CIRI-CIRI HIKMAT (YAKOBUS 3:13-18)
Matthew Henry
CIRI-CIRI HIKMAT
Seperti halnya dosa-dosa yang dikecam sebelumnya timbul dari anggapan diri lebih bijak dan lebih berbudi dari orang lain, demikian pula Rasul Yakobus dalam ayat-ayat di atas ini menunjukkan perbedaan antara orang yang berlagak bijak dan orang yang benar-benar bijak, antara hikmat yang datang dari bawah (dari dunia atau neraka) dan hikmat yang datang dari atas.
I. Kita mendapati uraian tentang hikmat yang sejati, beserta ciri-ciri khas dan buah-buahnya:
CIRI-CIRI HIKMAT
Seperti halnya dosa-dosa yang dikecam sebelumnya timbul dari anggapan diri lebih bijak dan lebih berbudi dari orang lain, demikian pula Rasul Yakobus dalam ayat-ayat di atas ini menunjukkan perbedaan antara orang yang berlagak bijak dan orang yang benar-benar bijak, antara hikmat yang datang dari bawah (dari dunia atau neraka) dan hikmat yang datang dari atas.
Siapakah di antara kamu yang bijak dan berbudi? Baiklah ia dengan cara hidup yang baik menyatakan perbuatannya oleh hikmat yang lahir dari kelemah-lembutan (Yakobus 3:13).
Orang yang benar-benar bijak adalah orang yang sangat berbudi. Ia tidak ingin membangun nama baik sebagai orang bijak tanpa mengumpulkan harta pengetahuan yang baik. Ia tidak akan menilai tinggi dirinya hanya karena mengetahui berbagai hal, kalau ia tidak memiliki hikmat untuk menerapkan dan memanfaatkan apa yang diketahuinya itu dengan benar. Bijak dan berbudi ini harus dipadukan bersama-sama untuk mendapatkan gambaran tentang hikmat sejati. Siapa yang bijak dan berbudi? Nah, berbahagialah orang yang memiliki keduanya, yaitu bila tampak hal-hal berikut ini di dalam dirinya:
1. Perilaku yang baik.
Orang yang benar-benar bijak adalah orang yang sangat berbudi. Ia tidak ingin membangun nama baik sebagai orang bijak tanpa mengumpulkan harta pengetahuan yang baik. Ia tidak akan menilai tinggi dirinya hanya karena mengetahui berbagai hal, kalau ia tidak memiliki hikmat untuk menerapkan dan memanfaatkan apa yang diketahuinya itu dengan benar. Bijak dan berbudi ini harus dipadukan bersama-sama untuk mendapatkan gambaran tentang hikmat sejati. Siapa yang bijak dan berbudi? Nah, berbahagialah orang yang memiliki keduanya, yaitu bila tampak hal-hal berikut ini di dalam dirinya:
1. Perilaku yang baik.
Jika kita lebih bijak dari orang lain, ini semestinya terbukti dengan perilaku kita yang baik, bukan dengan perilaku yang kasar atau angkuh. Perkataan yang memberitahukan pengetahuan, yang menyembuhkan, dan yang melakukan kebaikan, adalah tanda-tanda hikmat. Bukan perkataan yang tampak hebat, yang merusak, dan yang menimbulkan kejahatan, entah dalam diri kita sendiri atau orang lain.
2. Hikmat sejati dapat diketahui melalui perbuatan-perbuatannya.
2. Hikmat sejati dapat diketahui melalui perbuatan-perbuatannya.
Perilaku di sini tidak hanya merujuk pada perkataan, tetapi juga tindakan orang secara keseluruhan. Karena itulah dikatakan, baiklah ia dengan cara hidup yang baik menyatakan perbuatannya. Hikmat sejati tidak terdapat pada gagasan-gagasan atau rekaan-rekaan yang bagus, tetapi lebih pada perbuatan-perbuatan yang baik dan berguna. Bukan orang yang berpikir dengan baik, atau berbicara dengan baik, yang dalam pengertian Kitab Suci dipandang bijak, kalau orang itu tidak hidup dan berbuat baik.
