PERINTAH BARU KRISTUS (YOHANES 13:34-35)
Pdt. Dr. Billy Kristanto.
Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu, demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” (Yohanes 13: 34-35)
Apa sebetulnya inti pengajaran Yesus dalam Injil Yohanes? Hal apa yang terbesar / terpenting dalam pengajaran Kristen?
Ini satu pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Namun di dalam Yohanes 13:34-35 dari Yohanes 13 ini, Yesus melakukan kristalisasi dalam pengajaran-Nya, tentang hal yang paling inti dari yang inti, yaitu perintah untuk mengasihi. Jika bagian tersebut tidak ada, maka kita kehilangan INTI dari seluruh keagamaan kita, sehingga keagamaan kita cuma jadi suatu keagamaan yang lahiriah.
Tuhan Yesus memberikan “Perintah Baru”; ada kata ‘baru’ di sini. Mungkin kita bertanya-tanya, apanya yang baru? Kalau kita baca ayat-ayatnya, itu sebetulnya bukan sesuatu yang baru, seakan-akan pertama kali keluarnya dari mulut Kristus; perintah itu sudah ada di Kitab Ulangan. Jadi apanya yang baru?
Bukan karena di Kitab Ulangan sudah ada, maka perintah ini tidak boleh disebut perintah yang baru. Kalau kita selalu menganggap istilah “baru” dalam arti belum pernah ada sebelumnya dan benar-benar baru sama sekali, kita bermasalah, karena itu menunjukkan jiwa kita yang gampang bosan.
Anugerah Tuhan itu baru setiap pagi; dikatakan “baru”, bukan berarti kemarin-kemarin tidak pernah ada, melainkan “baru” di dalam pengertian ketika kita mengalaminya, kita bisa menghargainya lagi dan lagi, bukan menjadi pengalaman klise, “yah, cuma yang itu-itu lagi”.
Kalau kita melihat matahari terbit, tentu kita tidak bilang “yah, begitu lagi, begitu lagi model mataharinya, bundar terus, sekali-sekali ganti jadi persegi dong… cahayanya juga begitu lagi, begitu lagi” –ini respons yang tidak wajar. Tapi bisa jadi waktu setiap pagi kita bangun, dalam hati kita bilang, “yah, sudah pagi lagi, musti bangun lagi, kerja lagi dan kerja lagi”, lalu kita mulai sebal dengan rutinitas kita; itu semua cuma rutinitas saja yang tidak ada maknanya. Mengapa kita bisa begitu? Karena kita kehilangan makna “baru” tadi.
Waktu Yesus membicarakan perintah yang “baru”, bukan dalam pengertian seperti kita memiliki mobil baru produksi tahun 2019 yang betul-betul paling baru; Yesus tidak menggunakan istilah “baru” dalam pengertian lahiriah seperti itu melainkan dalam pengertian batiniah. Pengertian “baru” di sini maksudnya bahwa setiap hal akan tetap menjadi baru dalam arti segar, tidak kehilangan daya tariknya, dan membawa kita kepada pengalaman rohani yang lebih dalam.
Mengapa perintah ‘mengasihi’ ini Yesus katakan sebagai perintah baru?
Perintah ‘mengasihi’ ini menjadi satu penghayatan yang betul-betul baru, karena di sini Yesus Kristus, Allah Pribadi Kedua sendiri, betul-betul turun ke dalam dunia, Dia menjadi manusia, Dia menjadi daging, dan Dia mengorbankan diri-Nya. Ini satu perspektif yang betul-betul baru. Ini bukan bicara seperti Kitab Keluaran di Perjanjian Lama.
Dalam peristiwa Keluaran di Perjanjian Lama, Musa mengeluarkan bangsa Israel dari perbudakan Mesir; tapi di sini, di Perjanjian Baru, Yesus mengeluarkan manusia dari perbudakan dosa –atau lebih tajam dalam konteks ini: perbudakan ketidaksanggupan manusia untuk mengasihi Allah.
Manusia itu sebetulnya sedang diperbudak dosa, ketika dia tidak bisa mengasihi Tuhan dengan segenap hatinya, dengan segenap kekuatannya, dengan segenap akal budinya, dan dengan segenap jiwanya. Di sisi lain, manusia merasa dirinya bebas, waktu dia mencintai dirinya sendiri dengan bebas dan sepenuh-penuhnya, padahal itu sebetulnya penjara.
