POLA PENGEMBANGAN KEPEMIMPINAN YESUS DAN PAULUS
1.Pola Pengembangan Kepemimpinan Yesus
Alkitab penuh dengan contoh-contoh kepemimpinan, dan yang teragung di antara para pemimpin yang dicatat Alkitab adalah Yesus.
Yesus agung bukan hanya karena Ia mempertunjukkan kepada kita suatu teladan kepemimpinan- hamba, melainkan juga karena Ia mengajar kita bagaimana mengembangkan kepemimpinan dalam kehidupan para murid-Nya. Sanders, mengutip perkataan uskup Lesslie Newbigin, mengatakan, “Pola pelatihan dalam kepemimpinan Kristen haruslah tetap merupakan pola yang diberikan oleh Tuhan kita dalam pelatihan-Nya atas kedua belas murid-Nya.” Itulah sebabnya dalam bagian ini saya ingin lebih dahulu membahas pola kepemimpinan Tuhan Yesus.
Ketika Yesus memanggil para murid-Nya, Ia berkata kepada mereka, “Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia” (Matius 4:19). Dalam panggilan ini saya mendapati bahwa dalam pikiran-Nya ada dua prinsip kepemimpinan yang penting.
Yang pertama adalah Ia mengajarkan kita fungsi kepemimpinan yang memimpin orang dari kerajaan kegelapan menuju kerajaan terang; dari belenggu dosa menuju kerajaan Allah yang sejati. Matthew Henry berkomentar bahwa sebagai penjala manusia mereka seharusnya menyelamatkan manusia, bukan menghancurkan, dan membawa mereka menuju ke tingkat yang lebih tinggi.
Prinsip kedua adalah para pemimpin itu merupakan buatan, kepemimpinan harus dikembangkan. Yesus memanggil para murid sebab Ia menghendaki mereka mengikuti corak kepemimpinan-Nya, jadi Ia memanggil mereka untuk “mengikut Aku.” Henry mengatakan, “Mereka harus memisahkan diri mereka agar terus hadir bersama dengan-Nya, dan meneladani kerendahan hati-Nya, harus mengikut Dia sebagai Pemimpin mereka . . . sebagaimana Yosua, dengan melayani Musa, dilayakkan untuk menjadi penerusnya.”
A. B. Bruce mengemukakan, Sang Pendiri Iman yang Agung berhasrat bukan hanya memiliki para murid, melainkan juga untuk membawa pada diri-Nya mereka yang akan dilatih untuk memuridkan orang lain; untuk menebarkan jala kebenaran ilahi ke lautan dunia, dan untuk mendaratkan di pantai kerajaan ilahi sejumlah besar jiwa-jiwa yang percaya.
Menurut Bruce, ada suatu jenjang yang lebih tinggi dari hubungan antara para murid dan Yesus, yang ia sebut sebagai jenjang pemuridan. Pada saat mereka dipilih dari antara para pengikut lain dan dibentuk menjadi satu kelompok pilihan, saat itulah mereka dilatih untuk sebuah karya besar kerasulan. Selama periode pelatihan Yesus mengembangkan para murid-Nya agar berpotensi menjadi rasul. Itulah sebabnya ketika Ia akan meninggalkan mereka, Ia memberi mereka amanat agung: “Jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Matius 28:18-20).
