1 Petrus 3:15: Kesiapan untuk Memberi Pertanggungan Jawab
Pendahuluan:
Ayat 1 Petrus 3:15 merupakan salah satu ayat kunci dalam apologetika Kristen, khususnya dalam pemahaman teologi Reformed. Ayat ini berbunyi:
"Akan tetapi, kuduskanlah Kristus sebagai Tuhan dalam hatimu! Siap sedialah untuk memberi jawaban kepada siapa pun yang menuntutmu mengenai pengharapan yang kamu miliki," (1 Petrus 3:15, AYT).
Ayat ini menekankan tiga aspek utama yang penting dalam kehidupan seorang Kristen:
- Menguduskan Kristus sebagai Tuhan dalam hati.
- Selalu siap memberikan jawaban kepada orang lain tentang iman kita.
- Melakukan apologetika dengan sikap yang benar.
Dalam artikel ini, kita akan membahas ayat ini melalui pandangan beberapa ahli teologi Reformed, termasuk Cornelius Van Til, Greg L. Bahnsen, John Calvin, dan R.C. Sproul.
1. Menguduskan Kristus sebagai Tuhan dalam Hati
a. Definisi Menguduskan Kristus
Kata "kuduskanlah" dalam bahasa Yunani adalah ἁγιάσατε (hagiasate), yang berarti "menjadikan suci" atau "menghormati sebagai suci". Menurut John Calvin dalam Institutes of the Christian Religion, menguduskan Kristus berarti mengakui Dia sebagai Tuhan dalam segala aspek kehidupan kita.
Calvin menulis:
“Hati kita harus dipenuhi dengan rasa hormat dan pengabdian kepada Kristus, sehingga kita tidak goyah dalam iman ketika menghadapi tantangan.”
Dengan kata lain, menguduskan Kristus bukan hanya soal mengakui Dia secara intelektual, tetapi juga tunduk kepada-Nya sebagai Raja yang berdaulat dalam segala hal.
b. Cornelius Van Til: Kristus sebagai Dasar Pemikiran
Cornelius Van Til, seorang apologet Reformed, menekankan bahwa pengudusan Kristus dalam hati adalah fondasi dari pemikiran Kristen. Van Til dalam bukunya The Defense of the Faith mengatakan bahwa setiap pemikiran harus tunduk kepada Kristus:
“Tidak ada netralitas dalam pemikiran manusia; semua orang memiliki prasuposisi, dan bagi orang Kristen, Kristus harus menjadi dasar dari semua pemikiran.”
Dalam konteks 1 Petrus 3:15, ini berarti bahwa ketika kita memberi jawaban atas iman kita, kita harus melakukannya dengan dasar keyakinan bahwa Kristus adalah Tuhan atas semua bidang kehidupan, termasuk intelektual dan moral.
2. Siap Memberi Jawaban atas Pengharapan dalam Kristus
a. Arti Kata “Jawaban” dalam Konteks Apologetika
Kata “jawaban” dalam ayat ini berasal dari bahasa Yunani ἀπολογία (apologia), yang berarti "pembelaan" atau "pertanggungan jawab". Inilah dasar dari konsep apologetika Kristen.
Greg L. Bahnsen, seorang murid Van Til dan apologet Reformed, dalam bukunya Always Ready, menyatakan bahwa setiap orang Kristen dipanggil untuk membela imannya berdasarkan otoritas Firman Tuhan, bukan hanya dengan logika manusia. Bahnsen menulis:
“Setiap pembelaan iman harus dimulai dengan pengakuan bahwa Tuhan telah berbicara dalam Firman-Nya, dan kita tidak boleh menempatkan pemikiran manusia di atas wahyu Ilahi.”
Dengan demikian, membela iman bukan hanya soal memenangkan argumen, tetapi menyatakan kebenaran Tuhan dengan penuh keyakinan.
b. R.C. Sproul: Apologetika yang Rasional dan Berbasis Alkitab
R.C. Sproul dalam bukunya Defending Your Faith menekankan bahwa apologetika harus bersifat rasional, tetapi tetap bergantung pada otoritas Alkitab. Sproul menyatakan:
“Iman Kristen tidak irasional; sebaliknya, itu adalah iman yang paling masuk akal karena didasarkan pada kebenaran Tuhan.”
Bagi Sproul, apologetika Kristen harus mempertahankan keseimbangan antara iman dan akal, tetapi dengan tetap menempatkan Alkitab sebagai dasar utama.
3. Apologetika yang Dilakukan dengan Sikap yang Benar
a. Sikap Lemah Lembut dan Hormat
Dalam 1 Petrus 3:15, ada satu elemen penting yang sering diabaikan: cara kita menyampaikan pembelaan iman kita. Ayat ini menegaskan bahwa kita harus memberikan jawaban “dengan lemah lembut dan hormat”.
John Calvin menekankan pentingnya kasih dalam pembelaan iman. Ia mengatakan bahwa:
“Apologetika yang sejati bukanlah tentang menang dalam perdebatan, tetapi tentang membawa orang kepada Kristus melalui kesaksian yang penuh kasih.”
Pendekatan ini kontras dengan apologetika yang bersifat agresif atau merendahkan lawan bicara.
b. Francis Schaeffer: Kebenaran dalam Kasih
Francis Schaeffer, seorang teolog Reformed abad ke-20, menekankan bahwa cara kita menyampaikan kebenaran sama pentingnya dengan isi kebenaran itu sendiri. Dalam bukunya The God Who Is There, ia menulis:
“Dunia harus melihat dalam apologetika kita bukan hanya kebenaran yang kita sampaikan, tetapi juga kasih yang nyata dalam diri kita.”
Dengan kata lain, apologetika Kristen bukan hanya soal membuktikan bahwa iman kita benar, tetapi juga membuktikan bahwa kita telah diubah oleh kasih Kristus.
Kesimpulan
1 Petrus 3:15 memberikan dasar bagi apologetika Kristen dalam teologi Reformed. Beberapa poin utama yang bisa kita pelajari dari para ahli teologi Reformed adalah:
- John Calvin menekankan pentingnya menguduskan Kristus dalam hati sebagai dasar dari iman kita.
- Cornelius Van Til mengajarkan bahwa tidak ada netralitas dalam pemikiran, dan bahwa apologetika harus didasarkan pada prasuposisi Kristen.
- Greg L. Bahnsen menegaskan bahwa pertanggungan jawab kita harus selalu mengacu kepada otoritas Firman Tuhan.
- R.C. Sproul menunjukkan bahwa apologetika harus bersifat rasional, tetapi tetap bergantung pada wahyu Tuhan.
- Francis Schaeffer mengajarkan bahwa cara kita menyampaikan kebenaran harus disertai dengan kasih dan kelemahlembutan.
Dengan memahami ayat ini dalam konteks teologi Reformed, kita dapat melihat bahwa apologetika bukan sekadar membela iman, tetapi juga tentang menghidupi iman kita dengan benar.
“Apologetika yang sejati adalah ketika kita tidak hanya mempertahankan iman kita dengan argumen, tetapi juga dengan kehidupan yang mencerminkan kemuliaan Kristus.”
