MEMAHAMI KEBUTUHAN WANITA: PERSPEKTIF PRIA DAN BAGI DIRINYA
Orang mengatakan, di dalam pernikahan, kalau perempuan bermasalah, itu menunjukkan sebetulnya laki-lakinya yang bermasalah. Saudara boleh tidak setuju bagian ini, tapi sebenarnya pernikahan selalu dimulai dari laki-laki.
Tentu saja laki-laki tidak bisa bertanggung jawab atas semua tanggung jawabnya istrinya, ada tanggung jawab perempuan yang dia harus pertanggungjawabkan sendiri di hadapan Tuhan.
Tetapi terutama yang dituntut adalah laki-laki. Kalau sebagai laki-laki kita tidak senang dengan hal ini, kalau sebagai laki-laki tidak mau memainkan peran suami, lebih baik jangan menikah. Dan laki-laki yang tidak menikah, dia tetap jadi “mempelai”-nya Tuhan Yesus, karena semua umat yang percaya adalah mempelai wanita Tuhan Yesus.
Tetapi sekali seorang laki-laki menikah, dia harus pegang perannya laki-laki, jangan menikah tapi pegangnya peran perempuan. Laki-laki yang pegang peran perempuan dalam pernikahan, itu adalah laki-laki yang tidak bertanggung jawab.
Tetapi mengapa pria sulit untuk mengerti kebutuhan wanita? Apa artinya seorang suami yang mengasihi istrinya? Kita akan membahas hal ini, yaitu yang pertama, memahami wanita dan kebutuhannya –bagian ini khususnya perlu untuk para pria; dan bagian yang kedua, tentang persoalan kebutuhan wanita itu sendiri, yang perlu disadari oleh para wanita.
MEMAHAMI WANITA DARI PERSPEKTIF PRIA - bagian yang perlu diketahui laki-laki
Membahas kebutuhan wanita, memang suatu hal yang tidak gampang bagi seorang pria –dan mungkin juga bagi wanita sendiri. Tapi kita percaya, waktu kita mempelajari Firman Tuhan, kita ada satu keyakinan untuk dapat mengerti hal ini. Keyakinan bukan karena kita sok tahu kebutuhan orang lain, tapi karena kita yakin bahwa yang dikatakan Alkitab pasti benar.
Dari Alkitab kita dapat mempelajari hal-hal yang perlu dipahami seorang laki-laki, tentang kebutuhan wanita (istrinya), yaitu:
1. Kebutuhan akan cinta kasih Alkitab mengatakan secara sederhana, bahwa kebutuhan wanita itu cinta. Firman Tuhan mengatakan: “Hai suami kasihilah isterimu” (Efesus 5: 25a); berarti di sini bicara tentang cinta.
Waktu kita membicarakan cinta, kasih, atau cinta kasih, kesulitannya adalah cinta kasih itu banyak ekspresinya, sementara Alkitab hanya mengatakan “kasihi”, itu saja. Maka kalau mau bicara secara sederhana, pertanyaannya bagi laki-laki adalah: apakah ‘saya cukup mengasihi, atau kurang mengasihi istri saya’. Tetapi kalau bicara soal ekspresi, memang ada banyak ekspresi.
Mengenai ekspresi, ada orang yang pernah menulis buku tentang hal itu, dan dia menyebutkannya sebagai ‘bahasa cinta’. Ekspresi kasih mencakup semua yang ada dalam ‘bahasa cinta’ tersebut, yaitu pertama, perkataan. Ada laki-laki yang sulit mengekspresikan cinta lewat kata-kata, padahal itu juga perlu bagi wanita. Apalagi kalau bilang “saya mencintaimu” tapi perkataannya kasar, itu jadi tidak nyambung. Selain perkataan, juga pemberian. Yang dimaksud tentu saja pemberian materi, meski tidak selalu berupa uang, tapi tetap berupa materi, jangan diganti dengan yang lain.
Selanjutnya bahasa cinta juga termasuk pelayanan, menyediakan waktu, dan sentuhan/ keintiman. Jadi yang dimaksud di sini adalah mengekspresikan cinta kasih di dalam perkataan, di dalam pemberian, di dalam pelayanan, di dalam menyediakan waktu, dan di dalam sentuhan/ keintiman. Kalau seorang suami bisa memenuhi kelima hal ini, harusnya cukup.
Tentang perkataan, Alkitab mengatakan: “Janganlah perkataanmu hambar”. Memang ini bukan hanya khusus untuk pria waktu bicara kepada wanita, tapi ini prinsip universal yang juga berlaku untuk wanita. Lalu apa maksudnya ‘janganlah perkataanmu hambar’? Jawabannya jelas: lawan kata dari ‘hambar’ adalah ‘penuh cinta kasih’. Perkataan yang hambar adalah perkataan yang keluar tanpa kasih. Perkataan yang seperti itu adalah perkataan yang hambar, bahkan bisa jadi pedas, menyakitkan, dsb.
Mengekspresikan cinta kasih juga tentunya dalam sentuhan dan keintiman. Orang seringkali bilang bahwa laki-laki punya kebutuhan seks waktu dia menikah, tapi sebetulnya perempuan juga tidak kalah besar dalam kebutuhannya akan seks, keintiman, dsb.