Dalam waktu tiga setengah tahun Ia menggunakan berbagai pendekatan dan metode untuk memperlengkapi para murid-Nya, yang bisa disesuaikan sebagai pola-pola pengembangankepemimpinan. Robert Coleman dalam The Master Plan of Evangelism, memberikan delapan prinsip yang Yesus pakai dalam memperlengkapi para murid-Nya:
1. Pemilihan: Yesus memilih sekelompok murid dari antara para pengikut-Nya untuk dilatih secara lebih efektif
2. Persekutuan: Yesus tinggal bersama mereka dalam suatu perkumpulan dan mereka mengikuti-Nya ke mana pun Ia pergi. Ia menghabiskan sebagian besar waktu-Nya untuk mengajar mereka
3. Pengabdian: Yesus menuntut mereka menaati-Nya. Ketaatan kepada-Nya merupakan bukti kepercayaan dan kasih mereka kepada-Nya. Taat berarti mereka harus siap membayar harga dalam mengikut Yesus, dan Yesus sendiri memberikan kepada mereka suatu teladan di atas kayu salib
4. Penyerahan Diri: Yesus bukan hanya meminta mereka untuk taat, Ia sendiri mempertunjukkan bagaimana Ia mengasihi mereka. Kita ingat ucapan-Nya: “Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya” (Yohanes 10:11). Juga ketika Ia ditangkap, Ia berkata kepada para prajurit: “Jika Aku yang kamu cari, biarkanlah mereka ini pergi” (Yohanes 18:8)
5. Perwujudan: Semasa hidup-Nya bersama dengan para murid-Nya, Ia menunjukkan kepada mereka keagungan-Nya, sikap-Nya terhadap Allah Bapa, dan sikap-Nya terhadap manusia dalam pelayanan. Para murid belajar dari Yesus dengan melihat apa yang Ia lakukan
6. Pengutusan: Yesus tidak hanya mengajar dan menunjukkan bagaimana melayani, Ia juga memberi tugas yang harus dikerjakan para murid-Nya dengan memberi mereka kesempatan untuk menerapkan apa yang telah mereka pelajari
7. Pembimbingan: Yesus juga mengevaluasi dan mengoreksi pelayanan para murid-Nya sehingga mereka bisa melayani lebih efektif. Kita ingat ketika Ia menyembuhkan seorang bocah laki-laki dari setan sesudah peristiwa Ia berubah rupa, Ia menjelaskan kepada para murid-Nya bahwa mereka takkan mampu mengusir setan sebab mereka kurang beriman. Ia mengatakan mereka perlu meningkatkan waktu doa dan puasa (Markus 9:28, 29)
8. Pelipatgandaan: Harapan Yesus dalam melatih para murid-Nya adalah agar mereka juga bisa menghasilkan murid-murid lainnya. Kita melihat maksud ini dengan jelas dalam doa-Nya di Yohanes 17:20: “Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka.” Itulah sebabnya ketika Ia siap berpisah dengan para murid-Nya, Ia mengingatkan mereka untuk memuridkan segala bangsa
Dari prinsip-prinsip di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pola pelatihan Yesus bisa diringkas sebagai berikut:
Pertama, pelatihan dalam kehidupan. Dalam pelatihan ini Yesus menghendaki para murid-Nya tinggal dan bepergian bersama-Nya sebagai satu kelompok serta belajar dari kehidupan-Nya sehari-hari dan sifat-Nya. Mereka bertumbuh melalui apa yang mereka lihat dalam Guru mereka. Jadi Ia hanya memilih dua belas murid sebab Ia menghendaki mereka bersama dengan-Nya di segala waktu dan tempat. Menurut Charles Kent, melalui pelatihan dalam kehidupan Yesus membangun suatu hubungan yang sangat pribadi tentang kepercayaan, persahabatan dan kasih yang sederhana antara diri-Nya sendiri dan para murid-Nya.
Kedua, pelatihan dalam pengajaran. Mereka yang mempelajari kitab-kitab injil bisa menemukan bahwa Yesus lebih banyak mengajar dibanding berkhotbah. Menurut John Sisemore, dalam keempat injil Yesus disebut sebagai seorang guru atau dinyatakan bahwa Ia mengajar sebanyak 89 kali, dan hanya dua belas kali Ia berkhotbah. Robert Stein juga mengemukakan
Sebutan “Rabbi” dalam bahasa Aram yang lebih asli dipakai untuk diri Yesus sebanyak 14 kali. Dapat dikatakan ini merupakan saksi tanpa nama bagi tradisi dan pernyataan kitab injil bahwa salah satu fungsi Yesus yang terkenal semasa pelayanan-Nya di hadapan umum adalah mengajar (Matius 4:23; Markus 1:39 menggunakan istilah “memberitakan”), dan walaupun Ia kurang memberikan pelatihan dalam arti formal (Markus 6:2-3; bdk. Yohanes 7:15) Ia dikenal apa adanya sebagai seorang “Rabbi” (Markus 12:14; bdk. Yohanes 3:2).
