4 MAKNA BAIT ALLAH DALAM KEHIDUPAN ORANG PERCAYA

IMPLIKASI MAKNA BAIT ALLAH DALAM KEHIDUPAN ORANG PERCAYA (1 KORINTUS 3:16-17)

1. Hidup dalam Kesatuan

Bait Allah adalah kumpulan orang-orang percaya. Sebagai suatu kumpulan, maka didalamnya terdapat berbagai macam orang dengan latar belakang kehidupan, budaya, pendidikan, status sosial, bahkan karakter dan sifat yang berbeda-beda. Semua perbedaan semacam ini, dari satu sisi merupakan keunikan tersendiri bagi suatu perkumpulan, tetapi disisi lain juga bisa menjadi faktor utama yang memicu terjadinya perpecahan dalam perkumpulan tersebut.
4 MAKNA BAIT ALLAH DALAM KEHIDUPAN ORANG PERCAYA
otomotif, gadget
Jemaat di Korintus adalah jemaat yang majemuk dalam berbagai hal. Dari Apa yang tertulis dalam surat ini, kemajemukan rupanya telah meruncing terjadinya pengelompokan yang berpotensi menimbulkan berbagai masalah dalam jemaat, yang kemudian mengancam kesatuan jemaat sebagai tubuh Kristus. Jika kesatuan jemaat tidak dapat dipertahankan, maka kebenaran akan sulit dinyatakan. Oleh sebab itu, perpecahan sedapat mungkin tidak boleh dibiarkan terjadi; walau harus diakui bahwa perbedaan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari.

Salah satu faktor yang memicu terjadinya perpecahan adalah sikap favoritisme. Dalam jemaat di Korintus, ada jemaat yang mengagumi Paulus, ada yang mengagumi Apolos, Kefas dan Kristus. Memang tidak ada salahnya mengagumi pemimpin rohani atau hamba Tuhan tertentu, tetapi hal ini harus dalam porsi yang wajar. Namun, yang terjadi dalam jemaat di Korintus adalah kekaguman yang berlebihan. Billy Kristianto mengungkapkan bahwa:

Akan tetapi yang terjadi dalam jemaat Korintus bukanlah kekaguman biasa. Kekaguman yang tidak wajar ini akhirnya membawa semangat favoritisme yang kekanak-kanakan, dan inilah yang merusak gereja Tuhan. Ketika kita hanya mau mendengar hamba Tuhan tertentu kita sedang berpotensi untuk menjadi jemaat yang terpecah belah, seperti yang tertulis dalam surat ini. Ada aspek negatif ketika kita menunjukkan sikap favoritisme – bukan hanya dalam hal kekaguman yang cenderung membawa kepada kultus individu, melainkan juga dalam kesempitan hati untuk tidak mau diajar oleh yang lain.

Dari pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa untuk menjaga dan melestarikan kesatuan, sikap favoritisme yang berlebihan harus dihindari. Setiap orang yang adalah anggota Bait Allah (kumpulan orang percaya) harus menjaga dan memperhatikan diri supaya mereka tidak berlebihan mengagumi atau mengagungkan seseorang (dalam hal ini para pemimpin mereka atau hamba Tuhan yang melayani mereka). 

Dengan menjauhkan diri dari sikap favoritisme yang berlebihan semacam ini, maka pengkultusan terhadap pemimpin rohani atau hamba Tuhan tidak akan muncul. Setiap orang hendaknya memandang kepada Kristus saja yang adalah kepala, dan menjadikan Dia sebagai pusat segala-galanya.

Ancaman lain terhadap kesatuan jemaat sebagai kumpulan orang percaya adalah adanya sikap yang tidak benar terhadap karunia-karunia rohani. Kenyataan ini tidak saja dapat ditemui dalam surat 1 Korintus ini, tetapi juga dalam surat Efesus. Dalam surat-surat Paulus terlihat dengan jelas bahwa Allah memberi karunia-karunia rohani kepada anak-anak-Nya untuk kebaikan mereka walau pada kenyataannya karunia-karunia ini juga dijadikan alat perpecahan. 

