Lukas 6:27-28: Berdoa bagi Musuh sebagai Wujud Kasih Injili

Lukas 6:27-28: Berdoa bagi Musuh sebagai Wujud Kasih Injili

Pendahuluan:

Lukas 6:27-28 merupakan bagian dari "Khotbah di Tempat yang Datar," yang berisi ajaran Yesus tentang kasih, belas kasihan, dan bagaimana orang percaya harus merespons musuh mereka. Ayat ini berbunyi:"Tetapi kepada kamu yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu, mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu, berdoalah bagi orang yang mencaci kamu." (Lukas 6:27-28, TB)

Ayat ini menegaskan ajaran Yesus tentang kasih yang radikal—sebuah kasih yang melampaui standar moral manusia dan mencerminkan kasih Allah. Dalam perspektif teologi Reformed, Lukas 6:27-28 berbicara tentang doktrin kasih karunia Allah, bagaimana kasih sejati hanya dapat muncul dari hati yang diperbarui oleh Roh Kudus, dan bagaimana orang percaya dipanggil untuk mencerminkan karakter Allah di dunia ini.

Artikel ini akan menguraikan makna teologis dari Lukas 6:27-28 berdasarkan pemikiran beberapa pakar teologi Reformed seperti John Calvin, Herman Bavinck, Louis Berkhof, dan R.C. Sproul.

1. Konteks Lukas 6:27-28

A. Khotbah di Tempat yang Datar dan Prinsip Kerajaan Allah

Lukas 6 mencatat versi Khotbah di Bukit yang juga ditemukan dalam Matius 5-7. Khotbah ini memberikan standar hidup yang berbeda dari dunia, di mana Yesus menekankan kasih yang tidak hanya terbatas pada mereka yang mengasihi kita, tetapi juga kepada musuh-musuh kita.

John Calvin dalam Commentary on Luke menjelaskan bahwa ajaran ini menuntut orang percaya untuk menghidupi kasih yang ilahi, bukan kasih yang terbatas pada kepentingan pribadi. Ini menunjukkan bagaimana orang percaya dipanggil untuk hidup sesuai dengan prinsip Kerajaan Allah, yang berbeda dari nilai-nilai dunia.

B. Kontras dengan Budaya Dunia

Pada zaman Yesus, hukum pembalasan seperti lex talionis (mata ganti mata) masih sangat dijunjung tinggi. Namun, Yesus datang dengan ajaran yang berlawanan dengan kebiasaan dunia, mengajarkan kasih bahkan kepada musuh.

Herman Bavinck dalam Reformed Ethics menjelaskan bahwa manusia secara alami cenderung membalas kejahatan dengan kejahatan. Namun, kasih yang diajarkan Yesus melampaui batasan manusiawi dan hanya dapat dipraktikkan oleh mereka yang telah diperbarui oleh Roh Kudus.

2. Kasih sebagai Sifat Ilahi yang Harus Ditiru

A. Kasih Allah sebagai Dasar Kasih kepada Musuh

Yesus tidak hanya memberikan perintah untuk mengasihi musuh, tetapi juga menunjukkan bahwa kasih ini berasal dari natur Allah sendiri. Dalam Lukas 6:35, Yesus berkata:"Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka, dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat."

Louis Berkhof dalam Systematic Theology menekankan bahwa kasih Allah memiliki dua aspek utama:

  1. Anugerah Umum (Common Grace): Allah menunjukkan kebaikan-Nya kepada semua manusia, termasuk mereka yang tidak percaya.
  2. Anugerah Khusus (Special Grace): Kasih Allah secara khusus diberikan kepada umat pilihan-Nya dalam keselamatan.

Orang percaya dipanggil untuk mencerminkan kasih Allah yang universal dalam kehidupan sehari-hari, termasuk kepada musuh mereka.

B. Kasih sebagai Tanda Identitas Orang Percaya

Yesus berkata bahwa dengan mengasihi musuh, orang percaya menunjukkan bahwa mereka adalah anak-anak Allah.

Jonathan Edwards dalam Charity and Its Fruits menegaskan bahwa kasih sejati adalah bukti dari iman yang sejati. Jika seseorang hanya mengasihi mereka yang mengasihinya, kasih itu hanyalah kasih duniawi yang bersifat transaksional. Namun, kasih yang sejati adalah kasih yang mencerminkan natur Allah.

