1 Korintus 5:3-5: Metode Penghakiman atas Dosa dalam Jemaat Lokal
Artikel ini akan membahas metode penghakiman yang Paulus ajarkan dalam 1 Korintus 5:3-5 untuk dosa dalam gereja, menggali makna disiplin gereja dan implikasinya bagi jemaat lokal. Kita akan melihat pandangan beberapa teolog tentang penghakiman dalam gereja serta membahas bagaimana gereja masa kini dapat menerapkan prinsip-prinsip yang sama untuk menjaga kekudusan dan pertumbuhan rohani dalam jemaat.
Teks 1 Korintus 5:3-5
Berikut adalah teks dari 1 Korintus 5:3-5:“Sebab aku, sekalipun secara badani tidak hadir, namun secara rohani hadir. Aku, sama seperti aku hadir, telah menjatuhkan hukuman atas dia yang melakukan hal yang semacam itu. Bilamana kita berkumpul dalam nama Tuhan kita Yesus dan aku ada di antara kamu secara rohani, dengan kuasa Tuhan kita Yesus, orang itu harus kita serahkan dalam nama Tuhan Yesus kepada Iblis untuk kebinasaan daging, supaya rohnya diselamatkan pada hari Tuhan.”
1. Latar Belakang: Dosa dalam Jemaat Korintus
Jemaat Korintus menghadapi masalah moral yang serius. Seorang anggota jemaat terlibat dalam hubungan dosa dengan istri ayahnya, suatu tindakan yang secara tegas dilarang dalam hukum Musa dan dianggap tidak pantas bahkan di kalangan masyarakat non-Kristen pada masa itu. Namun, yang lebih memprihatinkan bagi Paulus adalah bahwa jemaat tidak menanggapi dosa ini dengan serius. Mereka tidak hanya membiarkan dosa ini tanpa penghakiman, tetapi tampaknya juga merasa bangga akan sikap toleransi mereka.
F.F. Bruce dalam The New International Commentary on the New Testament menjelaskan bahwa tindakan jemaat Korintus yang membiarkan dosa ini menunjukkan kegagalan mereka untuk menghargai kekudusan Allah. Menurut Bruce, sikap jemaat yang mengabaikan dosa anggota menunjukkan pemahaman yang keliru tentang kasih karunia, dan bahwa kasih yang sejati dalam Kristus seharusnya membawa orang kepada pertobatan dan hidup yang kudus.
John MacArthur dalam The MacArthur New Testament Commentary menambahkan bahwa jemaat Korintus tampaknya telah disesatkan oleh pemahaman yang salah tentang kasih. Mereka merasa bahwa menerima dosa tersebut tanpa penghakiman adalah tindakan kasih, padahal sebaliknya, itu menunjukkan kegagalan untuk menegakkan kekudusan dan ketertiban dalam jemaat.
2. Kehadiran Rohani Paulus: Otoritas untuk Menghakimi dalam Nama Kristus
Paulus, meskipun secara fisik tidak hadir di Korintus, menyatakan bahwa ia hadir “secara rohani” bersama mereka. Pernyataan ini menunjukkan otoritas Paulus sebagai rasul dalam komunitas jemaat. Paulus mengingatkan jemaat bahwa otoritas ini bukan berasal dari dirinya sendiri, tetapi dari Kristus yang memberikannya tanggung jawab untuk menegakkan ketertiban dalam gereja.
Leon Morris dalam The First Epistle of Paul to the Corinthians menekankan bahwa otoritas Paulus sebagai rasul memungkinkan dia untuk memberikan penghakiman atas dosa ini. Menurut Morris, ini adalah bukti bahwa disiplin gereja adalah bagian integral dari pelayanan gereja. Paulus bukan hanya bertindak atas dasar pendapat pribadi, tetapi berdasarkan kuasa yang diberikan oleh Tuhan Yesus untuk menjaga kekudusan jemaat.
N.T. Wright dalam Paul for Everyone menjelaskan bahwa pernyataan Paulus tentang kehadiran rohaninya adalah tanda bahwa disiplin dalam gereja harus dijalankan dengan kesadaran akan kehadiran Kristus yang hidup di tengah jemaat. Menurut Wright, Paulus tidak menganjurkan penghakiman yang semena-mena, tetapi penghakiman yang didasarkan pada otoritas rohani yang sesuai dengan kehendak Kristus.
3. Serahkan kepada Iblis: Makna dan Tujuan Disiplin Gereja
Dalam ayat 5, Paulus menyatakan bahwa orang yang berdosa itu harus diserahkan kepada Iblis “untuk kebinasaan daging, supaya rohnya diselamatkan pada hari Tuhan.” Istilah “diserahkan kepada Iblis” terdengar keras, tetapi ini mengandung tujuan yang lebih besar, yaitu pemulihan rohani.
John Stott dalam The Cross of Christ menjelaskan bahwa “menyerahkan kepada Iblis” dalam konteks ini berarti menempatkan individu yang berdosa itu di luar perlindungan dan persekutuan gereja, sehingga ia dapat menyadari kesalahan dan bertobat. Menurut Stott, tindakan ini bukan untuk menghukum secara permanen, tetapi untuk memberi kesempatan pada pertobatan yang menyelamatkan.
A.W. Tozer dalam The Knowledge of the Holy mengingatkan bahwa disiplin gereja memiliki tujuan yang mendalam, yaitu membawa orang berdosa kembali kepada Tuhan melalui pertobatan. Menurut Tozer, meskipun kedengarannya keras, disiplin adalah bentuk kasih Allah yang memanggil orang untuk hidup dalam kekudusan.