Orang Kristen sepatutnya menyadari bahwa sifat gereja yang sesungguhnya adalah “Jemaat yang adalah tubuh-Nya” (Efesus 1:22-23). Semua orang percaya adalah anggota tubuh Kristus di mana setiap orang mempunyai tempat dan fungsi masing-masing (1 Korintus 12). Oleh karena itu, semua orang percaya bertanggung jawab untuk saling memerhatikan satu sama lain.

Kenyataan bahwa karunia rohani tidak diberikan kepada satu orang saja bisa saja menjadi fakor yang memicu terjadinya perselisihan dan perpecahan. Karena setiap orang memiliki karunia, maka kecenderungan untuk mengunggulkan karunia yang diperoleh dengan mudah terbentuk. Karunia yang satu dianggap lebih istimewa dan mulia dari pada karunia yang lain. 

Pada tingkat ini, karunia yang seharusnya dipakai untuk melengkapi, membangun dan melayani justru menjadi sarana untuk menonjolkan diri, yang kemudian memicu terjadinya perselisihan dan perpecahan. Karunia rohani tidak diberikan untuk kepentingan pribadi atau keuntungan pribadi, bukan juga untuk menyatakan bahwa seseorang sudah lebih dewasa secara rohani atau telah mencapai tahap kerohanian yang lebih tinggi. Karunia rohani patut dilihat dalam perspektif Allah, Sang Pemberi karunia, bukan berdasarkan hikmat duniawi. 

Hikmat duniawi cenderung membawa kepada keegoisan dan penonjolan diri, tetapi hikmat surgawi menuntun kepada kerendahan hati karena Kristus adalah standarnya. Kristus adalah kekuatan kekuatan Allah dan hikmat Allah (1 Korintus 1:24). 

Isu kepemimpinan dan karunia rohani masih merupakan isu yang sering mendominasi munculnya masalah perpecahan gereja. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa kesatuan orang-orang percaya masih merupakan hal yang patut diperjuangkan dan diusahakan dengan sungguh-sungguh. Hal ini mungkin karena tidak adanya sikap sehati sepikir.

Keanekaragaman tidak dapat dihapuskan dari persekutuan orangorang percaya. Bait Allah yang adalah kumpulan orang-orang percaya perlu memahami dan memaknai keanekaragaman dalam berbagai aspek itu sebagai suatu sarana untuk saling memperlengkapi. Ketika orangorang yang beranekaragam itu saling memperlengkapi, melayani dan membangun dalam kasih, Kristus dinyatakan dengan cara yang indah. Panggilan Kristiani ialah hidup dalam persatuan. Komunitas Kristiani yang bersatu dalam suasana saling mengasihi adalah tempat nyata di mana Yesus membuat diri-Nya dapat dilihat.

2. Hidup dalam Penyembahan

Ketika Allah menyatakan diri-Nya, maka ada penyembahan. Di mana Allah hadir, di situlah ciptaan-Nya patut menyembah kepada-Nya (bnd. Kejadian 12:8). Allah bersemayam di surga, di sanalah para malaikat menyembah-Nya. Ketika Allah hadir di Bait Suci, di sanalah umat-Nya menyembah Dia. Kehadiran Allah merupakan alasan dan dasar penyembahan. Allah adalah Allah yang mulia dan berkuasa, dan karena sifat dan hakikat-Nya, 

Ia layak menerima semua bakti dan sembah dari ciptaan-Nya. James Montgomery Boice menyatakan bahwa “satu-satunya penyembahan yang benar dan dapat diterima adalah penyembahan yang diarahkan kepada Allah. Jika penyembahan tidak diarahkan kepada Allah, itu bukan penyembahan yang benar, tidak peduli betapa sopan atau berkesannya seremoni itu.”

