PEMBENARAN / JUSTIFICATION (ARTI, DASAR, ELEMEN DAN SYARAT)

Pdt.Budi Asali, M.Div.


1) ‘Justification’ (= pembenaran) merupakan tindakan Allah.

2) Kata bahasa Ibrani untuk ‘to justify’ (= membenarkan) adalah HITSDIK, dan kata bahasa Yunaninya adalah DIKAIOO, yang biasanya berarti ‘menyatakan secara hukum bahwa keadaan seseorang sesuai dengan tuntutan hukum’ (Keluaran 23:7 Ulangan 25:1 Amsal 17:15 Yesaya 5:23 Matius 12:37 Kis 13:39 Ro 5:1,9 Roma 8:30,33 1Korintus 6:11 Galatia 2:16 Galatia 3:11).
PEMBENARAN
bisnis, otomotif, gadget
Catatan:

Kisah Para Rasul 13:39 - “Dan di dalam Dialah setiap orang yang percaya memperoleh pembebasan dari segala dosa, yang tidak dapat kamu per oleh dari hukum Musa”. Ini salah terjemahan, karena ‘memperoleh pembebasan dari segala dosa’ seharusnya adalah ‘dibenarkan’.

NIV: “Through him everyone who believes is justified from everything you could not be justified from by the law of Moses” (= Melalui Dia setiap orang yang percaya dibenarkan dari segala sesuatu dari mana kamu tidak dapat dibenarkan oleh hukum Musa).

Kis 13:38b-39 (TB2-LAI): “Oleh hukum Musa kamu tidak dapat dibenarkan. Sedangkan di dalam Dia setiap orang yang percaya dibenarkan”.

Louis Berkhof memberikan definisi dari ‘justification’ (= pembenaran) sebagai berikut: “Justification is a judicial act of God, in which He declares, on the basis of the righteousness of Jesus Christ, that all the claims of the law are satisfied with respect to the sinner” (= Pembenaran merupakan tindakan hukum dari Allah, dengan mana Ia menyatakan, berdasarkan kebenaran Yesus Kristus, bahwa semua tuntutan hukum berkenaan dengan orang berdosa, dipuaskan) - ‘Systematic Theology’, hal 513.

Charles Hodge: “An act of God’s free grace, wherein He pardoneth all our sins, and accepteth us as righteous in his sight, only for the righteousness of Christ imputed to us, and received by faith alone” (= Suatu tindakan dari kasih karunia yang bersifat cuma-cuma dari Allah, dengan mana Ia mengampuni semua dosa kita, dan menerima kita sebagai orang benar dalam pandanganNya, hanya karena kebenaran Kristus diperhitungkan pada kita, dan diterima hanya oleh iman) - ‘Systematic Theology’, vol III, hal 114. Ini dari Shorter Catechism, (Q. 33).

Jadi arti dari ‘to justify’ (= membenarkan) bukanlah ‘menjadikan hidup orang itu menjadi benar’. Juga ‘justification’ (= pembenaran) bukan berarti ‘to make holy’ (= membuat jadi suci / menguduskan), tetapi hanya merupakan pernyataan hukum yang membenarkan seseorang dalam hubungannya dengan hukum.

Dasar Kitab Suci:

a) Ayat-ayat seperti:

· Ulangan 25:1 [KJV: ‘justify the righteous’ (= membenarkan orang benar)].

· Ayub 32:2 [NIV: ‘for justifying himself rather than God’ (= karena membenarkan dirinya sendiri dan bukannya Allah)].

· Amsal 17:15 - “Membenarkan orang fasik dan mempersalahkan orang benar, kedua-duanya adalah kekejian bagi TUHAN”.

· Lukas 7:29 [Lit: ‘justified the God’ (= membenarkan Allah)].

dimana kata-kata ‘membenarkan’ tidak mungkin diartikan ‘to make holy’ (= membuat jadi suci / menguduskan), tetapi artinya adalah ‘membenarkan secara hukum’.

b) Kitab Suci mengkontraskan ‘justification’ / ‘pembenaran’ dengan ‘condemnation’ / penghukuman / pernyataan bahwa seseorang itu bersalah (Ul 25:1 1Raja 8:32 Amsal 17:15 Matius 12:37 Ro 5:16 Roma 5:18 Roma 8:33-34).

John Murray: “Condemn never means to make wicked, and so justify cannot mean to make good or upright” (= ‘Menghukum / menyalahkan’ tidak pernah berarti membuat jadi jahat, dan dengan demikian ‘membenarkan’ tidak bisa berarti membuat jadi baik atau lurus moralnya) - ‘Redemption accomplished and applied’, hal 120.

Charles Hodge: “To pronounce guilty is to condemn. To pronounce righteous, i.e., not guilty, is to justify” (= Menyatakan bersalah adalah ‘to condemn’. Menyatakan benar, yaitu tidak bersalah, adalah membenarkan) - ‘Systematic Theology’, vol III, hal 124.

Charles Hodge: “If to condemn does not mean to make wicked, to justify does not mean to make good. And if condemnation is a judicial, as opposed to an executive act, so is justification. In condemnation it is a judge who pronounces sentence on the guilty. In justification it is a judge who pronounces or who declares the person arraigned free from guilt and entitled to be treated as righteous” (= Jika ‘menyatakan bersalah’ tidak berarti membuat jadi jahat, maka ‘membenarkan’ tidak berarti membuat jadi baik. Dan jika ‘pernyataan bersalah’ merupakan suatu keputusan pengadilan, bertentangan dengan suatu tindakan pelaksanaan, begitu juga dengan ‘pembenaran’. Dalam ‘pernyataan bersalah’ adalah hakim yang menyatakan hukuman kepada orang yang bersalah. Dalam ‘pembenaran’ adalah hakim yang mengumumkan atau yang menyatakan terdakwa bebas dari kesalahan dan diberi hak untuk diperlakukan sebagai orang benar) - ‘Systematic Theology’, vol III, hal 122.

II) Doktrin tentang justification (= pembenaran) sebelum Reformasi.

1) Beberapa bapa gereja sudah berbicara tentang ‘pembenaran oleh iman’, tetapi jelas bahwa mereka belum mempunyai pengertian yang jelas tentang ‘justification’ (= pembenaran) dan hubungannya dengan iman. Juga, mereka tidak membedakan secara jelas antara ‘regeneration’ (= kelahiran baru) dan ‘justification’ (= pembenaran). Pandangan yang umum adalah bahwa ‘regeneration’ (= kelahiran baru) terjadi pada saat baptisan dan mencakup pengampunan dosa. Bahkan Agustinus kelihatannya tidak mempunyai pengertian yang tepat tentang ‘justification’ (= pembenaran) sebagai suatu tindakan hukum (legal act), yang membedakan ‘justification’ (= pembenaran) dengan proses pengudusan (sanctification).

