3 KHOTBAH 1 PETRUS 4:7-11 (CARA HIDUP ORANG PERCAYA)

Pdt. Budi Asali, M.Div.
Khotbah 1 PETRUS 4:7-11(1) 

1 Petrus 4: 7: “Kesudahan segala sesuatu sudah dekat. Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa”.
3 KHOTBAH 1 PETRUS 4:7-11 (CARA HIDUP ORANG PERCAYA)
otomotif, gadget, bisnis
1) “Kesudahan segala sesuatu sudah dekat”.

Ada orang-orang yang mengatakan bahwa kata-kata ‘kesudahan segala sesuatu sudah dekat’ menunjuk pada kematian masing-masing orang Kristen. Ada juga orang-orang yang berpendapat bahwa kata-kata ini menunjuk pada kehancuran Yerusalem pada tahun 70 M.

Calvin berpendapat bahwa kata-kata ini menunjuk pada akhir jaman / kedatangan Kristus yang keduakalinya. Dan Editor dari Calvin’s Commentary (hal 128 - footnote) juga menentang keras kalau kata-kata ini diartikan menunjuk pada kehancuran Yerusalem. Ini harus menunjuk kepada kedatangan Yesus yang keduakalinya mengingat bahwa dalam surat 2Petrus, Petrus membahas tentang topik ini (2Petrus 3).L

Tetapi lalu mengapa akhir jamannya tak datang-datang? Calvin menjawab: bagi kita terlihat lama, tetapi dibandingkan dengan kekekalan, waktu yang berlalu sampai saat ini singkat.

Tentang ayat-ayat yang mengatakan bahwa akhir jaman sudah dekat, Barclay mengatakan ada 4 cara untuk melihat ayat-ayat itu, dan yang pertama adalah ini:

Barclay: “We may hold that the New Testament writers were in fact mistaken” (= Kita bisa menganggap bahwa penulis-penulis Perjanjian Baru dalam faktanya salah) - hal 249.

Sekalipun Barclay sendiri pada kesimpulan akhir tidak mengambil penafsiran ini untuk 1Petrus 4:7 ini, tetapi kata-kata ini tetap menunjukkan kesesatannya, yang menunjukkan bahwa ia tidak mempercayai inerrancy of the Bible (= ketidak-bersalahan Alkitab).

2) “Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa”.

KJV: ‘be ye therefore sober, and watch unto prayer’ (= karena itu hendaklah kamu waras, dan berjaga-jaga dalam doa).

RSV: ‘therefore keep sane and sober for your prayers’ (= karena itu tetaplah sehat dalam pikiran dan waras untuk doa-doamu).

NIV: ‘Therefore be clear minded and self-controlled so that you can pray’ (= Karena itu hendaklah engkau berpikir jernih / bersih dan menguasai diri sehingga kamu dapat berdoa).

NASB: ‘therefore, be of sound judgment and sober spirit for the purpose of prayer’ (= karena itu, punyailah penilaian yang sehat dan roh yang waras untuk tujuan doa).

a) Arti yang bervariasi dari kata ‘sober’ (= waras).

1. Ada arti ‘penguasaan diri’ terkandung dalam kata ini.

Pulpit Commentary: “The etymology of the Greek word points to the safeguard of the mind; the mind, with all its thoughts, must be kept safe, restrained within due limits. The fancies, aspirations, desires, must not be allowed to wander unrestrained” (= Asal kata dari kata Yunaninya menunjuk kepada usaha penjagaan terhadap pikiran; pikiran, dengan semua pemikirannya, harus dijaga aman, dikekang dalam batasan-batasan yang seharusnya. Khayalan-khayalan, keinginan-keinginan, tidak boleh diijinkan untuk mengembara tanpa dikekang) - hal 178.

Penerapan: pikiran dan khayalan tentang sex, uang, kesenangan-kesenangan duniawi, dan sebagainya.

Jamieson, Fausset & Brown: “‘Sober,’ the opposite of ‘lasciviousness’.” (= ‘Sober’ lawan dari ‘nafsu berahi’).

2. Ada arti ‘tidak sembarangan / ceroboh’ terkandung dalam kata ini.

Barnes’ Notes: “‘Be ye therefore sober.’ Serious; thoughtful; considerate. Let a fact of so much importance make a solemn impression on your mind, and preserve you from frivolity, levity, and vanity” (= ‘Karena itu jadilah kamu waras’. Serius, bijaksana, penuh pertimbangan. Hendaklah suatu fakta yang begitu penting memberikan kesan yang khidmat / sungguh-sungguh pada pikiranmu, dan menjaga kamu dari kelakuan yang sembrono, sikap yang sembrono, dan kesia-siaan).

Bdk. Amsal 19:2 - “Tanpa pengetahuan kerajinanpun tidak baik; orang yang tergesa-gesa akan salah langkah”.

Penerapan: berkata, bertindak / melakukan sesuatu tanpa pikir panjang.

3. Ada arti ‘tenang’ dan ‘kemampuan melihat segala sesuatu sebagaimana adanya’.

Tentu saja kita tidak mungkin bisa ‘melihat segala sesuatu sebagaimana adanya’ kalau kita tidak mengerti Kitab Suci, dan tidak mau banyak belajar Kitab Suci (tidak datang Pemahaman Alkitab, tidak Saat Teduh / Bible Reading, dsb).

Barnes’ Notes: “There are advantages in seriousness of mind. It enables us to take better views of things, ... A calm, sober, sedate mind is the best for a contemplation of truth, and for looking at things as they are” (= Ada keuntungan / manfaat dalam keseriusan dari pikiran. Itu memampukan kita untuk mempunyai pandangan yang lebih baik tentang hal-hal, ... Pikiran yang tenang, waras, tenang / sabar / tidak ribut adalah yang terbaik untuk perenungan suatu kebenaran, dan untuk melihat hal-hal sebagaimana adanya mereka).

Barclay: “The great characteristic of sanity is that it sees things in their proper proportions; it sees what things are important and what are not; it is not swept away by sudden and transitory enthusiasm; it is prone neither to unbalanced fanatism nor to unrealizing indifference. It is only when we see the affairs of earth in the light of eternity that we see them in their proper proportions; it is when God is given his proper place that everything takes its proper place” (= Ciri yang besar dari kewarasan adalah bahwa itu melihat hal-hal dalam proporsi / ukuran yang benar; itu melihat hal-hal apa yang penting dan apa yang tidak; itu tidak dihanyutkan oleh semangat yang mendadak dan sementara; itu tidak condong pada fanatisme yang tak seimbang ataupun sikap acuh tak acuh yang tak disadari. Hanya pada waktu kita melihat urusan-urusan bumi dalam terang dari kekekalan maka kita melihat mereka dalam proporsi / ukuran yang benar; pada saat Allah diberi tempat yang benar maka segala sesuatu mendapatkan tempatnya yang benar) - hal 251.

Barclay: “it ... mean that his approach to life must not be frivolous and irresponsible. To take things seriously is to be aware of their real importance and to be ever mindful of their consequences in time and in eternity. It is to approach life, not as a jest, but as a serious matter for which we are answerable” (= itu ... berarti bahwa pendekatannya pada kehidupan tidak boleh sembrono dan tak bertanggung jawab. Menangani / menganggap hal-hal secara serius artinya sadar tentang kepentingan mereka yang sejati dan selalu mengingat konsekwensi mereka dalam waktu dan dalam kekekalan. Itu adalah mendekati kehidupan, bukan sebagai suatu lelucon, tetapi sebagai suatu persoalan serius untuk mana kita bertanggung jawab) - hal 252.

Penerapan: memang setan ingin kita melihat hal-hal bukan sebagaimana adanya, apalagi dari sudut Kitab Suci / kekekalan / rohani. Misalnya melihat uang / keuntungan, ia menggoda kita untuk berpikir bahwa dengan hal-hal itu kita bisa senang / berbahagia. Tetapi Kitab Suci:

a. Mengatakan bahwa segala sesuatu adalah sia-sia.