Melalui pengajaran-Nya, baik yang terbuka untuk umum ataupun secara pribadi, para murid memperoleh banyak pelajaran kebenaran, baik teori maupun praktek.
Ketiga, pelatihan dalam pelayanan. Yesus sangat kreatif dalam mengajarkan kebenaran dengan memakai aneka ragam metode. Sebagaimana disinggung Stein dalam The Method and Message of Jesus Teaching, ada hampir dua puluh macam metode yang dipakai.
Yesus bukan hanya kaya dalam mengajarkan teori, tetapi Ia juga aktif membantu para murid-Nya belajar melalui pelayanan praktis, khususnya dalam pelayanan penyembuhan. Yesus tidak memakai satu metode saja. Dalam menyembuhkan dua orang buta Ia menggunakan metode yang berbeda, demikian juga dalam membangkitkan orang mati (bdk. Yohanes 9:1-12 dan Markus 10:46-52; Yohanes 11:38-44 dan Markus 9:23-26).
Para murid Yesus belajar bukan hanya dari mendengar pengajaran-Nya dan melihat guru mereka, melainkan juga memiliki kesempatan untuk berpraktek ketika mereka diutus untuk memberitakan injil, menyembuhkan orang sakit dan mengusir setan. Melalui semuanya itu mereka mengembangkan kemahiran mereka dalam pelayanan.
Michael Youssef, dalam The Leadership Style of Jesus, menyimpulkan bahwa Yesus, dalam mengembangkan kepemimpinan dalam kehidupan para murid-Nya, mencapai sasaran yang seharusnya dimiliki oleh para pemimpin Kristen dalam mempersiapkan para pemimpin di masa mendatang.
Salah satu karakteristik dari pemimpin yang baik adalah mereka mempersiapkan orang lain untuk mengambil alih posisi. Mereka tidak hanya mempersiapkan para pengikut itu untuk “berbuat sebaik-baiknya,” tetapi juga mempersiapkan mereka untuk melakukan segala sesuatu yang akan mereka sendiri lakukan. . . .Yesus bekerja hingga titik terakhir ini dengan segenggam penuh calon di tangan-Nya—mengajar, melatih, mengecam, membangun, dan menunjukkan jalan kepada mereka.
Ia membuat pernyataan yang meyakinkan kepada mereka, “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaanpekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar daripada itu”(Yohanes 14:12). Itu merupakan bagian dari prinsip persiapan—mengajar para pengikut untuk mengalahkan guru mereka.
Itulah tujuan dari melatih orang lain—membuat mereka menjadi pemimpin yang akan melatih orang lain lagi yang mungkin juga akan menjadi pemimpin. Yesus memulai hal ini dengan melipatgandakan kapasitas fisik-Nya melalui dua belas orang. Ia telah meletakkan suatu dasar yang kuat bagi kita dalam mengembangkan kepemimpinan!
2.Pola Pengembangan Kepemimpinan Paulus
Sekalipun tujuan utama penulisan kitab Kisah Para Rasul merupakan “tujuan kerygmatis,” yaitu untuk menyatakan kesinambungan konfrontasi manusiawi oleh firman Allah melalui gereja, jika kita menyelidikinya dari sudut kepemimpinan, kita bisa menyimpulkan bahwa kitab Kisah Para Rasul bisa disebut sebagai “Kitab tentang Pengembangan
Kepemimpinan Jemaat Mula-mula.” Youssef menyatakan, Hanya dengan membaca kisah yang bersinambungan dalam Kisah Para Rasul kita bisa melihat bagaimana kepemimpinan para murid berkembang dengan pesat. Allah memakai mereka untuk mengubah dunia. Mungkin lebih dari segalanya, yang menyatakan cara Yesus memilih dan mengajar para pemimpin-Nya berhasil.