2) Pencampur-adukkan antara ‘justification’ (= pembenaran) dan ‘sanctification’ (= pengudusan) berlanjut terus sampai Abad Pertengahan (Middle Ages), yaitu tahun 500 M-1450 M.

Para ahli theologia Abad Pertengahan mengajarkan bahwa ‘justification’ (= pembenaran) mencakup 2 elemen, yaitu:

· orangnya diampuni dosanya.

· orangnya dibuat menjadi benar.

Thomas Aquinas, yang ajarannya lalu diterima oleh Gereja Roma Katolik, mengajarkan bahwa kasih karunia dimasukkan ke dalam manusia dengan mana hidupnya dijadikan benar, dan karena itu dosanya lalu diampuni. Ini jelas sudah merupakan ajaran sesat ‘salvation / justification by works’ (= keselamatan / pembenaran karena perbuatan baik).

Bahwa Gereja Roma Katolik memang mengajarkan ‘pembenaran karena perbuatan baik’ dan menentang / mengutuk ‘pembenaran hanya karena iman’, terlihat dengan jelas dari kutipan Louis Berkhof dari Council of Trent, Chapter XVI, Canon IX, yang berbunyi sebagai berikut: “If any one saith that by faith alone the impious is justified in such wise as to mean, that nothing else is required to co-operate in order to the obtaining of the grace of justification, and that it is not in any way necessary, that he be prepared and disposed by the movement of his own will: let him he anathema” (= Jika seseorang berkata bahwa oleh iman saja orang jahat dibenarkan, dan mengartikan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang dibutuhkan untuk bekerja sama supaya mendapatkan kasih karunia pembenaran, dan bahwa tidak dibutuhkan dalam hal apapun bahwa ia disiapkan dan diatur / dicondongkan oleh gerakan kehendaknya sendiri: terkutuklah dia) - ‘Systematic Theology’, hal 512.

Louis Berkhof juga menambahkan suatu kutipan dari Canon XXIV yang berbunyi sebagai berikut: “If any one saith, that the justice received is not preserved and also increased before God through good works; but that the said works are merely the fruits and signs of justification obtained, but not a cause of the increase thereof: let him he anathema” (= Jika seseorang berkata bahwa pembenaran yang diterima itu tidak dipelihara dan juga ditingkatkan di hadapan Allah melalui perbuatan baik; tetapi bahwa perbuatan baik yang disebutkan tadi semata-mata merupakan buah dan tanda / bukti dari pembenaran yang didapatkan, tetapi bukan suatu penyebab dari peningkatan itu: terkutuklah dia) - ‘Systematic Theology’, hal 512.

Juga, sekalipun beberapa ahli theologia Abad Pertengahan itu menganggap ‘justification’ (= pembenaran) sebagai tindakan seketika / sesaat (instant) dari Allah, tetapi beberapa ahli theologia Abad Pertengahan yang lain beranggapan bahwa ‘justification’ (= pembenaran) merupakan suatu proses.

III) Doktrin tentang justification (= pembenaran) setelah Reformasi.

Doktrin tentang ‘justification’ (= pembenaran) adalah pinsip yang besar dari Reformasi.

1) Sifat (nature) dari ‘justification’ (= pembenaran).

Berbeda dengan ‘regeneration’ (= kelahiran baru), ‘conversion’ (= pertobatan), dan ‘sanctification’ (= pengudusan) dimana Allah bertindak untuk memperbaharui orang berdosa itu, maka dalam ‘justification’ (= pembenaran) ini Allah hanya memberikan pernyataan secara hukum bahwa manusia itu dibenarkan.

Khusus tentang perbedaan ‘regeneration’ (= kelahiran baru) dan ‘justification’ (= pembenaran), John Murray berkata: “Regeneration is an act of God in us; justification is a judgment of God with respect to us” (= Kelahiran baru adalah pekerjaan Allah di dalam kita; pembenaran adalah penghakiman Allah berhubungan dengan kita) - ‘Redemption accomplished and applied’, hal 121.

Dan khususnya tentang hubungan ‘justification’ (= pembenaran) dan ‘sanctification’ (= pengudusan), para tokoh Reformasi membetulkan kesalahan para ahli theologia Abad Pertengahan / Roma Katolik yang mencampur-adukkan ‘justification’ (= pembenaran) dengan ‘sanctification’ (= pengudusan). Ini mereka lakukan dengan menekankan:

a) Sifat hukum dari ‘justification’ (= pembenaran).

Jadi ‘justification’ (= pembenaran) terjadi di luar manusia yang berdosa itu, yaitu di hadapan Allah; sedangkan ‘sanctification’ (= pengudusan) terjadi di dalam diri orang berdosa itu.

b) ‘Justification’ (= pembenaran) merupakan tindakan Allah yang mengampuni kita dan membenarkan kita, tetapi tidak mengubah kehidupan kita [Catatan: Allah memang akan mengubah hidup orang yang sudah dibenarkan, dan ini dimulai sejak pembenaran itu, tetapi ini termasuk ‘sanctification’ (= pengudusan), bukan ‘justification’ (= pembenaran)].

Dengan kata lain, ‘justification’ (= pembenaran) dan ‘sanctification’ (= pengudusan) mempunyai perbedaan dalam hubungannya dengan dosa.

Dosa mencakup 2 hal yaitu:

· ‘guilt’ (= kesalahan). Ini menyebabkan kita layak menerima hukuman.

· ‘pollution’ (= polusi). Ini menunjuk pada kebejatan dalam kecondongan maupun karakter, yang melekat pada orang berdosa.

‘Justification’ (= pembenaran) menyingkirkan ‘guilt of sin’ (= kesalahan dari dosa); sedangkan ‘sanctification’ (= pengudusan) menyingkirkan ‘pollution of sin’ (= polusi / kecemaran dari dosa) dan memperbaharui / menyucikan orang berdosa itu hari demi hari sehingga makin lama makin menyerupai gambar Allah.

c) Sifat ‘instant’ (= seketika / sesaat ) dan lengkap dari ‘justification’ (= pembenaran).

Para tokoh Reformasi menolak ‘progressive justification’ (= pembenaran yang progresif / bertahap), dan menganggap bahwa berbeda dengan ‘sanctification’ (= pengudusan) yang merupakan suatu proses yang berlangsung seumur hidup dan tidak pernah bisa selesai dalam hidup di dunia ini, maka ‘justification’ (= pembenaran) bukanlah suatu proses tetapi merupakan tindakan seketika / sesaat dari Allah dan terjadi hanya satu kali saja secara lengkap / penuh (complete).