Kita salah mengerti kalau menganggap seolah-olah yang lebih bernafsu selalu laki-laki, sementara perempuan lebih stoik, lebih bisa tahan diri, dsb.; itu tidak tepat. Oleh sebab itu kita musti menekankan bagian itu juga pada wanita; bukan cuma perkataan, pemberian, pelayanan, menyediakan waktu, tapi juga sentuhan dan keintiman. Wanita perlu pelukan, ciuman, sentuhan, dsb. tidak peduli laki-lakinya romantis atau tidak.
Lima hal tadi merupakan ekspresi dari cinta, tapi bisa jadi belum mencakup semuanya, masih bisa ditambah. Sedangkan ‘cinta kasih’, kita percaya sudah mencakup semuanya; karena itulah Alkitab mengatakan “Hai suami, kasihilah istrimu”.
2. Kebutuhan akan perhatian Kita juga bisa menambahkan tentang perhatian/ atensi; dalam hal ini kebutuhan wanita yang bisa dihayati oleh laki-laki adalah kebutuhan untuk diperhatikan. Lawan kata dari ‘perhatian/ atensi’ adalah ‘cuek’ (acuh tak acuh/ tidak peduli).
Laki-laki seringkali cuek. Waktu cuek, laki-laki bisa saja membenarkan diri dengan mengatakan “kita bukannya tidak mengasihi, bukannya tidak memperhatikan, tapi kita lain cara pikirnya.” Mungkin yang dimaksud laki-laki, dia memperhatikan dengan memberi solusi dalam persoalannya si wanita, atau memperhatikan dengan kasih uang belanja, dsb.
Tetapi bukan itu maksudnya; yang dimaksud perhatian adalah mementingkan wanita itu sebagai yang penting dalam kehidupannya. Waktu laki-laki kurang perhatian, dia tidak bisa membenarkan diri dengan mengatakan bahwa pasangannya itu kekanak-kanakan, seperti anak kecil, tidak seperti wanita dewasa, dsb. Itu jadi tidak nyambung. Makin bicara seperti itu, makin tidak mengerti bahwa perempuan itu perlu perhatian/ atensi. Kalau perempuan (istri) bicara, lalu suami tidak mendengarkan, itu merusak pernikahan.
Laki-laki perlu belajar memperhatikan, termasuk memperhatikan hal-hal yang menurutnya tidak perlu diperhatikan. Misalnya seorang suami lahir dari keluarga yang tidak terlalu peduli hari ulang tahun, sebaliknya si istri dari keluarga yang selalu merayakan hari ulang tahun. Bagi si istri, hari ulang tahun itu penting sekali. Bagi si suami, semua hari sama saja. Tapi kalau melihat dari perspektif cinta kasih, suami bisa belajar untuk memberikan perhatian soal hari-hari ulang tahun keluarganya, meski itu hal-hal yang menurut dia tidak terlalu perlu, karena bagian itu termasuk salah satu kebutuhan wanita.
3. Kebutuhan akan perlindungan Berikutnya, kebutuhan wanita akan perlindungan. Perlindungan bukan sekedar berarti kalau malam-malam ada suara di pintu depan maka si laki-laki harus berani keluar bawa pemukul bisbol, atau setiap kali ada kecoa, tikus, dsb. selalu laki-laki yang maju, atau juga sok berani waktu di kebun binatang ada singa lepas, dsb. Perlindungan yang dibutuhkan wanita mungkin bukan cuma itu, tapi lebih ke perlindungan terhadap hal-hal yang sifatnya bukan kebahayaan fisik, melainkan kebahayaan yang mengancam secara jiwa.
Misalnya, seorang laki-laki diharapkan untuk bisa melindungi anak-anak dari bahaya kerusakan moral. Apalagi dalam Kristen, kita menekankan pentingnya kepemimpinan rohani (spiritual leadership); bahwa laki-laki sebagai kepala keluarga, dia musti menjadi orang yang paling saleh/ paling rohani, di tengah keluarganya. Kalau dia bukan jadi yang paling saleh, apalagi kalau dia jadi yang paling sekuler, tentu dia tidak mungkin bisa melindungi dari pencobaan, dari serangan Iblis, dsb. Bagaimana mungkin melindungi, kalau dia sendiri sekuler, tidak tertarik hal-hal rohani. Ini bukan bicara soal macho/ machismo secara otot atau fisik --karena tidak setiap orang terlatih secara fisik-- tapi yang dimaksud lebih ke perlindungan secara holistik/ keseluruhan, termasuk perlindungan terhadap bahaya-bahaya spiritual.
4. Kebutuhan akan rasa aman / kepastian Ini masih berhubungan dengan perlindungan; kalau laki-laki gagal melakukan bagian ini, dia sulit memberikan perasaan aman. Ini keamanan dalam arti seperti keamanan karena ada satpam/ hansip, tapi keamanan dalam arti kepastian (security).
