inti dari Injil yang disampaikan Yesus kepada dunia.
a. Menolak Jalan Hukum Taurat
Dalam konteks orang Yahudi pada zaman Yesus, banyak yang beranggapan bahwa ketaatan kepada hukum Taurat adalah kunci untuk memperoleh Kerajaan Allah. Ahli Taurat dan orang Farisi memandang diri mereka sebagai orang yang benar di hadapan Allah karena mereka menjalankan hukum Taurat dengan sangat teliti. Namun, Yesus mengajarkan bahwa kebenaran yang sejati tidak datang dari menjalankan hukum Taurat, melainkan dari anugerah Allah.
Orang yang miskin di hadapan Allah menyadari bahwa usaha manusia untuk menaati hukum Taurat tidak pernah cukup untuk menyelamatkan mereka. Ini karena hukum Taurat hanya menunjukkan kesalahan manusia, tetapi tidak mampu memberikan jalan keluar dari dosa. Seperti yang Paulus katakan dalam Roma 3:20, "Sebab tidak seorang pun yang dapat dibenarkan di hadapan Allah oleh karena melakukan hukum Taurat."
b. Mengandalkan Kasih Karunia Allah
Sebaliknya, mereka yang miskin di hadapan Allah mengandalkan kasih karunia-Nya. Kasih karunia ini adalah pemberian Allah yang diberikan secara cuma-cuma kepada mereka yang mau menerimanya dengan iman. Yesus datang untuk memberikan jalan baru kepada Allah, bukan melalui usaha manusia, tetapi melalui pengorbanan-Nya di kayu salib. Dalam Yohanes 14:6, Yesus berkata, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku."
Orang yang miskin di hadapan Allah menyadari bahwa mereka tidak bisa memperoleh keselamatan melalui usaha mereka sendiri. Sebaliknya, mereka harus bersandar pada kasih karunia Allah yang diberikan melalui iman kepada Yesus Kristus. Dengan cara inilah mereka dapat mewarisi Kerajaan Surga.
Relevansi Miskin di Hadapan Allah dalam Kehidupan Saat Ini
Apa relevansi dari "miskin di hadapan Allah" dalam kehidupan kita saat ini?
1.Pertama-tama, ini menantang pola pikir dunia modern yang sering kali mengutamakan kesuksesan, kekayaan, dan kekuatan sebagai indikator kebahagiaan dan keberhasilan. Dunia mengajarkan bahwa kebahagiaan bisa didapatkan melalui pencapaian pribadi, namun Yesus menunjukkan jalan yang berlawanan: kebahagiaan sejati ada pada sikap pengakuan akan ketergantungan pada Allah.
2. Kedua, sikap miskin di hadapan Allah mengajarkan kita untuk berserah kepada Allah dalam setiap aspek kehidupan kita. Dalam dunia yang penuh dengan tekanan untuk menjadi yang terbaik, untuk mencapai semua keinginan kita, dan untuk menjadi mandiri, Yesus mengundang kita untuk datang kepada-Nya dengan segala kelemahan dan kekurangan kita. Ia menjanjikan bahwa orang yang miskin di hadapan Allah adalah orang yang akan menikmati kebahagiaan sejati, karena mereka mengandalkan Allah, bukan diri mereka sendiri.
3. Ketiga, sikap ini membantu kita untuk tetap rendah hati dan selalu mengingat bahwa segala sesuatu yang kita miliki adalah pemberian dari Allah. Segala talenta, kekayaan, dan kesempatan hidup datang dari Allah, bukan dari usaha kita sendiri. Ini mengingatkan kita untuk bersyukur dan tidak sombong, melainkan terus mencari kehendak Allah dalam hidup kita.
Kesimpulan
Menjadi miskin di hadapan Allah, seperti yang diajarkan oleh Yesus dalam Matius 5:3, bukanlah soal kekurangan materi, tetapi pengakuan bahwa kita sepenuhnya bergantung kepada Allah, kerendahan hati di hadapan-Nya, dan keyakinan bahwa hanya melalui kasih karunia-Nya kita bisa memperoleh keselamatan. Inilah yang membuat orang miskin di hadapan Allah berbahagia, karena mereka akan mewarisi Kerajaan Surga—sebuah kerajaan yang tidak dibangun di atas kekuatan manusia, tetapi di atas kasih dan anugerah Allah yang tak terbatas.
Dengan demikian, panggilan untuk menjadi miskin di hadapan Allah adalah undangan bagi kita semua untuk merendahkan diri, menyerahkan hidup kita kepada-Nya, dan hidup dalam ketergantungan penuh pada kasih karunia-Nya.
___________________