Pkh 2:8-11 - “(8) Aku mengumpulkan bagiku juga perak dan emas, harta benda raja-raja dan daerah-daerah. Aku mencari bagiku biduan-biduan dan biduanita-biduanita, dan yang menyenangkan anak-anak manusia, yakni banyak gundik. (9) Dengan demikian aku menjadi besar, bahkan lebih besar dari pada siapapun yang pernah hidup di Yerusalem sebelum aku; dalam pada itu hikmatku tinggal tetap padaku. (10) Aku tidak merintangi mataku dari apapun yang dikehendakinya, dan aku tidak menahan hatiku dari sukacita apapun, sebab hatiku bersukacita karena segala jerih payahku. Itulah buah segala jerih payahku. (11) Ketika aku meneliti segala pekerjaan yang telah dilakukan tanganku dan segala usaha yang telah kulakukan untuk itu dengan jerih payah, lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin; memang tak ada keuntungan di bawah matahari”.

b. Menyebut uang sebagai Mammon.

Matius 6:24 - “Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.’”.

c. Memperingatkan kita akan bahaya dari uang / keinginan untuk menjadi kaya.

1Timotius 6:9-10 - “(9) Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. (10) Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka”.

d. Mengatakan bahwa uang tak bisa memberikan kepuasan.

Pkh 5:9 - “Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Inipun sia-sia”.

Bdk. 1Timotius 4:8 - “Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang”.

KJV: ‘For bodily exercise profiteth little: but godliness is profitable unto all things, having promise of the life that now is, and of that which is to come’ (= Karena latihan tubuh / jasmani berguna sedikit: tetapi kesalehan berguna untuk segala sesuatu, karena mempunyai janji tentang hidup sekarang ini, dan hidup yang akan datang).

NIV: ‘For physical training is of some value, but godliness has value for all things, holding promise for both the present life and the life to come’ (= Karena latihan fisik mempunyai nilai tertentu, tetapi kesalehan mempunyai nilai untuk segala sesuatu, memegang janji untuk kehidupan yang sekarang ini dan kehidupan yang akan datang).

Orang Kristen boleh, dan bahkan seharusnya memelihara tubuh mereka dengan olah raga. Tetapi pada saat yang sama orang Kristen harus sadar bahwa manfaat kesehatan tubuh ini hanya sementara, dan tak bisa dibandingkan dengan manfaat dari kesalehan / kerohanian. Karena itu yang terakhir ini harus lebih ditekankan.

4. Pulpit Commentary (hal 172) menafsirkan kata ‘sober’ ini sebagai ‘self-restrained, calm, thoughtful’ (= pengekangan diri sendiri, tenang, bijaksana).

5. Kata ini digunakan untuk menggambarkan orang yang sudah disembuhkan dari kerasukan setan. Kata ini juga dikontraskan dengan ‘gila’, dan ‘berpikiran terlalu tinggi tentang diri sendiri’.

Alan M. Stibbs (Tyndale): “‘Be ye therefore sober,’ or ‘of sound mind’ (RV). The verb SOPHRONEIN, ‘to be in one’s right mind’, ‘in control of oneself’, is used to describe the restored demoniac at Gadara (Mk. 5:15). It is also used in contrast both to being ‘beside oneself’ or ‘mad’ (2Cor. 5:13), and to ‘thinking too highly of oneself’ (Rom. 12:3). There are dangers to spiritual well-being in intemperance, uncontrolled excitement or frenzy, and conceit. This sinful and self-indulgent world is not the place to lose one’s mental or moral balance. Those who would be ready for Christ’s appearing must keep their head and conscience clear” [= ‘Hendaklah engkau waras’, atau ‘berpikiran sehat’ (RV). Kata kerja SOPHRONEIN, ‘ada dalam pikiran yang benar’, ‘menguasai diri sendiri’, digunakan untuk menggambarkan orang kerasukan setan yang telah dipulihkan di Gadara (Mark 5:15). Itu juga digunakan untuk mengkontraskan dengan ‘gila’ (2Korintus 5:13), dan ‘memikirkan terlalu tinggi tentang dirinya sendiri’ (Roma 12:3). Ada bahaya-bahaya bagi kesejahteraan rohani dalam minum berlebihan / tak ada penguasaan diri, kegembiraan yang tidak terkontrol atau kegilaan, dan pandangan berlebihan tentang diri sendiri. Dunia yang berdosa dan memuaskan diri sendiri ini bukanlah tempat untuk kehilangan keseimbangan mental dan moral seseorang. Mereka yang mau siap untuk kedatangan Kristus harus menjaga kepala dan hati nurani mereka bersih] - hal 153.

Markus 5:15 - “Mereka datang kepada Yesus dan melihat orang yang kerasukan itu duduk, sudah berpakaian dan sudah waras, orang yang tadinya kerasukan legion itu. Maka takutlah mereka”.

2Korintus 5:13 - “Sebab jika kami tidak menguasai diri, hal itu adalah dalam pelayanan Allah, dan jika kami menguasai diri, hal itu adalah untuk kepentingan kamu”.

KJV: ‘For whether we be beside ourselves, it is to God: or whether we be sober, it is for your cause’ (= Karena apakah kami gila, itu adalah untuk Allah: atau apakah kami waras, itu adalah untuk perkaramu).

Roma 12:3 - “Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing”.

Bdk. Roma 12:16 - “Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama; janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah menganggap dirimu pandai!”.

b) Karena kesudahan segala sesuatu sudah dekat, kita diperintahkan untuk waras, supaya kita dapat berdoa.

Bdk. Lukas 21:34-36 - “(34) ‘Jagalah dirimu, supaya hatimu jangan sarat oleh pesta pora dan kemabukan serta kepentingan-kepentingan duniawi dan supaya hari Tuhan jangan dengan tiba-tiba jatuh ke atas dirimu seperti suatu jerat. (35) Sebab ia akan menimpa semua penduduk bumi ini. (36) Berjaga-jagalah senantiasa sambil berdoa, supaya kamu beroleh kekuatan untuk luput dari semua yang akan terjadi itu, dan supaya kamu tahan berdiri di hadapan Anak Manusia.’”.

Alan M. Stibbs (Tyndale): “such sobriety is indispensable to full prayerfulness” (= kewarasan seperti itu sangat diperlukan bagi dedikasi yang penuh kepada doa) - hal 153.

Pulpit Commentary: “He who lives in expectation of the end of all things, must live in prayer; for only by constant and faithful prayer can he prepare himself for that awful day; and he cannot pray aright unless he lives a godly, righteous, and sober life” (= Ia yang hidup dalam pengharapan tentang akhir dari segala sesuatu, harus hidup dalam doa; karena hanya dengan doa yang konstan / terus menerus dan setia ia bisa menyiapkan dirinya untuk hari yang mengerikan / dahsyat itu; dan ia tidak bisa berdoa dengan benar kecuali ia menjalani kehidupan yang saleh, benar dan waras) - hal 179.

Pulpit Commentary: “Much prayer is needful for preparation against the hour of death; the self-indulgent cannot pray aright” (= Banyak doa diperlukan untuk persiapan terhadap saat kematian; orang-orang yang memuaskan diri sendiri tidak bisa berdoa dengan benar) - hal 180.

Matthew Henry: “The consideration of our approaching end is a powerful argument to make us sober in all worldly matters, and earnest in religious affairs” (= Pertimbangan tentang akhir yang mendekat ini merupakan suatu argumentasi yang kuat untuk membuat kita waras dalam semua hal-hal duniawi, dan bersungguh-sungguh dalam urusan-urusan agama).

Tentu saja kita tidak boleh membuang secara total semua urusan duniawi, seperti pekerjaan, keluarga, study, dan sebagainya, sekalipun hal-hal ini hanya bernilai sementara. Tetapi kita harus memberi penekanan yang lebih banyak pada hal-hal rohani, yang bernilai kekal. Dan kalau kita diharuskan memilih 2 hal itu, kita harus memilih yang terakhir. Contoh:

· Abraham meninggalkan negerinya, sanak saudaranya, pekerjaannya demi mentaati panggilan Tuhan (Kejadian 12:1-4).