Itu sebabnya ketika kita mau mengerti bagian ini, yaitu “perintah baru”, kita tidak bisa mengerti tanpa perspektif Perjanjian Lama, khususnya Kitab Ulangan. Di Kitab Ulangan pasal 6 ayat 4-5, kita membaca ayat yang terkenal itu: “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.”
Orang seringkali memenggal bagian ini, yang dianggap harus diajarkan berulang-ulang adalah keesaan Allah, bahwa TUHAN itu Allah kita, Yahweh itu Allah kita, TUHAN itu esa (ayat 4). Ini bagian yang memang sangat penting dan merupakan pondasi, tapi ayatnya tidak berhenti di situ; ayat tersebut segera dilanjutkan dengan: “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (ayat 5).
Ada kaitan yang tidak bisa dipisahkan antara Tuhan yang Esa / Satu, dengan respons bahwa manusia harusnya mengasihi Dia dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap kekuatan. Namun kalau kita perhatikan, betapa banyak di dunia ini orang mencintai kekosongan (emptiness); kekosongan itu dipeluk habishabisan, dikasihi dengan segenap hati.
Dunia bilang materi itu sesuatu yang nyata, yang penting, yang bahkan menjadi segalanya. Ini seperti cerita yang ditulis Hans Christian Andersen, “The Emperor’s New Clothes”. Dalam cerita itu, Sang Kaisar sebetulnya telanjang, tapi dia pikir dirinya memakai pakaian paling mahal, dan dia membodohi semua rakyatnya untuk kagum karena memakai pakaian yang paling bagus dan mahal –padahal dia sedang telanjang.
Cerita ini sangat menggambarkan dunia kita, dunia kita mencintai yang kosong, yang tidak berarti seperti sampah, tapi kemudian dicintai habis-habisan –termasuk juga mencintai diri sendiri. Mencintai diri sendiri sebenarnya sama dengan mencintai kekosongan, kalau kita tidak meletakkannya di dalam perspektif kasih Allah. Dan akhirnya kita menghabiskan semua energi dalam kehidupan kita untuk mencintai diri sendiri --padahal sebetulnya kita sedang mencintai kekosongan.
Waktu di ayat tadi dikatakan “TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa”, dalam hal ini kita boleh tambahkan, “maka kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” Maksudnya, karena Tuhan itu cuma satu, maka kita bisa mengasihi Dia dengan segenap, dengan keseluruhan.
Mengapa ayat ini begitu penting? Karena ini tidak otomatis, manusia tidak dengan sendirinya menyembah Allah yang satu. Dalam kepercayaan-kepercayaan lain, dewanya ada banyak; seperti juga orang Israel melihat di Mesir dewa-dewanya luar biasa banyak. Contohnya, kalau kamu ingin punya anak banyak, maka dewanya dewa kesuburan, yang ada kuilnya tersendiri.
Kalau urusan padi, ingin panen berhasil, dewanya lain lagi, kamu harus menyembah dewa padi. Kalau kamu sedang berlayar di lautan, kamu harus menyembah dewa laut supaya kamu selamat. Setiap urusan ada dewanya, setiap lokasi ada dewanya sendiri. Jadi rumit sekali. Maka, di dalam kepercayaan yang dewanya banyak seperti itu, bagaimana mungkin manusia bisa mengasihi dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap kekuatan, karena fokusnya jadi terbagi-bagi.
Itu juga sebabnya di dalam Kekristenan kita bersikeras pernikahan dengan satu orang saja, tidak boleh banyak istri atau banyak suami. Ini ada kaitannya dengan hal tadi. Kita yang percaya Allah itu esa/satu, maka kesetiaan Allah kepada umat-Nya dan kesetiaan umat-Nya kepada Allah, dihayati dengan pernikahan satu istri atau satu suami (sepasang). Kalau istrinya banyak, atau suaminya banyak, kita sulit menyatakan kasih dengan segenap hati dan segenap jiwa dan segenap kekuatan, karena hati kita jadi terpecah-pecah, terbagi-bagi kepada istri atau suami yang banyak itu.
Kasih dan relasi yang benar menuntut adanya kesederhanaan.