Louis Berkhof: “There is no more or less in justification; man is either fully justified, or he is not justified at all” (= Tidak ada lebih atau kurang dalam pembenaran; atau manusia itu dibenarkan sepenuhnya, atau tidak sama sekali) - ‘Systematic Theology’, hal 513.

Charles Haddon Spurgeon: “The thief upon the cross was justified the moment that he turned the eye of faith to Jesus; and Paul, the aged, after years of service, was not more justified than was the thief with no service at all” (= Pencuri / penjahat di kayu salib dibenarkan pada saat ia memalingkan mata iman kepada Yesus; dan Paulus, yang sudah lanjut umurnya setelah bertahun-tahun melayani, tidak lebih dibenarkan dari pada pencuri / penjahat itu yang tidak melakukan pelayanan sama sekali) - ‘Morning and Evening’, May 15, morning.

Illustrasi: dalam persoalan keperawanan, seorang perempuan hanya mempunyai 2 kemungkinan yaitu ‘perawan’ atau ‘tidak perawan’; tidak bisa ‘agak perawan’. Orang yang sudah berhubungan sex 1000 x tidak bisa dikatakan ‘lebih tidak perawan’ dari pada orang yang baru berhubungan sex 1 x.

2) Dasar dari justification.

Tentang dasar dari ‘justification’ (= pembenaran), para tokoh Reformasi menolak ajaran Thomas Aquinas / Roma Katolik yang mengajarkan bahwa kasih karunia dimasukkan ke dalam manusia dengan mana hidupnya dijadikan benar, dan karena itu dosanya lalu diampuni. Para tokoh Reformasi menggantikan ajaran tersebut dengan mengajarkan bahwa dasar dari justification adalah kebenaran dari Yesus Kristus yang diperhitungkan pada diri kita. Jadi dasar dari ‘justification’ (= pembenaran) bukanlah perbuatan baik kita dan bahkan bukan iman kita, tetapi kehidupan yang benar dan penebusan Kristus.

Herman Bavinck: “Our comfort in this matter of justification therefore is that the whole righteousness which we require comes from outside ourselves in Christ Jesus. We are not the ones who must bring it into being” (= Karena itu penghiburan kita dalam persoalan pembenaran ini adalah bahwa seluruh kebenaran yang kita butuhkan datang dari luar diri kita sendiri dalam Kristus Yesus. Kita bukanlah orang yang harus menciptakannya) - ‘Our Reasonable Faith’, hal 454.

Charles Hodge: “The meritorious ground of justification is not faith; ... Nor are our works of any kind the ground of justification. ... The ground of justification is the righteousness of Christ, active and passive” (= Dasar yang berjasa dari pembenaran bukanlah iman; ... Juga perbuatan baik apapun dari kita bukanlah dasar dari pembenaran. ... Dasar dari pembenaran adalah kebenaran Kristus, aktif dan pasif) - ‘Systematic Theology’, vol III, hal 118.

Charles Hodge: “the Scriptures never say that we are justified ‘on account’ of faith (DIA PISTIN), but always ‘by,’ or ‘through’ faith (DIA or EK PISTEOS, or PISTEI)” [= Kitab Suci tidak pernah berkata bahwa kita dibenarkan karena iman (DIA PISTIN), tetapi selalu oleh atau melalui iman (DIA atau EK PISTEOS, atau PISTEI)] - ‘Systematic Theology’, vol III, hal 169.

Charles Hodge: “He, and not our faith, is the ground of our confidence” (= Ia, dan bukan iman kita, merupakan dasar dari keyakinan kita) - ‘Systematic Theology’, vol III, hal 169.

3) Elemen-elemen dari justification (= pembenaran).

a) Elemen negatif.

Ini menunjuk pada pengampunan dosa dari orang yang percaya, yang didasarkan pada penebusan oleh Kristus di kayu salib (ketaatan pasif dari Kristus).

Pengampunan dosa ini mencakup semua / segala dosa (bdk. Yehezkiel 36:25 Kolose 2:13 Titus 2:14 1Yoh 1:7,9), dan ini harus diartikan sebagai dosa yang lalu, sekarang, maupun yang akan datang, tanpa kecuali.

Louis Berkhof: “The pardon granted in justification applies to all sins, past, present, and future, and thus involves the removal of all guilt and of every penalty” (= Pengampunan yang diberikan dalam pembenaran berlaku bagi semua dosa, yang lalu, sekarang, dan akan datang, dan mencakup penghapusan semua kesalahan dan setiap hukuman) - ‘Systematic Theology’, hal 514.

Charles Hodge: “The sins which are pardoned in justification include all sins, past, present, and future. It does indeed seem to be a solecism that sins should be forgiven before they are committed. Forgiveness involves remission of penalty. But how can a penalty be remitted before it is incurred? This is only an apparent difficulty arising out of the inadequacy of human language. The righteousness of Christ is a perpetual donation. It is a robe which hides, or as the Bible expresses it, covers from the eye of justice the sins of the believer. They are sins; they deserve the wrath and curse of God, but the necessity for the infliction of that curse no longer exists. The believer feels the constant necessity for confession and prayer for pardon, but the ground of pardon is ever present for him to offer and plead. So that it would perhaps be a more correct statement to say that in justification the believer receives the promise that God will not deal with him according to his transgressions, rather than to say that sins are forgiven before they are committed” (= Dosa-dosa yang diampuni dalam pembenaran mencakup semua dosa, yang lalu, sekarang dan yang akan datang. Kelihatannya memang merupakan sesuatu yang salah bahwa dosa diampuni sebelum dosa itu dilakukan. Pengampunan mencakup pembatalan / pengampunan hukuman. Tetapi bagaimana suatu hukuman bisa dibatalkan / diampuni sebelum hal itu ada? Ini hanya kelihatannya saja merupakan suatu problem, yang muncul karena ketidak-cukupan bahasa manusia. Kebenaran Kristus merupakan sumbangan yang kekal / terus-menerus. Itu merupakan jubah yang menyembunyikan, atau seperti Alkitab menyatakannya, menutupi dari mata keadilan dosa-dosa orang yang percaya. Mereka itu adalah dosa-dosa; mereka layak mendapat murka dan kutukan dari Allah, tetapi keharusan untuk memberikan kutukan itu sudah tidak ada lagi. Orang percaya merasakan kebutuhan yang terus-menerus untuk pengakuan dan doa untuk pengampunan, tetapi dasar dari pengampunan selalu ada baginya untuk dipanjatkan dan dimohonkan. Sehingga mungkin merupakan pernyataan yang lebih benar untuk mengatakan bahwa dalam pembenaran orang percaya menerima janji bahwa Allah tidak akan memperlakukan dia menurut pelanggaran-pelanggarannya, dari pada mengatakan bahwa dosa-dosa diampuni sebelum mereka dilakukan) - ‘Systematic Theology’, vol III, hal 163-164.

