4 PESAN PASTORAL MENGHADAPI PANDEMI COVID-19

4 PESAN PASTORAL MENGHADAPI PANDEMI COVID-19
Bagaimana seharusnya komunitas Kristen merespons pandemi? Ada beberapa level berbeda untuk bisa menjawab pertanyaan ini.

Ada 4 pesan pastoral untuk menghadapi covid-19,yaitu:

1.DENGARKAN NASIHAT

Pertama, secara praktis, tentu akan bijaksana jika kita menyimak nasihat medis terbaik di hari-hari ini. Apa yang menjadi masalah di sini adalah ketika nasihat tersebut tidak konsisten, atau malah membingungkan, seperti yang ditunjukkan oleh beberapa berita. Untuk mengurangi penyebaran virus, karantina sudah diberlakukan untuk orang-orang yang memiliki resiko tinggi, khususnya kaum usia lanjut dan mereka yang memiliki kondisi kesehatan akut dalam jantung dan sistem pernafasan.

Menariknya, umat Israel di zaman Alkitab yang lampau pernah dinasihatkan untuk melakukan karantina guna mencegah penyebaran penyakit menular. Perjanjian Lama, kitab Imamat bahkan menetapkan 7 hari isolasi untuk beberapa penyakit dan periode yang tidak ditentukan untuk penyakit lainnya. Respons yang berdasarkan nasihat medis ini, tentu bukan menjadi bukti dari kurangnya iman. 

Allah bisa melindungi dan menyembuhkan kita, tetapi Ia menuntut kita untuk bijaksana dan menggunakan semua sumber daya yang Ia sudah berikan kepada kita, termasuk obat-obatan. Menjaga jarak secara fisik juga bukanlah sebuah wujud keegoisan melainkan justru bentuk kasih kepada sesama manusia demi melindungi mereka. 

Mengasihi sesama juga berarti bahwa mereka yang memiliki risiko sangat kecil, memiliki peran untuk mengunjungi mereka yang rapuh (jika situasi dan aturan yang ada memungkinkan itu), menolong mereka dengan membantu berbelanja dan menyediakan persahabatan yang sangat dibutuhkan, meski jika waktu mereka sangat terbatas.

2.PELIHARA PERSPEKTIF

C. S. Lewis pernah menulis artikel yang luar biasa menarik tentang bagaimana orang Kristen seharusnya merespons keberadaan senjata-senjata atom. Saya menulikannya kembali di bawah, tetapi untuk menolong kita mengaplikasikannya dalam situasi kita sekarang ini, saya juga menyisipkan “virus corona”, “virus” atau “pandemi” dalam tanda kurung siku [ ] pada bagian-bagian yang relevan untuk membantu kita menangkap maksudnya (saya akui ini tidak begitu sempurna):

“Di satu sisi kita terlalu banyak berpikir tentang bom atom [virus corona]. ‘Bagaimana kita hidup dalam era bom atom [pandemi]?’ Saya tergoda untuk menjawab: Hiduplah sebagaimana Anda akan hidup pada abad ke-16 ketika wabah menghampiri London hampir setiap tahunnya, atau seperti jika Anda hidup di era Viking, ketika para penjarah dari Skandinavia datang dan bisa saja menggorok leher Anda pada suatu malam; atau hiduplah layaknya seperti pada era kanker, sifilis, kelumpuhan, serangan udara, kecelakaan kereta api, atau kecelakaan kendaraan.’

“Dengan kata lain, janganlah kita melebih-lebihkan situasi yang sedang kita hadapi. Percayalah pada saya, tuan dan nyonya, Anda dan semua yang Anda sayangi sudah divonis mati sebelum bom atom [virus corona] ditemukan: dan persentase kita yang akan mati dengan cara yang tidak menyenangkan, juga tinggi. 

Kita tentu memiliki kelebihan dibandingkan leluhur kita—obat bius; tetapi kita masih punya hal tersebut. Sungguh hal yang konyol untuk merintih dan memasang muka muram karena para ilmuwan [virus corona] menambah satu lagi kesempatan untuk mengalami kesakitan dan kematian dini dalam dunia yang sudah dipenuhi dengan kenyataan itu, dan yang mana kematian itu sendiri sama sekali bukan sebuah kemungkinan, tetapi suatu kepastian.

“Inilah hal pertama yang harus dibuat: dan tindakan pertama yang harus kita kerjakan adalah menguatkan diri bersama-sama. Jika kita bakal dihancurkan oleh bom atom [virus corona], biarlah ketika bom atom [virus] itu datang, kita sedang mengerjakan hal kemanusiaan yang baik—berdoa, bekerja, mengajar, membaca, mendengar musik, memandikan anak, bermain tenis, berbincang-bincang dengan teman sambil bermain—bukannya meringkuk ketakutan seperti seekor domba sambil memikirkan bom-bom tersebut [virus-virus]. Mereka bisa merusak tubuh kita (mikroba juga bisa lakukan hal tersebut) tetapi mereka tidak perlu merusak pikiran kita.”