Dalam bagian ini kita akan belajar dengan singkat salah satu pemimpin terbesar dalam jemaat mula-mula yang berhasil mengembangkan kepemimpinan jemaat purba. Kepemimpinan Paulus bukan hanya dinyatakan dalam kitab Kisah Para Rasul dan hubungannya dengan para “muridnya” seperti Timotius, Titus, Silwanus, dan yang lainnya, namun dalam tulisannya kita juga bisa mempelajari polanya dalam mengembangkan kepemimpinan.
Helen Doohan, yang menulis sebuah buku yang baik mengenai kepemimpinan Paulus, menemukan bahwa dinamika kepemimpinan tampaknya berlaku dalam surat-suratnya dan suatu pengembangan yang berpotensi atau perbedaan corak kepemimpinan terbukti ada dalam diri Paulus.
Sekalipun wilayah, orang-orang dan lingkungan pelayanan Paulus berbeda dengan Yesus, ada sejumlah kemiripan pola dalam mengembangkan kepemimpinan. Dalam melatih para muridnya Paulus juga memakai ketiga metode “dalam”: pelatihan dalam kehidupan, dalam pengajaran, dan dalam pelayanan. Namun ada juga beberapa kekhususan, di antaranya:
Pertama, proses pemilihan. Dalam memilih para murid-Nya, Yesus memanggil pribadi demi pribadi secara langsung, namun Paulus tidak selalu demikian. Dalam sejumlah kesempatan, jemaat setempat merekomendasikan seseorang kepada Paulus, misalnya dalam kasus Timotius (Kis. 16:2).
Dalam mengembangkan kepemimpinan di antara para rekannya, Paulus menekankan penentuan pribadi, sebagaimana dikemukakan Doohan: Paulus tidak hanya menerapkan kepemimpinannya dalam berbagai gereja, namun ia juga berhubungan dengan beraneka ragam orang. Dengan memilih rekan-rekan kerjanya, ia berbagi rasa dengan sangat mendalam, mengembangkan dan mengasah kemahiran kepemimpinannya. Ia lebih suka melayani daripada menguasai, dengan menempatkan prioritas tertinggi pada peneguhan dan dukungan pribadi.
Kedua, pelatihan lewat perkuliahan. Sekalipun Paulus bepergian ke lebih banyak tempat dan negara daripada Yesus, Paulus berkesempatan untuk mengajar dan melatih melalui perkuliahan dalam beberapa kota. Jelas bahwa tujuan pelatihan ini adalah guna memperlengkapi kaum Kristiani setempat dalam pelayanan. Kitab Kisah Para Rasul menceritakan bahwa sedikitnya ada tiga tempat yang Paulus singgahi selama lebih dari satu tahun untuk mengajar: Korintus (18:11), Efesus, di aula Tiranus (19:19-20) dan Roma (16:30).
Sekalipun muncul berbagai konflik di gereja-gereja ini kita bisa menemukan para pemimpin yang kuat di antara mereka. Pembagian kepemimpinan dan penjelasan karuniakarunia roh hampir sempurna terdapat di jemaat di Efesus khususnya (Efesus 4:11-13); hal ini mendukung penyebaran injil ke wilayah-wilayah sekitarnya.
Semasa persinggahannya di Efesus, Paulus bukan hanya memberitakan injil dan mengajarkan tentang kerajaan dan kehendak Allah, namun ia juga melatih orang Kristen di sana dengan kepemimpinan yang efektif. Karena itu tidak mengherankan jika selama perjalanannya yang terakhir menuju Yerusalem sebelum penangkapan atas dirinya, ia mengundang para tua-tua jemaat Efesus untuk mengunjunginya di Miletus, dan mereka datang.
Menurut F. F. Bruce, Paulus meluangkan waktu sedikitnya tiga hari untuk menantikan kedatangan para tua-tua Efesus itu, karena ia memiliki hasrat yang sangat kuat untuk memberikan dorongan dan nasihat yang mereka butuhkan. Kita bisa menyimpulkan bahwa hubungan yang sedemikian eratnya antara Paulus dan para tua-tua jemaat Efesus itu merupakan buah dari pelatihan kepemimpinan yang Paulus berikan selama ia tinggal bersama dengan mereka bertahun-tahun sebelumnya.