Kepastian itu, termasuk di dalamnya adalah bimbingan yang jelas. Banyak laki-laki yang tidak tegas, ragu-ragu. Itu sangat tidak bisa diterima oleh perempuan karena sangat melelahkan, karena tidak memberikan kepastian, tidak memberikan keamanan, sehingga akhirnya dia merasa berjalan di dalam ketakutan; apalagi kalau laki-lakinya juga ketakutan.
Saya mau mengaitkan ini dengan pernikahan Kristus dengan jemaat-Nya; Kristus itu memberikan kepastian di dalam jaminan keselamatan, kita pasti selamat di dalam Yesus. Dia memberikan jaminan kekal keselamatan. Mempelai laki-laki itu memberikan kepastian, Dia tidak bicara kira-kira. Dia tidak bicara “Saya kurang tahu ya, kamu bakal selamat atau tidak”, dsb., melainkan Dia memberikan kepastian.
Memang laki-laki bukan Tuhan, laki-laki tidak bisa memberikan kepastian seperti Tuhan memberikan kepastian. Tapi laki-laki bisa memberikan kepastian di dalam anugerah Tuhan, maksudnya memberi kepastian yang dia terima dari Tuhan. Meski di dalam segala kekurangan kita, di dalam segala ketidaksempurnaan kita, kita belajar memberikan kepastian, sebagaimana Yesus, Sang Mempelai Laki-laki, juga memberikan kepastian dalam kehidupan mempelai perempuan, yaitu jemaat.
Keamanan atau kepastian juga ada hubungan dengan mengayomi dan menenangkan. Kalau laki-lakinya gampang panik, lalu perempuannya bisa mengharapkan apa?? Perempuan pada umumnya secara natur lebih gampang panik, lebih gampang kuatir, lebih gampang emosi, lebih gampang terprovokasi, dsb. Lalu kalau yang laki-lakinya sendiri gampang panik, gampang terprovokasi, jadinya dia harapkan apa dari perempuan?? Berharap perempuan yang menenangkan?? Jadi terbalik semua perannya. Laki-laki musti bisa memberi perlindungan, keamanan, kepastian, supaya wanita bisa betul-betul jadi wanita.
5. Kebutuhan akan apresiasi, pengakuan, pujian Wanita ada kebutuhan akan apresiasi, pengakuan, pujian; yang intinya adalah kebutuhan untuk tahu bahwa dirinya penting di dalam keluarga, bahwa dia dibutuhkan dalam keluarga. Ini penting sekali bagi seorang wanita.
Dan sekali lagi, di sini laki-laki tidak bisa membenarkan diri atau mengkritik bagian ini, seakan-akan perempuan itu sombong, gila hormat, atau kemudian bicara pakai istilah teologi “bukankah pengakuan yang sesungguhnya datang dari Tuhan??” Kalau begini, jadi tidak ketemu. Memang Tuhan-lah yang mengakui kehidupan perempuan itu, Tuhan-lah yang menghargai, Tuhan-lah yang memberikan pujian, tapi Tuhan juga bisa memberikan itu melalui manusia (pasangannya).
Laki-laki musti bangga dengan istrinya, dengan anak-anaknya. Kebanggaan itu penting. Ada laki-laki yang terganggu dengan kehadiran istrinya, dia tidak bisa bangga dengan istrinya. Mungkin karena istrinya kurang memperhatikan penampilan, jadi kurang pantas waktu diajak bertemu partner dagang, dsb., padahal laki-laki ada kebutuhan itu. Laki-laki perlu bangga atau membanggakan akan istrinya, dan sebetulnya istri mempunyai kebutuhan itu juga, kebutuhan untuk dibanggakan, dikagumi.
Kalau kita baca Kejadian 2, kalimat pertama yang keluar dari mulut Adam sebenarnya adalah kekaguman itu. Waktu Tuhan Allah membawa perempuan itu kepada Adam, maka dikatakan dalam Alkitab: Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.”
(Kejadian 2: 23). Ada kebanggaan, ada kekaguman di dalam diri Adam terhadap Hawa, pada mulanya. Tapi waktu dosa masuk, semua jadi sama sekali kacau, saling kagum itu tidak ada lagi. Betul-betul tidak ada.
Laki-laki tidak bisa selalu lempar masalah kebutuhan ini, bahwa harusnya perempuan mengharapkan itu dari Tuhan saja, tidak usah lewat dirinya. Laki-laki tidak bisa selalu mengatakan, “Carilah cinta kasih dari Tuhan, jangan dari saya, saya ini berdosa. Carilah perhatian dari Tuhan, Tuhan itu Gembala yang baik tapi saya bukan, saya orangnya cuek, sedangkan Tuhan itu perhatian. Carilah perlindungan dan rasa aman dari Tuhan, jangan dari saya.”
Kalau terus bilang begini, lebih baik jangan nikah, lalu biarkan perempuan itu jadi biarawati dan ‘menikah’ dengan Tuhan saja. Tapi kalau kita menikah, Tuhan akan memberikan hal-hal itu semua kepada perempuan –cinta kasih, perhatian, perlindungan/ rasa aman, apresiasi dan pengakuan –tapi Tuhan berikan itu melalui suaminya. Memang suaminya bukan agen tunggal yang Tuhan pakai untuk memberikan itu semua kepada perempuan, tapi yang pasti salah satunya adalah suaminya. Kalau bukan suaminya, siapa lagi??