Kekristenan harusnya sederhana, tidak rumit --meski bukan terlalu sederhana. Sederhana ini dalam pengertian apa? Sederhana dalam pengertian kalau kita mencintai Tuhan, maka di dalam kehidupan ini sebetulnya ya, cuma itu. Agustinus pernah mengatakan, “Love God, and do what you want to do” (kasihi Tuhan, dan lakukan yang kamu ingin lakukan). Maksudnya, kalau kita mengasihi Tuhan, hidup itu luas sekali; Kekristenan itu sesuatu yang membebaskan, bukan menyempitkan.
Orang sekarang ini bergumul tentang panggilan, tentang pekerjaan, dsb., sebagai sesuatu yang rumit sekali, bahkan amat sangat rumit. Ini seperti anak-anak yang main berjalan di lantai, yang ubinnya selang-seling hitam putih seperti papan catur, lalu hanya boleh injak yang putih tidak boleh kena yang hitam. Dalam hidup ini, kita pun bisa jadi seperti itu, menganggap hidup ikut Tuhan itu peraturannya harus berjalan di ubin yang putih saja, yang lain semua sesat. Betapa stres ikut Tuhan kalau seperti itu. Tetapi yang kita baca dalam Mazmur 23, Daud berkata, “Dia membawa aku ke padang berumput hijau, ke air yang tenang”. Apa maksudnya?
Mazmur 23 itu menyatakan bahwa anugerah TUHAN dalam hidup ini limpah. Daud menjalani hidup dengan berbagai warna. Dia pernah hidup sebagai gembala domba, dia pernah menjadi juru musik --main kecapi-- untuk Raja Saul. Dia juga pernah pura-pura gila, menggores-gores pintu gerbang dan membiarkan air liurnya meleleh ketika berada di hadapan Raja Akhis di kota Gat. Dia juga mengalami dikejar-kejar Raja Saul untuk dibunuh. Daud mengalami banyak kesulitan, dia harus berani menghadapi perang, dsb., tapi Daud mengatakan, dirinya hidup berkelimpahan karena Tuhan membaringkannya di padang rumput hijau dan air yang tenang.
Sesungguhnya kehidupan Daud banyak gejolak, banyak warna, bukan hitam putih, tetapi mata rohaninya menyatakan dirinya hidup berkelimpahan dengan anugerah Tuhan, karena Tuhan mengasihi Daud, dan Daud mengasihi Tuhan sehingga semuanya itu ringan. Hidup ini bukan seperti berjalan di lantai hitam dan putih, lalu kalau putih berarti ada anugerah, kalau hitam tanpa anugerah. Hidup Kekristenan memiliki banyak warna, dan semuanya indah dalam perspektif Allah.
Intinya, Kekristenan itu memerdekakan. Percaya kepada Yesus Kristus adalah iman yang membebaskan, bukan sesuatu yang membelenggu atau mempersempit. Kekristenan membawa kita kepada hidup yang merdeka, bukan hidup yang terpenjara. Kalau kita menggumulkan kehendak Tuhan dan panggilan hidup seperti orang yang begitu takut salah melangkah dan mengharapkan satu jawaban tunggal dan benar, maka itu seperti orang yang takut tersesat di padang rumput hijau yang luas, takut tidak mendapat air yang tenang yang bisa menyegarkan kehausannya, yang ia lihat cuma banyaknya peraturan dan rambu-rambu.
Gambaran Kekristenan yang seperti ini, adalah gambaran orang Kristen yang tidak mengerti cinta kasih Tuhan, sehingga akhirnya ia sendiri tidak bisa mengasihi Tuhan, karena yang ada adalah berurusan dengan peraturan, peraturan, dan peraturan semata –peraturan yang tidak dihayati sebagai cinta kasih Tuhan dan direspons dengan cinta kasih kepada Tuhan.
Inilah maksudnya waktu dikatakan “TUHAN itu esa, kasihilah Tuhan Allahmu”, seperti yang Agustinus bilang –yang tentunya juga terinspirasi dari ayat Alkitab—“Love God, do what you want”. Kasihilah Tuhanmu, karena ketika kita mengasihi Tuhan, maka hidup ini luas sekali. Kita mengasihi Tuhan, itu yang jadi dasarnya; setelah itu silakan bekerja, silakan menjalankan panggilan, atau siapa tahu Tuhan mau kita jadi hamba Tuhan.