· Petrus, Andreas, Yohanes dan Yakobus meninggalkan pekerjaan dan keluarganya untuk memenuhi panggilan Yesus (Mat 4:18-22).

· Matius meninggalkan pekerjaan dan teman-temannya untuk memenuhi panggilan Yesus (Mat 9:9).

· Petrus dan murid-murid yang lain meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Yesus.

Matius 19:27-29 - “(27) Lalu Petrus menjawab dan berkata kepada Yesus: ‘Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau; jadi apakah yang akan kami peroleh?’ (28) Kata Yesus kepada mereka: ‘Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pada waktu penciptaan kembali, apabila Anak Manusia bersemayam di takhta kemuliaanNya, kamu, yang telah mengikut Aku, akan duduk juga di atas dua belas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel. (29) Dan setiap orang yang karena namaKu meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal”.

Bdk. Lukas 14:26,33 - “(26) ‘Jikalau seorang datang kepadaKu dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi muridKu. ... (33) Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi muridKu”.

Khotbah 1 PETRUS 4:7-11(2)

1 Petrus 4: 8: “Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa”.

1) “Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain”.

a) ‘seorang akan yang lain’.

KJV: ‘among yourselves’ (= di antara kamu sendiri).

Jadi, yang ditekankan di sini, adalah kasih di antara saudara-saudara seiman.

Sekalipun kita memang harus mengasihi semua orang, yang kafir sekalipun, tetapi kasih di antara saudara seiman harus lebih ditekankan. Bandingkan dengan ayat-ayat di bawah ini:

· Ibrani 13:1 - “Peliharalah kasih persaudaraan!”.

· Galatia 6:10 - “Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman”.

· Kolose 3:12-14 - “(12) Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihiNya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. (13) Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. (14) Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan”.

b) ‘Tetapi yang terutama’.

KJV: ‘Above all things’ (= Di atas segala-galanya).

Jamieson, Fausset & Brown: “‘Above all things.’ - not that ‘charity’ is above ‘prayer,’ but love is the animating spirit, without which other duties are dead” (= ‘Di atas segala-galanya’. - bukan karena ‘kasih’ itu ada di atas ‘doa’ / lebih penting dari ‘doa’, tetapi kasih adalah roh yang menghidupkan / menjiwai, tanpa mana kewajiban-kewajiban yang lain adalah mati).

Penerapan: Memang, segala sesuatu seperti pelayanan, persembahan, ibadah, doa, ketaatan, menjadi hal-hal yang mati kalau tidak ada kasih.

Bdk. 1Korintus 13:1-3 - “(1) Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. (2) Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. (3) Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku”.

c) Pulpit Commentary (hal 192) menguraikan bagaimana kita bisa mempunyai kasih yang sungguh-sungguh, yaitu:

1. Pengusahaan dari apa yang akan membantu perkembangan dari kasih terhadap saudara-saudara seiman. Kasih kepada saudara-saudara seiman muncul dari kasih kepada Allah / Bapa. Jadi, kenallah Allah, tinggallah dalam Allah, kasihilah Allah, dan kasih terhadap saudara-saudara seiman akan muncul / bertumbuh.

Penerapan: saat teduh, doa pribadi, belajar Firman Tuhan, ketaatan / membuang dosa, dsb, merupakan hal-hal yang harus dilakukan orang percaya sebagai cara hidupya.

2. Sikap waspada / berjaga-jaga terhadap apa yang akan menghalangi / merusak kasih kepada saudara-saudara seiman, seperti:

a. Sikap cenderung bertengkar. Ada orang-orang yang tak pernah setuju dengan apapun; selalu ada hal-hal tentang mana ia memberikan kritikan yang bersifat bermusuhan. Hal seperti ini menular, dan membunuh kasih.

b. Iri hati / kecemburuan.

Pulpit Commentary: “half the troubles of Church-life are due to jealousy, which often has no ground but that of suspicion” (= setengah dari kesukaran-kesukaran dari kehidupan Gereja disebabkan karena kecemburuan, yang sering tak mempunyai dasar kecuali kecurigaan) - hal 192.

c. Kecenderungan untuk menyebarkan gossip.

Pulpit Commentary: “If you see a man or woman going from ear to ear with some mischief-making story, some gossip which tends to wound or discredit another, suspect that person’s own character, regard him as an emissary of Satan” (= Jika kamu melihat seseorang pergi dari telinga ke telinga dengan cerita yang bersifat mengacau, gossip yang cenderung untuk melukai atau mendiskreditkan / menurunkan gengsi orang lain, curigailah karakter dari orang itu sendiri, anggaplah dia sebagai utusan / wakil dari Setan) - hal 192.

d. Sikap tak mempedulikan pandangan orang lain.

2) “sebab kasih menutupi banyak sekali dosa”.

Yang dipersoalkan / diperdebatkan dalam penafsiran ayat ini adalah: dosa siapa yang ditutupi itu?

a) Penafsiran yang salah / sesat tentang bagian ini: dengan melakukan tindakan kasih, kita bisa menyebabkan dosa kita sendiri diampuni / ditutupi oleh Tuhan.

1. Tafsiran sesat seperti ini sudah ada pada beberapa bapa gereja.

Alan M. Stibbs (Tyndale): “By later Christian writers (e.g. Tertullian and Origen) the words are interpreted as indicating that by showing love to others a man covers his own sins” [= Oleh penulis-penulis Kristen belakangan (contoh, Tertullian dan Origen) kata-kata itu ditafsirkan sebagai menunjukkan bahwa dengan menunjukkan kasih kepada orang-orang lain seseorang bisa menutupi dosa-dosanya sendiri] - hal 154-155.

2. Calvin dan beberapa penafsir lain mengatakan bahwa Gereja Roma Katolik juga menafsirkan bahwa yang ditutupi adalah dosa dari orang yang mengasihi. Ini menunjukkan keselamatan karena perbuatan baik, dan karena itu jelas bertentangan dengan Kitab Suci (bdk. Efesus 2:8-9).

Adam Clarke: “It does not mean that our love to others will induce God to pardon our offences” (= Itu tidak berarti bahwa kasih kita kepada orang-orang lain akan menyebabkan Allah mengampuni pelanggaran-pelanggaran kita).

Barnes’ Notes: “The language used here does not mean, as the Romanists maintain, that ‘charity shall procure us pardon for a multitude of sins;’ for, besides that such a doctrine is contrary to the uniform teachings of the Scriptures elsewhere, it is a departure from the obvious meaning of the passage. The subject on which the apostle is treating is the advantage of love in our conduct toward others, and this he enforces by saying that it will make us kind to their imperfections, and lead us to overlook their faults. It is nowhere taught in the Scriptures that our ‘charity’ to others will be an atonement or expiation for our own offences. If it could be so, the atonement made by Christ would have been unnecessary” [= Kata-kata yang digunakan di sini tidak berarti, seperti dipercaya oleh orang-orang Roma (Katolik), bahwa ‘kasih akan mendapatkan bagi kita pengampunan untuk banyak dosa’; karena, selain bahwa ajaran seperti itu bertentangan dengan ajaran yang seragam dari Kitab Suci di tempat lain, itu merupakan penyimpangan dari arti yang nyata dari text itu. Subyek yang ditangani oleh sang rasul adalah manfaat dari kasih dalam tingkah laku kita terhadap orang-orang lain, dan ini ia jalankan dengan mengatakan bahwa kasih itu akan membuat kita baik terhadap ketidaksempurnaan mereka, dan membimbing kita untuk mengabaikan kesalahan-kesalahan mereka. Tak ada tempat lain dalam Kitab Suci yang mengajar kita bahwa ‘kasih’ kita kepada orang-orang lain akan menjadi penebusan untuk pelanggaran-pelanggaran kita sendiri. Seandainya bisa demikian, penebusan yang dibuat oleh Kristus akan menjadi tidak perlu].