6. Kebutuhan untuk dimengerti Wanita ada kebutuhan untuk dimengerti; atau kalau mau ditambahkan: dimengerti dengan bijaksana. Bersamaan dengan itu, juga kebutuhan akan kehormatan / dihormati/ dihargai.
Dalam hal ini ada beda antara honour (menghormati dalam pengertian menghargai) dengan respect (respek). Perempuan itu musti di-honour, bukan di-respect. Urusan menghargai tidak berbenturan dengan ordo sama sekali. Kita tidak bicara bahwa laki-laki musti respek istrinya, melainkan menghargai istrinya. Lawan kata dari menghargai misalnya menghina, melecehkan.
Laki-laki sebagai yang ordonya di atas perempuan, bukan berarti dia ada di atas lalu boleh melecehkan perempuan. Itu sama sekali bukan jalan Alkitab. Justru karena laki-laki secara ordo ada di atas, maka dia bisa menghargai yang di bawah; itu hak istimewa sebagai orang yang di atas. Kita sebagai orangtua, menghargai anak-anak kita, lalu anak-anak belajar untuk respek/ menghormati orangtuanya. Dalam hal ini ada perbedaan antara respek dan menghargai. Respek adalah menghormati berkaitan dengan ordo, yang di bawah respek terhadap ordo yang di atasnya; sedangkan menghargai bisa dari bawah ke atas, bisa juga dari atas ke bawah.
Dasar bagian ini ada dalam 1 Petrus 3 ayat 7: Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan isterimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah [hargailah] mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang. Perhatikan di sini, laki-laki yang tidak menghargai istrinya –menurut ayat ini—Tuhan tidak akan mendengar doanya. Tidak peduli seberapa banyak kita berdoa, bahkan sampai puasa, kalau kita tidak menghargai makhluk yang lebih lemah ini, Tuhan tidak mendengar doa kita.
Ini berarti ada kaitan antara relasi kita ke atas dengan relasi kita ke bawah, karena bagian ini bicara soal kaum yang lebih lemah. Perempuan itu makhluk yang lebih rentan, lebih lemah, dan karena itu musti kita hargai. Kalau cara dunia, kita justru menghormati orang yang berkuasa, mereka itu kita takuti, kita sembah-sembah, dsb.; sedangkan orang-orang yang lebih lemah kita hina, kita injak-injak. Tapi Alkitab mengatakan, justru karena mereka lebih lemah, maka musti hati-hati menjaganya, ibarat satu barang berharga yang gampang pecah yang musti dibawa dengan sangat hati-hati --meski tentu saja istri bukan barang.
Kalau kita membandingkan dengan terjemahan dalam bahasa Inggrisnya (ESV), ayat ini berbunyi: “Likewise, husbands, live with your wives in an understanding way, showing honor to the woman as the weaker vessel, since they are heirs with you of the grace of life, so that your prayers may not be hindered.” Di sini kalimat ‘hiduplah bijaksana’ menggunakan kata ‘understanding way’, jadi kalau diterjemahkan bebas: ‘hiduplah dengan penuh pengertian kepada istrimu’.
Laki-laki yang tidak penuh pengertian kepada istrinya, apalagi sudah tidak penuh pengertian malah minta dimengerti, itu kacau, tidak bisa jadi laki-laki kalau begini. Menurut Petrus, kebutuhan perempuan adalah untuk dimengerti. Tapi kalau laki-laki bilang, “saya juga punya kebutuhan untuk dimengerti”, ya, sudah, jadi perempuan saja.
Tuhan menciptakan laki-laki, dan laki-laki itu musti lebih banyak mengerti daripada perempuan; kalau tidak, itu bukan laki-laki. Laki-laki musti lebih bisa hidup dengan penuh pengertian terhadap yang lebih lemah. Perempuan itu kaum yang lebih lemah, jadi laki-laki musti lebih banyak mengerti dia, karena dia lebih lemah.
Yang lebih kuat itu tidak perlu terlalu banyak pengertian. Tetapi kita seringkali terbalik. Kita sangat mau mengerti orang yang di atas kita, karena kalau tidak, nanti kita bisa dipecat, bisa tidak dapat akses dalam pekerjaan, dsb. Kalau menurut Alkitab, itu terbalik. Kita justru musti mengerti orang-orang yang di bawah, sedangkan orang-orang yang di atas itu –maksudnya yang ordonya di atas kita-- tidak perlu terlalu kita mengerti, merekalah yang harusnya mengerti kita yang dibawahnya.
Sekarang saya tanya, Tuhan yang lebih mengerti kita, atau kita yang lebih mengerti Tuhan? Jawabannya: Tuhan yang lebih mengerti kita. Pertanyaan berikutnya: Tuhan itu di atas kita atau di bawah kita? Jawabannya: Tuhan di atas kita. Jadi benar, yang di atas lebih mengerti yang di bawah. Ini prinsip Alkitab. Tuhan itu yang paling mengerti kita.