Itu adalah bacaan yang menantang, tetapi mengingatkan kita bahwa iman Kristen memang memberi perspektif yang sangat berbeda.

3.KASIHI SESAMAMU

Ketiga, kita dipanggil untuk mengasihi. “Para sejarahwan sudah mengemukakan bahwa wabah Antonine yang mengerikan di abad ke-2, dan mungkin yang sudah membunuh seperempat kekaisaran Romawi, ternyata menyebabkan terjadinya penyebaran kekristenan. Ini disebabkan kepedulian komunitas Kristen yang memperhatikan orang-orang sakit dan menawarkan model kerohanian bahwa wabah bukanlah karya dewa dewi yang tiba-tiba mengamuk, melainkan produk dari kerusakan ciptaan yang memberontak terhadap Allah yang mengasihi.

“Namun wabah yang jauh lebih terkenal adalah wabah Cyprian, dinamai berdasarkan nama uskup yang memberi berbagai pernyataan tentang wabah ini dalam khotbahnya. Kemungkinan terkait dengan Ebola, wabah Cyprian mendatangkan krisis di abad ke-3 M dalam peradaban Romawi.

Tetapi wabah itu juga membawa dampak lain: wabah tersebut memicu ledakan perkembangan kekristenan… Khotbah Cyprian memberitahu orang-orang Kristen untuk tidak berduka atas para korban wabah (yang sudah hidup di sorga), tetapi untuk menggandakan upaya dalam memperhatikan mereka yang masih hidup. Rekan uskup lainnya bernama Dionysius menggambarkan bagaimana komunitas Kristen, “menerjang bahaya…memberi perhatian bagi yang sakit, memenuhi segala kebutuhan mereka.”

Reaksi orang-orang Kristen terhadap wabah tersebut, tidak hanya diakui oleh sesama orang Kristen lainnya. Satu abad setelahnya, kaisar Romawi Julian dengan sangat, mengeluhkan tentang bagaimana “orang-orang Galilea” mau memerhatikan bahkan masyarakat non-Kristen yang sakit, sementara di pihak lain sejarahwan gereja Pontianus mengulas bagaimana komunitas Kristen memastikan “hal baik dilakukan untuk semua orang, bukan hanya untuk sesama saudara seiman.” Rodney Stark, seorang sosiolog dan ahli demografi agama mengklaim bahwa angka kematian di kota-kota di mana ada komunitas Kristen, hanyalah setengah dari kota-kota lain.

Kebiasaan tindakan kepedulian yang penuh pengorbanan tersebut, sudah berulang kali muncul di sepanjang sejarah kemanusiaan. Tahun 1527 ketika wabah pes menghantam kota Wittenberg di Jerman, Martin Luther (pencetus reformasi) menolak dorongan untuk lari dan melindungi dirinya sendiri. Sebaliknya, ia tetap tinggal dan melayani mereka yang sakit.

Penolakan Luther untuk mengungsi menyebabkan anak perempuannya, Elizabeth, meninggal dunia. Namun itu juga menyebabkan munculnya selebaran yang bertuliskan, “Apakah Orang Kristen Perlu Menghindari Wabah”, yang direspons oleh Luther dengan penjelasan yang sangat gamblang, yang menjadi respons komunitas Kristen:

“Kita berkorban menjaga kota. Dokter-dokter Kristen tidak boleh meninggalkan rumah sakit, pejabat-pejabat Kristen tidak boleh melarikan diri, pendeta-pendeta Kristen tidak boleh mengabaikan jemaatnya. Wabah ini tidak menghapus tanggung jawab kita: wabah ini mengubah tanggung jawab kita menjadi salib-salib, yang mana kita harus siap untuk mati.”

Artikel Stone kemudian diakhiri dengan pernyataan berikut:

“Motivasi orang-orang Kristen akan kebersihan dan sanitasi tidak dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mengamankan diri sendiri, melainkan sebagai sebuah etika dalam melayani sesama manusia. Kita berharap dapat merawat mereka yang terinfeksi, dan itu berarti bahwa hal terutama dan terpenting untuk dilakukan adalah memastikan agar kita tidak menulari mereka yang sehat. 

Orang-orang Kristen mula-mula menciptakan rumah sakit pertama di Eropa sebagai tempat yang higienis untuk menyediakan perawatan selama masa wabah, dengan pengertian bahwa kelalaian yang dapat menyebarkan penyakit lebih lanjut, pada kenyataannya, adalah tindakan pembunuhan.”