Bdk. Gal 2:16,21b - “(16) Kamu tahu, bahwa tidak seorangpun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus. Sebab itu kamipun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan hukum Taurat. Sebab: ‘tidak ada seorangpun yang dibenarkan’ oleh karena melakukan hukum Taurat. ... (21b) Sebab sekiranya ada kebenaran oleh hukum Taurat, maka sia-sialah kematian Kristus”.

3. Orang-orang jaman sekarang, bahkan dalam kalangan Protestan, juga ada yang membuka peluang bagi penafsiran sesat ini.

Barclay: “It may mean that, if we love others, God will overlook a multitude sins in us. ... He will forgive much to the man who loves his fellow-men” (= Itu bisa berarti bahwa, jika kita mengasihi orang-orang lain, Allah akan memaafkan / mengabaikan banyak dosa dalam diri kita. ... Ia akan mengampuni banyak kepada orang yang mengasihi sesamanya manusia) - hal 253.

Biarpun ini cuma suatu kemungkinan penafsiran dari Barclay, yang terlihat dari kata ‘may’ (= bisa) yang ia gunakan, dan juga dari adanya kemungkinan penafsiran-penafsiran yang lain yang ia berikan, tetapi membuka kemungkinan seperti ini sudah menunjukkan kesesatan Barclay!

b) Penafsiran yang benar: kalau kita mengasihi seseorang, maka kita akan mengabaikan dan menutupi (tak menyebarkan) kesalahan dari orang tersebut.

Matthew Henry: “it is the property of true charity to cover a multitude of sins. It inclines people to forgive and forget offences against themselves, to cover and conceal the sins of others, rather than aggravate them and spread them abroad” (= merupakan sifat dari kasih yang sungguh-sungguh untuk menutupi banyak dosa. Itu cenderung untuk mengampuni dan melupakan pelanggaran-pelanggaran terhadap diri mereka sendiri, untuk menutupi dan menyembunyikan dosa-dosa dari orang-orang lain, dan bukannya memperburuk mereka dan menyebar-luaskan mereka).

1. Bahwa ini merupakan penafsiran yang benar terlihat dari dukungan ayat-ayat lain dalam Kitab Suci.

· 1Korintus 13:7 - “Ia (kasih) menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu”.

· Amsal 17:9 - “Siapa menutupi pelanggaran, mengejar kasih, tetapi siapa membangkit-bangkit perkara, menceraikan sahabat yang karib”.

· Amsal 10:12 - “Kebencian menimbulkan pertengkaran, tetapi kasih menutupi segala pelanggaran”.

Calvin menterjemahkan ayat ini sebagai berikut: “Hatred discovers reproaches, but love covers a multitude of sins” (= Kebencian membukakan / menyingkapkan hal-hal yang memalukan, tetapi kasih menutupi banyak dosa) - hal 129.

Calvin: “What Solomon meant is sufficiently clear, for the two clauses contain things which are set in contrast the one with the other. As then he says in the first clause that hatred is the cause why men traduce and defame one another, and spread whatever is reproachful and dishonorable; so it follows that a contrary effect is ascribed to love, that is, that men who love one another, kindly and courteously forgive one another; hence it comes that, willingly burying each other’s vices, one seeks to preserve the honour of another” (= Apa yang dimaksudkan oleh Salomo cukup jelas, karena kedua anak kalimat mengandung hal-hal yang dikontraskan satu sama lain. Sebagai mana Ia berkata dalam anak kalimat yang pertama bahwa kebencian merupakan penyebab mengapa manusia saling mempertontonkan / memalukan dan mencemarkan nama baik, dan menyebarkan apapun yang memalukan dan merupakan aib; sesuai dengan itu, maka suatu hasil yang bertentangan diberikan kepada kasih, yaitu bahwa manusia yang saling mengasihi, dengan baik dan dengan sopan saling mengampuni; karena itu, hasilnya adalah bahwa, dengan sukarela mengubur kejahatan satu sama lain, seseorang berusaha untuk menjaga kehormatan dari yang lain) - hal 129.

Calvin: “This singular benefit love brings to us when it exists among us, so that innumerable evils are covered in oblivion. On the other hand, where loose reins are given to hatred, men by mutual biting and tearing must necessarily consume one another, as Paul says (Gal 5:15)” [= Manfaat yang luar biasa inilah yang dibawa kasih kepada kita pada waktu kasih itu ada di antara kita, sehingga tak terhitung banyaknya kejahatan yang ditutupi dalam pelupaan. Di sisi yang lain, dimana kebencian dilepaskan kekangnya, manusia dengan saling menggigit dan menyobek pasti memakan satu sama lain, seperti dikatakan Paulus (Galatia 5:15)] - hal 129.

Galatia 5:14-15 - “(14) Sebab seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu: ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!’ (15) Tetapi jikalau kamu saling menggigit dan saling menelan, awaslah, supaya jangan kamu saling membinasakan”.

2. Ada saat dimana kasih bukannya harus menutupi pelanggaran seseorang, tetapi sebaliknya harus menyingkapkannya.

a. Kita tak boleh menyembunyikan kesalahan seseorang, sehingga melindas kebenaran.

Adam Clarke: “A loving disposition leads us to pass by the faults of others, to forgive offences against ourselves, and to excuse and lessen, as far as is consistent with truth, the transgressions of men” (= Watak / kecondongan yang kasih memimpin kita untuk mengabaikan kesalahan-kesalahan dari orang-orang lain, mengampuni pelanggaran-pelanggaran terhadap diri kita sendiri, dan memaafkan dan mengurangi, sejauh itu konsisten dengan kebenaran, pelanggaran-pelanggaran manusia).

Jadi, kita tidak boleh menutupi kesalahan sedemikian rupa sehingga kita berdusta. Misalnya pada waktu menjadi saksi di pengadilan, dan kita ditanya tentang kesalahan orang yang memang kita ketahui, maka kita tidak boleh menyembunyikannya, dengan berdusta.
b. Kita tidak boleh menyembunyikan kesalahan seseorang, pada waktu kasih menuntut sebaliknya.

Jamieson, Fausset & Brown: “‘Covereth,’ so as not harshly to condemn or expose; but to bear the other’s burdens, forgiving and forgetting offences. ... Compare the conduct of Shem and Japheth (Gen. 9:23), in contrast to Ham’s exposure of his father’s shame. We ought to cover others’ sins only where love itself does not require the contrary” [= ‘Menutupi’, sehingga tidak dengan keras mengecam atau menyingkapkan; tetapi memikul / menahan beban orang lain, mengampuni dan melupakan pelanggaran-pelanggaran. ... Bandingkan dengan tingkah laku Sem dan Yafet (Kejadian 9:23), yang kontras dengan penyingkapan Ham terhadap hal yang memalukan ayahnya. Kita harus menutupi dosa-dosa orang-orang lain hanya pada waktu kasih itu sendiri tidak mengharuskan sebaliknya].

Bdk. Kejadian 9:21-23 - “(21) Setelah ia minum anggur, mabuklah ia dan ia telanjang dalam kemahnya. (22) Maka Ham, bapa Kanaan itu, melihat aurat ayahnya, lalu diceritakannya kepada kedua saudaranya di luar. (23) Sesudah itu Sem dan Yafet mengambil sehelai kain dan membentangkannya pada bahu mereka berdua, lalu mereka berjalan mundur; mereka menutupi aurat ayahnya sambil berpaling muka, sehingga mereka tidak melihat aurat ayahnya”.

Perhatikan bagian-bagian yang saya garis-bawahi dalam kata-kata Jamieson, Fausset & Brown di atas ini. Jelas bahwa kasih tidak secara mutlak harus menutupi kesalahan-kesalahan dari orang-orang lain. Ada saat dimana kasih menuntut sebaliknya.