Kalau kita di atas, lalu maunya yang di bawah selalu mengerti kita, itu artinya bukan di atas tapi di bawah. Kalau laki-laki menikah, lalu minta istrinya selalu mengerti dia, ya, dia berarti bukan suami, tapi “istri”-nya istri. Kalau kita baca Alkitab, semuanya jelas, bahwa laki-laki perlu mencoba mengerti istrinya, karena istrinya itu perlu dimengerti. Itulah namanya hidup bijaksana. Laki-laki yang bijaksana, dia mengerti istrinya, mengerti kebutuhan istrinya --termasuk juga kebutuhan untuk dimengerti ini-- juga menghargai, menghormati, jangan menindas, jangan menginjak-injak, jangan melecehkan.
7. Kebutuhan akan kebersamaan Kebersamaan bukan cuma berarti bersama-sama, tapi dalam pengertian sebagai mitra, sahabat –satu relasi persekutuan yang sangat khusus. Istri bukan tidak bisa mengerjakan sendiri, perempuan itu makhluk yang sangat kuat, tapi dia tetap perlu kebersamaan, sebagaimana laki-laki juga perlu kebersamaan.
Perempuan akan merasa ditinggalkan sendirian kalau dia musti mengerjakan semuanya sendiri. Sekali lagi bukan karena dia tidak bisa, tapi karena dia perlu kebersamaan. Termasuk juga dalam hal-hal yang bagi laki-laki mungkin terlalu mengada-ada, seperti memilih pensil warna untuk anak-anak harus tanya suaminya, dsb. Pastinya dia bukan tidak bisa pilih sendiri --dia bisa pilih sendiri, itu gampang sekali-- tapi dia mau suaminya terlibat. Keterlibatan suaminya itu penting bagi perempuan. Itulah yang dimaksud kebersamaan, yaitu keterlibatan, yang bisa dikaitkan dengan perhatian/ tidak cuek tadi.
Laki-laki biasanya menganggap kalau urusan genteng bocor, okelah dia perlu terlibat, tapi kalau cuma soal pilih pensil warna buat anak masa iya harus terlibat urusan sepele begitu?? Lalu akhirnya laki-laki mulai bikin prioritas, mana urusan yang sepele, mana yang tidak sepele, mana yang penting, mana yang tidak penting. Akhirnya jadi tidak ketemu. Bagi perempuan bukan urusan pensil warnanya --itu hanya masalah barang, yang bisa pensil warna, atau apapun lainnya-- tapi kebersamaannya yang penting.
KEBUTUHAN WANITA BAGI DIRINYA - bagian yang perlu disadari wanita
Bukan hanya laki-laki musti mengerti apa yang jadi kebutuhan wanita, wanita juga perlu tahu apa yang sebenarnya betul-betul dibutuhkan seorang wanita. Di sini kita musti tepat untuk siapa menaruh Firman Tuhan itu. Ada seorang teman yang mengatakan, “Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri” –itu ayat Firman Tuhan— lalu setelah itu dia mau pinjam uang.
Firman Tuhan tetap Firman Tuhan, tapi itu dia pakai untuk orang lain demi dirinya; ‘sesamamu’ yang dia maksud yaitu dirinya yang mau pinjam uang itu. Sama seperti itu, kalau wanita menghayati pembahasan bagian pertama tadi, --yang sebenarnya untuk pria--tentang kebutuhan wanita adalah cinta kasih, perhatian, kebersamaan, dsb., lalu wanita membicarakan hal itu terus-menerus di hadapan suaminya, akhirnya jadi kacau. Dia jadi orang yang egois, yang membenarkan diri sendiri. Dan itu akan menghancurkan.
Oleh sebab itu kita juga perlu membahas bagian yang kedua ini --kebutuhan wanita yang perlu bagi wanita-- yang tidak terlalu jadi urusannya laki-laki. Bagian pertama tadi adalah kebutuhan wanita yang perlu diketahui oleh laki-laki, sedangkan bagian yang kedua ini adalah tentang kebutuhan wanita yang perlu disadari wanita itu sendiri; sama sekali berbeda dari yang di atas tadi.
1. Kebutuhan untuk belajar memiliki hati yang luas Wanita harus belajar memiliki hati yang luas. Wanita sangat rentan dikuasai perasaan suka dan tidak suka (like and dislike). Mempunyai hati yang luas, itu termasuk di dalamnya praktek mengampuni.
Dalam sebuah pernikahan, latihan rohani yang sangat penting buat pria adalah minta maaf. Laki-laki biasanya tidak terlalu ada persoalan dalam hal mengampuni, tapi laki-laki betul-betul ada persoalan untuk minta maaf karena harga dirinya luar biasa besar. Sebaliknya, perempuan mungkin tidak terlalu sulit untuk minta maaf dibandingkan laki-laki, harga dirinya tidak sebesar pria untuk minta maaf. Tapi yang betul-betul tidak gampang bagi wanita adalah mengampuni. Padahal, kita tidak bisa hidup tanpa pengampunan, baik pengampunan yang kita terima dari Tuhan maupun pengampunan terhadap orang-orang yang melukai kita.