3. Hikmat sejati dapat diketahui dari Kelemahlembutan roh dan sikap: Baiklah ia menyatakan kelemahlembutan, dst.
3. Hikmat sejati dapat diketahui dari Kelemahlembutan roh dan sikap: Baiklah ia menyatakan kelemahlembutan, dst.
Merupakan suatu contoh yang agung dari hikmat jika kita dengan bijak mengendalikan amarah kita sendiri, dan dengan sabar menghadapi amarah orang lain. Seperti halnya hikmat akan terbukti dengan sendirinya dalam Kelemahlembutan, demikian pula kelemahlembutan akan menjadi sahabat yang baik bagi hikmat.
Sebab tidak ada hal lain selain amarah yang dapat menghalang-halangi pemahaman yang semestinya, penilaian yang teguh, dan pikiran yang tidak memihak, yang niscaya memampukan kita untuk bertindak dengan bijak. Apabila kita bersikap lembut dan tenang, maka kita benar-benar mampu untuk mendengarkan alasan dan mengutarakannya. Hikmat membuahkan kelemahlembutan, dan kelemahlembutan meningkatkan hikmat.
II. Kita mendapati di sini bahwa orang-orang yang mempunyai sifat yang berlawanan dari apa yang baru saja disebutkan tidak boleh bermegah, dan apa yang mereka sangka sebagai hikmat ditelanjangi dalam segala hal yang dimegahkannya dan buah-buah yang dihasilkannya:
II. Kita mendapati di sini bahwa orang-orang yang mempunyai sifat yang berlawanan dari apa yang baru saja disebutkan tidak boleh bermegah, dan apa yang mereka sangka sebagai hikmat ditelanjangi dalam segala hal yang dimegahkannya dan buah-buah yang dihasilkannya:
“Jika kamu menaruh perasaan iri hati dan kamu mementingkan diri sendiri, janganlah kamu memegahkan diri, dst. ( Yakobus 3:14-16).
Kamu boleh berlagak seperti yang kamu mau, dan menganggap dirimu begitu bijak, namun kamu mempunyai segudang alasan untuk berhenti bermegah, jika kamu merendahkan kasih dan perdamaian, dan membuka jalan pada iri hati dan perselisihan. Semangatmu akan kebenaran atau ajaran yang benar, dan rasa bangga lebih berbudi daripada orang lain, jika kamu pergunakan hanya untuk membuat orang lain dibenci, dan untuk menunjukkan kedengkianmu sendiri dan kemarahanmu yang membara terhadap mereka, maka itu hanya mendatangkan aib bagi pengakuan iman Kristenmu, dan jelas-jelas bertentangan dengannya.
Kamu boleh berlagak seperti yang kamu mau, dan menganggap dirimu begitu bijak, namun kamu mempunyai segudang alasan untuk berhenti bermegah, jika kamu merendahkan kasih dan perdamaian, dan membuka jalan pada iri hati dan perselisihan. Semangatmu akan kebenaran atau ajaran yang benar, dan rasa bangga lebih berbudi daripada orang lain, jika kamu pergunakan hanya untuk membuat orang lain dibenci, dan untuk menunjukkan kedengkianmu sendiri dan kemarahanmu yang membara terhadap mereka, maka itu hanya mendatangkan aib bagi pengakuan iman Kristenmu, dan jelas-jelas bertentangan dengannya.
Janganlah berdusta seperti itu terhadap kebenaran.” Perhatikanlah:
1. Iri hati dan perselisihan dipertentangkan dengan kelemahlembutan hikmat.
1. Iri hati dan perselisihan dipertentangkan dengan kelemahlembutan hikmat.
Hati adalah tempat kediaman bagi keduanya. Tetapi iri hati dan hikmat tidak bisa berdiam bersama-sama di dalam hati yang sama. Semangat yang kudus dan iri hati itu dua hal yang berbeda, seperti halnya cahaya para Serafim dan api neraka.
