Yohanes 4:43-45 - Yesus Disambut di Galilea: Iman dan Penerimaan Sejati
Teks Yohanes 4:43-45
Berikut adalah teks dari Yohanes 4:43-45:“Dan setelah dua hari itu, Yesus berangkat dari sana ke Galilea, sebab Yesus sendiri telah bersaksi, bahwa seorang nabi tidak dihormati di negerinya sendiri. Ketika Ia sampai di Galilea, orang-orang Galilea menerima Dia, karena mereka telah melihat segala sesuatu yang dilakukan-Nya di Yerusalem pada hari-hari raya itu, sebab mereka sendiri pun pergi ke pesta itu.”
1. Konteks Kembali-Nya Yesus ke Galilea dan Penolakan di Nazaret
Perikop ini diawali dengan pernyataan bahwa “Yesus sendiri telah bersaksi, bahwa seorang nabi tidak dihormati di negerinya sendiri.” Ungkapan ini mencerminkan kenyataan bahwa Yesus, meskipun dihormati oleh orang-orang yang melihat tanda-tanda ajaib yang dilakukan-Nya, menghadapi ketidakpercayaan dan keraguan dari orang-orang di tempat asal-Nya, yaitu Nazaret, kota di Galilea. Hal ini tercatat dalam Injil lain (Lukas 4:24; Markus 6:4), di mana Yesus ditolak karena orang-orang Nazaret menganggap-Nya sebagai tukang kayu biasa, bukan sebagai Mesias atau nabi.
William Barclay dalam The Daily Study Bible menjelaskan bahwa penolakan ini mencerminkan masalah mendasar dalam iman orang-orang yang dekat dengan Yesus secara fisik namun tidak memahami makna sejati dari karya dan identitas-Nya. Mereka tidak dapat melihat Yesus sebagai Mesias karena prasangka dan keterbatasan pemahaman manusiawi mereka. Menurut Barclay, perikop ini mengajarkan bahwa dekat secara fisik dengan Tuhan tidak berarti memahami atau menghormati-Nya dengan benar.
Leon Morris dalam The Gospel According to John menyoroti bahwa meskipun Yesus diterima dengan baik di Galilea, penerimaan tersebut cenderung didasarkan pada kekaguman atas mukjizat-mukjizat-Nya daripada pengakuan penuh akan siapa Yesus sebenarnya. Orang-orang Galilea lebih terfokus pada tanda-tanda ajaib-Nya daripada pesan rohani yang lebih mendalam yang ingin disampaikan-Nya.
2. Yesus Diterima di Galilea: Iman yang Berdasarkan Tanda-tanda dan Mukjizat
Di Galilea, orang-orang menyambut Yesus dengan antusias karena mereka telah melihat “segala sesuatu yang dilakukan-Nya di Yerusalem pada hari-hari raya itu.” Penerimaan mereka didorong oleh kekaguman terhadap mukjizat-mukjizat yang dilakukan Yesus di Yerusalem, bukan oleh pengakuan penuh akan identitas-Nya sebagai Anak Allah dan Sang Juruselamat dunia.
John Stott dalam Basic Christianity menjelaskan bahwa iman yang hanya didasarkan pada tanda-tanda dan mukjizat cenderung rapuh dan rentan terhadap kekecewaan. Stott menekankan bahwa iman yang sejati harus berakar pada pengenalan akan Yesus sebagai pribadi, bukan hanya pada apa yang Ia lakukan. Meskipun tanda dan mukjizat bisa menarik perhatian orang, iman yang sejati harus melampaui kekaguman terhadap hal-hal luar biasa dan terpusat pada hubungan pribadi dengan Kristus.
