Imamat 19:18: Kasih sebagai Fondasi Hukum Allah

Imamat 19:18: Kasih sebagai Fondasi Hukum Allah

Pendahuluan: Kasih sebagai Inti Hukum Taurat

Imamat 19:18 berbunyi:

"Jangan membalas dendam dan jangan menyimpan dendam terhadap sesamamu. Akan tetapi, kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri. Akulah TUHAN." (Imamat 19:18, AYT)

Ayat ini merupakan salah satu perintah yang paling fundamental dalam Alkitab dan menjadi dasar etika Kristen. Yesus sendiri mengutip ayat ini dalam Matius 22:39 sebagai bagian dari dua hukum utama, yang pertama adalah mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan yang kedua adalah mengasihi sesama seperti diri sendiri.

Dalam artikel ini, kita akan menganalisis Imamat 19:18 dari sudut pandang teologi Reformed, dengan mengacu pada beberapa ahli teologi seperti John Calvin, Jonathan Edwards, Herman Bavinck, R.C. Sproul, dan Cornelius Van Til.

1. Konteks Imamat 19:18: Hukum dan Kasih dalam Perjanjian Lama

Imamat 19 adalah bagian dari hukum kekudusan yang diberikan Allah kepada bangsa Israel. Hukum ini menekankan bagaimana umat Tuhan harus hidup berbeda dari bangsa-bangsa di sekitar mereka, dengan standar moral dan etika yang tinggi.

  • Menghindari balas dendam dan dendam pribadi
    Hukum ini secara eksplisit melarang balas dendam dan kebencian terhadap sesama. Dalam konteks Israel kuno, balas dendam adalah praktik umum yang sering mengarah pada konflik antar suku dan keluarga.

  • Kasih kepada sesama sebagai standar ilahi
    Perintah ini tidak hanya bersifat negatif (jangan membalas dendam), tetapi juga positif: kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri. Ini berarti kasih bukan hanya soal menghindari kejahatan, tetapi juga secara aktif mencari kebaikan bagi orang lain.

John Calvin: Kasih sebagai Manifestasi Ketaatan kepada Allah

John Calvin dalam Commentary on the Last Four Books of Moses menjelaskan bahwa hukum ini adalah ekspresi dari karakter Allah sendiri. Ia menulis:

“Hukum ini menunjukkan bahwa kasih kepada sesama bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga refleksi dari kasih Allah kepada manusia.”

Calvin menegaskan bahwa ketaatan kepada Allah harus diwujudkan dalam hubungan antarmanusia, dan kasih adalah inti dari semua perintah moral-Nya.

2. Kasih dalam Perjanjian Baru: Yesus sebagai Penggenapan Hukum

Yesus mengutip Imamat 19:18 dalam Matius 22:39, menyatakannya sebagai hukum terbesar setelah mengasihi Allah. Dalam Yohanes 13:34, Yesus bahkan meningkatkan standar ini:

“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu, demikian pula kamu harus saling mengasihi.”

Dengan kata lain, kasih kepada sesama tidak lagi hanya diukur dengan cara kita mengasihi diri sendiri, tetapi dengan kasih Yesus yang sempurna.

Jonathan Edwards: Kasih sebagai Bukti Pertobatan Sejati

Jonathan Edwards dalam karyanya Charity and Its Fruits menegaskan bahwa kasih sejati hanya mungkin terjadi dalam kehidupan orang percaya yang telah diperbarui oleh Roh Kudus. Ia berkata:

“Kasih kepada sesama adalah bukti nyata dari pertobatan sejati. Seorang yang telah mengalami kasih Kristus akan secara alami mencerminkan kasih itu kepada orang lain.”

Edwards melihat kasih sebagai buah dari anugerah Allah yang bekerja dalam hati manusia. Kasih bukan hanya tindakan moral, tetapi manifestasi dari kehidupan baru dalam Kristus.