Ketiga, mengamanatkan penggembalaan. Dalam pola pengembangan kepemimpinan Yesus, kita belajar bahwa Ia mengutus para murid-Nya untuk memberitakan injil, menyembuhkan yang sakit dan mengusir setan. Paulus mengikut pola ini, tetapi ia pun mengembangkan rasa tanggung jawab dari para murid-Nya dengan mengutus mereka untuk menggembalakan jemaat. Kita melihat contoh ini dalam kehidupan Timotius (1Timotius 1:3) dan Titus (Titus 1:5).
Melalui amanat ini Timotius dan Titus tidak hanya berkembang dalam kepemimpinan mereka, melainkan juga membantu pertumbuhan kepemimpinan dalam kedua jemaat tersebut. Sebagaimana kita ketahui, tujuan utama Paulus mengutus mereka ke jemaat-jemaat ini adalah untuk membangun kepemimpinan dalam persekutuan. Dalam suratnya kepada Timotius, ia memberikan instruksi untuk membimbing jemaat dalam memilih pemimpin yang berkualitas (1Timotius 3:1-16). Ia mendorong Titus untuk menunjuk pemimpin di setiap kunjungan di pulau Kreta yang ada jemaat Kristennya (Titus 1:5).
John Kelly, dalam A Commentary on the Pastoral Epistles, menunjukkan fungsi Timotius dan Titus sebagai wakil Paulus pada kedua jemaat untuk membangun kepemimpinan: Jadi Timotius dan Titus merupakan wakil kehormatan yang berdiri di hadapan persekutuan-persekutuan mereka, mereka merupakan utusan rasuli dan yang membentuk jenjang apa saja yang telah digariskan oleh Paulus sendiri (2Timotius 1:6).
Mereka memiliki kuasa penuh untuk mengorganisasi jemaat, mendisiplinkan mereka yang bersalah, dan secara umum mengajukan masalah yang dihadapi umat Kristiani. Di bawah mereka, dan yang dengan jelas ditunjuk oleh mereka, kita mendengar tentang adanya para penilik jemaat (atau kaum uskup) dan penatua (atau majelis).
Keempat, pelatihan melalui bahan bacaan. Jika Yesus tidak pernah menulis sebuah kitab atau sepucuk surat pun, maka Paulus memiliki suatu pendekatan yang sangat berbeda. Hampir setengah dari PB berisikan surat-suratnya di mana seluruh surat ini mengungkapkan sifatnya sebagai seorang pemimpin, dan petunjuk-petunjuk kepada para pemimpin dalam berbagai jemaat. Kita boleh mengatakan surat-surat ini merupakan sarana utamanya dalam mengembangkan kepemimpinan jemaat setempat.
Seorang penulis berkebangsaan Jerman, Gunther Bornkamm, menekankan pentingnya surat-surat Paulus bagi studi tentang kehidupan dan karyanya.
Surat-surat ini menempatkan kita dalam kontak langsung dengan Paulus dan pesannya, melengkapi suatu gambaran yang jelas tentang kegiatan dan pergumulan sang rasul, keberhasilan dan kegagalannya, pengalaman dan ide-idenya, dan pada waktu yang sama menghasilkan pandangan-pandangan sekilas yang unik dalam sejarah kekristenan purba.
Surat-surat yang ditulis pada tahun lima puluhan ini juga merupakan sumber-sumber historis jenjang pertama. Sesungguhnya surat-surat ini merupakan yang paling tua dan bagi kaum sejarawan merupakan tulisan-tulisan Kristiani yang paling awal dan paling bernilai, surat-surat ini ditulis puluhan tahun lebih awal daripada penulisan kitab-kitab injil yang menceritakan tentang kehidupan dan pemberitaan Yesus.