2. Urutan perbuatan-perbuatan ini dipaparkan di sini.
2. Urutan perbuatan-perbuatan ini dipaparkan di sini.
pertama-tama timbul iri hati, lalu iri hati memicu timbulnya perselisihan. Perselisihan berusaha mencari-cari alasan untuk membenarkan diri dengan bermegah dan berdusta. Kemudian (Yakobus 3: 16) dari situ timbullah kekacauan dan segala macam perbuatan jahat. Orang yang hidup dalam kebencian, iri hati, dan pertikaian, hidup dalam kekacauan, dan mudah terpancing serta cepat melakukan perbuatan-perbuatan jahat.
III. Kita mendapati gambaran yang indah tentang hikmat yang datang dari atas, yang diuraikan secara lebih penuh, dan dipertentangkan dengan hikmat yang datang dari bawah:
Perhatikanlah di sini, hikmat sejati adalah karunia Allah. Hikmat sejati tidak diperoleh dengan cara bergaul dengan manusia, juga bukan melalui pengetahuan tentang dunia (seperti yang dipikirkan dan dikatakan sebagian orang), tetapi datang dari atas. Hikmat sejati terdiri atas hal-hal berikut ini:
1. Hikmat sejati itu murni, tanpa bercampur dengan berbagai kaidah atau tujuan yang akan merendahkannya. Hikmat sejati itu bebas dari pelanggaran dan kecemaran, tidak memperbolehkan apa saja yang diketahui sebagai dosa, tetapi mengusahakan kekudusan baik di dalam hati maupun hidup.
2. Hikmat yang dari atas itu pendamai. Kedamaian mengikuti kemurnian, dan bergantung padanya. Orang yang betul-betul bijak melakukan apa yang mereka bisa untuk menjaga perdamaian, supaya tidak dirusakkan. Mereka berusaha mengadakan perdamaian, supaya apa yang hilang dapat dipulihkan. Dalam negara, dalam keluarga, dalam jemaat, dalam semua masyarakat, dan dalam semua perbincangan dan hubungan, hikmat surgawi membuat orang menjadi pendamai.
3. Hikmat sejati itu peramah, tidak mati-matian menuntut hak milik. Tidak mengatakan atau melakukan kekerasan apa saja dalam menegur. Tidak geram terhadap pendapat-pendapat orang lain, tidak mendesakkan pendapat-pendapat sendiri melebihi bobotnya, tidak pula mendesakkan pendapat-pendapat orang yang menentang kita melebihi apa yang mereka niatkan. Tidak bersikap kasar dan suka menguasai dalam pergaulan, tidak pula ketus dan kejam dalam bersikap. Dengan demikian, keramahan dapat dipertentangkan dengan semuanya ini.
4. Hikmat sorgawi itu penurut, , eupeithēs, sangat mudah diyakinkan terhadap apa yang baik atau dijauhkan dari apa yang buruk. Ada juga sikap penurut yang lemah dan salah. Tetapi sikap penurut yang menyerahkan diri pada ajakan-ajakan firman Allah dan pada semua nasihat atau permintaan yang benar dan masuk akal dari sesama kita, tidaklah dapat dipersalahkan. Bahkan terlebih lagi bila sikap penurut itu dilakukan untuk menyudahi perselisihan, kalau tampak ada alasan yang baik untuk itu, dan apabila ada akhir yang baik akibat sikap itu.
5. Hikmat sorgawi itu penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, batinnya condong pada apa saja yang baik dan luhur, baik untuk meringankan mereka yang berkekurangan maupun untuk mengampuni mereka yang melanggar, dan benar-benar melakukan hal tersebut setiap kali ada kesempatan.
6. Hikmat surgawi itu tidak memihak. Kata aslinya, Hikmat surgawi itu tidak memihak. Kata aslinya, adiakritos, yang artinya tanpa kecurigaan, atau bebas dari penghakiman, tidak berprasangka secara tidak semestinya, atau tidak membeda-bedakan dalam memperlakukan seseorang lebih daripada yang lain.