Semua itu pilihannya banyak sekali, tapi jangan lupa yang pertama tadi: mengasihi Tuhan. Ketika kita mulai mengasihi Tuhan, maka ini tidak lagi tentang larangan dan peraturan tetapi undangan kehidupan yang memerdekakan, membebaskan. Kasihilah Tuhan –arahkan hatimu kepada Tuhan– Ia membawamu ke air yang tenang.
“TUHAN itu esa, kasihilah TUHAN Allahmu”, ini bicara tentang relasi.
Karena Tuhan itu esa/satu, maka kita diundang untuk masuk dalam relasi kasih. Perkataan “kasihilah”, berarti Tuhan mengundang kita untuk masuk dalam satu kehidupan yang berelasi dengan Dia.Tetapi yang harus kita ingat, Tuhan mengasihi kita lebih dahulu dengan tanpa batas, sehingga baru kita dapat mengasihi Dia.
Tidak berarti bila kita mengasihi Tuhan, semua persoalan selesai. Masalah dalam hidup menjadi sangat sulit karena kita tidak mengasihi Tuhan dengan segenap hati, karena kita sangat, dan terlalu, mengasihi diri kita sendiri; kita terlalu sensitif dengan perasaan kita, kita menyembah perasaan sendiri, perasaan dijadikan tuhan, dan kita tidak rela melepaskan berhala ini. Anak yang masih kecil sangat sensitif kalau tidak dicintai, ia menjadi mengasihani diri, jadi iri hati, merasa tidak aman, dsb. Tapi kalau kita sudah dewasa dan masih berpikir seperti ini, itu betul-betul kacau.
Seorang Kristen dewasa harusnya sudah selesai dengan urusan perasaan mengasihani diri sendiri, supaya ia bisa bebas mengasihi Tuhan dan bebas mengasihi sesama. Bukan berarti kita menekan perasaan mengasihi diri sendiri, tetapi itu karena kita sudah memiliki cinta Tuhan –yang paling besar itu—cinta Sang Pencipta yang memberikan Anak-Nya yang tunggal menerima hukuman dosa kita dengan dipaku di atas kayu salib, cinta kasih yang tanpa batas, tanpa melihat segudang kesalahan dan kelemahan kita.
Tuhan sudah mencintai kita terlebih dahulu. Kalau Tuhan Sang Pencipta alam semesta ini sudah mencintai saya, ya, sudah, saya tidak usah memikirkan lagi bagaimana mengasihi diri saya. Tuhan itu yang paling berkuasa, dan Dia mencintai saya, jadi saya tidak perlu tambah apa-apa lagi dalam hal ini, sudah cukup. Tindakan saya sekarang hanya merespons saja cinta kasih Tuhan, dengan saya mengasihi Tuhan.
“TUHAN itu esa, kasihilah TUHAN Allahmu dengan segenap hatimu”.
Karena TUHAN itu satu, bukan banyak, maka kita bisa fokus. Hidup kita ini jadi sangat rumit, karena kita banyak fokus, padahal yang penting cuma satu saja ‘mengasihi TUHAN dan sesama’.
Di dalam Alkitab kalimat-kalimat prinsip seperti ini sebenarnya seringkali diulang, seperti dalam cerita tentang Maria dan Marta. Yesus berkata, “Marta, Marta, kamu menyusahkan diri dengan buaaanyaakk perkara, tapi hanya satu saja yang perlu” –hanya satu saja yang perlu, duduk dan mendengarkan-Ku.
Kekristenan itu intinya satu perintah saja, bukan banyak, “kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, segenap jiwamu, segenap kekuatanmu” karena “Tuhan itu esa”. Kalau kita mencintai Tuhan, semua urusan menjadi sederhana dan dapat diselesaikan. Tapi kita memberhalakan diri, kita mengasihi Tuhan dengan tidak sepenuhnya. Kita mengasihi Tuhan, tapi perasaan saya juga musti dijaga; kita mengasihi Tuhan, tapi image/pandangan orang lain atas diri saya juga penting; kita mengasihi Tuhan, tapi saya harus jadi orang yang makin lama makin kaya.
