1 Korintus 14:13-17: Pentingnya Penafsiran Bahasa Roh
Pengantar:
1 Korintus 14:13-17 adalah bagian penting dari surat Paulus kepada jemaat Korintus yang membahas penggunaan karunia rohani, khususnya bahasa roh, dalam konteks ibadah publik. Dalam bagian ini, Paulus menggarisbawahi pentingnya penafsiran bahasa roh agar karunia tersebut dapat bermanfaat untuk membangun jemaat. Artikel ini akan mengeksplorasi ayat-ayat ini berdasarkan pandangan para pakar teologi, untuk membantu kita memahami relevansi dan penerapannya dalam kehidupan gereja saat ini.
A. Analisis 1 Korintus 14:13-17
1. Bahasa Roh dan Doa Penafsiran ( 1 Korintus 14:13)
Paulus memulai dengan menegaskan bahwa orang yang berbicara dalam bahasa roh harus berdoa agar dapat menafsirkannya. John MacArthur, seorang teolog Reformed, menyatakan bahwa perintah ini menunjukkan betapa pentingnya pemahaman dalam ibadah Kristen. Bahasa roh tanpa penafsiran adalah tindakan yang tidak dapat membangun jemaat karena tidak ada yang mengerti maksudnya.
Menurut Gordon Fee, seorang pakar Perjanjian Baru, doa untuk penafsiran ini menunjukkan bahwa karunia bahasa roh bukanlah tujuan akhir, tetapi alat untuk menyampaikan pesan Allah. Fee menekankan bahwa penafsiran bukanlah penerjemahan literal, tetapi pewahyuan dari maksud Allah yang diucapkan melalui bahasa roh.
2. Kontras antara Roh dan Akal Budi ( 1 Korintus 14:14)
Paulus menjelaskan bahwa ketika seseorang berdoa dalam bahasa roh, rohnya berdoa, tetapi akal budi tidak aktif. Hal ini menimbulkan tantangan dalam konteks ibadah publik. Dalam komentarnya, Craig Blomberg mencatat bahwa bahasa roh adalah ekspresi komunikasi dengan Allah yang seringkali melampaui pemahaman manusia. Namun, dalam konteks publik, penggunaan karunia ini tanpa pemahaman akal budi dapat menjadi tidak produktif.
Blomberg menekankan bahwa ibadah Kristen adalah pengalaman yang melibatkan seluruh aspek manusia, termasuk akal budi. Oleh karena itu, Paulus mendorong orang percaya untuk memastikan bahwa doa mereka tidak hanya melibatkan roh, tetapi juga pemahaman.
3. Berdoa dan Menyanyi dengan Roh dan Akal Budi ( 1 Korintus 14:15)
Paulus memberikan solusi untuk ketegangan antara roh dan akal budi: doa dan penyembahan harus dilakukan dengan keduanya. F.F. Bruce menyatakan bahwa ini adalah panggilan untuk keseimbangan dalam ibadah. Ibadah Kristen tidak boleh menjadi aktivitas yang hanya emosional atau hanya intelektual.
Menurut Bruce, doa dengan roh melibatkan dimensi spiritual yang mendalam, sementara doa dengan akal budi memastikan bahwa apa yang dikatakan dapat dimengerti dan dibagikan kepada orang lain. Penyembahan yang sejati melibatkan totalitas manusia—roh, jiwa, dan tubuh.
4. Pentingnya Penafsiran untuk Pembangunan Jemaat ( 1 Korintus 14:16-17)
Paulus menunjukkan bahwa tanpa penafsiran, orang lain tidak dapat memahami dan mengatakan “Amin” atas ucapan syukur dalam bahasa roh. Kata "Amin" adalah ungkapan setuju yang penting dalam ibadah komunitas. N.T. Wright menjelaskan bahwa ibadah Kristen adalah pengalaman bersama, di mana setiap orang harus dapat berpartisipasi secara penuh. Jika seseorang berbicara dalam bahasa roh tanpa penafsiran, hal itu menghambat partisipasi jemaat lain.
Wright menambahkan bahwa ucapan syukur dalam bahasa roh, meskipun baik secara pribadi, menjadi tidak membangun dalam konteks jemaat tanpa adanya penafsiran. Ini karena tujuan utama ibadah publik adalah membangun tubuh Kristus, bukan hanya pengalaman individu.
B. Pandangan Teologi tentang Penggunaan Bahasa Roh dan Penafsiran
1. Bahasa Roh sebagai Karunia Rohani
Para teolog sepakat bahwa bahasa roh adalah karunia yang diberikan oleh Roh Kudus untuk tujuan membangun tubuh Kristus. Namun, ada perbedaan dalam interpretasi tentang bagaimana karunia ini harus digunakan.