Kekacauan seperti itu menimbulkan banyak godaan, memperkuat godaan-godaan, dan melibatkan orang dalam kesalahan yang besar. Satu dosa melahirkan dosa lain, dan tidak bisa dibayangkan berapa banyak kerusakan yang akan ditimbulkan: di situlah ada segala macam kejahatan. Apakah hikmat yang menghasilkan dampak-dampak seperti itu harus dimegahkan? Tidak mungkin demikian, sebab kalau begitu maka Kekristenan akan menjadi suatu kebohongan, dan mengajarkan bahwa yang dimaksud dengan hikmat adalah apa yang bertentangan dengannya. Sebab amatilah,
3. Dari mana hikmat seperti itu datang: Itu bukanlah hikmat yang datang dari atas, tetapi muncul dari bawah.
3. Dari mana hikmat seperti itu datang: Itu bukanlah hikmat yang datang dari atas, tetapi muncul dari bawah.
Dan terus terang saja, hikmat itu dari dunia, dari nafsu manusia, dari setan-setan (Yakobus 3:15). Hikmat itu muncul dari kaidah-kaidah duniawi, bertindak berdasarkan dorongan-dorongan hati yang duniawi, dan berniat untuk memenuhi tujuan-tujuan duniawi. Hikmat itu adalah nafsu manusia yang ingin memanjakan daging, dan merawat tubuh untuk memuaskan nafsu dan keinginannya. Atau, dalam bahasa aslinya, (ay.15).
Hikmat itu muncul dari kaidah-kaidah duniawi, bertindak berdasarkan dorongan-dorongan hati yang duniawi, dan berniat untuk memenuhi tujuan-tujuan duniawi. Hikmat itu adalah nafsu manusia yang ingin memanjakan daging, dan merawat tubuh untuk memuaskan nafsu dan keinginannya. Atau, dalam bahasa aslinya, psychikÄ“, sifat kebinatangan dari manusia – pekerjaan akal alami semata, tanpa terang adikodrati. Hikmat seperti itu jahat, sebab hikmat seperti itu adalah hikmat setan-setan (untuk menggelisahkan dan menyakiti).
BACA JUGA: MENGENDALIKAN LIDAH (YAKOBUS 3:1-12)
Hikmat seperti itu ter ilhami oleh setan-setan, yang dihukum karena kesombongan (1 Timotius 3:6), dan yang di tempat-tempat lain dalam Kitab Suci ditunjukkan kemurkaan mereka dan perbuatan mereka yang mendakwa saudara-saudara kita. Oleh karena itu, orang-orang yang diangkat dengan hikmat seperti itu pasti jatuh ke dalam kutukan Iblis.
III. Kita mendapati gambaran yang indah tentang hikmat yang datang dari atas, yang diuraikan secara lebih penuh, dan dipertentangkan dengan hikmat yang datang dari bawah:
Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, dst. ( Yakobus 3:17-18).
Perhatikanlah di sini, hikmat sejati adalah karunia Allah. Hikmat sejati tidak diperoleh dengan cara bergaul dengan manusia, juga bukan melalui pengetahuan tentang dunia (seperti yang dipikirkan dan dikatakan sebagian orang), tetapi datang dari atas. Hikmat sejati terdiri atas hal-hal berikut ini:
1. Hikmat sejati itu murni, tanpa bercampur dengan berbagai kaidah atau tujuan yang akan merendahkannya. Hikmat sejati itu bebas dari pelanggaran dan kecemaran, tidak memperbolehkan apa saja yang diketahui sebagai dosa, tetapi mengusahakan kekudusan baik di dalam hati maupun hidup.
2. Hikmat yang dari atas itu pendamai. Kedamaian mengikuti kemurnian, dan bergantung padanya. Orang yang betul-betul bijak melakukan apa yang mereka bisa untuk menjaga perdamaian, supaya tidak dirusakkan. Mereka berusaha mengadakan perdamaian, supaya apa yang hilang dapat dipulihkan. Dalam negara, dalam keluarga, dalam jemaat, dalam semua masyarakat, dan dalam semua perbincangan dan hubungan, hikmat surgawi membuat orang menjadi pendamai.