Wanita, kalau tidak hati-hati, relasinya sangat ditentukan oleh siapa yang baik dengan dia dan siapa yang kurang baik dengan dia, siapa yang menerima dia dan siapa yang kurang menerima dia, siapa yang melukai dia dan siapa yang baik-baik pada dia. Itu karena dia tidak bisa mengampuni atau kurang bisa mengampuni. Tuhan mau supaya kita punya keluasan hati.
Oleh sebab itu juga, kalau dalam sejarah teologi Reformed, bahkan juga Eastern Othodox dan Roma Katolik, di situ sama sekali tidak mendorong perempuan untuk jadi pemimpin. Kepemimpinan perempuan sebenarnya mulai dari gereja liberal, dengan ide kesetaraan gender dsb. Padahal di dalam sejarah, hal tersebut tidak ada.
Kalau kita membaca Alkitab, di situ seorang imam adalah laki-laki. Yang juga membedakan bangsa Israel dengan bangsa-bangsa lain, adalah karena dalam bangsa-bangsa kafir itu imamnya ada yang perempuan. Dalam bangsa Israel tidak ada imam perempuan, semuanya laki-laki. Ini bukan soal budaya patriakhal yang kemudian mulai tahun 1989 sesudah Tembok Berlin jatuh harus diganti dengan kesetaran dsb., sama sekali tidak ada hubungannya dengan postmodern atau bukan postmodern. Ini suatu hal yang abadi, karena ini ordo yang ditetapkan Tuhan.
Mengapa perempuan sulit sekali untuk jadi pemimpin? Karena waktu perempuan di posisi atas, dan dia tidak punya keluasan hati, itu jadi kacau. Oleh sebab itu perempuan musti amat sangat peka dengan kelemahannya sendiri. Perempuan biasanya bikin klik-klik, yang dengan sesama klik-nya dia baru bisa bicara. Tapi kalau laki-laki bikin klik, lalu hanya bisa bicara dengan orang-orang tertentu yang satu klik, jadi lucu, seperti bukan laki-laki; laki-laki harusnya tidak ada persoalan dalam hal itu. Dan di sini memang ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
2. Kebutuhan untuk belajar menjadi penolong yang sepadan Ini prinsip klasik dari Firman Tuhan, yaitu perempuan musti belajar menjadi penolong yang sepadan (submissive helper). Kalau perempuan jadi penolong, maka berarti ada yang utama, yang ditolong; misalnya ada yang kerja utama --yaitu laki-laki-- dan perempuan jadi penolongnya.
Wanita itu penolong yang sepadan, mengapa? Karena yang kerja utama adalah si laki-laki (suaminya). Dia tunduk di dalam pengertian menikmati jadi penolong saja. Ini penting sebagai satu penangkal agar perempuan jangan sampai main kuasa. Waktu perempuan main kuasa, itu sangat menakutkan. Dalam sejarah ada yang disebut ‘The Bloody Mary’, dia seorang perempuan, dan dia benar-benar seorang perempuan yang begitu banyak menumpahkan darah, lebih kejam daripada laki-laki. Waktu seorang perempuan dirasuk oleh kuasa, dia bisa jauh lebih tidak manusiawi daripada laki-laki. Kita musti tahu ada kesulitan ini.
Pembicaraan seperti ini seakan-akan diskriminasi gender, tapi sama sekali bukan itu maksudnya. Kita musti tahu memang ada kesulitan ini, dan oleh sebab itu Tuhan mengajarkan, “Hai istri tunduklah kepada suamimu (laki-laki)”. Atau di bagian lain, Paulus mengatakan “Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar, perempuan sebaiknya berdiam diri; perempuan diselamatkan karena melahirkan anak” (1 Timotius 2: 11-15). Paulus menarik persoalan ini sampai kepada ordo Adam dan Hawa, yaitu karena bukan Adam yang tertipu, melainkan perempuan yang tertipu, yaitu Hawa.
Intinya, supaya tidak gampang jatuh ke dalam persoalan main kuasa, lebih baik perempuan menjadi penolong yang sepadan. Kecuali kalau semua laki-lakinya berantakan luar biasa, tidak ada satu pun yang berani jadi pemimpin, mau tidak mau perempuan jadi pemimpin.