Dari surat-suratnya kita bisa mengumpulkan sejumlah prinsip kepemimpinan jemaat. Sanders, dalam bukunya menulis satu bab berjudul Pauline Sidelight on Leadership, yang sebagian besar idenya diambil dari surat-surat Paulus. Melalui studinya, Sanders merumuskan enam kualifikasi untuk kepemimpinan rohani menurut rancangan Paulus. Kualifikasi tersebut adalah: sosial, moral, mental, kepribadian, kehidupan rumah tangga dan kedewasaan, yang merupakan bidang-bidang yang diakui esensial bahkan dalam lingkungan duniawi sekalipun.
Surat-surat Paulus juga menginstruksikan para pemimpin gereja tentang bagaimana cara menyelesaikan permasalahan dalam jemaat sehingga kemahiran mereka sebagai pemimpin bisa dibuktikan. Sebagian terlihat dalam surat-suratnya kepada jemaat di Korintus yang sebagian besar umatnya dipercaya telah menjadi jemaat yang sangat kacau.
Menurut Donald Guthrie, seorang sarjana PB terkemuka, para pemimpin jemaat di Korintus sedang menghadapi permasalahan-permasalahan yang membutuhkan penyelesaian, yaitu: roh yang memecah belah; persoalan kehilangan moral; minat untuk mengkafirkan sidang-sidang hukum; perkawinan;daging yang dipersembahkan kepada berhala-berhala; kekacauan dalam ibadah umum; karuniakarunia roh; dan kebangkitan.
Pada masa ini, persoalan-persoalan yang sama bisa terjadi dalam jemaat, namun jika kita dengan tulus belajar dari apa yang Paulus ajarkan kepada para pemimpin jemaat di Korintus untuk mengembangkan kemahiran kita dalam penyelesaian masalah, saya percaya kita juga bisa menangani permasalahan-permasalahan ini.
Doohan menegaskan, Surat-surat Paulus yang ditulis semasa perjalanan pelayanannya berurusan bukan hanya dengan persoalan pertumbuhan, melainkan sering kali ditujukan pada krisis yang terdapat dalam persekutuan Kristen. Jemaat dan kelompok-kelompok dalam situasisituasi krisis hari ini boleh belajar dari kesalahan dan kepemimpinannya. Surat-surat Paulus mengungkapkan perubahan dan perkembangan teologi, dan fleksibilitas dalam gaya kepemimpinan.
Dalam kehidupan dan pelayanannya Paulus secara pribadi ditantang oleh sejumlah “saudara” yang datang ke jemaat Korintus. Dari suratnya yang kedua kita bisa mempelajari sikap dan kepribadian yang sepatutnya dinyatakan oleh pemimpin Kristen dalam menghadapi tantangan-tantangan semacam itu. Menurut Doohan, kepribadian Paulus terbukti dalam suratsuratnya, terutama 2 Korintus, Galatia, Filipi, dan hubungan pribadi dengan persekutuanpersekutuan itu merupakan prioritas terus-menerus.
Sarjana PB lainnya, Ralph Martin, mengatakan bahwa dalam dakwaan atas kerasulan dan pribadinya, sikap Paulus adalah: Ia membela dirinya dengan menjelaskan bahwa baik sebagai rasul maupun pribadi ia ingin terhindar dari rasa sakit sebagaimana yang ditimbulkan akibat “kunjungan yang menyakitkan” . . . Paulus membersihkan dirinya sendiri dari tuduhan pengecut (ayat 6) dan memberi penjelasan kepada mereka yang menyangkal keabsahan pelayanan rasulinya bahwa Tuhan sendirilah yang telah memberikan kuasa kepadanya.
Dengan mempelajari surat keduanya kepada jemaat di Korintus, kita belajar bagaimana kita seharusnya menjawab sebagai pemimpin Kristen jika dituduh oleh sesama. Kita bisa mempelajari sikap, sifat dan kepribadian Paulus yang menyatakan kedewasaannya.