Alkitab sendiri tidak memberikan definisi tentang penyembahan. Penyembahan kepada Tuhan tidak didefinisikan di mana pun di dalam Alkitab. Akan tetapi kata “penyembahan”, “menyembah”, dan “penyembah” dicatat lebih dari 270 kali dalam Alkitab. Penggunaan kata menyembah dalam Alkitab biasanya mengacu kepada sikap sujud dengan penuh hormat dan pemujaan.

Dalam Perjanjian Baru, ada tiga kata yang dipakai untuk penyembahan, yaitu latreuo, sebomai, dan proskuneo. Latreuo berarti menyembah di muka umum dan digunakan sebanyak empat kali dalam PB. Sebomai digunakan sebanyak delapan kali, memberikan gagasan tentang rasa takut atau terpana karena kagum. Proskuneo digunakan sebanyak lima puluh sembilan kali.

Sebagai Bait Allah, orang-orang Kristen patut hidup dalam penyembahan yang sejati. Orang Kristen menyembah Allah bukan saja dalam ibadah Mingguan atau ibadah pribadi yang biasa dilakukan, tetapi mereka sepatutnya menyembah Allah dalam keseluruhan aspek kehidupan mereka. 

Hidup dalam penyembahan berarti hidup dalam kesungguhan untuk mengenal dan menanggapi karakter dan kehendak Allah yang dibarengi dengan sikap penyerahan diri yang terus-menerus kepada-Nya. Penyembahan harus lahir dari lubuk hati yang terdalam, yang diwujudkan dalam sikap atau tindakan yang menghormati dan meninggikan Dia.

Akhirnya, setiap orang percaya seharusnya menjadi penyembah Allah yang sejati. John MacArthur menegaskan bahwa penyembahan bukanlah masalah pilihan. Dalam Matius 4:10, ketika menanggapi pencobaan iblis, Yesus mengutip Ulangan 6:13, “Engkau harus menyembah Tuhan Allahmu dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!”. 

Dengan berkata demikian kepada iblis, Ia memerintahkan kepada setiap makhluk yang telah diciptakan. Semua bertanggung jawab menyembah Allah. Penyembahan sejati adalah tanggapan kepada Allah yang tetap ada di mana pun juga, kapan saja, entah hal-hal religius ada atau tidak. Karena itu, penyembahan bukan sekedar kegiatan yang dilakukan pada hari Minggu; penyembahan harus dilakukan setiap hari.

3. Hidup dalam Kekudusan

Bait Allah memiliki kaitan erat dengan kekudusan. Kekudusan adalah nilai sakral yang terlekat erat pada Bait Allah. Karena Allah adalah kudus, maka ketika Ia hadir di Bait-Nya, Bait Allah itu menjadi kudus karena-Nya. Sebagaimana Bait Allah fisik kudus, demikian pula Bait Allah rohani terpaut erat dengan kekudusan tersebut. Kekudusan merupakan pokok penting yang diajarkan dalam Alkitab. Mulai dari Perjanjian Lama sampai pada Perjanjian Baru, kekudusan selalu diungkapkan secara tersirat ataupun tersurat. Kekudusan bukan saja menjadi pokok penting dimasa lalu, tetapi juga masa kini dan masa yang akan datang.

Menurut Henry Thiessen, kata kerja “menguduskan” paling tidak memiliki tiga arti: membuat atau mengakui patut dimuliakan, menganggap suci; memisahkan dari hal-hal duniawi dan mempersembahkan kepada Tuhan, menahbiskan; serta menyucikan. Pada umumnya, pengudusan dapat didefinisikan sebagai memisahkan diri untuk Allah, memperhitungkan Kristus sebagai kekudusan kita, dibersihkan dari kejahatan moral, serta menjadi serupa dengan gambaran Kristus.