Semua realita ini bukanlah untuk mengatakan bahwa kita harus mengabaikan semua peraturan yang dibuat demi memperlambat penyebaran infeksi dan membiarkan diri kita (serta orang lain) untuk menanggung resiko yang tak perlu, khususnya dalam situasi yang mana kita harus mengisolasi diri atau ketika kita berada dalam status karantina wilayah. 

Realita sejarah tersebut ditujukan untuk menegaskan bahwa kita seharusnya mencari cara untuk mewujudkan kasih kepada sesama, meskipun ada harga yang harus kita bayar—sebab begitulah Allah telah mencintai tiap orang Kristen dalam pribadi Anak-Nya, dengan mati untuk mereka di atas kayu salib. Mengasihi sesama juga berarti menghindar dari sikap yang egois dan berlebihan dalam mencukupkan diri dengan kebutuhan makanan dan keperluan dasar lainnya, sehingga membuat supermarket kosong dan membuat sesama kita tidak mendapat bagian.

4.INGATLAH KEKEKALAN

Ini mengarahkan pandangan kita kepada aspek warisan iman Kristen yang sering dilupakan. Yang keempat, orang-orang Kristen harus mengingat realita kekekalan. Orang Kristen mula-mula, hidup dalam situasi dunia yang berbahaya yang mana mereka semua dikelilingi oleh berbagai bentuk ancaman dan angka harapan hidup yang sangat pendek. 

Namun mereka diberi kekuatan untuk menjalani hidup penuh pengorbanan, seperti yang memang mereka tampilkan, serta berkontribusi bagi kesejahteraan hidup orang lain. Semua itu didasarkan pada fakta bahwa mereka memiliki pengharapan yang hidup dan nyata, yang melampaui kematian. C. S. Lewis pernah menulis mengenai hal ini dengan kata-kata yang tepat baik pada zamannya atau pun sekarang:

“Buku mengenai penderitaan yang tidak mengatakan apa pun tentang sorga adalah sebuah kekurangan yang hampir menghilangkan sisi penting dari tulisan tersebut.

“Kitab suci dan tradisi iman terbiasa menempatkan sukacita sorgawi ke dalam skala yang bertentangan dengan penderitaan di bumi, dan tidak ada solusi atas masalah rasa sakit yang tidak terkait dengan sukacita sorgawi, yang bisa disebut sebagai solusi Kristiani. Kita sangat malu menyebutkan sorga di zaman sekarang. 

Kita takut dengan ejekan tentang sorga sebagai imajinasi ‘kue di langit’… tetapi kemungkinannya memang hanya dua; apakah sorga itu memang ada atau tidak sama sekali. Jika sorga tidak ada, maka kekristenan salah, karena doktrin tersebut ditenun ke dalam seluruh kepercayaan Kristen. Jika sorga ada, maka kebenaran ini, seperti halnya kebenaran lain, harus dihadapi…”

Paulus, rasul perintis Kekristenan, tidak malu menyebutkan keyakinan dan keteguhannya mengenai masa depan:

“Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita… Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” (Rm. 8:18, 38-39)

Perkataan tersebut bukanlah kata-kata seorang filsuf dari tempat duduk di ruang belajarnya, tetapi dari seorang manusia yang sudah melihat dan mengalami hidup yang keras dan penuh tantangan besar. Paulus mengalami ketidakadilan lewat pemukulan dan pemenjaraan, ada kalanya dibiarkan setengah mati, dan di sepanjang perjalanan mengalami kekurangan dan kesulitan. Seperti Paulus, ada kalanya saya mencoba berimajinasi mengenai gambaran sorga yang mulia itu.

Inilah pertanyaan yang seringkali muncul dalam batin saya: jika tirai yang sekarang memisahkan dunia yang kelihatan dengan dunia yang tak kelihatan ini disingkapkan sejenak, sehingga kita bisa melihat kondisi saat ini dari mereka yang sudah meninggal dunia, berjuta-juta orang Kristen yang menderita akibat kejahatan mengerikan yang dilakukan oleh pemerintah tak bermoral, para pencetus perang dan para bandar obat terlarang, atau siapa pun yang menjadi korban bencana alam dan pandemi, mungkinkah, berdasarkan apa yang kita ketahui tentang Yesus Kristus, akan membuat semua keprihatinan kita mengenai cara Allah mengelola berbagai situasi, bisa tiba-tiba menghilang begitu saja? Kita belum mencapai dunia yang lain itu, tetapi kita memiliki pesan tentang dunia tersebut, yang datang dari dunia itu—pesan, yang sangat perlu didengarkan oleh dunia yang sedang cemas karena infeksi virus ini.4 PESAN PASTORAL MENGHADAPI PANDEMI COVID-19. 
Next Post Previous Post