Tanggung Jawab Orang Percaya Sebagai Kaum Pilihan
Menjadi orang percaya adalah pemberian atau anugerah yang besar dan ajaib, tetapi juga mengandung kewajiban-kewajiban tertentu. Rasul Petrus dalam suratnya menyatakan, “Dan jadilah sama seperti bayi yang baru lahir, yang selalu ingin akan air susu yang murni dan yang rohani, supaya olehnya kamu bertumbuh dan beroleh keselamatan” (1 Petrus 2:2).
I. Pemberian dan Kewajiban Orang Percaya
1 Petrus 2:2 ini menyiratkan tentang pemberian yang besar telah dianugerahkan kepada orang percaya adalah hubungan dengan Allah; dan tanggung jawabnya ialah pertumbuhan. Sehingga setiap orang percaya yang telah dilahirkan kembali dalam Kristus hendaknya bertumbuh menjadi dewasa sehingga menjadi “kesempurnaan di dalam Kristus” (1 Korintus 3:1; Kolose 1:28).
1 Petrus 2:2 ini menyiratkan tentang pemberian yang besar telah dianugerahkan kepada orang percaya adalah hubungan dengan Allah; dan tanggung jawabnya ialah pertumbuhan. Sehingga setiap orang percaya yang telah dilahirkan kembali dalam Kristus hendaknya bertumbuh menjadi dewasa sehingga menjadi “kesempurnaan di dalam Kristus” (1 Korintus 3:1; Kolose 1:28).
II. Pertumbuhan Pengetahuan akan Allah
Alkitab mengajarkan bahwa ada dua hal yang mesti terlihat dalam pertumbuhan hidup orang percaya, yakni pertama bertumbuh dalam hal pengetahuan atau pengenalan akan Allah, seperti yang disampaikan oleh para rasul kepada orang percaya, demikian; sehingga hidupmu layak di hadapan-Nya serta berkenan kepada-Nya dalam segala hal, dan kamu memberi buah dalam segala pekerjaan yang baik dan bertumbuh dalam pengetahuan yang benar tentang Allah (Kolose 1:10). Tetapi bertumbuhlah dalam kasih karunia dan dalam pengenalan akan Tuhan dan Juru selamat kita, Yesus Kristus. Bagi-Nya kemuliaan, sekarang dan sampai selama-lamanya (2 Petrus 3:18). Dengan demikian pengetahuan tersebut tidak saja bersifat akal tetapi juga melalui pengalaman pribadi dengan Allah.
Alkitab mengajarkan bahwa ada dua hal yang mesti terlihat dalam pertumbuhan hidup orang percaya, yakni pertama bertumbuh dalam hal pengetahuan atau pengenalan akan Allah, seperti yang disampaikan oleh para rasul kepada orang percaya, demikian; sehingga hidupmu layak di hadapan-Nya serta berkenan kepada-Nya dalam segala hal, dan kamu memberi buah dalam segala pekerjaan yang baik dan bertumbuh dalam pengetahuan yang benar tentang Allah (Kolose 1:10). Tetapi bertumbuhlah dalam kasih karunia dan dalam pengenalan akan Tuhan dan Juru selamat kita, Yesus Kristus. Bagi-Nya kemuliaan, sekarang dan sampai selama-lamanya (2 Petrus 3:18). Dengan demikian pengetahuan tersebut tidak saja bersifat akal tetapi juga melalui pengalaman pribadi dengan Allah.
III. Pertumbuhan Kekudusan Hidup
Alkitab secara eksplisit mengajarkan tentang pentingnya kekudusan hidup, penulis surat Ibrani dengan serius menasihatkan “Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan” (Ibrani 12:14). Selanjutnya rasul Petrus dalam suratnya kepada orang-orang percaya yang mengalami penganiayaan kemudian tersebar di beberapa kota (seperti; Pontus, Galatia, Kapadokia, Asia Kecil dan Bitinia). Petrus menyatakan “tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus. (I Petrus 1:15-16).
Alkitab secara eksplisit mengajarkan tentang pentingnya kekudusan hidup, penulis surat Ibrani dengan serius menasihatkan “Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan” (Ibrani 12:14). Selanjutnya rasul Petrus dalam suratnya kepada orang-orang percaya yang mengalami penganiayaan kemudian tersebar di beberapa kota (seperti; Pontus, Galatia, Kapadokia, Asia Kecil dan Bitinia). Petrus menyatakan “tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus. (I Petrus 1:15-16).