Misalnya:

· pada waktu ada gereja / pengkhotbah yang mengajarkan ajaran sesat. Dalam hal ini kita tidak boleh hanya memperhitungkan gereja / pengkhotbah sesat tersebut; tetapi kita harus lebih memperhitungkan para pendengar yang bisa disesatkan oleh ajaran tersebut. Karena itu, dalam kasus seperti ini kasih justru harus menyingkapkan kesalahan / kesesatan dari ajaran-ajaran tersebut. Itu yang saya lakukan pada waktu saya berkhotbah / menulis tentang kesesatan-kesesatan dari orang-orang / gereja-gereja tertentu. Hal seperti ini juga dilakukan oleh Yesus dan rasul-rasulNya (Matius 23 Galatia 1:6-9 1Timotius 1:20 2Timotius 2:17 dsb).

· ada orang yang suka berhutang tetapi tidak mau membayar. Kalau saya melihat dia mendekati seseorang lain, maka kasih saya kepada orang lain itu mengharuskan saya, bukan untuk menutupi kesalahan dari orang pertama tadi, tetapi sebaliknya, menyingkapkannya, supaya jangan orang lain itu dirugikan.

1 Petrus 4: 9: “Berilah tumpangan seorang akan yang lain dengan tidak bersungut-sungut”.

1) Tindakan memberi tumpangan (hospitality) ini sebetulnya merupakan perwujudan dari kasih, dan hal ini ditekankan dalam banyak bagian Kitab Suci seperti:

Matius 25:35,43 - “(35) Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ... (43) ketika Aku seorang asing, kamu tidak memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu tidak memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit dan dalam penjara, kamu tidak melawat Aku”.

Roma 12:13 - “Bantulah dalam kekurangan orang-orang kudus dan usahakanlah dirimu untuk selalu memberikan tumpangan!”.

1Timotius 3:2 - “Karena itu penilik jemaat haruslah seorang yang tak bercacat, suami dari satu isteri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar orang”.

1Timotius 5:10 - “dan yang terbukti telah melakukan pekerjaan yang baik, seperti mengasuh anak, memberi tumpangan, membasuh kaki saudara-saudara seiman, menolong orang yang hidup dalam kesesakan - pendeknya mereka yang telah menggunakan segala kesempatan untuk berbuat baik”.

Titus 1:8 - “melainkan suka memberi tumpangan, suka akan yang baik, bijaksana, adil, saleh, dapat menguasai diri”.

Ibrani 13:1-2 - “(1) Peliharalah kasih persaudaraan! (2) Jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat”.

3Yoh 5-8 - “(5) Saudaraku yang kekasih, engkau bertindak sebagai orang percaya, di mana engkau berbuat segala sesuatu untuk saudara-saudara, sekalipun mereka adalah orang-orang asing. (6) Mereka telah memberi kesaksian di hadapan jemaat tentang kasihmu. Baik benar perbuatanmu, jikalau engkau menolong mereka dalam perjalanan mereka, dengan suatu cara yang berkenan kepada Allah. (7) Sebab karena namaNya mereka telah berangkat dengan tidak menerima sesuatupun dari orang-orang yang tidak mengenal Allah. (8) Kita wajib menerima orang-orang yang demikian, supaya kita boleh mengambil bagian dalam pekerjaan mereka untuk kebenaran”.

2) Hospitality ini penting pada saat itu karena:

a) Para misionaris membutuhkannya.

Kisah Para Rasul 10:6 - “Ia menumpang di rumah seorang penyamak kulit yang bernama Simon, yang tinggal di tepi laut.’”.

Kisah Para Rasul 21:16 - “Bersama-sama dengan kami turut juga beberapa murid dari Kaisarea. Mereka membawa kami ke rumah seorang yang bernama Manason. Ia dari Siprus dan sudah lama menjadi murid. Kami akan menumpang di rumahnya”.

b) Gereja membutuhkannya.

Barclay: “For two hundred years there was no such thing as a church building. Without those who were prepared to open their homes, the early church could not have met for worship at all” (= Selama 200 tahun tidak ada apa yang disebut dengan bangunan gereja. Tanpa mereka yang siap untuk membuka rumah-rumah mereka, gereja mula-mula tidak bisa mengadakan pertemuan ibadah sama sekali) - hal 254.

Bandingkan dengan:

· Roma 16:5 - “Salam juga kepada jemaat di rumah mereka. Salam kepada Epenetus, saudara yang kukasihi, yang adalah buah pertama dari daerah Asia untuk Kristus”.

· 1Korintus 16:19 - “Salam kepadamu dari Jemaat-jemaat di Asia Kecil. Akwila, Priskila dan Jemaat di rumah mereka menyampaikan berlimpah-limpah salam kepadamu”.

· Filemon 2 - “dan kepada Apfia saudara perempuan kita dan kepada Arkhipus, teman seperjuangan kita dan kepada jemaat di rumahmu”.

Catatan: dalam Kitab Suci bahasa Inggris semua kata ‘jemaat’ di sini diterjemahkan ‘gereja’.

c) Orang Kristen / percaya biasapun membutuhkannya.

Alan M. Stibbs (Tyndale): “By becoming Christians many ceased to enjoy the welcome and help of former potential friends. They stood, therefore, in urgent need of compensating Christian friendship at the hands of those who were now their brethren in Christ” (= Dengan menjadi orang-orang Kristen, banyak orang berhenti menikmati penyambutan / penerimaan dan pertolongan dari teman-teman yang berpotensi dulu. Karena itu, mereka butuh secara mendesak persahabatan Kristen yang menggantikannya pada tangan-tangan dari mereka yang sekarang adalah saudara-saudara mereka dalam Kristus) - hal 155.

Ini bukan hanya bisa terjadi pada abad-abad awal dari kekristenan, tetapi bahkan pada jaman ini.

Catatan: pada saat yang sama, waspadailah penipu-penipu yang berpura-pura menjadi orang Kristen yang diusir oleh keluarganya, dsb, supaya bisa mendapatkan makanan, dan uang dari saudara. Jangan biarkan keramahan menerima tamu dimanfaatkan oleh seadanya penipu!

3) Melakukan hal ini secara berlebihan, bisa menjadikan ini sebagai tindakan yang justru berdosa.

Pulpit Commentary: “It is not costly display and sumptuous entertainments that St. Peter recommends; these things are often sinful waste; men spend their money in selfish ostentation instead of holy and religious works” (= Bukan suatu pameran / pertunjukan yang mahal dan hiburan yang mewah yang direkomendasikan oleh Santo Petrus; hal-hal ini seringkali merupakan pemborosan yang bersifat dosa; orang-orang menghabiskan uang mereka dalam pameran yang egois dan bukannya pekerjaan yang kudus dan bersifat agama)- hal 179.

Saya kira kata-kata ini bagus sekali dan sangat perlu diwaspadai. Kalau saudara menerima seseorang / memberi tumpangan kepada seseorang, khususnya kalau ia adalah seorang hamba Tuhan, dan saudara menjamu dia, apakah saudara menjamunya secara mewah, dengan motivasi untuk memamerkan / mendemonstrasikan kebaikan saudara? Kalau ya, motivasi seperti ini sebetulnya bersifat egois, dan ini justru bertentangan dengan kasih!

Bdk. Matius 10:40,42 - “(40) Barangsiapa menyambut kamu, ia menyambut Aku, dan barangsiapa menyambut Aku, ia menyambut Dia yang mengutus Aku. ... (42) Dan barangsiapa memberi air sejuk secangkir sajapun kepada salah seorang yang kecil ini, karena ia muridKu, Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ia tidak akan kehilangan upahnya dari padanya.’”.

Text ini menunjukkan bahwa hospitality yang mengeluarkan uang sedikitpun dihargai oleh Tuhan. Tetapi juga jangan terlalu extrim menafsirkan ayat ini, sehingga saudara selalu hanya mau memberikan secangkir air sejuk. Perlu diingat bahwa di Palestina, air sejuk tidak dengan mudah didapatkan. Dan dalam cuaca panas, itu bisa lebih berarti dari apapun yang lain.

