IMPLIKASI PRAKTIS PENYERTAAN KRISTUS DALAM HADAPI MASA SULIT (FILIPI 4:4-7)

IMPLIKASI PRAKTIS PENYERTAAN KRISTUS DALAM HADAPI MASA SULIT (FILIPI 4:4-7)
Pendahuluan.

Penyetaan KRISTUS YESUS merupakan pengalaman terpenting yang bisa terjadi dalam kehidupan umat manusia. Di dalam pengalaman ini yang terjadi bukanlah sekedar hadirnya seorang anak manusia yang baru memulai eksistensi-Nya pada titik waktu tertentu dalam sejarah, tetapi merupakan peristiwa penyertaan dan keberpihakan seorang Pribadi Maha Kuasa, Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, dan Raja Damai (Yesaya 9:5), yang telah ada sejak kekekalan silam (Mika 5:1), yang datang ke dalam dunia dengan mengambil wujud manusia (dengan tidak mengurangi sedikitpun sifat keilahian-Nya) lewat proses kelahiran biasa dari seorang dara bernama Maria (Yohanes 1:1, 14). 

Penyertaan dan keberpihakan Kristus Tuhan ini menjadi bermakna dalam kehidupan apabila kita tanggapi secara benar. Filipi 4:4-7 memberikan nasehat praktis yang harus kita lakukan sebagi implikasi dari penyertaan Tuhan ini.

TUHAN Sudah Dekat

Misi utama inkarnasi kedatangan-Nya ke dunia ini adalah untuk mengadakan pendamaian lewat karya salib dan kebangkitan-Nya guna memulihkan hubungan yang telah rusak oleh maut sebagai akibat dosa (Roma 3:23) antara Allah dan manusia menjadi suatu hubungan paling dekat yang mungkin terjadi. Hubungan dekat ini digambarkan dengan beberapa ilustrasi, di antaranya hubungan Bapa-anak, suatu hubungan personal yang suci dan penuh kasih di mana manusia diberi hak untuk memanggil Allah sebagai Bapanya dengan implikasi terbentuknya hubungan kekeluargaan antar sesama.

Gagasan relasional inilah yang dikemukakan Rasul Paulus ketika ia menegaskan, “TUHAN sudah dekat!” (Filipi 4:5b) kepada jemaat di Filipi yang tengah mengalami berbagai-bagai kesulitan hidup. Maksudnya, TUHAN kini beserta kita, ada di tengah kita. Tidak ada lagi yang memisahkan kita dengan Tuhan, dan tidak ada yang bisa memisahkan kita dari-Nya (Roma 8:35-39). Ini bukanlah sekedar kedekatan dalam dimensi ruang waktu, karena DIA itu maha hadir, tetapi lebih merupakan kedekatan dalam dimensi relasi personal dan spiritual.

Respon Terhadap Inkarnasi Kristus

Realitas kedekatan dan kebersamaan TUHAN dengan umat-Nya ini menuntut respon semestinya agar berkat Inkarnasi Kristus itu menjadi nyata dalam hidup. Kepada jemaat di Filipi yang tengah menghadapi tantangan doktrinal, yudisial, sosial, kongregasional, dan bahkan individual, Rasul Paulus memberi tiga nasihat praktis yang bersifat imperatif untuk dilakukan. Ketiga nasihat itu adalah bersukacitalah, berbuatbaiklah, dan berdoalah (Filipi 4:4-7). Nasihat ini tetap relevan untuk dilakukan jemaat TUHAN masa kini.

Bersukacitalah

Sulit diterima akal memang kelihatannya nasihat ini, karena kala itu kesulitan yang tengah dihadapi sungguh berat. Setidaknya ada dua masalah besar. Pertama, perlawanan doktrinal dari para pemimpin Agama Yahudi kala itu yang tentunya didukung oleh kekuatan finansial dari pengikut mereka yang memang rata-rata pengusaha kaya raya. Kedua adalah permasalahan yudisial yang tengah diperjuangkan Rasul Paulus di istana Kaisar Roma menyangkut legalitas “agama”-nya yang bermula dan berkembang dari Agama Yahudi konservatif yang secara institusional diakui negara.

Meskipun demikian, perintah untuk bersuka cita ini amat ditekankan. Tulisnya, “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: bersukacitalah!” Istilah Yunani yang diterjemahkan sebagai “bersukacitalah” di sini adalah chairo yang berarti “menikmati keadaan yang berbahagia dan baik” (Louw-Nida Lexicon). Istilah ini memiliki akar yang sama dengan kata charis (umumnya dalam Alkitab diterjemahkan sebagai “kasih karunia” atau “anugerah”) yang secara harafiah berarti “hal yang membuat suka cita,” yakni “sesuatu atau keadaan yang menyebabkan terjadinya suka cita” (TDNT).

Dalam kehidupan umat TUHAN, sesuatu yang membuat kita bergembira dan bersukacita hanyalah TUHAN dan segala kebaikan yang dikerjakan-Nya bagi umat-Nya. Firman Tuhan, “Bersyukurlah kepada TUHAN semesta alam, sebab TUHAN itu baik, bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya!” (Yeremia 33:11b).

Dalam bentuk praktisnya perintah untuk bersukacitalah itu secara negatif berarti tiadanya kemarahan, sungut-sungut, dan bahkan keraguan terhadap kebaikan Tuhan meskipun ada kesusahan hidup; secara positif ini berarti ucapan syukur dan nyanyian pujian kepada-Nya dari hati yang terdalam, karena Tuhan tetap baik.