Ini seperti Debora dalam kitab Hakim-hakim (Hakim-hakim 4: 1-24), yang dibangkitkan Tuhan dalam keadaan seperti itu, karena yang laki-laki, yaitu Barak, kelakuannya seperti banci. Barak itu bilang kepada Debora, “Kalau kamu tidak maju, saya tidak maju.” Bayangkan, laki-laki bicara seperti ini pada perempuan, dan yang dimaksud Barak itu maju perang, bukan sembarang maju. Padahal Barak itu panglima perang. Akhirnya Debora bilang, “Kamu harusnya maju, Tuhan serahkan ke dalam tanganmu, kamu itu laki-laki, dan harusnya itu kemuliaan laki-laki. Tuhan akan serahkan musuh ke dalam tanganmu, tapi kamu malah tidak mau maju. Ya, sudah saya maju, tapi kamu musti tahu, gara-gara kamu tidak mau maju sendiri sebagai laki-laki, dan harus bersama perempuan seperti begini, nanti musuhmu akan jatuh ke dalam tangan perempuan, bukan ke dalam tanganmu.” Dan benar, akhirnya Sisera mati di tangan seorang perempuan –bukan Debora-- yang memukulkan batu ke kepalanya. Ini menunjukkan Debora dalam hal ini benar-benar bersih. Debora tidak mengatakan, “Oke saya maju, nanti saya bunuh musuhmu itu”, lalu Debora membunuh Sisera dan mendapat kemuliaan. Bukan seperti itu. Debora tidak cari kemuliaan, dia tidak cari kuasa. Inilah perempuan yang anggun luar biasa. Dia tidak pernah mengejar kuasa, tidak pernah ada motivasi untuk jadi pemimpin, tapi terpaksa karena laki-lakinya banci semua, tidak ada satu pun berani maju, tidak ada satu pun yang bisa memimpin Israel.
Jadi, menjadi perempuan harusnya menjadi penolong yang sepadan. Kecuali yang laki-laki semuanya tidak mampu dan tidak menjalankan tanggung jawabnya, maka apa boleh buat, perempuan yang memimpin, karena pekerjaan Tuhan harus jalan terus, tidak mungkin pekerjaan Tuhan menunggu laki-laki. Pekerjaan Tuhan pasti tidak bergantung pada laki-laki, pekerjaan Tuhan jalan terus, dengan atau tanpa laki-laki. Tapi kalau bicara dalam keadaan normal, serahkan kepemimpinan kepada laki-laki saja. Ini sesuai ordo penciptaan. Yang masalah, kalau sudah jelas ada laki-laki yang memimpin tapi kemudian yang perempuan mau memimpin juga. Ini kekacauan di dalam banyak bidang.
3. Kebutuhan untuk belajar memberi ruang Perempuan musti belajar memberi ruang. Lawan kata dari memberi ruang adalah posesif dan sikap terlalu kontrol. Perempuan ada kesulitan dalam hal ini, yaitu terlalu bersikap mengontrol terhadap suaminya, dan termasuk juga ibu-ibu terhadap anaknya. Sikap ini sebenarnya salah satu perwujudan dari sikap main kuasa tadi. Ini sangat tidak anggun bagi seorang perempuan.
Laki-laki sepertinya lebih gampang memberikan ruang, tapi bisa juga sebenarnya bukan memberi ruang melainkan cuek, acuh tak acuh, tidak peduli. Waktu seorang wanita bisa memberikan ruang, sebetulnya dia sudah menyangkal diri, karena itu bukan naturnya.
4. Kebutuhan untuk belajar menemukan gambaran besarnya Kebutuhan wanita yang lain adalah wanita musti belajar untuk menemukan gambaran besarnya --dan ini sebenarnya panggilan bagi setiap orang percaya. Jika bagian ini tidak ada, jika kita tidak dapat menemukan atau melihat gambaran besarnya, maka wanita akan tersesat dalam hal-hal yang kecil (lost in detail).
Perempuan itu suka mengurus yang kecil-kecil, yang detail, dan itu bukan saja tidak salah, tapi bahkan keindahan yang diberikan oleh Tuhan supaya perempuan bisa memperlengkapi laki-laki karena laki-laki kurang detail. Tapi hati-hati dengan sikap yang terus-menerus mempersoalkan yang kecil-kecil, sampai-sampai kehilangan gambaran besarnya.
Pekerjaan Tuhan seringkali rusak karena orang sibuk mengurus yang kecil-kecil, bahkan yang terlalu kecil. Bukan masalah mengurus yang kecilnya, tapi yang jadi masalah adalah tidak melihat efek keseluruhannya. Dalam pernikahan juga bisa sibuk mengurus persoalan yang kecil-kecil, terus-menerus, sampai akhirnya kehilangan gambaran besarnya, tidak ada kekuatan lagi untuk bergerak maju.
Jadi, kendati kecenderungan natur wanita memang lebih ahli dalam hal detail, kita jangan lupa, setelah melihat hal kecil-kecil ini, lalu mau ke mana arahnya? Jangan kita jadi sibuk berdebat urusan kecil, apalagi kalau ego ikut bicara, sehingga bukan kebenaran yang dipentingkan lagi melainkan pendapat diri dsb., lalu akhirnya semua jadi kehilangan gambaran besarnya. Itu pertengkaran yang sangat tidak ada gunanya.
5. Kebutuhan untuk belajar percaya Tadi kita bicara bahwa perempuan itu sangat membutuhkan rasa aman dari pria, dan Tuhan juga memberikan itu. Berarti di sini persoalan wanita adalah rasa tidak aman (insecurity); percaya itu lawan dari rasa tidak aman.