Khotbah 1 PETRUS 4:7-11(3)

1 Petrus 4: 10: “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah”.

1) “Layanilah seorang akan yang lain”.

a) Dekatnya akhir jaman (lihat 1 Petrus 4: 7), tidak berarti kita harus menjadi pertapa.

Barclay: “Peter’s mind is dominated in this section by the conviction that the end of all things is near. ... he does not use that conviction to urge men to withdraw from the world and to enter on a kind of private campaign to save their own souls; he uses it to urge them to go into the world and serve their fellow-men. As Peter sees it, a man will be happy if the end finds him, not living as a hermit, but out in the world serving his fellow-men” (= Pikiran Petrus didominasi dalam bagian ini oleh keyakinan bahwa akhir dari segala sesuatu sudah dekat. ... ia tidak menggunakan keyakinan itu untuk mendesak manusia untuk menarik diri dari dunia dan untuk memasuki suatu jenis kampanye pribadi untuk menyelamatkan jiwa mereka sendiri; ia menggunakannya untuk mendesak mereka untuk pergi ke dalam dunia dan melayani sesama manusia mereka. Sebagaimana Petrus melihatnya, seseorang akan bahagia jika akhir jaman menjumpai dia, bukan sedang hidup sebagai seorang pertapa, tetapi sedang di dunia luar melayani sesama manusianya) - hal 254.

Pulpit Commentary: “For ‘the end of all things is at hand,’ and the Christian must school himself into thoughtful preparation for that solemn hour. His mind should be filled, not with castles in the air, not with visions of earthly prosperity (a mischievous and enervating habit), but with thoughts of death, judgment, eternity” [= Karena ‘kesudahan dari segala sesuatu sudah dekat’ (ay 7), dan orang Kristen harus melatih dirinya sendiri ke dalam persiapan yang penuh pemikiran untuk saat yang khidmat itu. Pikirannya harus diisi / dipenuhi, bukan dengan khayalan kosong, bukan dengan impian tentang kemakmuran duniawi (suatu kebiasaan yang jahat dan melemahkan), tetapi dengan pemikiran tentang kematian, penghakiman, kekekalan] - hal 178.

b) Petrus tidak menekankan satu pelayanan tertentu secara exklusif.

Barnes’ Notes: “The word ‘minister’ here (diakonountes) would refer to any kind of ministering, whether by counsel, by advice, by the supply of the needs of the poor, or by preaching. It has here no reference to any one of these exclusively; but means, that in whatever God has favored us more than others, we should be ready to minister to their needs” [= Kata ‘layanilah’ di sini (DIAKONOUNTES) menunjuk pada jenis pelayanan apapun, apakah dengan nasehat, dengan menyuplai kebutuhan orang-orang miskin, atau dengan berkhotbah. Di sini itu tak mempunyai referensi pada yang manapun secara exklusif; tetapi berarti bahwa dalam hal apapun Allah memberi kita kebaikan yang lebih dari pada orang-orang lain, kita harus siap untuk melayani kebutuhan-kebutuhan mereka].

2) “sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah”.

a) Orang Kristen / PERCAYA adalah pengurus dari kasih karunia Allah.

Barnes’ Notes: “‘As good stewards.’ Regarding yourselves as the mere stewards of God; that is, as appointed by him to do this work for him, and entrusted by him with what is needful to benefit others. He intends to do them good, but he means to do it through your instrumentality, and has entrusted to you as a steward what he designed to confer on them. This is the true idea, in respect to any special endowments of talent, property, or grace, which we may have received from God” (= ‘sebagai pengurus yang baik’. Anggaplah dirimu sendiri sebagai semata-mata pengurus dari Allah; yaitu, sebagai ditentukan olehNya untuk melakukan pekerjaan ini untuk Dia, dan dipercayai oleh Dia dengan apa yang perlu untuk manfaat orang-orang lain. Ia bermaksud untuk melakukan yang baik kepada mereka, tetapi Ia bermaksud untuk melakukannya melalui kamu sebagai alat, dan telah mempercayakan kepada kamu sebagai seorang pengurus apa yang Ia rencanakan untuk berikan kepada mereka. Ini adalah pandangan yang benar, berkenaan dengan pemberian khusus apapun tentang talenta, milik, atau kasih karunia, yang bisa kita terima dari Allah).

Barclay: “The Christian has to regard himself as a steward of God. In the ancient world the steward was very important. He might be a slave but his master’s goods were in his hands. ... The steward knew well that none of the things over which he had control belonged to him; they all belonged to his master. In everything he did he was answerable to his master and always it was his interests he must serve. The Christian must always under the conviction that nothing he possesses of material goods or personal qualities is his own; it belongs to God and he must ever use what he has in the interests of God to whom he is always answerable” (= Orang Kristen harus menganggap dirinya sendiri sebagai seorang pengurus dari Allah. Dalam dunia kuno ‘pengurus’ sangat penting. Ia bisa adalah seorang budak tetapi harta benda tuannya ada dalam tangannya. ... Si pengurus tahu dengan baik bahwa tidak ada dari hal-hal yang ada di bawah kontrolnya itu yang adalah miliknya sendiri. Dalam segala sesuatu yang ia lakukan ia bertanggung jawab kepada tuannya dan kepentingan tuannya itulah yang harus selalu ia layani. Orang Kristen harus selalu ada di bawah keyakinan bahwa tidak ada apapun dari harta benda materi atau kwalitet pribadi yang ia miliki, adalah miliknya sendiri; itu adalah milik Allah dan ia harus selalu menggunakan apa yang ia miliki bagi kepentingan Allah kepada siapa Ia selalu bertanggung jawab) - hal 255,256.

b) Orang Kristen harus melayani sesuai dengan karunia-karunia yang Allah berikan kepadanya.

Barnes’ Notes: “The word rendered ‘the gift’ (charisma), in the Greek, without the article, means ‘endowment’ of any kind, but especially that conferred by the Holy Spirit. Here it seems to refer to every kind of endowment by which we can do good to others” [= Kata yang diterjemahkan ‘karunia’ (KHARISMA), dalam bahasa Yunani, tanpa kata sandang, berarti suatu ‘pemberian / anugerah’ dari jenis apapun, tetapi khususnya yang diberikan oleh Roh Kudus. Di sini itu kelihatannya menunjuk pada setiap jenis pemberian dengan mana kita bisa berbuat baik kepada orang-orang lain].

Pulpit Commentary: “Do not minister anything else, but that very thing which you have received. God shows you what he intends you to do by what he gives you. Do not copy other people; do not try to be anybody else. Be true to yourself. If your gifts impel you to a special mode of service, follow them. Find out what you are fit for, and do it in your own fashion. Take your directions at first hand from God, and don’t spoil your own little gift by trying to bend it into the shape of somebody else’s. Flutes cannot be made to sound like drums. Be content to give out your own note, and leave the care of the harmony to God” (= Jangan melayani sesuatu apapun yang lain, kecuali hal yang telah engkau terima. Allah menunjukkan kepadamu apa yang Ia maksudkan untuk kaulakukan dengan apa yang Ia berikan kepadamu. Jangan meniru orang lain; jangan mencoba untuk menjadi orang lain. Bersikaplah benar terhadap dirimu sendiri. Jika karunia-karuniamu mendorong / mendesakmu kepada suatu cara pelayanan khusus, ikutilah mereka. Carilah untuk apa engkau cocok, dan lakukanlah dengan caramu. Terimalah pengarahanmu langsung dari Allah, dan janganlah membuang-buang karunia kecilmu dengan mencoba untuk membengkokkannya ke dalam bentuk karunia orang lain. Seruling tidak bisa dibuat berbunyi seperti drums. Puaslah untuk memberikan nadamu sendiri, dan serahkanlah pemeliharaan dari keharmonisan kepada Allah) - hal 184.