3. Imamat 19:18 dan Teologi Reformed: Kasih dalam Kerangka Kovenantal

Teologi Reformed melihat hukum Taurat dalam konteks perjanjian Allah dengan umat-Nya. Imamat 19:18 bukan hanya perintah etis, tetapi juga bagian dari relasi perjanjian antara Allah dan Israel.

Herman Bavinck: Kasih sebagai Prinsip Kovenantal

Herman Bavinck dalam Reformed Dogmatics menjelaskan bahwa kasih adalah inti dari hukum kovenantal Allah. Ia menulis:

“Hukum bukan hanya serangkaian perintah moral, tetapi sebuah perjanjian kasih antara Allah dan umat-Nya. Setiap perintah-Nya dimotivasi oleh kasih-Nya, dan menuntut kasih sebagai balasannya.”

Dalam perspektif ini, Imamat 19:18 bukan sekadar aturan sosial, tetapi merupakan panggilan bagi umat Allah untuk mencerminkan kasih-Nya dalam kehidupan sehari-hari.

4. Kasih dalam Apologetika: Menjawab Dunia dengan Kasih Kristus

Teologi Reformed juga melihat pentingnya kasih dalam konteks apologetika. Dunia sering kali menilai kebenaran Kristen berdasarkan cara umat Kristus hidup.

Cornelius Van Til: Kasih sebagai Kesaksian Injil

Cornelius Van Til dalam Christian Apologetics menekankan bahwa kasih adalah bagian integral dari pembelaan iman Kristen. Ia menulis:

“Cara kita mengasihi sesama adalah argumen yang lebih kuat daripada kata-kata. Dunia tidak akan tertarik pada Injil jika mereka tidak melihat kasih yang nyata dalam diri umat percaya.”

Dalam apologetika, kehidupan Kristen yang dipenuhi kasih menjadi kesaksian yang kuat terhadap kebenaran Injil.

5. Implikasi Praktis bagi Kehidupan Kristen

a. Menolak Balas Dendam dan Hidup dalam Pengampunan

Balas dendam bertentangan dengan karakter Allah. Roma 12:19 berkata:

“Saudara-saudaraku yang kekasih, jangan kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan.”

Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk menyerahkan keadilan kepada Allah dan tidak membalas kejahatan dengan kejahatan.

b. Mengasihi dengan Tindakan Nyata

Kasih Kristen bukan sekadar emosi, tetapi harus diwujudkan dalam perbuatan nyata. 1 Yohanes 3:18 berkata:

“Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.”

Kasih yang sejati harus diwujudkan dalam kepedulian terhadap sesama, keadilan sosial, dan tindakan nyata bagi mereka yang membutuhkan.

c. Kasih sebagai Identitas Orang Percaya

Yesus berkata dalam Yohanes 13:35:

“Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.”

Kasih adalah tanda utama dari kehidupan yang diperbarui oleh Kristus. Jika kita ingin menunjukkan iman kita kepada dunia, kita harus hidup dalam kasih yang nyata.

Kesimpulan: Imamat 19:18 sebagai Panggilan untuk Hidup dalam Kasih

Imamat 19:18 bukan hanya perintah etis, tetapi juga refleksi dari karakter Allah dan panggilan bagi umat-Nya untuk hidup dalam kasih. Dari perspektif teologi Reformed, kita belajar bahwa:

  1. John Calvin menegaskan bahwa kasih adalah manifestasi dari ketaatan kepada Allah.
  2. Jonathan Edwards melihat kasih sebagai bukti pertobatan sejati dalam kehidupan orang percaya.
  3. Herman Bavinck menekankan bahwa kasih adalah prinsip utama dalam hubungan perjanjian Allah dengan umat-Nya.
  4. Cornelius Van Til mengajarkan bahwa kasih adalah bagian integral dari apologetika Kristen.

Sebagai umat percaya, kita dipanggil untuk menolak balas dendam, mengampuni sesama, dan mengasihi dengan tindakan nyata. Kasih bukan hanya sekadar kewajiban moral, tetapi juga identitas sejati dari anak-anak Allah.

“Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri.”

Next Post Previous Post