Sebetulnya, kalau kehidupan kita berada dalam relasi yang dalam, relasi cinta, relasi kasih dengan Tuhan, maka banyak persoalan dalam kehidupan jadi sederhana dan selesai. Tidak berarti hidup tidak ada tantangan dan pergumulan; hidup memang tetap ada tantangan dan kesulitan, kita memang tetap bisa mengalami penderitaan, tapi itu menjadi lebih ringan, seperti dikatakan Yesus, bahwa beban-Nya ringan, kuk-Nya ringan.
Kita merasa beban dalam hidup ini berat, kuk-Nya tidak enak. Mengapa? Itu karena kita tidak mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan segenap jiwa. Lebih celaka lagi kalau kita bilang “mengasihi Tuhan dengan segenap hati itu berat”. Ini ayat itu dari mana?? Saudara terbalik. Tidak mengasihi Tuhan, itulah yang berat –jangan dibalik kalimatnya. Sepertinya masuk akal kalau saya berkata: “mengasihi Tuhan itu sesuatu yang berat”, tapi kalimat ini tidak sesuai dengan Firman Tuhan di Alkitab.
Alkitab menjelaskan, kehidupan yang mengasihi Tuhan itu sesungguhnya adalah hidup yang membebaskan kita, sesuatu yang memerdekakan. Cerita orang Israel di Mesir adalah tentang perhambaan/perbudakan; dan waktu mereka keluar, itulah kemerdekaan, bebas dari belenggu di Mesir itu. Tuhan juga mau membebaskan kita dari belenggu dosa, yaitu dari ketidakmampuan mengasihi Tuhan, ketidakmampuan beribadah.
Hidup yang terus berpusat hanya pada diri sendiri, hidup yang terus terlalu sensitif akan diri sendiri dan terus-menerus berputar di tempat yang sama, itulah yang sebetulnya penjara. Dan Tuhan mau kita bebas dari penjara itu supaya kita bisa dengan bebas mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama. Kita tidak usah pikir lagi soal ‘siapa yang mengasihi saya’, ‘siapa yang mencintai saya’; itu sudah selesai karena Tuhan sudah mencintai kita. Kalau kita bisa mengerti kebebasan ini, kita bisa mengerti Kekristenan.
Kalau tidak ada kasih, agama jadi bersifat eksternal/lahiriah saja.
Kalau tidak ada kasih, kita datang ke gereja karena merasa ini kewajiban bagi orang Kristen. Jika kita berdoa dan baca Alkitab dan merenungkan Firman Tuhan sebagai kewajiban agama saja, maka berarti kita belum lahir baru, dan mungkin tidak ada Roh Kudus di dalam diri kita. Jika setiap kali kita beribadah atau setiap kali kita berdoa, tidak ada sukacita, tidak ada kesukaan, sebaliknya merasa berat, itu menyatakan bahwa kehidupan agama kita adalah sesuatu yang di luar, yang kita jalani secara lahiriah saja, bukan dari dalam hati kita.
Apa yang membuat agama bukan lagi lahiriah, tapi jadi agama yang batiniah? Yaitu adalah cinta dan kasih. Cinta kasih kepada Tuhan itulah yang sungguh-sungguh membuat agama betul-betul jadi agama yang hidup, bukan agama yang lahiriah.
Kalau kita cuma bicara lahiriah, terus terang agama Kristen jauh sekali daripada banyak kepercayaan yang lain. Di TV pernah ada cerita tentang orang yang beribadah kepada tuhannya di gunung yang tinggi, lalu dia harus “berjalan” berpuluh-puluh kilometer pakai lututnya, bukan berjalan biasa. Dan setiap kali beberapa meter dia sujud menyembah, lalu jalan pakai lutut lagi, menyembah lagi, jalan lagi, dan seterusnya. Kita, orang Kristen, tentu belum pernah melakukan yang seperti ini. Memang kita tidak sedang memuji ke-lahiriahan agama; tapi maksudnya, kalau kita cuma mau bicara keagamaan secara eksternal, maka Kekristenan secara lahiriah masih jauh di bawah agama-agama lainnya.