1Korintus 12:7-11 - “(7) Tetapi kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama. (8) Sebab kepada yang seorang Roh memberikan karunia untuk berkata-kata dengan hikmat, dan kepada yang lain Roh yang sama memberikan karunia berkata-kata dengan pengetahuan. (9) Kepada yang seorang Roh yang sama memberikan iman, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk menyembuhkan. (10) Kepada yang seorang Roh memberikan kuasa untuk mengadakan mujizat, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk bernubuat, dan kepada yang lain lagi Ia memberikan karunia untuk membedakan bermacam-macam roh. Kepada yang seorang Ia memberikan karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk menafsirkan bahasa roh itu. (11) Tetapi semuanya ini dikerjakan oleh Roh yang satu dan yang sama, yang memberikan karunia kepada tiap-tiap orang secara khusus, seperti yang dikehendakiNya”.

Roma 12:6-8 - “(6) Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita: Jika karunia itu adalah untuk bernubuat baiklah kita melakukannya sesuai dengan iman kita. (7) Jika karunia untuk melayani, baiklah kita melayani; jika karunia untuk mengajar, baiklah kita mengajar; (8) jika karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati. Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas; siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukannya dengan rajin; siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita”.

1Korintus 12:18 - “Tetapi Allah telah memberikan kepada anggota, masing-masing secara khusus, suatu tempat pada tubuh, seperti yang dikehendaki-Nya”.

Illustrasi: dalam permainan puzzle, hanya ada 1 potongan puzzle yang cocok persis untuk mengisi suatu kekosongan. Dalam gereja, saudara pun mempunyai tempat yang unik yang tidak bisa digantikan oleh orang lain. Karena itu, carilah tempat / posisi yang cocok itu, dan layanilah dengan tekun.

Bdk. Markus 14:8 - “Ia telah melakukan apa yang dapat dilakukannya. Tubuh-Ku telah diminyakinya sebagai persiapan untuk penguburan-Ku”.

Maria bukan seorang rasul, pendeta, atau pengkhotbah, tetapi ia melakukan pelayanan yang bisa dilakukannya, dan ia dihargai untuk hal itu.

c) Berilah orang Kristen lain kebebasan dalam melayani.

Pulpit Commentary: “on the other hand, beware of interfering with your brother’s equal liberty. Do not hastily condemn modes of action because they are not yours” (= pada sisi yang lain, waspadalah dalam mencampuri kebebasan yang sama dari saudaramu. Jangan dengan tergesa-gesa mengecam cara-cara dari tindakan hanya karena cara-cara itu bukanlah cara-caramu) - hal 184.

Tentu saja kalau cara itu memang bertentangan dengan Kitab Suci, maka kita boleh menyalahkannya. Tetapi kalau cara itu sekedar tak sesuai dengan cara / selera kita, kita tidak boleh menyalahkannya.

Tetapi dalam kenyataannya, banyak sekali orang Kristen (biasanya yang dirinya sendiri tidak melayani), yang senang mengurusi cara orang Kristen lain dalam melayani, dan mengecamnya, sekalipun cara itu tidak bertentangan dengan Kitab Suci.

3) Seluruh ayat ini menunjukkan bahwa setiap orang Kristen pasti menerima karunia dari Tuhan untuk bisa melayani saudara-saudara seimannya. Secara tak langsung ini menunjukkan bahwa:
semua orang Kristen harus melayani.
orang Kristen saling tergantung satu sama lain.

Alan M. Stibbs (Tyndale): “the members of the Christian community are thereby made by God interdependent. No one Christian believers can fully enjoy the benefits of the grace of God in Christ, or fully express the new activities it makes possible, in isolation” (= anggota-anggota dari masyarakat Kristen dengan ini dibuat oleh Allah saling tergantung satu dengan yang lain. Tak ada orang percaya Kristen yang bisa menikmati secara penuh manfaat dari kasih karunia Allah dalam Kristus, atau menyatakan secara penuh aktivitas-aktivitas baru yang dimungkinkan olehnya, dalam suatu pengasingan) - hal 156.

Pulpit Commentary: “Every man has some gift; no man has all. Therefore they are bound together by reciprocal wants and supplies, and convexities here and concavities there fit in to one another and make a solid whole. ... This variety constitutes an imperative call to service. Each man has something which some of his brethren want” (= Setiap orang mempunyai beberapa karunia; tidak ada orang yang mempunyai semua karunia. Karena itu mereka diikat menjadi satu oleh kebutuhan dan suplai timbal balik, dan kecembungan di sini dan kecekungan di sana cocok satu dengan yang lain dan membuat suatu keseluruhan yang penuh. ... Keaneka-ragaman ini membentuk suatu panggilan pelayanan yang penting sekali / diharuskan) - hal 184.

Pulpit Commentary: “In the Church of Christ no one is wholly and only a giver, or wholly and only a receiver. Every one has some gift, and every one has some need. It is by mutual ministration that the general welfare is secured” (= Dalam Gereja Kristus tak seorangpun adalah sepenuhnya dan hanya seorang pemberi, atau sepenuhnya dan hanya seorang penerima. Setiap orang mempunyai karunia, dan setiap orang mempunyai kebutuhan. Adalah dengan saling melayani maka kesejahteraan umum dipastikan) - hal 189.

Bdk. 1Korintus 12:21-25 - “(21) Jadi mata tidak dapat berkata kepada tangan: ‘Aku tidak membutuhkan engkau.’ Dan kepala tidak dapat berkata kepada kaki: ‘Aku tidak membutuhkan engkau.’ (22) Malahan justru anggota-anggota tubuh yang nampaknya paling lemah, yang paling dibutuhkan. (23) Dan kepada anggota-anggota tubuh yang menurut pemandangan kita kurang terhormat, kita berikan penghormatan khusus. Dan terhadap anggota-anggota kita yang tidak elok, kita berikan perhatian khusus. (24) Hal itu tidak dibutuhkan oleh anggota-anggota kita yang elok. Allah telah menyusun tubuh kita begitu rupa, sehingga kepada anggota-anggota yang tidak mulia diberikan penghormatan khusus, (25) supaya jangan terjadi perpecahan dalam tubuh, tetapi supaya anggota-anggota yang berbeda itu saling memperhatikan”.

4) Hubungannya dengan karunia bahasa Roh.

Karunia harus membangun orang lain, sedangkan karunia bahasa Roh tanpa penterjemahan, tak berguna untuk itu.

1Korintus 14:3-5,13-17 - “(3) Tetapi siapa yang bernubuat, ia berkata-kata kepada manusia, ia membangun, menasihati dan menghibur. (4) Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, ia membangun dirinya sendiri, tetapi siapa yang bernubuat, ia membangun Jemaat. (5) Aku suka, supaya kamu semua berkata-kata dengan bahasa roh, tetapi lebih dari pada itu, supaya kamu bernubuat. Sebab orang yang bernubuat lebih berharga dari pada orang yang berkata-kata dengan bahasa roh, kecuali kalau orang itu juga menafsirkannya, sehingga Jemaat dapat dibangun. ... (13) Karena itu siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, ia harus berdoa, supaya kepadanya diberikan juga karunia untuk menafsirkannya. (14) Sebab jika aku berdoa dengan bahasa roh, maka rohkulah yang berdoa, tetapi akal budiku tidak turut berdoa. (15) Jadi, apakah yang harus kubuat? Aku akan berdoa dengan rohku, tetapi aku akan berdoa juga dengan akal budiku; aku akan menyanyi dan memuji dengan rohku, tetapi aku akan menyanyi dan memuji juga dengan akal budiku. (16) Sebab, jika engkau mengucap syukur dengan rohmu saja, bagaimanakah orang biasa yang hadir sebagai pendengar dapat mengatakan ‘amin’ atas pengucapan syukurmu? Bukankah ia tidak tahu apa yang engkau katakan? (17) Sebab sekalipun pengucapan syukurmu itu sangat baik, tetapi orang lain tidak dibangun olehnya”.
Karunia selalu bertujuan untuk membangun orang-orang lain. Karena itu beberapa penafsir menafsirkan bahwa ay 4a cuma merupakan bahasa sindiran dan arti sebenarnya adalah bahwa karunia bahasa Roh tidak membangun siapapun.

