Kerendahan Hati dan Pemuliaan: Pelajaran dari Filipi 2:6-11

Mereka yang menganut kerendahan hati mungkin terlihat lemah, sering kali meredup ke belakang. Secara paradoks, mereka kadang-kadang menjadi sasaran ejekan, tak berdaya untuk membela diri. Inilah paradoks dari dunia yang cenderung merendahkan mereka yang menganut kerendahan hati.
Kerendahan Hati dan Pemuliaan: Pelajaran dari Filipi 2:6-11
Bagi banyak orang, lebih alami untuk menegaskan kekuatan mereka, menolak untuk dianggap remeh, dan berdiri tegak. Kita ingin bersinar dengan terang dan diakui.

Bagaimana seharusnya kita memandang kerendahan hati? Apakah sikap ini membuat kita rentan terhadap perlakuan kasar, atau sebaliknya, mengangkat kita ke posisi yang lebih tinggi?

Teks kita hari ini adalah bagian dari sebuah himne kuno yang dikutip oleh Paulus dalam Filipi 2:6. Pada ayat-ayat sebelumnya (Filipi 2:6-8), kita menyaksikan kerendahan diri Kristus yang tak terbandingkan. Turun dari surga yang mulia ke dunia yang hina, Sang Pencipta mengambil rupa ciptaan-Nya. Ketika Ia menjadi manusia, Ia menjadi yang paling rendah, mengalami kematian yang penuh penderitaan. Sebuah tindakan kerendahan diri yang tidak ada tandingannya!

Apakah kerendahan ini membuat Kristus menjadi sasaran ejekan? Tentu saja. Apakah ini membuat-Nya rentan terhadap kelemahan? Tanpa ragu. Kerendahan diri-Nya menjadikan-Nya sasaran ketidakpahaman, ejekan, ketidakadilan, bahkan penyiksaan dan kematian.

Namun, semua ini bukan akhir dari cerita. Himne yang indah ini tidak berakhir di kayu salib; ia mencapai puncaknya dalam pemuliaan.

Frasa penghubung "karena itu" (dio kai) di awal Filipi 2: 9 menunjukkan bahwa bagian ini adalah kelanjutan dari Filipi 2: 6-8 (dalam NASB disebut "karena alasan ini"). Kerendahan diikuti oleh pemuliaan. Mereka yang menganut kerendahan hati tidak akan selamanya dieksploitasi. Ada momen ilahi yang menanti. Tuhan turun tangan saat momen ilahi itu tiba. Tuhan memuliakan Yesus (2:9-11). Ia memiliki nama yang lebih tinggi dari segala nama, dan setiap makhluk akan tunduk dan mengaku bahwa Ia adalah Tuhan.

Dari perspektif keagamaan Yahudi pada masa itu, pemuliaan ini mungkin tampak cukup mengejutkan. Mereka tahu dari Perjanjian Lama bahwa yang memiliki nama yang lebih tinggi dari segala nama dan di hadapan-Nya semua lutut akan tunduk dan semua lidah akan mengaku adalah hanya TUHAN (YHWH) saja. Yesaya 45:22-24a menyatakan, "Berpalinglah kepada-Ku dan biarkanlah dirimu diselamatkan, hai ujung-ujung bumi! Sebab Akulah Allah dan tidak ada yang lain. Demi Aku sendiri Aku telah bersumpah; dari mulut-Ku telah keluar dalam kebenaran firman yang tidak dapat ditarik kembali: 'Kepada-Ku setiap lutut akan tunduk, setiap lidah akan bersumpah setia.'" Kata dasar "tunduk" (kamptÃ…) dan "bersumpah setia" (exomologeÃ…) dalam teks ini juga muncul dalam Filipi 2:10-11.

Kutipan ini menunjukkan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan yang sama seperti dalam Perjanjian Lama, dan kebenaran ini tidak mengancam persatuan TUHAN. Bapa dan Yesus adalah satu. Keduanya mengklaim ketuhanan dalam Perjanjian Lama. Seiring dengan pewahyuan Alkitab yang berkembang, umat Allah mulai memahami bahwa TUHAN dalam Perjanjian Lama adalah Allah Tritunggal.

Namun, meskipun umumnya urutan berpikir dalam ayat 9-11 cukup jelas, teks ini masih meninggalkan beberapa pertanyaan teologis.