John Murray: “there is a remission of all sin, past, present, and future in justification. If this is so, how are we to explain the need and fact of continued remission of sin? Perhaps the most satisfactory and proper way to express the distinction is that the judicial condemnation of all sin is removed in justification. Judicial wrath does not rest upon any justified person for sin that resides in him or which he continues to commit. This, however, does not make unreal the sin he commits nor does it eliminates the displeasure of God. All sin is the contradiction of God and so he must react against it with displeasure; he cannot be complacent to it. The relationship of God to the justified differs, however. And because of that new relationship, expressed particularly in that of Fatherhood, it is the fatherly displeasure in the recurrent remission that is administered in response to repentance and confession. ‘God doth continue to forgive the sins of those that are justified; and, although they can never fall from the state of justification, yet they may, by their sins, fall under God’s fatherly displeasure, and not have the light of His countenance restored unto them, until they humble themselves, confess their sins, beg pardon, and renew their faith and repentance’ (Confession of Faith XI, v). Justification immediately and permanently changes the relation to God and to law and justice. It includes remission of the penalty of all sin, that is, it removes judicial, penal condemnation for past, present and future sins. God is no longer a condemning Judge but a loving Father. Nevertheless they by their sins fall under his fatherly displeasure and so they need daily forgiveness - the removal of this displeasure and restoration to the light of the divine countenance” [= ada pengampunan terhadap semua dosa, yang lalu, sekarang dan akan datang dalam pembenaran. Jika demikian halnya, bagaimana kita menjelaskan tentang kebutuhan dan fakta tentang pengampunan dosa yang terus-menerus? Mungkin cara yang paling memuaskan dan benar untuk menyatakan perbedaan ini adalah bahwa penghukuman / pernyataan bersalah yang berhubungan dengan pengadilan dari semua dosa disingkirkan dalam pembenaran. Kemurkaan yang berhubungan dengan pengadilan tidak tinggal pada orang yang dibenarkan yang manapun untuk dosa yang tinggal dalam dia atau yang terus ia lakukan. Tetapi bagaimanapun hal ini tidak membuat dosa yang ia lakukan itu tidak nyata, dan tidak menghapuskan ketidak-senangan Allah. Semua dosa bertentangan dengan Allah, dan dengan demikian Ia harus bereaksi menentangnya dengan ketidak-senangan; Ia tidak bisa merasa puas / senang terhadapnya. Tetapi hubungan Allah dengan orang yang dibenarkan, berbeda. Dan karena hubungan yang baru itu, yang dinyatakan secara khusus dalam keBapaan, maka adalah ketidak-senangan yang bersifat kebapaan yang dibangkitkan dan adalah ketidak-senangan yang bersifat kebapaan yang dihapuskan dalam pengampunan yang berulangkali yang diberikan sebagai tanggapan terhadap pertobatan dan pengakuan dosa. ‘Allah terus-menerus mengampuni dosa-dosa dari mereka yang telah dibenarkan; dan meskipun mereka tidak akan pernah terjatuh dari status pembenaran ini, tetapi mereka, oleh dosa-dosanya, bisa jatuh ke bawah ketidak-senangan yang bersifat kebapaan dari Allah, dan sinar wajahNya tidak akan dipulihkan kepada mereka, sampai mereka merendahkan diri, mengaku dosa-dosa mereka, memohon pengampunan, serta memperbaharui iman dan pertobatan mereka’ (Pengakuan Iman Westminster XI, v). Pembenaran secara langsung dan secara permanen mengubah hubungan terhadap Allah, hukum dan keadilan. Itu mencakup pengampunan / penghapusan dari semua dosa, yaitu, itu menghapus hukuman yang bersifat pengadilan untuk dosa-dosa yang lalu, sekarang dan akan datang. Allah bukan lagi merupakan seorang Hakim yang menyalahkan / menghukum tetapi seorang Bapa yang mengasihi. Tetapi bagaimanapun oleh dosa mereka mereka jatuh di bawah ketidak-senangan yang bersifat kebapaan dan dengan demikian mereka membutuhkan pengampunan setiap hari - penghapusan dari ketidak-senangan ini dan pemulihan kepada terang dari persetujuan / perkenan ilahi”] - ‘Collected Writings of John Murray’, vol II, hal 218-219.

Louis Berkhof: “Believers continue to sin after they are justified, ... the justified man remains a sinner, though a justified sinner” (= Orang-orang percaya terus berbuat dosa setelah mereka dibenarkan, ... orang yang dibenarkan tetap adalah orang berdosa, sekalipun orang berdosa yang dibenarkan) - ‘Systematic Theology’, hal 514.

b) Elemen positif.

Kebenaran Kristus diperhitungkan (imputed) kepada kita yang percaya, dan ini didasarkan secara lebih khusus pada ketaatan aktif (kesucian hidup) dari Kristus.

B. B. Warfield: “The theological use of the term ‘imputation’ is probably rooted in the employment of the verb IMPUTO in the Vulgate to translate the Greek verb LOGIZESTHAI in Ps. 32:2. This passage is quoted by Paul in Rom. 4:8 and made one of the foundations of his argument that, in saving man, God sets to his credit a righteousness without works” [= Penggunaan theologis dari istilah ‘imputation / tindakan memperhitungkan’ mungkin berasal mula dari penggunaan kata kerja IMPUTO dalam Vulgate (Kitab Suci berbahasa Latin) untuk menterjemahkan kata Yunani LOGIZESTHAI dalam Mazmur 32:2. Ayat ini dikutip oleh Paulus dalam Roma 4:8 dan dijadikan salah satu fondasi dari argumentasinya bahwa, dalam menyelamatkan manusia, Allah memberikan untuk keuntungan manusia suatu kebenaran tanpa perbuatan baik] - ‘Biblical and Theological Studies’, hal 262.

B. B. Warfield: “In the developed theology thus brought into the possession of the Church, three several acts of imputation were established and expounded. These are the imputation of Adam’s sin to his posterity; the imputation of the sins of His people to the Redeemer; the imputation of the righteousness of Christ to His people. ... That the sin of Adam was so set to the account of his descendants that they have actually shared in the penalty which was threatened to it; and that the sins of His people were so set to the account of our Lord that He bore them in His own body on the tree, and His merits are so set to their account that by His stripes they are healed, the entirety of historical orthodox Christianity unites in affirming” (= Dalam theologia yang sudah berkembang yang menjadi milik Gereja, ada tiga tindakan perhitungan yang ditetapkan dan diuraikan. Mereka adalah perhitungan dosa Adam kepada keturunannya; perhitungan dosa-dosa umatNya kepada sang Penebus; perhitungan kebenaran Kristus kepada umatNya. ... Bahwa dosa Adam begitu ditetapkan pada tanggungan / rekening dari keturunannya sehingga mereka betul-betul ikut mendapatkan hukuman yang diancamkan terhadap dosa itu; dan bahwa dosa-dosa umatNya begitu ditetapkan pada tanggungan / rekening dari Tuhan kita sehingga Ia memikul mereka dalam tubuhNya sendiri di kayu salib, dan kebaikanNya begitu ditetapkan pada tanggungan / rekening mereka sehingga oleh bilur-bilurNya mereka disembuhkan, seluruh Kekristenan yang orthodox dalam sejarah bersatu dalam menegaskan / mengesahkan) - ‘Biblical and Theological Studies’, hal 263,264.