Berdasarkan konsep kekudusan yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa kekudusan bertolak dari hakikat Allah yang kudus, sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan-Nya harus kudus. Dikuduskan berarti dipisahkan dan dikhususkan. Lawan dari kekudusan adalah kecemaran (Yunani: akatharsia). Kekudusan berarti keterpisahan dari kecemaran. Dalam konteks penebusan, Kristus menjadi dasar dan teladan kekudusan orang-orang percaya. Kekudusan orang percaya dimulai dari Kristus sendiri.

Perjanjian Baru menyatakan bahwa orang-orang percaya adalah orang-orang kudus, umat Allah. Semua orang percaya dipandang sebagai orang yang dikuduskan di dalam Kristus. Dalam kaitannya dengan penggunaan istilah Bait Allah, menurut Morris menyatakan bahwa istilah ini cocok dengan gambaran orang-orang beriman sebagai “orang-orang kudus” (Paulus tidak pernah berbicara mengenai seorang individu sebagai seorang kudus; ia melihat seluruh kelompok sebagai orang kudus).

Tidak diragukan lagi bahwa setiap orang percaya terpanggil untuk hidup dalam kekudusan. Panggilan untuk hidup dalam kekudusan berlaku sepanjang masa dalam kehidupan umat Allah. Dosa-dosa yang ada dalam jemaat di Korintus pada saat itu juga masih sering kali muncul dalam komunitas Kristen masa kini. Gereja masa kini masih belum luput dari dosa perpecahan, perselisihan, masalah-masalah perkawinan dan percabulan, ketidakadilan, dan lain sebagainya. Ini berarti, hidup dalam kekudusan menjadi suatu urgensi yang berlaku bukan saja bagi umat Allah zaman dulu tetapi juga umat Allah masa kini.

Pengudusan mengandung sasaran eskatalogis. Dalam Surat 1 Tesalonika 3:13;5:23 (bnd. Efesus 5:27, Kolose 1:22), dikatakan bahwa kekudusan merupakan hal yang penting hingga pada saat kedatangan Yesus yang kedua kali. Ini berarti kekudusan perlu dijaga dan dikembangkan dalam kehidupan orang percaya secara progresif sampai pada akhirnya, di mana orang-orang percaya berkumpul bersama Allah di dalam Surga. 

J. C. Ryle mengatakan bahwa “pengudusan adalah suatu gerakan dalam jiwa kita; pengudusan bertumbuh dan bertambah sepanjang hidup kita di dunia. Pembenaran memberi kita kuasa untuk masuk ke Surga, pengudusan mempersiapkan kita untuk menikmati kehidupan di surga”.

Panggilan untuk hidup dalam kekudusan adalah panggilan yang berawal dari Allah di dalam Kristus. Allah memanggil orang-orang yang percaya kepada-Nya untuk hidup dalam kekudusan, bukan saja hari ini, tetapi juga esok dan seterusnya sampai Kristus datang kedua kali. 

Michael R. Brown mengatakan bahwa: “Allah sendiri yang memanggil kita untuk hidup kudus dan Ia menghendaki kita kudus karena Dia adalah kudus. Tanpa kekudusan tidak mungkin kita berkenan kepada-Nya. tanpa kekudusan kita tidak mungkin memenuhi tujuan Allah menciptakan manusia”. Kekudusan ialah panggilan tertinggi bagi orang Kristen dan tujuan daripada hidupnya.

4. Hidup dalam Pelayanan

Salah satu aspek lain yang tercermin dari Bait Allah adalah pelayanan. Di Bait Allah terlihat jelas kegiatan pelayanan: pelayanan kepada Tuhan dan pelayanan kepada sesama. Orang-orang Lewi adalah orang-orang yang dikhususkan untuk melayani Tuhan dan melayani umat Israel. Mereka mengabdikan dirinya sepanjang hidup mereka untuk pelayanan di Bait Allah. Meski orang percaya masa kini, bukan orang Lewi, tetapi prinsipnya tetap sama; orang percaya memiliki tanggung jawab untuk melayani Tuhan dan melayani sesama.