1. Apakah Ke-Tuhanan Yesus Bersifat Mutlak?

Pertanyaan ini muncul sehubungan dengan hubungan antara Allah (Bapa) dan Yesus. Meskipun Yesus memiliki nama yang lebih tinggi dari segala nama dan semua hal dikenakan kepada-Nya, yang memberikan supremasi ini adalah Allah (Bapa): "Maka Allah sangat meninggikan Dia" (ayat 9a) dan "demi kemuliaan Allah, Bapa" (Filipi 2: 11b). Ini mendorong beberapa orang untuk meragukan sejauh mana ketuhanan Yesus dalam teks ini. Mereka berpendapat bahwa Yesus tetap tunduk pada Bapa. Dalam pandangan ini, Yesus bukan Tuhan dalam arti sejati.

Pandangan semacam ini gagal mempertimbangkan konteks yang lebih luas dalam himne ini. Filipi 2:6 menekankan bahwa sebelum menjadi manusia, Yesus adalah Allah (lihat khotbah sebelumnya). Ia telah memiliki keilahian sepenuhnya. Dalam posisi ini, Ia kemudian menambahkan hakikat manusia pada diri-Nya (Filipi 2: 7-8). Ia bukan manusia yang di-Tuhankan, melainkan Tuhan yang menjadi manusia.

Pemuliaan oleh Bapa dalam ayat 9-11 harus dipahami sebagai pengakuan dan pembelaan Allah terhadap Yesus Kristus. Kematian Yesus di atas kayu salib semakin meyakinkan musuh-musuh Yesus bahwa Dia adalah kutukan Allah (Galatia 3:13). Tuduhan bahwa Ia adalah nabi palsu dan penghujat Allah semakin diperkuat. Allah membangkitkan Yesus sebagai bentuk pengakuan atas ajaran-Nya dan pembelaan terhadap tuduhan-tuduhan musuh-musuh Yesus (Kis. 2:24, 27; Roma 1:4).

Dengan demikian, pemuliaan Yesus oleh Bapa dalam Filipi 2:9-11 tidak harus dipahami secara terpisah dari seluruh konten himne ini. Yesus Kristus adalah Allah yang menjadi manusia, kemudian dinyatakan kembali sebagai Yang Maha tinggi atas segala sesuatu.

2. Apakah Pengakuan dalam Ayat 10-11 Bersifat Sukarela?

Pertanyaan ini wajar diajukan. Sebagian orang tidak mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan, bahkan beberapa dari mereka mungkin telah meninggal dunia. Bagaimana mungkin semua makhluk, termasuk mereka, pada akhirnya akan tunduk dan mengakui Yesus sebagai Tuhan?

Beberapa teolog menggunakan teks ini untuk mendukung konsep universalisme. Universalisme mengajarkan bahwa semua makhluk pada akhirnya akan diselamatkan, terlepas dari sikap mereka terhadap Allah (dan Yesus) sebelumnya. Semua makhluk pada akhirnya akan sukarela dan dengan sukacita mengakui bahwa Yesus adalah Tuhan. Saat itulah mereka akan diselamatkan.

Namun, pandangan ini bertentangan dengan banyak teks Alkitab yang menyinggung kebinasaan orang berdosa dan yang tidak beriman. Doktrin neraka disebutkan berkali-kali dalam Alkitab. Paling tidak, Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa Iblis dan pengikutnya akan dihukum selamanya di dalam neraka (Wahyu 20:10, "dan Iblis, yang menyesatkan mereka, dilemparkan ke dalam lautan api dan belerang, yaitu tempat binatang dan nabi palsu itu, dan mereka disiksa siang malam sampai selama-lamanya").

Secara lebih khusus, pemeriksaan yang lebih cermat atas Filipi 2:9-11 menunjukkan bahwa Paulus tidak mengajarkan universalisme. Jika ayat ini adalah penggenapan dari Yesaya 45:22-24 (seperti yang dibahas sebelumnya), pengakuan atas ketuhanan Yesus akan diberikan oleh semua orang, baik musuh-musuh-Nya maupun pengikut-Nya. Kelompok pertama akan malu, sementara yang kedua akan diberi hak. Yesaya 45:24b-25 menyatakan, "Semua orang yang telah bangkit amarahnya terhadap Dia akan datang kepada-Nya dan mendapat malu, tetapi seluruh keturunan Israel akan nyata benar dan akan bermegah di dalam TUHAN."