Wayne Grudem, seorang teolog sistematik, melihat bahasa roh sebagai alat komunikasi langsung dengan Allah. Namun, ia menekankan bahwa karunia ini harus digunakan dengan penuh tanggung jawab, terutama dalam ibadah publik. Grudem mencatat bahwa penafsiran bahasa roh adalah tanda bahwa Allah berbicara kepada jemaat, bukan hanya kepada individu.
2. Penafsiran sebagai Komponen Penting
Para teolog seperti Anthony Thiselton berpendapat bahwa penafsiran bahasa roh adalah bentuk pewahyuan yang melibatkan pemahaman atas maksud Allah. Thiselton menekankan bahwa penafsiran bukan sekadar penerjemahan kata-kata, tetapi pengungkapan pesan yang dapat membangun, menegur, atau menguatkan jemaat.
Dalam konteks ibadah publik, penafsiran adalah elemen yang memastikan bahwa karunia bahasa roh tidak disalahgunakan. Tanpa penafsiran, bahasa roh menjadi tidak produktif dan bahkan dapat menyebabkan kebingungan di antara jemaat.
3. Relevansi untuk Gereja Masa Kini
Ada perbedaan pandangan tentang relevansi penggunaan bahasa roh dan penafsiran dalam gereja masa kini. Beberapa tradisi karismatik percaya bahwa karunia ini tetap relevan dan harus digunakan dengan cara yang sesuai dengan ajaran Paulus. Sementara itu, tradisi lain, seperti Reformed, melihat bahasa roh lebih sebagai fenomena sejarah yang tidak lagi berlaku dalam konteks modern.
Namun, semua pihak sepakat bahwa prinsip utama dari 1 Korintus 14:13-17 adalah pentingnya ibadah yang membangun jemaat. Gereja masa kini harus memastikan bahwa setiap aspek ibadah, termasuk penggunaan karunia rohani, dilakukan dengan keteraturan dan pemahaman.
C. Pendapat Pakar Teologi Reformed Mengenai 1 Korintus 14:13-17: Berdoa untuk Penafsiran Bahasa Roh yang Diucapkan di Hadapan Umum
1. John Calvin: Bahasa Roh Harus Disertai dengan Penafsiran
John Calvin menekankan bahwa karunia bahasa roh yang digunakan tanpa penafsiran tidak memiliki manfaat bagi jemaat. Ia mencatat bahwa tujuan utama karunia rohani adalah membangun tubuh Kristus, sehingga penggunaan bahasa roh dalam ibadah publik harus disertai dengan penafsiran agar dapat dipahami oleh semua orang yang hadir.
Calvin juga mengkritik penggunaan bahasa roh yang bersifat egois, di mana seseorang berbicara untuk membangun dirinya sendiri tanpa memperhatikan kebutuhan jemaat. Menurut Calvin, doa dan penyembahan harus melibatkan akal budi, sehingga orang lain dapat memahami dan berbagi dalam pengucapan syukur atau pujian. Ia melihat penafsiran bahasa roh sebagai bagian dari kasih terhadap jemaat, di mana karunia digunakan bukan untuk kepuasan pribadi tetapi untuk kebaikan bersama.
2. R.C. Sproul: Penggunaan Bahasa Roh yang Berpusat pada Jemaat
R.C. Sproul menyoroti bahwa 1 Korintus 14:13-17 mengajarkan pentingnya keteraturan dalam ibadah. Dalam pandangan Sproul, penggunaan bahasa roh tanpa penafsiran mencerminkan kedewasaan rohani yang kurang, karena menunjukkan fokus pada pengalaman pribadi daripada edifikasi jemaat.
Sproul juga menekankan pentingnya berdoa dengan akal budi. Ia mencatat bahwa Paulus tidak menolak bahasa roh, tetapi ia menunjukkan bahwa bahasa roh yang tidak disertai dengan penafsiran hanya membangun pembicara itu sendiri, sementara jemaat tetap tidak mendapatkan manfaat rohani. Dengan demikian, Sproul menekankan bahwa bahasa roh harus digunakan dengan cara yang memperhatikan kebutuhan jemaat untuk memahami dan ikut serta dalam doa dan penyembahan.
3. Herman Bavinck: Bahasa Roh sebagai Karunia untuk Kebaikan Bersama
Herman Bavinck menekankan bahwa bahasa roh adalah karunia yang diberikan oleh Allah untuk membangun tubuh Kristus. Namun, dalam konteks ibadah publik, Bavinck mencatat bahwa bahasa roh tanpa penafsiran tidak membawa manfaat karena tidak dapat dimengerti oleh jemaat. Ia mencatat bahwa Paulus mendorong doa untuk penafsiran sebagai sarana untuk memastikan bahwa semua orang yang hadir dapat dikuatkan dalam iman.