John Murray: “If we say that the trespass of Adam is imputed to posterity, all we can strictly and properly be regarded as meaning is that the sin of Adam is reckoned by God as the sin also of posterity. ... The parallel to the imputation of Adam’s sin is the imputation of Christ’s righteousness” (= Jika kita berkata bahwa pelanggaran Adam diperhitungkan kepada keturunannya, yang kita maksudkan secara ketat dan benar adalah bahwa dosa Adam diperhitungkan oleh Allah juga sebagai dosa dari keturunannya. ... Hal yang paralel dengan perhitungan dosa Adam adalah perhitungan kebenaran Kristus) - ‘The Imputation of Adam’s Sin’, hal 72,76.

Dalam Kitab Suci elemen positif ini sering digambarkan dengan pemberian ‘jubah / pakaian kebenaran’ (bdk. Maz 132:9,16 Yes 61:10 Zakh 3:1-5 Mat 22:11 Wah 3:18).

c) Elemen positif dan negatif ditinjau bersama-sama.

Zakh 3:4b jelas menunjukkan adanya elemen negatif dan elemen positif dalam ‘justification’ (= pembenaran).

Zakh 3:4b - “Lihat, dengan ini aku telah menjauhkan kesalahanmu dari padamu! (ini elemen negatif) Aku akan mengenakan kepadamu pakaian pesta (ini elemen positif)”.

Juga Kis 26:18b - “supaya mereka oleh iman mereka kepadaKu memperoleh pengampunan dosa (ini elemen negatif) dan mendapat bagian dalam apa yang ditentukan untuk orang-orang yang dikuduskan (ini elemen positif)”.

Charles Hodge: “Our justification as a whole is sometimes referred to the blood of Christ, and sometimes to his obedience. This is intelligible because the crowning act of his obedience, and that without which all else had been unavailing, was his laying down his life for us. It is, perhaps, more correct to say that the righteousness of Christ, including all He did and suffered in our stead, is imputed to the believer as the ground of his justification, and the consequences of this imputation are, first, the remission of sin, and secondly, the acceptance of the believer as righteous” (= Pembenaran kita secara keseluruhan kadang-kadang dihubungkan dengan darah Kristus, dan kadang-kadang dengan ketaatanNya. Ini bisa dimengerti karena tindakan puncak dari ketaatanNya, tanpa hal mana semua yang lain adalah sia-sia / tak berguna, adalah penyerahan nyawaNya bagi kita. Mungkin lebih benar untuk berkata bahwa kebenaran Kristus, termasuk semua yang Ia lakukan dan derita untuk menggantikan kita, diperhitungkan kepada orang percaya sebagai dasar pembenarannya, dan konsekwensi dari perhitungan ini pertama-tama adalah pengampunan dosa, dan kedua adalah penerimaan orang percaya sebagai orang benar) - ‘Systematic Theology’, vol III, hal 161-162.

Satu hal yang ingin saya tambahkan di sini adalah: jika manusia membenarkan orang berdosa / jahat, maka itu merupakan hal yang jahat di mata Tuhan (Amsal 17:15 Yes 5:23). Allah sendiri mengampuni dan membenarkan orang berdosa (Ro 4:5,22-25 bdk. Ro 3:19-24), tetapi ini bisa terjadi hanya karena penebusan dosa dan kehidupan yang benar yang dilakukan oleh Yesus Kristus. Seandainya tidak ada penebusan dosa dan kehidupan yang benar yang dilakukan oleh Yesus Kristus, maka pengampunan dan pembenaran terhadap orang berdosa akan merupakan suatu ketidak-adilan dan ketidak-benaran yang bertentangan dengan keadilan dan kesucian Allah. Tetapi karena adanya penebusan dosa dan kehidupan yang benar yang dilakukan oleh Yesus Kristus, Allah bisa melakukan hal ini, dan keadilan / kebenaran tetap dipenuhi. Bdk. Ro 5:17-19.

Seseorang yang tak dikenal (anonymous) berkata:

“The holiness of God excuses no sin, but the love of God forgives all sin through Christ” (= Kekudusan / kesucian Allah tidak memaafkan / mengabaikan / mengampuni dosa, tetapi kasih Allah mengampuni semua dosa melalui Kristus) - ‘The Encyclopedia of Religious Quotations’, hal 409.

4) Syarat atau cara / jalan (means) untuk mendapatkan justification.

Tentang syarat atau cara / jalan (means) untuk mendapatkan justification, para tokoh Reformasi menekankan bahwa manusia dibenarkan secara cuma-cuma hanya oleh iman kepada Yesus Kristus (Roma 3:24,27-28 Galatia 2:16 Efesus 2:8-9 Filipi 3:9).

Charles Hodge: “Faith is the condition of justification. ... God does not impute the righteousness of Christ to the sinner, until and unless, he (through grace), receives and rests on Christ alone for his salvation” [= Iman adalah syarat dari pembenaran. ... Allah tidak memperhitungkan kebenaran Kristus kepada orang berdosa, sampai dan kecuali, ia (melalui kasih karunia), menerima dan bersandar hanya kepada Kristus untuk keselamatannya] - ‘Systematic Theology’, vol III, hal 118.

Charles Hodge: “Faith is the condition on which God promises in the covenant of redemption, to impute unto men the righteousness of Christ. As soon, therefore, as they believe, they cannot be condemned. They are clothed with a righteousness which answers all the demands of justice” (= Iman adalah syarat di atas mana Allah menjanjikan dalam perjanjian penebusan, untuk memperhitungkan kepada manusia kebenaran Kristus. Karena itu, begitu mereka percaya, mereka tidak dapat dihukum / dinyatakan bersalah. Mereka diberi pakaian dengan suatu kebenaran yang memenuhi semua tuntutan keadilan) - ‘Systematic Theology’, vol III, hal 105.

William G. T. Shedd: “Faith unites with Christ, and union with Christ results in justification” (= Iman mempersatukan dengan Kristus, dan persatuan dengan Kristus menghasilkan pembenaran) - ‘Shedd’s Dogmatic Theology’, vol II, hal 538.