Selain itu, pengakuan universal dan mutlak kepada Yesus dalam Filipi 2: 9-11 akan datang dari semua makhluk "yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi" (ayat 10). Ini mencakup manusia, malaikat, dan roh-roh jahat. Pengakuan Iblis dan malaikat lain yang mengikuti kesesatannya jelas tidak akan bersifat sukarela dan penuh kebahagiaan. Sejak lama, mereka telah mengakui keketuhanan Yesus (Matius 8:29; Markus 5:7). 

Namun, pengakuan mereka hanya menghasilkan ketakutan, bukan penyembahan. Mereka tetap memusuhi Kristus dan semua karya penyelamatan-Nya. Sama seperti Iblis dan pengikut-pengikutnya, semua orang berdosa dan tidak percaya kepada Yesus Kristus akan dipaksa untuk mengakui supremasi Kristus. Hanya masalah waktu sebelum semua orang mengakui-Nya.

Terakhir, perlu diingat bahwa konteks Filipi 2:6-11 bukanlah tentang keselamatan (soteriologi). Fokusnya lebih kepada Kristus (Kristologi). Pasal ini tidak membahas penebusan dan hasilnya, tetapi menekankan kerendahan Yesus dalam prosesnya dan bagaimana Allah pada akhirnya memuliakan-Nya. Bahkan ketika mengacu pada kematian Yesus di kayu salib, himne ini tidak menghubungkannya dengan dosa. Penyaliban hanya digambarkan sebagai bentuk kerendahan diri Yesus yang mendalam. Jika inkarnasi Kristus dalam Filipi 2: 6-8 tidak membahas penebusan, maka pengakuan ketuhanan Yesus dalam Filipi 2: 9-11 juga tidak perlu dikaitkan dengan keselamatan orang-orang yang memberikan pengakuan tersebut.

3. Apakah Pemuliaan Allah Bersyarat?

Seperti yang telah disebutkan, konjungsi "karena itu" (dio kai) di awal Filipi 2:9 mengimplikasikan hubungan antara Filipi 2: 9-11 dan ayat 6-8. Dengan kata lain, kerendahan Kristus dalam ayat 6-8 diikuti oleh pemuliaan Allah. Muncul pertanyaan: Apakah respons ini oleh Allah membatalkan kasih karunia-Nya, seolah-olah pemuliaan ini merupakan hasil dari usaha seseorang dalam merendahkan diri?

Untuk menjawab pertanyaan ini, penting untuk memahami bahwa dalam kedaulatan-Nya sebagai Pencipta, Allah memiliki hak untuk menuntut ketaatan dari seluruh ciptaan-Nya. Ketaatan ini tidak selalu harus diikuti oleh ganjaran tertentu. Adalah tugas ciptaan untuk taat kepada Pencipta. Namun, Allah memiliki atribut lain pula. Sebagai Allah yang baik, Ia ingin memberkati ciptaan-Nya. Ada anugerah yang diberikan kepada semua manusia tanpa syarat apa pun (Matius 5:45; Kisah Para Rasul 14:17). 

Ada anugerah khusus yang diberikan kepada sekelompok tanpa syarat juga, seperti keselamatan kita (Efesus 2:8-9). Terdapat juga anugerah yang diberikan kepada orang-orang tertentu sebagai tanggapan Allah terhadap tindakan mereka. Berkat ini bukanlah suatu kewajiban, melainkan hasil dari kebaikan-Nya. Nah, pemuliaan bagi yang merendahkan hati masuk dalam kategori yang terakhir ini. Allah telah menetapkan hukum ilahi: "Sebab barang siapa meninggikan diri, ia akan direndahkan, dan barang siapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan" (Matius 23:12; Lukas 14:11; 18:14b).

Kebenaran ini harus dilihat sebagai hadiah, bukan sebagai fokus. Artinya, kita merendahkan hati bukan dengan maksud untuk memperoleh pemuliaan. Kita merendahkan hati karena kita menyadari siapa diri sejati kita: manusia berdosa dan hina di hadapan Allah. Kita tidak lebih baik atau lebih benar daripada yang lain. Merendahkan hati adalah panggilan kita, dan memuliakan yang merendahkan hati adalah bagian dari karakter Allah.
Next Post Previous Post