Belas Kasihan Lebih Utama: Matius 12:7

Belas Kasihan Lebih Utama: Matius 12:7

Pendahuluan:

Matius 12:7 berbunyi:"Namun, jika kamu sudah mengetahui artinya ini: ‘Aku menghendaki belas kasihan dan bukan persembahan’, kamu tidak akan pernah menghukum yang tidak bersalah." (AYT)

Ayat ini mengutip Hosea 6:6 dan menjadi bagian penting dalam perdebatan Yesus dengan orang Farisi. Dalam artikel ini, kita akan menganalisis ayat ini dari perspektif teologi Reformed, menguraikan makna teologisnya, serta menerapkan ajaran ini dalam kehidupan Kristen sehari-hari berdasarkan pandangan para pakar teologi.

1. Konteks Historis dan Naratif Matius 12:7

Matius 12 menggambarkan Yesus dan murid-murid-Nya berjalan melalui ladang gandum pada hari Sabat. Para murid memetik bulir gandum untuk dimakan, yang kemudian dikritik oleh orang Farisi sebagai pelanggaran hukum Sabat (Matius 12:1-2). Yesus menanggapi dengan menyoroti peristiwa Daud yang makan roti sajian di Bait Suci (1 Samuel 21:1-6) dan bagaimana para imam bekerja pada hari Sabat tetapi tetap dianggap tidak bersalah (Matius 12:3-6).

Kemudian, dalam Matius 12:7, Yesus mengutip Hosea 6:6, menekankan bahwa belas kasihan lebih diutamakan daripada persembahan ritual. Dengan demikian, Ia menegur orang Farisi yang lebih mengutamakan hukum secara harfiah daripada memahami maksud Allah yang lebih dalam.

2. Makna Teologis Matius 12:7 dalam Perspektif Teologi Reformed

1 Pemahaman tentang Belas Kasihan dalam Alkitab

Teologi Reformed mengajarkan bahwa kasih karunia dan belas kasihan adalah pusat dari karakter Allah. Ayat ini mencerminkan sifat Allah yang lebih menekankan hati yang penuh belas kasihan daripada formalitas ritual keagamaan.

John Calvin dalam Institutes of the Christian Religion menekankan bahwa ibadah sejati bukanlah sekadar ketaatan eksternal terhadap hukum, tetapi kasih dan belas kasihan yang mengalir dari hati yang telah diperbarui oleh Roh Kudus. Calvin berkata:"Allah tidak berkenan kepada upacara yang hanya dilakukan secara lahiriah, tetapi kepada ketaatan yang berasal dari hati yang mengasihi-Nya dan sesama."

Dalam konteks ini, Matius 12:7 menunjukkan bahwa kasih dan belas kasihan lebih bernilai daripada ritual keagamaan yang kosong.

2 Hubungan dengan Doktrin Kasih Karunia

Pakar teologi Reformed seperti R.C. Sproul menekankan bahwa ayat ini memperlihatkan kontras antara agama berbasis hukum dan Injil kasih karunia. Orang Farisi mencoba membenarkan diri melalui hukum Taurat, sementara Yesus menunjukkan bahwa hukum itu sendiri dimaksudkan untuk mengarahkan orang kepada kasih Allah.

Pentingnya belas kasihan dalam ayat ini juga mengingatkan kita akan prinsip Sola Gratia—bahwa keselamatan adalah semata-mata karena kasih karunia Allah dan bukan karena perbuatan manusia.

3 Kritik terhadap Legalisme

Matius 12:7 juga mencerminkan salah satu tema utama dalam teologi Reformed, yaitu kritik terhadap legalisme. Orang Farisi dalam konteks ini adalah contoh bagaimana agama yang hanya berfokus pada aturan dapat kehilangan esensi dari kehendak Allah yang sejati.

Tim Keller, dalam bukunya The Prodigal God, menunjukkan bahwa legalisme sering kali menjauhkan manusia dari anugerah Allah. Ia berkata:"Legalism says, 'I obey; therefore, I am accepted.' The gospel says, 'I am accepted; therefore, I obey.'"

Yesus mengingatkan bahwa ketaatan sejati berasal dari hati yang telah mengalami belas kasihan Allah, bukan karena usaha manusia untuk memenuhi hukum.

3. Aplikasi Matius 12:7 dalam Kehidupan Kristen

1 Menerapkan Belas Kasihan dalam Hubungan Sosial

Jonathan Edwards dalam Charity and Its Fruits menekankan bahwa iman yang sejati akan menghasilkan kasih yang nyata dalam tindakan. Seorang Kristen yang memahami belas kasihan Allah akan mencerminkannya dalam sikap terhadap sesama.

Aplikasi praktisnya:

  • Mengampuni orang lain – Seperti Allah mengampuni kita, kita juga dipanggil untuk mengampuni.
  • Membantu mereka yang membutuhkan – Belas kasihan lebih dari sekadar kata-kata, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata.
  • Menghindari sikap menghakimi – Seperti yang Yesus tunjukkan kepada orang Farisi, kita harus lebih mengutamakan kasih daripada menilai orang lain berdasarkan aturan manusia.

2 Gereja yang Berpusat pada Kasih Karunia

Matius 12:7 mengajarkan bahwa gereja harus lebih menekankan kasih karunia daripada hukum yang kaku. Gereja tidak boleh menjadi tempat yang menghakimi, tetapi komunitas yang mencerminkan kasih dan pengampunan Kristus.

Menurut Sinclair Ferguson, dalam The Whole Christ, gereja yang legalistik akan melahirkan jemaat yang tertekan dan penuh ketakutan, sementara gereja yang berpusat pada Injil akan melahirkan jemaat yang bersukacita dalam kasih karunia Allah.

3 Hubungan dengan Ibadah yang Sejati

Reformed Worship menekankan bahwa ibadah sejati bukan hanya sekadar liturgi atau ritual, tetapi hati yang dipenuhi dengan kasih kepada Allah dan sesama. John Piper dalam Desiring God menekankan bahwa ibadah yang sejati lahir dari sukacita dalam Allah, bukan sekadar ketaatan kosong terhadap peraturan.

4. Kesimpulan

Matius 12:7 Dalam perspektif teologi Reformed, ayat ini mengajarkan bahwa kasih karunia lebih utama daripada legalisme, dan ibadah sejati lahir dari hati yang diperbarui oleh Roh Kudus.

Sebagai aplikasi, kita dipanggil untuk hidup dalam belas kasihan, menghindari sikap menghakimi, dan membangun gereja yang berpusat pada kasih karunia.

Sebagaimana Yesus mengajarkan dalam ayat ini, kasih Allah yang sejati harus tercermin dalam cara kita hidup dan berinteraksi dengan sesama. Maukah kita menjadi orang yang lebih mengutamakan belas kasihan daripada sekadar menjalankan aturan agama?

Next Post Previous Post