3. Mengasihi Musuh dalam Perspektif Teologi Reformed

A. Kasih kepada Musuh sebagai Buah Roh

Dalam Galatia 5:22-23, Paulus menyebutkan bahwa kasih adalah bagian dari buah Roh. Mengasihi musuh bukanlah sesuatu yang dapat dilakukan oleh manusia yang masih hidup dalam dosa, tetapi merupakan hasil dari pekerjaan Roh Kudus dalam kehidupan orang percaya.

John Calvin dalam Institutes of the Christian Religion menekankan bahwa hanya mereka yang telah dilahirkan kembali oleh Roh Kudus yang mampu mengasihi dengan cara yang benar. Natur manusia yang berdosa secara alami cenderung membenci musuh, tetapi kasih ilahi mengubah hati dan memungkinkan orang percaya untuk mengasihi bahkan mereka yang menyakiti mereka.

B. Kasih Sebagai Tindakan, Bukan Emosi

Kasih yang Yesus ajarkan bukan sekadar perasaan tetapi tindakan nyata. Lukas 6:27-28 memberikan tiga langkah konkret dalam mengasihi musuh:

  1. Berbuat baik kepada orang yang membenci kita.
  2. Memohon berkat bagi mereka yang mengutuk kita.
  3. Berdoa bagi mereka yang mencaci kita.

Herman Bavinck menekankan bahwa kasih Kristen bukanlah kasih yang bergantung pada emosi, tetapi adalah keputusan yang didasarkan pada ketaatan kepada Allah.

4. Berdoa bagi Musuh sebagai Wujud Kasih Injili

A. Doa sebagai Sarana Mengubah Hati

Yesus tidak hanya memerintahkan untuk mengasihi musuh tetapi juga untuk berdoa bagi mereka yang menganiaya kita.

Louis Berkhof menjelaskan bahwa doa bagi musuh bukan hanya tentang memohon agar mereka berubah, tetapi juga tentang mengubah hati kita sendiri. Doa membantu orang percaya untuk melihat musuh mereka sebagaimana Allah melihat mereka—dengan belas kasihan dan harapan akan pertobatan mereka.

B. Teladan Kristus dalam Berdoa bagi Musuh

Yesus sendiri memberikan contoh ketika Ia berdoa di kayu salib:"Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." (Lukas 23:34)

Stefanus, martir pertama, juga mengikuti teladan ini ketika ia berdoa bagi mereka yang merajamnya (Kisah Para Rasul 7:60).

Herman Bavinck menegaskan bahwa doa bagi musuh adalah bagian dari kehidupan etis orang percaya yang mencerminkan kasih karunia Allah.

5. Implikasi bagi Kehidupan Orang Percaya

A. Mengasihi dengan Tindakan, Bukan Hanya Kata-Kata

1 Yohanes 3:18 berkata:"Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran."

Kasih kepada musuh harus diwujudkan dalam tindakan nyata, seperti:

  • Mendoakan mereka.
  • Tidak membalas kejahatan dengan kejahatan (Roma 12:17).
  • Menunjukkan belas kasihan dalam sikap dan perkataan.

B. Mengampuni sebagai Bagian dari Kasih kepada Musuh

Efesus 4:32 berkata:"Hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu."

John Calvin menekankan bahwa pengampunan adalah bukti dari kasih sejati. Orang percaya yang telah menerima kasih dan pengampunan Allah dipanggil untuk mengampuni orang lain dengan cara yang sama.

Kesimpulan

Lukas 6:27-28 adalah perintah yang menantang tetapi mencerminkan natur kasih Allah yang sejati. Dalam perspektif teologi Reformed, ayat ini mengajarkan bahwa:

  1. Kasih kepada musuh mencerminkan kasih Allah yang tidak bersyarat.
  2. Mengasihi musuh hanya mungkin melalui pekerjaan Roh Kudus dalam hidup orang percaya.
  3. Berdoa bagi musuh adalah cara untuk menumbuhkan kasih yang tulus dan mengubah hati.
  4. Kasih sejati harus diwujudkan dalam tindakan dan pengampunan.

Yesus mengajarkan bahwa mengasihi musuh bukanlah pilihan, tetapi panggilan bagi semua orang percaya sebagai bukti nyata dari kasih Injili. Soli Deo Gloria!

Next Post Previous Post