Herman Bavinck: “The righteousness which justifies us, therefore, is not to be separated from the person of Christ. It does not consists of a material or spiritual gift which Christ can grant us apart from Himself or which we can accept and receive apart from the person of Christ. There is no possibility of sharing in the benefits of Christ without being in the fellowship with the person of Christ, and the latter invariably brings the benefits with it. In order to stand before the judgment of God, to be acquitted of all guilt and punishment, and to share in the glory of God and eternal life, we must have Christ, not something of Him, but Christ Himself” (= Karena itu, kebenaran yang membenarkan kita tidak boleh dipisahkan dari pribadi Kristus. Itu tidak terdiri dari karunia yang bersifat materi atau rohani yang bisa diberikan oleh Kristus kepada kita terpisah dari diriNya sendiri, atau yang bisa kita terima terpisah dari pribadi Kristus. Tidak ada kemungkinan untuk ikut mendapatkan manfaat dari Kristus tanpa berada dalam persekutuan dengan pribadi Kristus, dan persekutuan dengan pribadi Kristus selalu membawa manfaat itu dengannya. Untuk bisa berdiri di depan penghakiman Allah, dan dibebaskan dari semua kesalahan dan hukuman, dan ikut mendapatkan kemuliaan Allah dan hidup yang kekal, kita harus memiliki Kristus, bukan sesuatu dari Dia, tetapi Kristus sendiri) - ‘Our Reasonable Faith’, hal 454-455.

Beberapa hal yang perlu disoroti tentang pembenaran oleh iman:

a) Karena semua orang berdosa / tidak benar (bdk. Ro 3:10,23), maka semua orang membutuhkan ‘justification’ (= pembenaran). Bahwa dalam Kitab Suci dikatakan ada orang benar, seperti Nuh (Kej 6:9 7:1) dan Ayub (Ayub 1:1,8 2:3), maka ini tidak menunjukkan bahwa mereka suci / tak membutuhkan ‘justification’ / ‘pembenaran’ (bdk. Kej 9:21 dimana Nuh mabuk dan Ayub 13:26 dimana Ayub berbicara tentang kesalahan pada masa mudanya), tetapi menunjuk pada ‘kebenaran relatif’ (dibandingkan dengan orang-orang lain), atau pada ‘pembenaran oleh iman’.

b) Iman yang menyebabkan kita dibenarkan adalah iman kepada Kristus sebagai Juruselamat / Penebus dosa. Dasar Kitab Suci:

· Ro 3:25 - ‘karena iman dalam darahNya’ [NIV: ‘through faith in his blood’ (= melalui iman dalam darahNya)]

· Ro 5:9 - ‘dibenarkan oleh darahNya’.

· nama ‘Yesus’ diberikan ‘karena Dialah yang menyelamatkan umatNya dari dosa mereka’ (Mat 1:21).

Karena itu kalau seseorang percaya kepada Yesus sekedar sebagai dokter / penyembuh, pelaku mujijat, penolong dari problem duniawi, pemberi kekayaan, dsb, ia belum dibenarkan. Bdk. 1Kor 15:19 - “Jikalau kita hanya dalam hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia”.

Charles Hodge menuliskan suatu petunjuk / pengarahan kuno bagi orang yang mengunjungi orang sakit (mungkin yang dimaksud adalah orang yang sakit berat dan hampir mati), yang berbunyi sebagai berikut:

“Dost thou believe that thou canst not be saved, but by the death of Christ? The sick man answereth, Yes. Then let it be said unto him, Go to, then, and whilst thy soul abideth in thee, put all thy confidence in this death alone, place thy trust in no other thing, commit thyself wholly to this death, cover thyself wholly with this alone, cast thyself wholly on this death, wrap thyself wholly in this death. And if God would judge thee, say, Lord, I place the death of our Lord Jesus Christ between me and thy judgment; and otherwise I will not contend, or enter into judgment with thee. And if He shall say unto thee, that thou art a sinner, say, I place the death of our Lord Jesus Christ between me and my sins. If He shall say unto thee, that thou hast deserved damnation, say, Lord, I put the death of our Lord Jesus Christ between thee and all my sins; and I offer his merits for my own, which I should have, and have not. If He say that He is angry with thee: say, Lord, I place the death of our Lord Jesus Christ between me and thy anger” (= Apakah engkau percaya bahwa engkau tidak bisa diselamatkan, kecuali oleh kematian Kristus? Orang sakit itu menjawab: ‘Ya’. Lalu biarlah dikatakan kepadanya: ‘Kalau demikian, pergilah kepadaNya, dan sementara jiwamu masih tinggal di dalam kamu, letakkanlah seluruh keyakinanmu pada kematian ini saja, janganlah menempatkan kepercayaanmu pada hal yang lain, serahkanlah / percayakanlah dirimu sepenuhnya pada kematian ini, tutupilah dirimu sepenuhnya dengan kematian ini saja, lemparkanlah dirimu sepenuhnya pada kematian ini, bungkuslah dirimu sepenuhnya dalam kematian ini. Dan jika Allah menghakimimu, katakanlah: Tuhan, aku meletakkan kematian Tuhan kami Yesus Kristus antara aku dan penghakimanMu; dan kalau tidak aku tidak akan melawan atau masuk ke dalam penghakiman dengan Engkau. Dan jika Ia berkata kepadamu bahwa engkau adalah orang berdosa, katakanlah: Aku meletakkan kematian Tuhan kami Yesus Kristus antara Engkau dan dosa-dosaku; dan aku mempersembahkan jasa / kebaikanNya untuk diriku sendiri, yang seharusnya aku miliki tetapi aku tidak memilikinya. Jika Ia berkata bahwa Ia marah kepadamu: katakan: Tuhan, aku menempatkan kematian Tuhan kami Yesus Kristus antara aku dan kemarahanMu) - ‘Systematic Theology’, vol III, hal 154-155.

c) Ditinjau sebagai cara untuk mendapatkan ‘justification’ (= pembenaran), maka ‘faith’ / ‘iman’ bertentangan dengan ‘works’ / ‘perbuatan baik’ (Gal 5:2-4), dan karenanya sekalipun kita diperintahkan untuk beriman kepada Kristus (Yoh 6:29 Kis 16:31 1Yoh 3:23a), tetapi ‘faith’ / ‘iman’ tetap tidak bisa dianggap sebagai ‘works’ / ‘perbuatan baik’. Juga perlu diingat bahwa ‘faith’ / ‘iman’ adalah pemberian Allah (Fil 1:29 Ef 2:8-9).