Bavinck juga melihat penafsiran bahasa roh sebagai ekspresi dari kasih Kristen. Ia menekankan bahwa kasih selalu mencari kebaikan orang lain, dan ini tercermin dalam keinginan untuk menggunakan karunia rohani dengan cara yang membangun jemaat. Dalam pandangannya, doa untuk penafsiran mencerminkan kerendahan hati dan tanggung jawab untuk melayani jemaat dengan karunia yang telah diberikan oleh Allah.
4. Charles Hodge: Pentingnya Akal Budi dalam Ibadah
Charles Hodge menyoroti bahwa dalam 1 Korintus 14:13-17, Paulus menunjukkan pentingnya keterlibatan akal budi dalam doa dan penyembahan. Hodge mencatat bahwa bahasa roh tanpa penafsiran tidak memberikan manfaat bagi jemaat karena mereka tidak dapat memahami apa yang diucapkan.
Menurut Hodge, Paulus menekankan bahwa ibadah Kristen harus bersifat membangun, sehingga bahasa roh yang digunakan tanpa penafsiran melanggar prinsip ini. Ia juga mencatat bahwa doa dengan akal budi menunjukkan bahwa ibadah melibatkan tidak hanya hati, tetapi juga pemahaman, sehingga jemaat dapat berpartisipasi secara aktif dalam memuji Allah.
5. Michael Horton: Bahasa Roh dalam Konteks Edifikasi Jemaat
Michael Horton menekankan bahwa 1 Korintus 14:13-17 menunjukkan bagaimana karunia bahasa roh harus digunakan dalam cara yang memuliakan Allah dan membangun jemaat. Horton mencatat bahwa Paulus dengan jelas mengajarkan bahwa bahasa roh tanpa penafsiran tidak membawa manfaat bagi jemaat, karena tidak dapat dipahami oleh orang lain.
Horton juga menyoroti pentingnya berdoa dengan akal budi sebagai cara untuk memastikan bahwa ibadah bersifat inklusif dan membangun. Dalam pandangannya, penafsiran bahasa roh adalah sarana untuk menjembatani kesenjangan antara pengalaman pribadi dan kebutuhan komunitas, sehingga semua orang yang hadir dapat dikuatkan dalam iman.
6. Sinclair Ferguson: Kasih sebagai Dasar Penggunaan Karunia
Sinclair Ferguson menyoroti bahwa dalam 1 Korintus 14:13-17, Paulus mengajarkan bahwa kasih harus menjadi dasar dalam penggunaan karunia rohani. Ferguson mencatat bahwa penggunaan bahasa roh tanpa penafsiran menunjukkan kurangnya kasih terhadap jemaat, karena tidak memperhatikan kebutuhan mereka untuk memahami dan dibangun dalam iman.
Ferguson juga mencatat bahwa doa untuk penafsiran mencerminkan sikap ketergantungan pada Allah. Dalam pandangannya, penafsiran bahasa roh adalah bukti bahwa karunia rohani harus digunakan dengan bijaksana, dalam kasih, dan dengan tujuan untuk membangun tubuh Kristus.
7. Tim Keller: Menggunakan Karunia untuk Membangun Jemaat
Tim Keller menekankan bahwa 1 Korintus 14:13-17 mengajarkan prinsip penting tentang bagaimana karunia rohani harus digunakan dalam ibadah publik. Ia mencatat bahwa bahasa roh, meskipun merupakan karunia yang berharga, tidak boleh digunakan secara egois atau tanpa memperhatikan kebutuhan jemaat.
Keller juga mencatat bahwa penafsiran bahasa roh adalah sarana untuk memastikan bahwa ibadah bersifat inklusif dan membangun. Dalam pandangannya, ini adalah pengingat bahwa karunia rohani diberikan oleh Allah untuk melayani orang lain, bukan untuk memamerkan spiritualitas pribadi.
Kesimpulan
1 Korintus 14:13-17 memberikan panduan praktis tentang bagaimana karunia bahasa roh harus digunakan dalam konteks ibadah publik. Paulus menekankan pentingnya penafsiran bahasa roh untuk memastikan bahwa seluruh jemaat dapat dibangun. Para pakar teologi sepakat bahwa ibadah Kristen harus melibatkan roh dan akal budi, serta diarahkan untuk membangun tubuh Kristus.
Dalam refleksi kita sebagai gereja masa kini, mari kita memastikan bahwa segala bentuk ibadah dan penggunaan karunia rohani dilakukan dengan tujuan utama membangun jemaat dan memuliakan Allah. Dengan demikian, kita dapat menjalankan panggilan kita sebagai tubuh Kristus yang saling menguatkan dan membawa terang bagi dunia.