1 Petrus 4: 11: “Jika ada orang yang berbicara, baiklah ia berbicara sebagai orang yang menyampaikan firman Allah; jika ada orang yang melayani, baiklah ia melakukannya dengan kekuatan yang dianugerahkan Allah, supaya Allah dimuliakan dalam segala sesuatu karena Yesus Kristus. Ialah yang empunya kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya! Amin”.

1) “Jika ada orang yang berbicara, baiklah ia berbicara sebagai orang yang menyampaikan firman Allah”.

a) Dalam KJV kata ‘firman’ adalah ‘oracles’, dan kata ‘oracle’ sebetulnya berarti ‘sabda dewa’.

KJV: ‘If any man speak, let him speak as the oracles of God’ (= Jika ada orang yang berbicara, hendaklah ia berbicara seperti sabda Allah).

Pulpit Commentary: “The language of the apostle here need not be taken as referring to the heathen oracles. The New Testament makes use of the expression ‘oracles’ to designate divinely authorized utterances intended to instruct and benefit men. Thus Moses is said by Stephen to have received ‘living oracles’ to give unto the Jews; and the author of the epistle of the Hebrews describes the elements of Christian doctrine as ‘first principles of the oracles of God.’” (= Bahasa dari sang rasul di sini tidak perlu dianggap sebagai menunjuk kepada sabda dewa kafir. Perjanjian Baru menggunakan ungkapan ‘sabda dewa’ ini untuk menunjuk pada ucapan-ucapan yang diberi otoritas secara ilahi, yang dimaksudkan untuk mengajar dan memberi manfaat kepada manusia. Karena itu Musa dikatakan oleh Stefanus telah menerima ‘sabda dewa yang hidup’ untuk memberikannya kepada orang-orang Yahudi; dan penulis dari surat Ibrani menggambarkan elemen-elemen dari ajaran Kristen sebagai ‘prinsip-prinsip pertama dari sabda Allah’) - hal 189.


Kisah Para Rasul 7:38 - “Musa inilah yang menjadi pengantara dalam sidang jemaah di padang gurun di antara malaikat yang berfirman kepadanya di gunung Sinai dan nenek moyang kita; dan dialah yang menerima firman-firman yang hidup untuk menyampaikannya kepada kamu”.

KJV: ‘the lively oracles’ (= sabda-sabda dewa yang hidup).

Ibrani 5:12 - “Sebab sekalipun kamu, ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya menjadi pengajar, kamu masih perlu lagi diajarkan asas-asas pokok dari penyataan Allah, dan kamu masih memerlukan susu, bukan makanan keras”.

KJV: ‘the first principles of the oracles of God’ (= prinsip-prinsip pertama dari sabda Allah).

b) Calvin mengatakan (hal 131-132) bahwa ini menunjukkan bahwa seorang pengkhotbah harus memberitakan Firman Allah dan bukannya ajaran yang merupakan penemuan manusia, ataupun tradisi-tradisi seperti dalam kalangan Gereja Roma Katolik.

c) Orang yang memberitakan Firman Tuhan pertama-tama harus menerima / mendengarnya dari Tuhan, dan baru setelah itu memberitakannya.

Barclay: “First he listened to God, and then he spoke to men” (= Pertama-tama / mula-mula ia mendengarkan Allah, dan lalu ia berbicara kepada manusia) - hal 256.

2) “jika ada orang yang melayani, baiklah ia melakukannya dengan kekuatan yang dianugerahkan Allah”.

Pulpit Commentary: “We are weak, but his strength is made perfect in weakness; ... He supplies the strength which we need for the work which he has given us to do; he has appointed to every man his work, and will enable every man to do the work appointed him, if he seeks for that strength in faith and prayer” (= Kita lemah, tetapi kekuatanNya disempurnakan dalam kelemahan; ... Ia menyuplai kekuatan yang kita butuhkan untuk pekerjaan yang telah Ia berikan kepada kita untuk kita lakukan; Ia telah menetapkan setiap orang pekerjaannya, dan akan memampukan setiap orang untuk melakukan pekerjaan yang ditetapkanNya, jika ia mencari kekuatan itu dalam iman dan doa) - hal 180.

Filipi 4:13 - “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku”.

KJV: ‘I can do all things through Christ which strengtheneth me’ (= Aku bisa melakukan segala sesuatu melalui Kristus yang menguatkan aku).

2Korintus 3:5 - “Dengan diri kami sendiri kami tidak sanggup untuk memperhitungkan sesuatu seolah-olah pekerjaan kami sendiri; tidak, kesanggupan kami adalah pekerjaan Allah”.

3) “supaya Allah dimuliakan dalam segala sesuatu karena Yesus Kristus”.

Kemuliaan Allah bukan hanya harus merupakan tujuan dari pelayanan, tetapi bahkan tujuan hidup dan tujuan dari setiap tindakan orang Kristen.

1Korintus 10:31 - “Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah”.

Calvin: “it is therefore a sacrilegious profanation of God’s gifts when men propose to themselves any other object than to glorify God. ... men wickedly take away from him what is his own, when they obscure in anything, or in any part, his glory” (= karena itu merupakan suatu pencemaran yang bersifat melanggar kesucian karunia-karunia Allah pada waktu manusia mengemukakan kepada diri mereka sendiri suatu obyek apapun selain dari memuliakan Allah. ... manusia secara jahat mengambil dari Dia apa yang adalah milikNya, pada waktu mereka mengaburkan dalam hal apapun, atau dalam bagian apapun, kemuliaanNya) - hal 132,133.

4) “Ialah yang empunya kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya! Amin”.

Dalam Kitab Suci Indonesia, RSV, dan NIV, bagian ini dipisahkan sebagai kalimat baru. Tetapi dalam KJV dan NASB bagian ini merupakan sambungan dari bagian sebelumnya.

KJV: ‘If any man speak, let him speak as the oracles of God; if any man minister, let him do it as of the ability which God giveth: that God in all things may be glorified through Jesus Christ, to whom be praise and dominion for ever and ever. Amen’ (= Jika ada orang berbicara, hendaklah ia berbicara sebagai sabda Allah; jika ada orang yang melayani, hendaklah ia melakukannya dengan kemampuan yang Allah berikan, supaya Allah dalam segala sesuatu bisa dimuliakan melalui Yesus Kristus, bagi siapa pujian dan kekuasaan untuk selama-lamanya! Amin).

NASB: ‘Whoever speaks, let him speak, as it were, the utterances of God; whoever serves, let him do so as by the strength which God supplies; so that in all things God may be glorified through Jesus Christ, to whom belongs the glory and dominion forever and ever. Amen’ (= Siapapun berbicara, hendaklah ia berbicara sebagai ucapan-ucapan Allah; siapapun melayani, hendaklah ia melakukannya dengan kekuatan yang disuplai oleh Allah; sehingga dalam segala sesuatu Allah bisa dimuliakan melalui Yesus Kristus, yang adalah empunya kemuliaan dan kekuasaan selama-lamanya! Amin).

Dengan demikian terlihat bahwa doxology (= kata-kata kemuliaan) ini menunjuk kepada Yesus.

Matthew Henry: “The apostle’s adoration of Jesus Christ, and ascribing unlimited and everlasting praise and dominion to him, prove that Jesus Christ is the most high God, over all blessed for evermore. Amen” (= Pemujaan sang rasul tentang Yesus Kristus, dan penganggapan bahwa pujian dan kekuasaan yang tak terbatas dan kekal sebagai milikNya, membuktikan bahwa Yesus Kristus adalah Allah yang tertinggi / maha tinggi, yang terpuji di atas semua untuk selama-lamanya. Amin).

Catatan: Pdt. Budi Asali, M.Div:  meraih gelar Master of Divinity (M.Div) dari Reformed Theological Seminary (RTS), Jackson, Mississippi, United States of America
-o0o-
Next Post Previous Post