Doktrin ‘justification by works’ (= pembenaran oleh perbuatan baik) merupakan ajaran sesat yang bertentangan dengan ayat-ayat seperti Kis 13:38-39 Roma 3:20 Ro 4:2 Roma 10:3-4 Gal 2:16,21 Gal 3:10-12 Gal 5:4 Ef 2:8-9 Fil 3:9, dan karenanya harus ditentang.

Cynddylan Jones mengomentari Ef 2:8-9 sebagai berikut:

“You might as well try to cross the Atlantic in a paper boat as to get to heaven by your own good works” (= Kamu bisa mencoba menyeberangi Lautan Atlantik dalam sebuah perahu kertas sama seperti kamu mau ke surga dengan perbuatan-perbuatan baikmu sendiri).

Martin Luther: “The most damnable and pernicious heresy that has ever plagued the mind of men was the idea that somehow he could make himself good enough to deserve to live with an all-holy God” (= Ajaran sesat yang paling terkutuk dan jahat / merusak yang pernah menggoda pikiran manusia adalah gagasan bahwa entah bagaimana ia bisa membuat dirinya sendiri cukup baik sehingga layak untuk hidup dengan Allah yang mahasuci) - Dr. D. James Kennedy, ‘Evangelism Explosion’, hal 31-32.

Pembenaran oleh perbuatan baik ini bukan hanya bertentangan dengan hukum Tuhan / Firman Tuhan tetapi juga bertentangan dengan hukum negara / hukum duniawi. Contoh: seseorang ditangkap polisi karena melanggar peraturan lalu lintas dan satu minggu setelahnya harus menghadap ke pengadilan. Dalam waktu satu minggu itu ia lalu banyak berbuat baik untuk menebus kesalahannya. Ia menolong tetangga, memberi uang kepada pengemis, dsb. Pada waktu persidangan, ia membawa semua orang kepada siapa ia sudah melakukan kebaikan itu sebagai saksi. Pada waktu hakim bertanya: ‘Benarkah saudara melanggar peraturan lalu lintas?’, ia lalu menjawab: ‘Benar pak hakim, tetapi saya sudah banyak berbuat baik untuk menebus dosa saya. Ini saksi-saksinya’. Sekarang pikirkan sendiri, kalau hakim itu waras, apakah hakim itu akan membebaskan orang itu? Jawabnya jelas adalah ‘tidak’! Jadi terlihat bahwa dalam hukum duniapun kebaikan tidak bisa menutup / menebus / menghapus dosa! Demikian juga dengan dalam hukum Tuhan / Kitab Suci!

Juga perlu dicamkan bahwa baptisan dan pengakuan dosa termasuk dalam ‘perbuatan baik’, dan karenanya tidak boleh dianggap sebagai hal yang bisa menyebabkan kita dibenarkan atau sebagai syarat mutlak bagi pembenaran.

Sedangkan doktrin ‘justification by faith alone’ (= pembenaran karena iman saja) jelas merupakan doktrin yang Alkitabiah dan Injili, yang didukung oleh ayat-ayat seperti Roma 3:24,27-28 Galatia 2:16 Efesus 2:8-9 Fil 3:9.

Memang dalam Kitab Suci ada ayat-ayat yang seolah-olah mengajarkan ‘pembenaran / keselamatan karena perbuatan baik’, seperti Matius 7:21 Mat 25:31-46 Yoh 5:29. Juga dalam Kitab Suci ada ayat-ayat yang seolah-olah mengajarkan ‘pembenaran / keselamatan karena iman dan perbuatan baik’, seperti Yak 2:21-22,24-25.

Tetapi kalau kita menafsirkan bahwa ayat-ayat ini betul-betul menunjukkan bahwa kita dibenarkan / diselamatkan karena perbuatan baik kita atau karena iman dan perbuatan baik kita, maka ayat-ayat ini akan bertentangan dengan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa perbuatan baik kita tidak bisa membenarkan / menyelamatkan diri kita dan juga bertentangan dengan ayat-ayat yang menunjukkan pembenaran / keselamatan karena iman saja.

Ayat-ayat seperti itu ada dalam Kitab Suci karena iman selalu menghasilkan perbuatan baik, atau dengan kata lain, perbuatan baik adalah bukti dari iman (Yak 2:17,26), dan karenanya juga merupakan bukti dari pembenaran / keselamatan. Tetapi apa yang menyebabkan kita dibenarkan, tetap adalah iman saja.

Herman Bavinck: “This righteousness of Christ is so perfect and adequate that it requires no completion or supplementation of our own. As a matter of fact it can in no way be increased or amplified by us, for it is an organic whole. ... This righteousness has not been put together from piece or fragments. You either have all of it or none of it. We cannot get a part of it and fill in the rest ourselves” (= Kebenaran Kristus adalah begitu sempurna dan mencukupi sehingga itu tidak membutuhkan pelengkapan / penyempurnaan atau penambahan dari kebenaran kita sendiri. Dalam faktanya, itu tidak bisa dinaikkan atau dikuatkan dengan cara apapun oleh kita, karena itu merupakan suatu kesatuan organik yang utuh. ... Kebenaran ini tidak dikumpulkan dari potongan atau pecahan-pecahan. Atau engkau memiliki seluruhnya atau tidak sama sekali. Kita tidak bisa mendapatkan sebagian darinya dan melengkapi / menyempurnakan sendiri sisanya) - ‘Our Reasonable Faith’, hal 453.

d) Apakah ajaran ‘pembenaran oleh iman saja’ ini merupakan ajaran yang berbahaya, karena bisa menyebabkan seseorang berbuat dosa seenaknya sendiri?

John Murray: “It is an old and time-worn objection that this doctrine ministers to licence and looseness. Only those who know not the power of the gospel will plead such misconception. Justification is by faith alone, but not by a faith that is alone. ... Faith alone justifies but a justified person with faith alone would be a monstrosity which never exists in the kingdom of grace. ... faith without works is dead (cf. James 2:17-20). No one has entrusted himself to Christ for deliverance from the guilt of sin who has not also entrusted himself to him for deliverance from the power of sin” [= Merupakan keberatan yang sudah lama dan usang bahwa doktrin ini menyebabkan / mendukung kebebasan yang berlebihan dan kelonggaran (untuk berbuat dosa). Hanya mereka yang tidak mengenal kuasa injil yang akan menyatakan konsep salah seperti itu. Pembenaran adalah oleh iman saja, tetapi bukan oleh iman yang ada sendirian. ... Iman saja membenarkan, tetapi seseorang yang dibenarkan yang hanya mempunyai iman merupakan suatu hal yang mengerikan yang tidak pernah ada dalam kerajaan kasih karunia. ... iman tanpa perbuatan adalah mati (bdk. Yak 2:17-20). Tidak seorangpun yang telah mempercayakan dirinya kepada Kristus untuk pembebasan dari kesalahan dari dosa yang tidak juga mempercayakan dirinya kepadaNya untuk pembebasan dari kuasa dosa] - ‘Redemption accomplished and applied’, hal 131.