F.F. Bruce dalam The Gospel of John menyebutkan bahwa meskipun mukjizat adalah bukti kekuatan ilahi Yesus, tujuan utama-Nya adalah untuk memperkenalkan kerajaan Allah dan menyelamatkan jiwa. Menurut Bruce, penerimaan orang-orang Galilea yang hanya berdasarkan mukjizat mencerminkan iman yang kurang mendalam dan berpotensi dangkal, yang hanya menghormati Yesus saat Ia melakukan hal-hal yang spektakuler.
3. Tantangan dari Iman yang Didasarkan pada Mukjizat
Ayat ini mengingatkan kita tentang bahaya iman yang dangkal, yang lebih mengandalkan keajaiban dan tanda-tanda daripada komitmen yang mendalam kepada Yesus. Ketika iman seseorang hanya berdasarkan tanda-tanda fisik atau mukjizat, iman itu menjadi mudah goyah saat harapan atau permintaan mereka tidak terpenuhi. Yesus menginginkan iman yang berlandaskan hubungan dengan Allah, bukan hanya pada kekaguman terhadap hal-hal luar biasa.
A.W. Tozer dalam The Pursuit of God menekankan pentingnya mencari Tuhan dengan tulus, bukan hanya untuk tanda-tanda atau berkat-berkat-Nya. Tozer mengajarkan bahwa iman sejati harus dibangun di atas dasar yang kokoh, yaitu kepercayaan pada karakter dan kasih Allah, bukan hanya pada mukjizat yang terlihat. Ia menegaskan bahwa mukjizat adalah manifestasi kuasa Allah, tetapi iman sejati tidak boleh tergantung padanya.
C.S. Lewis dalam Mere Christianity menjelaskan bahwa mukjizat hanyalah cara Tuhan untuk menunjukkan kebesaran-Nya, tetapi bukan tujuan akhir dari iman. Menurut Lewis, iman yang dangkal akan cenderung mengharapkan mukjizat terus-menerus, tanpa mengembangkan kedalaman rohani yang diperlukan untuk memahami karya Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.
4. Yesus sebagai Nabi yang Tidak Dihormati di Negeri-Nya
Perikop ini menyebutkan ungkapan Yesus tentang seorang nabi yang tidak dihormati di negerinya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun Yesus dihormati di tempat-tempat tertentu, masih banyak yang tidak mengakui siapa Dia sebenarnya. Di Nazaret, Yesus tidak hanya ditolak, tetapi juga dipandang rendah oleh orang-orang yang mengenal-Nya sejak kecil.
Dietrich Bonhoeffer dalam The Cost of Discipleship menjelaskan bahwa menjadi seorang pengikut Kristus berarti siap untuk menghadapi penolakan, bahkan dari lingkungan terdekat. Bonhoeffer menekankan bahwa penerimaan Yesus oleh dunia tidak selalu sesuai dengan kehendak Allah. Seperti Yesus, orang percaya dipanggil untuk tetap setia kepada kebenaran Allah, bahkan saat dihadapkan pada penolakan atau penghinaan.
R.C. Sproul dalam The Holiness of God mengajarkan bahwa pernyataan Yesus ini adalah pengingat bahwa kebenaran tidak selalu diterima di lingkungan yang akrab. Sproul menekankan bahwa penolakan terhadap Yesus di kampung halaman-Nya menunjukkan bahwa hubungan sosial dan pengenalan pribadi tidak otomatis menghasilkan pengakuan iman.
5. Penerimaan yang Berbeda di Galilea: Keajaiban sebagai Alat untuk Memanggil Orang kepada Iman
Meskipun Yesus disambut dengan motivasi yang mungkin kurang murni, Yesus tetap menggunakan kesempatan itu untuk mengajar dan melayani. Di Galilea, Yesus melanjutkan pelayanan-Nya dengan penuh kesabaran, memahami bahwa mukjizat dan tanda-tanda itu dapat menjadi pintu masuk bagi orang-orang untuk mengenal-Nya lebih dalam. Mukjizat dapat memancing perhatian, tetapi Yesus menginginkan perubahan hati yang mendalam dari para pengikut-Nya.