Menurut Andar Ismail, ada empat kata yang digunakan dalam Perjanjian Baru yang berarti pelayanan. Keempat kata itu adalah diakoneo, douleo, leitourgeo dan latreuo. Diakoneo berarti menyediakan makanan di meja untuk majikan. Orang yang melakukannya disebut diakonos dan pekerjaannya disebut diakoninia. 

Douleo adalah menghamba yang dilakukan oleh seorang budak (doulos). Leitourgeo berarti bekerja untuk kepentingan rakyat atau kepentingan umum sebagai lawan dari bekerja untuk kepentingan diri sendiri. Orang yang melakukannya disebut leitourgos dan pekerjaannya disebut leitourgia. Latreou berarti bekerja untuk mendapat latron yaitu gaji atau upah. Dalam PB kata ini digunakan dalam arti menyembah atau beribadah kepada Tuhan (Matius 4:10; Kisah para rasul 7:7).

Dari penjelasan di atas, Perjanjian Baru menunjukkan bahwa pelayanan memiliki berbagai macam bentuk dan makna. Berbagai kata digunakan untuk menyatakan pelayanan menunjukkan bahwa pelayanan itu sendiri memiliki arti yang luas dan dapat mencakup berbagai segi dan aspek kehidupan manusia. Pelayanan merupakan tindakan aktif yang dilakukan seseorang kepada orang lain (atau kepada Tuhan), bukan kepada dirinya sendiri. Pelayanan berorientasi bagi kepentingan orang lain, bukan kepentingan diri sendiri.

Selain keempat kata di atas, G. Riemer menyebutkan bahwa ada dua kata lagi yang juga dapat berarti pelayanan yaitu therapeuein dan huperetein. Therapeuein berarti orang yang bekerja sebaik-baiknya demi kesejahteraan, keselamatan orang, binatang. Huperetein berarti bekerja dengan baik menurut instruksi dari atas. Dalam kedua kata ini terlihat ditekankan pentingnya kualitas pelayanan yang dilakukan yaitu dengan sebaik-baiknya.

Pelayanan sangat berguna bagi pembangunan dan pertumbuhan jemaat. Bait Allah sebagai kumpulan orang percaya perlu membangun dirinya agar tidak binasa. Herman Ridderbos mengatakan bahwa pembangunan ini harus dilihat terutama sebagai kelanjutan karya Allah dengan umat-Nya, di mana gereja adalah bait dan tempat kediaman-Nya. 

Bagi pembangunan ini, Allah memperlengkapi gereja dengan berbagai anugerah dan kuasa, dan dengan berbagai pelayanan yang harus melanjutkan pembangunan ini. Paulus secara khusus memperhatikan pembangunan mutual. Hal ini pertama-tama berkenaan dengan relasi yang benar antar komunitas dan individual, keterlibatan dan fungsi individu secara keseluruhan, tetapi juga dengan bagaimana jemaat meletakkan kebaikan gereja di atas pilihan dan kemampuannya. 

Baca Juga: 4 Makna Bait Allah Dalam 1 Korintus 3:16-17

Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa dengan saling melayani, orang-orang percaya akan dapat bertumbuh dalam segala hal ke arah Kristus yang adalah Kepala. Jika orang Kristen mengabdikan dirinya untuk melayani sesama (pertama-tama melayani saudara seiman dan kemudian orang lain yang belum percaya), maka mereka bukan saja membangun diri mereka tetapi juga mengembangkan kesatuan dan kasih yang sejati. 

Tugas dan tanggung jawab pelayanan berbeda-beda bagi setiap orang. Tom Jacobs menyebutnya dengan “pelayanan hierarki” dan “pelayanan Gereja”. Pelayanan hierarki adalah suatu pengabdian di dalam gereja, sedangkan pelayanan gereja langsung terarah kepada dunia. Namun demikian, apa pun bentuk pelayanan itu, semuanya harus bermuara pada pernyataan kasih dan kemuliaan Allah semata, karena tujuan pelayanan adalah memuliakan Allah.
Next Post Previous Post