Richard Owen Roberts menyatakan, bahwa sebagai orang Kristen atau orang percaya, tujuan utamanya adalah ketaatan sepenuhnya pada semua yang Allah minta. Dan memiliki kerinduan untuk menaati Allah secara mutlak dalam segala sesuatu. Hidup dengan ketaatan penuh sebagai kekudusan. Kekudusan menurut Alkitab, bukanlah sebuah pilihan; melainkan merupakan perintah, (Imamat 19:1-2) TUHAN berfirman kepada Musa: "Berbicaralah kepada segenap jemaah Israel dan katakan kepada mereka: Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus. Dalam pengajaran Yesus, Ia menekankan soal kekudusan. Dia sendiri kudus dan memanggil semua pengikut-Nya untuk menuju kekudusan.
Ketika Yesus berkhotbah di bukit, Ia berkata; Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah (Matius 5:8). Kesucian hati dalam ayat ini menurut Roberts bukan berarti bebas dari pikiran-pikiran yang tidak bersih, melainkan menunjuk pada keutuhan hati. Orang yang suci hatinya adalah orang-orang yang hatinya tidak bercabang, karena dosa terjadi dalam hidup orang Kristen pada waktu dia membiarkan dirinya bimbang di antara dua posisi dan menyerah pada kejahatan.
Hidup yang berkemenangan memerlukan hati yang utuh untuk kemuliaan Allah. Hal ini selaras dengan pengajaran yang Yesus sampaikan di dalam Matius 6:22-24: “Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu. Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain.”
IV. Relasi Intim Dengan Tuhan Sebagai Refleksi Dari Pilihan/Predestinasi
Menurut Yakub B. Susabda, pergaulan dengan Allah adalah masalah spiritual, dan bukan sekadar pengalaman agamawi dan jiwani (mistis dan perasaan). Alkitab telah menyaksikan, secara langsung maupun tidak langsung, bagaimana orang pilihan atau orang percaya (seperti, Abraham, Nuh, Musa, Yosua, dll) hidup bergaul dengan Allah yang hidup. Ada masa-masa di mana pergaulan dengan Allah dimanifestasikan dalam tingkah-laku rohani (relegiusitas) yang sederhana, tetapi berkembang menjadi semakin kompleks.
Menurut Yakub B. Susabda, pergaulan dengan Allah adalah masalah spiritual, dan bukan sekadar pengalaman agamawi dan jiwani (mistis dan perasaan). Alkitab telah menyaksikan, secara langsung maupun tidak langsung, bagaimana orang pilihan atau orang percaya (seperti, Abraham, Nuh, Musa, Yosua, dll) hidup bergaul dengan Allah yang hidup. Ada masa-masa di mana pergaulan dengan Allah dimanifestasikan dalam tingkah-laku rohani (relegiusitas) yang sederhana, tetapi berkembang menjadi semakin kompleks.
Ada masa di mana pergaulan itu begitu akrabnya laksana pergaulan dua sahabat (Keluaran 33:11,20-23;34:28-29), tetapi ada pula kesaksian-kesaksian yang menyingkapkan kekaburan dan ketidak-pastian sehingga orang percaya hanya dapat mengalami “keterikatan yang tak terhindari dengan Allah” tanpa dukungan perasaan dan rasionya (Yohanes 3:10-12 bnd 7:51-52 dan 19:39).
Susabda menyatakan, Pergaulan orang percaya dengan Allah bisa menjadi begitu kompleks dan begitu luas menyentuh setiap sendi dan sisi kehidupan. Tetapi pada saat yang sama bisa menjadi begitu sederhana, dan dapat dialami oleh anak-anak dan orang Kristen bayi karena bermuara dalam ketulusan hati dan kesucian hidup orang yang sudah dilahir-barukan oleh Roh Kudus. Relasi orang percaya dengan Allah adalah ikatan yang lebih ekslusif karena selalu di landasi dengan sebuah covenant atau perjanjian.
Susabda menyatakan, Pergaulan orang percaya dengan Allah bisa menjadi begitu kompleks dan begitu luas menyentuh setiap sendi dan sisi kehidupan. Tetapi pada saat yang sama bisa menjadi begitu sederhana, dan dapat dialami oleh anak-anak dan orang Kristen bayi karena bermuara dalam ketulusan hati dan kesucian hidup orang yang sudah dilahir-barukan oleh Roh Kudus. Relasi orang percaya dengan Allah adalah ikatan yang lebih ekslusif karena selalu di landasi dengan sebuah covenant atau perjanjian.
Kata “perjanjian” memiliki kekuatan yang sangat besar dalam mengikat hubungan antara Allah dan umat-Nya, sekaligus merupakan peringatan bahwa umat tersebut telah terikat dengan suatu pribadi yaitu Allah penciptanya. Dengan demikian memberikan suatu penegasan bahwa orang percaya tidak boleh hidup suka-suka sendiri karena telah terikat “tali perkawinan dengan Tuhan Yesus” sang mempelai laki-laki (2 Korintus 11:1-3; Efesus 5:32).