Agama Kristen memang penekanannya bukan dalam lahiriah, penekanan kita dalam batiniah. Hal itu hanya dapat terjadi kalau kita dikuasai oleh cinta kasih Tuhan. Jika kita tidak memberi diri dikuasai oleh cinta kasih Tuhan, jika kita tidak merespons dengan mencintai Dia kembali dengan segenap hati –bukan setengah-setengah— maka Kekristenan kita bukan lagi agama yang hidup.
Kekristenan bisa ada secara jumlah, tapi kalau tidak digerakkan oleh cinta kasih, maka itu cuma jadi agama yang sebatas lahiriah. Boleh saja kita melakukan pertemuan-pertemuan Kristen, membuktikan adanya eksistensi/keberadaan Kekristenan, tapi tanpa cinta kepada Tuhan, apa gunanya? Kita tidak membaca di dalam ayat tadi Yesus bilang “supaya orang tahu ada eksistensi Kristen”. Yesus tidak bicara tentang hal itu. Yesus berkata “dengan demikian semua orang akan tahu bahwa kamu adalah murid-murid-Ku”. Ketika apa? Ketika kita saling mengasihi.
Yang diminta Tuhan adalah mengasihi Dia dengan segenap hati, tapi kita bilang “sebentar, sebentar, saya susah dengan bagian ini, tapi saya memberi persembahan sajalah ya; kasih segenap hati itu susah, tapi memberi persembahan okelah”, atau mungkin kita rajin datang ke Pemahaman Alkitab, ikut KKR, melayani di gereja, dsb. Tetapi kegiatan-kegiatan dan persembahan-persembahan itu, kalau bukan karena cinta kasih kita kepada Tuhan yang dalam, akhirnya cuma kegiatan lahiriah saja, dan bisa jadi sekedar kompensasi.
Namun saya percaya, orang yang betul-betul mengasihi Tuhan, dia akan terlibat dalam pekerjaan Tuhan. Jadi, terlibat dalam pekerjaan Tuhan tidak tentu menyatakan ada kasih; tetapi orang yang mengasihi Tuhan, mereka pasti terlibat di dalam pekerjaan Tuhan. Banyak orang Kristen senang terlibat dalam pekerjaan Tuhan, tapi tidak terlalu senang bicara tentang ‘kasih’, karena ketika kita bicara tentang kasih ternyata yang didapati adalah: manusia tidak terlalu mengasihi.
Peringatan bagi Kekristenan – kegagalan mengasihi TUHAN dan sesama.
Bagian tentang kasih dalam Injil Yohanes ini langsung disambung dengan kalimat Yesus memperingatkan Petrus. Ini bagian yang penting sekali. Tadi kita baca di bagian ini “perintah yang baru”; siapa yang memerintahkan? Tuhan. Lalu perintahnya apa? Yaitu supaya kita saling mengasihi. Tapi setelah itu ceritanya langsung disambung dengan cerita Yesus memperingatkan Petrus, bahwa Petrus akan menyangkal Dia: “Nyawamu akan kauberikan bagi-Ku? Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali” (Yohanes 13:38).
Inilah cerita manusia. Manusia tidak bisa mengasihi Tuhan. Dia rasa dirinya bisa mengasihi Tuhan, dia rasa dirinya bisa mencintai Tuhan, dia rasa dirinya akan memberikan nyawanya bagi Tuhan, tapi akhirnya apa? Akhirnya cerita kepercayaan diri dan kesombongan itu harus dinyatakan gagal oleh Tuhan. Inilah yang dimengerti oleh Martin Luther; waktu dia membaca perintah “kasihilah Tuhan dengan segenap hatimu”, dia gemetar. Dia tahu, kita ini tidak bisa mengasihi Tuhan.
Tapi ceritanya tidak berhenti di bagian ini. Waktu Saudara membaca cerita Yesus memulihkan Petrus di pasal 21, kalimat yang keluar dari Yesus adalah: “Simon, apakah engkau mengasihi Aku?” Saudara perhatikan, yang dipulihkan di sini urusan kasih. Yesus tidak berkata seperti ini, misalnya: “Simon, kamu sadar tidak, kamu itu orangnya sombong, merasa hebat sekali, tapi kenyataannya? Sekarang kamu rendah hati tidak?” Yesus juga tidak bicara, “Petrus, sekarang bagaimana, bisakah kamu tidak cerewet lagi? kamu ini setiap kali terus saja bicara, setiap kali terus saja komentar, tapi ternyata kamu tidak bisa kerja”. Yesus tidak mengatakan itu.