Doohan juga mengkhususkan kepemimpinan Paulus dalam surat-suratnya kepada jemaat di Korintus: Dalam beraneka macam surat-menyurat dengan jemaat di Korintus, persoalan-persoalan tertentu, suatu situasi yang berubah, surat-surat yang saling berkaitan dan berbagai kunjungan, diperkenalkan. Persekutuan ini cenderung salah paham terhadap Paulus, dan dalam 1 Korintus Paulus menanggapi berbagai pertanyaan dan laporan secara apa adanya dan teologis. Dalam 2 Korintus, oposisi terhadap Paulus terbukti dan ia bereaksi dengan menegakkan secara sangat berhati-hati otoritas rasulinya dan membanggakan mandatnya.
Dalam surat-surat terdahulunya Paulus dengan kreatif berurusan dengan berbagai macam persoalan, melawan beberapa pandangan sambil menegakkan suatu strategi untuk memperkenalkan dan menerapkan prinsip. Ia memakai cara bujukan, keteladanan, argumentasi dan penghakiman dengan maksud mendatangkan tanggapan yang positif.
Sekalipun demikian, ketika Paulus diserang dan dituduh sebagai kontroversi dan pembedaan yang ekstrem, ia bereaksi. Dalam suatu tanggapan yang sangat pribadi dalam 2 Korintus, sang rasul bertahan dalam pendekatannya terhadap persoalan itu. Sekalipun demikian, suatu stamina dan gaya lentur tertentu nampak jelas saat Paulus menilai pelayanannya.
Surat-surat Paulus bukan hanya memberikan bimbingan kepada para pemimpin gereja tentang bagaimana membimbing jemaat dan menyelesaikan berbagai permasalahan, tetapi melalui surat-suratnya kita bisa belajar bagaimana bertumbuh dalam kehidupan kerohanian dan kepribadian kita serta mengembangkan kemahiran kita sendiri. Khususnya ketika mempelajari surat-surat penggembalaannya kepada Timotius dan Titus, kita bisa menemukan suatu garis besar bimbingan yang berharga tentang bagaimana memiliki pertumbuhan yang holistik dalam kerohanian, kepribadian dan perkembangan keterampilan.
Jelas sekali dalam surat-surat penggembalaannya Paulus mendesak Timotius dan Titus untuk bertumbuh dalam ketiga area pengembangan kepemimpinan. Dalam 1 Timotius 4:12-16 dan Titus 2:7-8, Paulus bersikeras bahwa mereka harus menjadi teladan dalam segala aspek kepemimpinan rohani: dalam kehidupan rohani melalui karakter kasih, iman dan kemurnian; dalam kepribadian, seperti perkataan, melakukan apa yang baik, integritas dan kesungguhan; dalam keterampilan, setia dan bertekun dalam memberitakan dan mengajar, tidak mengabaikan karunia mereka.
Paulus mengingatkan mereka untuk waspada dengan perilaku hidup dan pengajaran mereka, sebab jika mereka gagal dalam salah satu bagiannya, maka akan menghancurkan pengaruh dan pelayanan mereka. Dengan kewaspadaan semacam ini bukan hanya menyelamatkan diri mereka sendiri, melainkan juga jemaat.
Sebagai kesimpulan, saya rasa apa yang Doohan katakan tentang kepemimpinan Paulus layak dikutip untuk penelitian ini: Dalam meneliti surat-surat Paulus dari perspektif kepemimpinannya di jemaat mula-mula, keanekaragaman tanggapan Paulus terhadap orang lain dan terhadap persoalan jelas terlihat. Sang rasul tampil sebagai seorang pemimpin yang meneliti situasi dan kemudian bertindak sesuai dengannya.
Dalam interaksi dan tanggapan dinamis yang nyata sekali dalam surat-surat tersebut, Paulus tidak hanya mendorong dan menantang para pemimpin Kristen saat itu, tetapi ia sering kali memperagakan kualitas-kualitas hakiki dari kepemimpinan religius itu sendiri. Itulah sebabnya, hari ini sudah selayaknya kita memusatkan perhatian pada kepemimpinan Paulus dan implikasi-implikasinya.