Timothy Keller dalam The Reason for God menekankan bahwa mukjizat Yesus bertujuan untuk mengungkapkan belas kasih dan menunjukkan kuasa Allah. Meskipun mukjizat dapat menarik orang banyak, Keller menyebutkan bahwa tujuan akhir Yesus adalah untuk membawa orang-orang kepada iman yang kokoh, yang berdasar pada pengenalan akan Allah, bukan hanya pada mukjizat.
N.T. Wright dalam Simply Jesus menjelaskan bahwa mukjizat-mukjizat Yesus di Galilea adalah tanda dari hadirnya kerajaan Allah. Wright menekankan bahwa Yesus menggunakan mukjizat sebagai sarana untuk mengungkapkan kebenaran rohani yang lebih dalam, yang mengarahkan orang kepada hubungan yang penuh kepercayaan dengan Tuhan.
6. Implikasi Bagi Pengikut Kristus Saat Ini: Mengembangkan Iman yang Berdasarkan Hubungan
Kisah penerimaan Yesus di Galilea mengajarkan kita pentingnya memiliki iman yang tidak tergantung pada tanda-tanda atau mukjizat semata, melainkan berakar pada hubungan pribadi dengan Yesus. Pengikut Kristus dipanggil untuk mengembangkan iman yang kuat yang tetap teguh dalam situasi apapun, bukan hanya saat mengalami keajaiban.
Rick Warren dalam The Purpose Driven Life menekankan pentingnya membangun hubungan yang mendalam dengan Tuhan sebagai landasan iman. Menurut Warren, pengikut Kristus harus belajar untuk mempercayai Tuhan dalam segala situasi, baik atau buruk, dan mencari pengenalan yang lebih dalam akan Allah sebagai dasar iman mereka.
Henry Blackaby dalam Experiencing God mengajarkan bahwa iman yang sejati berfokus pada mengenali dan mengikuti kehendak Tuhan, bukan hanya menantikan mukjizat atau tanda-tanda. Blackaby menyebutkan bahwa Allah lebih menginginkan umat-Nya untuk mencari-Nya dengan hati yang tulus dan menjalin hubungan yang erat, daripada hanya mengharapkan mukjizat.
Kesimpulan: Penerimaan yang Mendalam Terhadap Kristus
Yohanes 4:43-45 mengungkapkan bagaimana Yesus diterima di Galilea, meskipun penerimaan tersebut cenderung bersifat dangkal dan didorong oleh kekaguman terhadap mukjizat-Nya. Perikop ini mengingatkan kita bahwa Yesus menginginkan pengikut yang memiliki iman yang kokoh, yang tidak hanya terfokus pada tanda-tanda ajaib, tetapi pada hubungan yang mendalam dengan-Nya.
Baca Juga: Yohanes 4:39-42: Dua Hari Kebangunan Rohani di Samaria dan Implikasinya bagi Penginjilan Masa Kini
Para teolog seperti John Stott, F.F. Bruce, dan A.W. Tozer membantu kita memahami bahwa iman yang sejati adalah iman yang mencari Tuhan dengan tulus, bukan hanya untuk keajaiban-Nya. Melalui kisah ini, kita belajar bahwa Yesus selalu terbuka untuk melayani dan menyatakan kebenaran-Nya kepada mereka yang mencari-Nya dengan motivasi yang benar.
Sebagai orang percaya, kita diundang untuk mengikuti Yesus dengan iman yang kokoh dan mendalam, berakar pada hubungan pribadi dengan-Nya. Kita harus terus berupaya mengenal Yesus sebagai Tuhan yang mengasihi dan menyelamatkan kita, bukan sekadar sebagai sosok yang melakukan mukjizat. Dalam hidup kita sehari-hari, semoga kita semakin memahami panggilan untuk menerima Kristus dengan sepenuh hati, mempercayai-Nya, dan mencari kehendak-Nya dengan tulus.