Ini bukan berarti rendah hati tidak penting, atau kesombongan diperbolehkan. Petrus memang ada kesombongan dan setiap kali bicara dan bicara terus. Tetapi itu semua bukan bagian yang paling penting yang musti diselesaikan. Bagian yang harus diselesaikan dalam diri Petrus adalah dibawa kepada relasi kasih, “Simon, apakah engkau mengasihi Aku?”
Dan, Saudara perhatikan jawaban Simon di bagian terakhir, dia tidak menjawab: “Ya, Tuhan, ternyata saya tidak bisa mengasihi Engkau”. Bukan itu jawabannya. Jawaban Simon adalah: “Tuhan, Engkau tahu, aku mengasihi Engkau” –positif jawabannya. Kalimat yang dikeluarkan Simon ini adalah satu kalimat yang sudah runtuh kesombongannya.
Waktu Simon ditanya, dia pasti ingat kalimat yang dia pernah katakan, “aku akan memberikan nyawaku bagi-Mu!” Dia pasti ingat juga Yesus mengatakan, “Nyawamu akan kauberikan bagi-Ku?” Kalimat itu pasti terngiang-ngiang waktu Yesus bertanya “Simon, apakah engkau mengasihi Aku?” Tapi Petrus tidak menjadi kecil hati lalu berkata, “Ya, Tuhan, saya ini orang yang penuh kebencian, ternyata saya penakut, saya cuma bisa menerima cinta kasih-Mu, ternyata saya tidak mengasihi Engkau” –bukan itu jawabannya. Jawaban Petrus adalah: “Tuhan, Engkau tahu –di dalam pengetahuan-Mu yang penuh belas kasihan, yang penuh cinta kasih—Engkau tahu, aku mengasihi Engkau”.
Kekristenan tidak berhenti hanya pada pemahaman cinta kasih Tuhan, bahwa selalu Tuhan yang mengasihi ‘bagi kita’, selalu Yesus yang adalah ‘untuk kita’. Richard Pratt pernah mengatakan tentang “upside down worship”, bahwa kita ini selalu berpikir ‘Tuhan untuk kita’, tetapi kapan ‘kita untuk Tuhan’? Tuhan untuk kita, itu sudah; Dia sudah mati di atas kayu salib memberikan diri-Nya untuk kita. Lalu kapan giliran kita yang menyerahkan nyawa untuk Tuhan? Respons ini kapan? Apakah kita terus-menerus begini saja, terus-menerus menerima dan menerima, terus-menerus dikasihi tapi tidak pernah ada kesukaan untuk mengasihi??
Tuhan Yesus membebaskan kita dari kehidupan yang berpusat pada diri sendiri, supaya kita bisa mengasihi Tuhan. Dan saya percaya, kalau kita mengasihi Tuhan dengan segenap hati, maka kita akan tahu apa yang kita lakukan, karena kita jadi satu pikiran, satu hati, dan satu roh dengan Allah sendiri.
Di dalam pernikahan yang baik, kita langsung tahu dan langsung peka kalau pasangan kita tidak suka atau tidak senang akan sesuatu hal. Tapi, kalau Saudara sudah menikah 25 tahun lalu masih tanya “kamu suka tidak makan ikan dimasak seperti ini?” bisa jadi itu mencerminkan pernikahan yang gagal, yang tidak jalan komunikasinya, yang relasinya tidak terbangun dengan baik, banyak hal tidak saling mengerti, dsb.
Sekarang mari kita terapkan dalam relasi dengan Tuhan; banyak orang Kristen masih bertanya terus-menerus, ‘Tuhan, apa kehendak-Mu? Tuhan, panggilan saya apa? Tuhan saya musti pacaran sama yang mana?’ Kita terus-menerus bertanya dan bertanya, tidak ada habisnya. Ini berarti kita dengan Tuhan bukan satu pikiran, satu hati dan satu roh. Kalau kita sebagai orang tua dan anak kita sudah dewasa, tetapi dia masih terus bertanya untuk setiap hal, tidak bisa memutuskan sendiri, selalu ragu, pasti kita jadi kesal karena ini anak tidak bertumbuh makin dewasa.