Charles Hodge: “the very act of faith which secures our justification, secures also our sanctification. It cannot secure the one without securing also the other. ... If we are justified, we are sanctified. He, therefore, who lives in sin, proclaims himself an unbeliever” (= tindakan iman yang menjamin pembenaran kita, juga menjamin pengudusan kita. Itu tidak bisa menjamin yang satu tanpa menjamin juga yang lainnya. ... Jika kita dibenarkan, kita dikuduskan. Karena itu, ia yang hidup di dalam dosa, memproklamasikan dirinya sendiri sebagai orang yang tidak percaya) - ‘Systematic Theology’, vol III, hal 171.

BACA JUGA: TULIP: LIMA POKOK CALVINISME

Ajaran yang bagaimanapun benarnya bisa ditanggapi secara salah. Adanya tanggapan yang salah tidak boleh menyebabkan kita mengubah ajaran itu. Perlu saudara pikirkan bahwa kalau saudara mengubah ajaran ‘pembenaran karena iman saja’ menjadi ‘pembenaran karena perbuatan baik’ atau ‘pembenaran karena iman dan perbuatan baik’, maka itu bukan saja berarti bahwa saudara mengajarkan ajaran sesat, tetapi juga bahwa ajaran itu akan menimbulkan akibat negatif yang lain, seperti tidak adanya keyakinan keselamatan, dan karenanya tidak adanya damai dan sukacita. Karena itu kita harus mempertahankan ajaran yang benar yaitu ‘pembenaran karena iman saja’, dan kalau ada orang yang menanggapi secara salah, biarlah orang itu bertanggung jawab sendiri kepada Tuhan!

IV) Saat seseorang dibenarkan (the time of justification).

Ada 3 teori tentang kapan seseorang dibenarkan:

1) Kita (orang pilihan) dibenarkan sejak kekekalan.

Ini sering disebut dengan istilah ‘justification from eternity’ (= pembenaran sejak kekekalan).

Louis Berkhof: “the advocates of a justification from eternity also speak of a justification by faith. But in their representation this can only mean that man by faith becomes conscious of what God has done in eternity” (= para pendukung dari pembenaran sejak kekekalan ini juga berbicara tentang pembenaran oleh iman. Tetapi dalam gambaran mereka, ini hanya bisa berarti bahwa manusia oleh iman menjadi sadar tentang apa yang Allah telah lakukan dalam kekekalan) - hal 519.

Dasar yang dipakai:

a) Kitab Suci berbicara tentang kasih karunia atau belas kasihan Allah yang ada sejak kekekalan (Maz 25:6 Mazmur 103:17).

Jawab: bahwa Allah mempunyai kasih karunia / kasih atau belas kasihan sejak kekekalan, tidak berarti bahwa hal itu diwujudkan dengan memberikan justification (= pembenaran) pada saat itu. Itu diwujudkan dengan melakukan election / pemilihan, rencana penebusan, dsb.

b) Dalam rencana penebusan, dosa-dosa orang pilihan diperhitungkan kepada Kristus, dan kebenaran Kristus diperhitungkan kepada orang-orang pilihan, dan orang-orang pilihan dibenarkan.

Jawab:

Ini mencampuradukkan justification (= pembenaran) dengan election / eternal decree (= pemilihan / ketetapan kekal) atau mencampuradukkan Rencana Allah dan pelaksanaan dari Rencana Allah tersebut. Dalam kekekalan Allah hanya menetapkan hal-hal itu, tetapi pelaksanaan dari hal-hal itu itu belum terjadi pada saat itu.

Louis Berkhof: “If this justification in the intention of God warrants our speaking of a justification from eternity, then there is absolutely no reason why we should not speak of a creation from eternity as well” (= Jika pembenaran dalam maksud Allah ini membenarkan kita untuk berbicara tentang pembenaran sejak kekekalan, maka tidak ada alasan sama sekali mengapa kita tidak harus berbicara juga tentang penciptaan sejak kekekalan) - hal 519.

2) Kita (orang pilihan) dibenarkan pada saat kebangkitan Kristus.

Dasar pandangan ini:

a) Pada saat Kristus mati dan bangkit semua tuntutan hukum untuk orang-orang pilihan sudah dipuaskan, dan karena itu pada saat itu orang-orang pilihan sudah dibenarkan.

Jawab:

Louis Berkhof: “But here too careful distinction is required. Even though it be true that there was an objective justification of Christ and of the whole body of Christ in His resurrection, this should not be confounded with the justification of the sinner of which Scripture speaks. It is not true that when Christ rendered full satisfaction to the Father for all His people, their guilt naturally terminated. A penal debt is not like a pecuniary debt in this respect. Even after the payment of a ransom, the removal of guilt may depend on certain conditions, and does not follow as a matter of course. The elect are not personally justified in the Scriptural sense until they accept Christ by faith and thus appropriate His merits” (=) - hal 519-520.

Ini membingungkan. Perbedaan objective justification dan subjective justification (hal 517) membingungkan.

b) Roma 4:25 - “Yesus, yang telah diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan karena pembenaran kita”.

BACA JUGA: PEMBENARAN: KARAKTERISTIKNYA

NIV: ‘He was delivered over to death for our sins and was raised to life for our justification’ (= Ia diserahkan kepada kematian untuk dosa-dosa kita dan dibangkitkan untuk pembenaran kita).

Jawab: ini bisa diartikan bahwa kebangkitan Kristus terjadi supaya kita bisa dibenarkan. Jadi tak berarti bahwa pembenarannya terjadi pada saat kebangkitan Kristus.

Bavinck kelihatannya percaya pandangan no 1 atau 2 atau both!

Our Reasonable Faith, hal 459.

3) Kita dibenarkan pada saat kita beriman kepada Kristus.

‘Westminster Confession of Faith’, chapter XI, no 4:

“God did, from all eternity, decree to justify all the elect, and Christ did, in the fulness of time, die for their sins, and rise again for their justification: nevertheless, they are not justified, until the Holy Spirit doth, in due time, actually apply Christ unto them” (= Sejak kekekalan Allah telah menetapkan untuk membenarkan semua orang-orang pilihanNya, dan Kristus, setelah genap waktunya, telah mati bagi dosa-dosa mereka, dan telah bangkit kembali bagi pembenaran mereka; meskipun demikian, mereka masih belum dibenarkan, sampai pada saat Roh Kudus, pada saat yang tepat, betul-betul menerapkan Kristus kepada mereka).

Next Post Previous Post