Alasan kita bersuka cita adalah karena Inkarnasi Kristus memiliki dimensi kristomatis, yakni realisasi kuasa dan kedaulatan-Nya untuk mengontrol segala sesuatu menurut rencana dan kehendak-Nya sendiri (Efesus 1:9,10; Kolose 1:15-17). Segala sesuatu yang terjadi di kosmik ini tidak terjadi secara otomotis, tetapi kristomatis, yakni dalam kontrol Kristus.

Karena pada dasar-Nya Dia itu baik dan penuh kasih, maka dalam situasi apa pun Dia bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi kita yang berharap pada-Nya (Roma 8:28). Kesusahan memang tidak akan pernah hilang dari dunia ini, selama masih ada dosa. Namun kedatangan-Nya adalah untuk merubah kutuk itu menjadi berkat. Karena nilai Kristomatis inilah kita wajib bersuka cita senantiasa.

Berbuatbaiklah

Bunyi perintah ini lengkapnya, “Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang” (Filipi 5:7). Ini bukan lah perintah untuk show off, pamer kebaikan untuk mencari pujian dan perhatian. Istilah ginoskoo yang secara pasif diterjemahkan “diketahui” ini juga bermakna “dirasakan, dialami, dan dinikmati.” Jadi, ini perintah agar orang lain merasakan, mengalami, dan menikmati kebaikan hati kita. Karena istilah epiekes, yang diterjemahkan sebagai “kebaikan” di sini memiliki ide kerelaan untuk berkorban. Jadi berbuat baik ini murni dari hati yang tulus dan tanpa pamrih untuk kepentingan sesama.

Alasan untuk menyatakan kebaikan kepada orang lain adalah, karena Inkarnasi Kristus memiliki dimensi etis, yakni internalisasi sifat-sifat moral-Nya seperti kasih dan kebaikan, ke dalam hati kita, sehingga secara moral kita memiliki karakter seperti Dia . Berbuat baik merupakan penyempurnaan proses impartasi nilai-nilai tersebut. Selama tidak mempraktikkan ini, maka tendensi aktualisasi potensi amoral di dalam diri kita tetap menjadi proses yang tidak terelakkan. Jadi, selain Kristomatis, Inkarnasi Kristus juga memiliki nilai etis. Karena itulah kita wajib berbuat baik kepada orang lain.

Berdoalah

Bekerja memang harus, namun kerap kerja keras tidak memberi hasil apa-apa untuk memenuhi keinginan kita, terlebih lagi di masa sulit. Namun demikian, dalam situasi ini, kita diperintahkan, “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga!” (Filipi 4:6). Artinya, secara psikologis tidak perlu gelisah dan takut terhadap situasi hidup. Sebaliknya, jemaat dituntut untuk bersyukur dalam segala hal. Secara implisit perintah ini memberi pesan kebenaran bahwa TUHAN menjamin menyediakan segala keperluan hidup kita.


Apa yang harus dilakukan adalah meminta kepada-Nya di dalam doa. Dalam bentuk praktisnya, ini dilakukan dengan menyatakan saja secara verbal apa yang kita inginkan kepada-Nya. Sederhana sekali, persis seperti ketika kita meminta sesuatu kepada orang tua. Sebagai contoh, jika sakit, katakan saja kepada Yesus, “Tuhan, berikanlah saya kesembuhan. Amin!” Anak kecil juga bisa melakukan ini.

Mengapa kita harus berdoa, sementara Dia sudah tahu segala keperluan kita? 

Alasannya, pertama, karena Inkarnasi Kristus merupakan deklarasi kuasa dan kedaulatan-Nya atas segala sesuatu, sehingga dalam segala hal kita harus berharap dan bergantung hanya kepada-Nya. Doa merupakan ekspresi ke bergantungan dan kepasrahan kita kepada-Nya atas seluruh hidup kita. Lewat berdoa Dia dan kita mau merealisasikan rencana dan kehendak-Nya di dalam dan lewat kehidupan kita.

Kedua, karena Inkarnasi Kristus merupakan aktualisasi kuasa dan kasih-Nya untuk memenuhi kebutuhan kita mulai dari masalah keselamatan, seperti pengampunan dan pemeliharaan, hingga masalah keseharian berupa pertolongan dan jalan keluar di masa sulit sebagaimana terlihat dari berbagai mukjizat yang dibuat-Nya: orang lumpuh berjalan (Lukas 5:17-26), orang buta melihat (Yohanes 9:1-12), orang tuli mendengar (Markus 7:32-37), orang lapar diberi makan (Matius 14:13-21), kesulitan dalam rumah tangga ditolong (Yohanes 2:1-11). Semua ini bisa kita alami dengan meminta kepada-Nya. Jadi Inkarnasi Kristus memiliki dimensi pragmatis, yakni kebergantungan pada-Nya dalam doa untuk memenuhi keinginan kita bagi kemuliaan-Nya.

Kesimpulan Penerapan

Semua orang mengakui kalau situasi sekarang ini semakin sulit. Tidak ada yang tahu pasti apakah nantinya membaik atau justru semakin sulit. Namun demikian, kita tidak perlu gelisah dan takut. Natal sebagai inkarnasi Kristus itu memiliki dimensi kristomatis, etis, dan pragmatis. Karena itu kita wajib untuk senantiasa bersuka cita, berbuat kebaikan, dan tekun dalam berdoa. Damai sejahatera Kristus itu menjadi nyata dalam hati dan pikiran kita (Filipi 4:7). gadget, bisnis, otomotif. IMPLIKASI PRAKTIS PENYERTAAN KRISTUS DALAM HADAPI MASA SULIT (FILIPI 4:4-7)
Next Post Previous Post