Orang yang mengasihi Tuhan akan diberi hikmat untuk mengerti apa kehendak Tuhan. Ini prinsip mengasihi. Dengan mengasihi, kita jadi tahu apa yang menjadi keinginan Tuhan, sebagaimana juga waktu kita berelasi dengan manusia. Kalau kita mengasihi seseorang, kita tentu juga jadi tahu dia kesukaannya apa, dia tidak senang apa, dia sensitif tentang apa, dia alergi apa, dsb.
Kasih itu, membawa kita kepada persekutuan dengan Allah sendiri. Dengan demikian, tidak mungkin kita menghayati agama tanpa kasih. Itu sama sekali tidak mungkin. Kalau kita tidak mau menekankan bagian ini, kita bukan sekedar kehilangan sesuatu hal, tapi kita kehilangan hal yang paling inti dalam Kekristenan.
Di dalam Surat Korintus, yang mau dikatakan Paulus adalah “kamu itu begitu kaya dengan karunia Roh, dari A sampai Z, tapi kamu telah menyalahgunakan hal itu, yaitu dengan cara kamu menggunakan bagi kepentingan dirimu sendiri dan kamu tidak membangun jemaat”. Mengapa tidak membangun jemaat? “Karena kamu kekurangan cinta kasih”.
Persoalan dalam Jemaat Korintus adalah mereka tidak menggunakan karunia Roh yang mereka terima untuk mengasihi jemaat; Demikian pula jemaat di Efesus; akhirnya kaki dian itu ditarik dari mereka, dan itu bukan karena doktrin mereka melenceng, tetapi karena di sana tidak ada kasih untuk membangun jemaat.
Mereka sangat tepat membedakan asli dan palsu, mereka luar biasa tajam menelanjangi “rasul-rasul” yang melenceng, yang tidak mengajarkan Firman Tuhan. Bukan cuma itu, Alkitab mencatat pekerjaan jemaat Efesus jauh lebih banyak daripada yang pertama, berarti mereka orang-orang yang setia sehingga terus-menerus dipercayakan, bukan orang-orang malas, mereka orang-orang pekerja keras. Tapi Tuhan tetap tarik kaki dian itu.
Mengapa? Karena urusan kasih. Bukan karena doktrin tidak penting lagi, tapi kalau kita tidak menekankan kasih, kita kehilangan hal yang paling inti. Strukturnya seperti masih ada, semuanya seperti masih ada sebagaimana gedungnya masih ada, tapi sudah tak berjiwa, benar-benar seperti mayat hidup, karena tidak ada kehangatan kasih, tidak ada hati yang mengasihi sesama. Kasih memang bukan cuma urusan perasaan, kasih ada aspek rasio. Tetapi, membicarakan kasih tanpa perasaan, itu jelas tidak mungkin.
Dalam hal ini, kita memang belum selesai. Kita seperti orang yang tengah berlari di jalur lari dalam perlombaan, jadi jangan menempatkan diri di posisi ‘orang yang sudah selesai’. Kita belum selesai. Apanya yang belum selesai? Salah satunya, urusan kasih-mengasihi ini. Mungkin kita terlalu percaya diri seperti Petrus, kita rasa sudah mengasihi, tapi ternyata kita belum bisa mengasihi.
Kita pikir kita sudah cukup mengasihi, ternyata kita belum sampai ke sana. Tetapi Yesus mengatakan kalimat dalam Yohanes 13:35 ini: “Semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, jikalau kamu saling mengasihi”. Kalau bagian ini tidak ada --tidak ada saling mengasihi—maka Tuhan bisa menarik kaki dian itu, seperti pada Jemaat Efesus yang setia kepada doktrin, tidak ada penyelewengan, tapi mereka telah kehilangan cinta kasih.
Mari kita berdoa agar Tuhan menggerakkan cinta kasih kita kepada Tuhan, waktu kita mengingat Kristus mengasihi kita. Sekarang Saudara dan saya dibebaskan dari penjara ‘tidak bisa mengasihi Tuhan’, dan kita diundang kepada satu kehidupan yang membebaskan, yaitu kehidupan yang dapat mengasihi Tuhan dan sesama dengan segenap hati kita, sehingga semua orang tahu bahwa kita adalah murid-murid Kristus.
Ikuti saya di google news untuk membaca artikel lainnya :