4. Tujuan Disiplin Gereja: Pemulihan dan Keselamatan
Paulus menekankan bahwa tujuan dari penghakiman ini bukanlah untuk menghukum secara permanen, tetapi untuk memulihkan individu tersebut kepada Allah. Ia menyebutkan bahwa disiplin ini dilakukan “supaya rohnya diselamatkan pada hari Tuhan.” Artinya, disiplin gereja adalah sarana kasih yang bertujuan untuk membawa orang kembali kepada jalan yang benar dan pada akhirnya memperoleh keselamatan.
Charles Spurgeon dalam khotbahnya sering kali menekankan pentingnya disiplin gereja sebagai tindakan kasih yang menuntun kepada pertobatan. Menurut Spurgeon, gereja memiliki tanggung jawab untuk menegur dan memperingatkan anggota jemaat yang hidup dalam dosa, bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk membawa mereka kepada pemulihan.
R.C. Sproul dalam The Holiness of God menekankan bahwa disiplin gereja adalah panggilan untuk hidup dalam kekudusan. Sproul mengingatkan bahwa disiplin gereja bertujuan untuk melindungi kesucian tubuh Kristus dan membawa individu kembali kepada hubungan yang benar dengan Allah.
5. Implementasi Disiplin dalam Jemaat Masa Kini
Disiplin gereja yang diajarkan dalam 1 Korintus 5:3-5 memiliki relevansi yang besar bagi gereja masa kini. Ketika seorang anggota jemaat hidup dalam dosa yang terbuka, gereja memiliki tanggung jawab untuk mengambil tindakan yang sesuai, bukan untuk menghukum tetapi untuk melindungi integritas jemaat dan membawa individu kepada pertobatan.
Timothy Keller dalam Center Church menyebutkan bahwa disiplin gereja yang benar adalah disiplin yang dilakukan dengan kasih dan kehati-hatian. Keller menjelaskan bahwa gereja harus bertindak dalam kerendahan hati, dengan fokus pada pemulihan dan pertobatan anggota jemaat, bukan dengan sikap penghakiman yang keras.
John Piper dalam Desiring God menekankan pentingnya disiplin gereja sebagai sarana untuk menjaga kekudusan jemaat. Menurut Piper, gereja harus memiliki sikap yang serius terhadap dosa, karena jemaat adalah tubuh Kristus yang dipanggil untuk hidup dalam kekudusan. Namun, disiplin harus dilakukan dengan kasih, pengertian, dan keinginan untuk memulihkan.
6. Prinsip-Prinsip Disiplin Gereja Berdasarkan 1 Korintus 5:3-5
Dari pengajaran Paulus dalam 1 Korintus 5:3-5, kita dapat mengidentifikasi beberapa prinsip penting dalam disiplin gereja yang relevan bagi jemaat lokal saat ini:
- Disiplin dengan Otoritas Kristus: Disiplin harus dilakukan dalam nama Kristus dan dengan kesadaran akan kehadiran-Nya di tengah jemaat.
- Tujuan Pemulihan, Bukan Penghukuman: Tujuan utama disiplin adalah untuk membawa individu berdosa kepada pertobatan dan keselamatan.
- Disiplin Sebagai Tindakan Kasih: Disiplin adalah bentuk kasih terhadap individu dan jemaat secara keseluruhan, bertujuan untuk menjaga kekudusan.
- Disiplin yang Dijalankan dengan Rendah Hati: Gereja harus melaksanakan disiplin dengan sikap rendah hati, berfokus pada pemulihan, bukan menghukum.
Henry Blackaby dalam Experiencing God menekankan bahwa gereja harus bertindak dalam kebijaksanaan Allah ketika menghadapi dosa dalam jemaat. Blackaby menyebutkan bahwa disiplin gereja harus didasarkan pada kasih Allah, dengan keinginan untuk membawa orang berdosa kembali kepada hubungan yang benar dengan Tuhan.
Dallas Willard dalam The Divine Conspiracy menyebutkan bahwa disiplin gereja seharusnya menjadi sarana untuk menumbuhkan pertumbuhan rohani. Menurut Willard, disiplin yang dilakukan dalam kasih dan kesabaran dapat membantu individu untuk mengembangkan karakter yang kudus dan sejalan dengan kehendak Allah.
Kesimpulan
1 Korintus 5:3-5 memberikan panduan penting tentang bagaimana gereja harus menangani dosa dalam jemaat. Pengajaran Paulus menunjukkan bahwa disiplin gereja adalah tanggung jawab yang diberikan Allah kepada gereja untuk menjaga kekudusan dan integritas tubuh Kristus. Disiplin bukan hanya bentuk penghakiman, tetapi lebih sebagai tindakan kasih yang bertujuan untuk pemulihan dan keselamatan individu yang berdosa.
Baca Juga: 1 Korintus 5:2: Ketidakpedulian Terhadap Dosa Akibat Perpecahan di Jemaat
Para teolog seperti John Stott, Charles Spurgeon, dan Timothy Keller menekankan bahwa disiplin gereja adalah sarana kasih Allah untuk membawa umat-Nya kepada pertobatan dan hidup yang kudus. Gereja masa kini harus berusaha untuk menerapkan prinsip-prinsip disiplin yang didasarkan pada kasih, otoritas Kristus, dan fokus pada pemulihan.
Sebagai gereja yang dipanggil untuk menjadi tubuh Kristus yang kudus, kita diundang untuk memiliki sikap serius terhadap dosa, namun penuh kasih dalam menegur dan mendisiplinkan, dengan tujuan untuk membawa setiap anggota kepada kesadaran, pertobatan, dan pemulihan. Disiplin gereja adalah alat yang diberikan Tuhan untuk menjaga kekudusan dan membawa pertumbuhan rohani bagi seluruh jemaat.