Bagaimana menyelesaikan persoalan rasa tidak aman? Kalau untuk pria, kita mengatakan kepada pria, “Hai pria, berikanlah rasa aman kepada wanita”. Tapi kalau untuk wanita, kita tidak bisa bilang kepada wanita, “Hai wanita, harapkanlah rasa aman dari pria”, itu bukan bagiannya wanita. Lalu bagaimana? Di bagian ini, wanita musti belajar untuk percaya (trusting). Itulah penyelesaian masalah ‘rasa tidak aman’ dari perspektif si wanita. Wanita yang gampang panik, kita tidak bisa mengatakan kepada dia, “Harapkanlah rasa aman dari suamimu”, bisa tambah panik lagi karena misalnya dia tahu suaminya tidak mampu dsb. Dalam hal ini, tanggung jawab wanita adalah belajar untuk percaya.
Rasa tidak aman ini seringkali disertai dengan paranoia, kecurigaan yang tinggi; tapi wanita biasanya bilang, itu insting. Wanita bilang, “Saya tidak senang sama orang ini”, lalu kalau ditanya alasannya, dia bilang, “Susah ngomongnya, tapi orang ini ‘gak bener”. Ditanya lagi apanya yang tidak benar dan disuruh kasih contoh, dia tidak bisa kasih contoh.
Kecurigaan perempuan memang kadang-kadang ada benarnya, bahkan katakanlah seringkali benar, tapi kita tidak dipanggil untuk curiga. Tidak ada Firman Tuhan yang mengatakan “curigailah sesamamu’, yang ada adalah “saling percaya”. Yesus juga mempercayai Yudas, tapi Yudas mengkhianati Dia.
Perempuan jangan memberhalakan perasaan yang tidak boleh disakiti, perasaan yang tidak boleh dilukai, perasaan yang tidak boleh dikhianati. Perempuan jangan memberhalakan itu. Kita sebagai orang Kristen dipanggil Tuhan untuk percaya. Ada percaya yang ke atas yaitu percaya kepada Tuhan, ada percaya yang ke bawah, percaya yang juga pengorbanan. Kepada anak, kita percaya ke bawah, bukan karena mereka bisa dipercaya tapi karena kita mengasihi mereka.
6. Kebutuhan untuk belajar mendengarkan dan berdiam Perempuan juga harus belajar mendengarkan dan diam (to listen and be silent); diam, mendengarkan, dan sekaligus kontemplatif (merenungkan). Teladannya adalah Maria. Kita baca dalam Alkitab, Maria itu mendengar, dia merenungkannya, dia menyimpannya dalam hati maksud perkataan tersebut. Maria seorang wanita yang kontemplatif. Dia bukan perempuan yang begitu dengar, langsung jawab ini itu dsb. Itu bukan Maria. Maria waktu mendengar sesuatu, dia pikir apa maksudnya, dia simpan dalam hati. Bukan cuma Maria ibu Yesus, di Alkitab juga ada cerita Maria dan Marta; dan Maria yang ini juga seorang perempuan yang mendengar, tidak seperti Marta yang cerewet dan sibuk masak di dapur.
Ini termasuk juga yang dikatakan Paulus, “Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar; ... hendaklah ia berdiam diri” (1 Timotius 2:12). Jadi memang ada problem di dalam wanita juga dalam hal mendengar. Memang betul sudah jadi stereotype bahwa laki-laki sulit mendengar, tapi tidak betul kalau perempuan lebih gampang mendengar; bukan cuma laki-laki, perempuan pun sulit mendengar. Maka kita musti menekankan juga hal ini kepada perempuan, untuk belajar mendengar, termasuk juga mendengar kepada perempuan yang lain.
7. Kebutuhan untuk punya bijaksana Terakhir, perempuan juga perlu punya bijaksana (wisdom). Bijaksana itu dalam bahasa Yunani ‘sophia’, atau dalam bahasa Ibrani ‘hokmah’, yang pakai artikel feminin.
BACA JUGA: MEMBANGUN PERNIKAHAN KRISTEN YANG HARMONIS
Perempuan yang punya bijaksana, gambarannya seperti yang kita lihat dalam Amsal 31, yaitu seorang perempuan yang bisa menasehati suaminya, tapi menasehati sebagai perempuan, dengan cara yang persuasif tapi sangat ada kuasanya, bukan dengan cara menang kalah. Ini gambaran seorang penolong yang sepadan, yang bisa melengkapi suaminya yang bijaksananya tidak lengkap.
Lawan kata bijaksana adalah provokator, atau bahasa yang lebih populer “kompor” – api kecil tapi dibesar-besarkan. Orang yang punya bijaksana, dia bisa menenangkan, memberikan pandangan di dalam ketenangan seperti air yang tenang, bukan bikin masalah yang kecil jadi besar. Perempuan khususnya musti belajar dalam hal itu.
Waktu perempuan punya bijaksana yang dari Tuhan, dia akan jadi perempuan yang sangat anggun, dia akan sangat memberkati suaminya. Bukan cuma suaminya, tapi juga Gerejanya, masyarakatnya, tetangganya, negaranya, dan seterusnya. MEMAHAMI KEBUTUHAN WANITA: PERSPEKTIF PRIA DAN BAGI DIRINYA
https://teologiareformed.blogspot.com/