3. Hikmat sejati itu peramah, tidak mati-matian menuntut hak milik. Tidak mengatakan atau melakukan kekerasan apa saja dalam menegur. Tidak geram terhadap pendapat-pendapat orang lain, tidak mendesakkan pendapat-pendapat sendiri melebihi bobotnya, tidak pula mendesakkan pendapat-pendapat orang yang menentang kita melebihi apa yang mereka niatkan. Tidak bersikap kasar dan suka menguasai dalam pergaulan, tidak pula ketus dan kejam dalam bersikap. Dengan demikian, keramahan dapat dipertentangkan dengan semuanya ini.
4. Hikmat sorgawi itu penurut, , eupeithēs, sangat mudah diyakinkan terhadap apa yang baik atau dijauhkan dari apa yang buruk. Ada juga sikap penurut yang lemah dan salah. Tetapi sikap penurut yang menyerahkan diri pada ajakan-ajakan firman Allah dan pada semua nasihat atau permintaan yang benar dan masuk akal dari sesama kita, tidaklah dapat dipersalahkan. Bahkan terlebih lagi bila sikap penurut itu dilakukan untuk menyudahi perselisihan, kalau tampak ada alasan yang baik untuk itu, dan apabila ada akhir yang baik akibat sikap itu.
5. Hikmat sorgawi itu penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, batinnya condong pada apa saja yang baik dan luhur, baik untuk meringankan mereka yang berkekurangan maupun untuk mengampuni mereka yang melanggar, dan benar-benar melakukan hal tersebut setiap kali ada kesempatan.
6. Hikmat surgawi itu tidak memihak. Kata aslinya, Hikmat surgawi itu tidak memihak. Kata aslinya, adiakritos, yang artinya tanpa kecurigaan, atau bebas dari penghakiman, tidak berprasangka secara tidak semestinya, atau tidak membeda-bedakan dalam memperlakukan seseorang lebih daripada yang lain.
Tafsiran lebih luasnya, tanpa perselisihan, tidak bertindak seperti pengikut bidah, dan bertikai hanya demi suatu golongan. Tidak pula mencela orang lain hanya karena mereka berbeda dari kita. Orang-orang terbijak paling kecil kemungkinannya untuk menjadi pencela.
7. Hikmat yang dari atas itu tidak munafik. Hikmat ini tidak menyamarkan apa-apa, tidak pula ada tipu daya di dalamnya. Hikmat ini tidak mungkin jatuh ke dalam cara-cara yang dianggap bijak oleh dunia, yaitu yang bersifat licik dan penuh tipu muslihat.
7. Hikmat yang dari atas itu tidak munafik. Hikmat ini tidak menyamarkan apa-apa, tidak pula ada tipu daya di dalamnya. Hikmat ini tidak mungkin jatuh ke dalam cara-cara yang dianggap bijak oleh dunia, yaitu yang bersifat licik dan penuh tipu muslihat.
Sebaliknya, hikmat ini tulus dan terbuka, tidak goyah dan tidak berubah-ubah, dan setia dengan dirinya sendiri. Oh semoga saja kita semua selalu dibimbing oleh hikmat seperti ini! Dengan begitu, bersama-sama Rasul Paulus kita dapat berkata, hidup kami di dunia ini dikuasai oleh ketulusan dan kemurnian dari Allah bukan oleh hikmat duniawi, tetapi oleh kekuatan kasih karunia Allah. Lalu, yang terakhir, hikmat sejati akan terus menaburkan buah-buah kebenaran dalam damai, dan dengan demikian, sekiranya mungkin, akan menciptakan perdamaian di dunia (Yakobus 3: 18).
Apa yang ditaburkan dalam damai akan menghasilkan panen sukacita. Biar saja orang lain menuai buah-buah dari perselisihan dan semua keuntungan yang dapat mereka per oleh bagi diri mereka sendiri melaluinya. Tetapi marilah kita terus dengan damai menaburkan benih-benih kebenaran, dan kita dapat mengandalkan diri dengan itu bahwa jerih payah kita tidak akan sia-sia.
Terang sudah terbit bagi orang benar, dan sukacita bagi orang-orang yang tulus hati. Di mana ada kebenaran di situ akan tumbuh damai sejahtera, dan akibat kebenaran ialah ketenangan dan ketenteraman untuk selama-lamanya