Matius 5:12: Sukacita di Tengah Penganiayaan dan Janji Upah Surgawi

Matius 5:12: Sukacita di Tengah Penganiayaan dan Janji Upah Surgawi

Pendahuluan

Matius 5:12 adalah bagian dari Khotbah di Bukit, di mana Yesus mengajarkan prinsip-prinsip kerajaan Allah yang bertolak belakang dengan standar dunia. Dalam ayat ini, Yesus memberikan dorongan bagi mereka yang mengalami penganiayaan karena iman mereka, dengan menekankan sukacita dalam penderitaan dan upah yang besar di surga.

Teks Matius 5:12 (AYT):

“Bersukacita dan bergembiralah karena besar upahmu di surga, karena demikianlah mereka menganiaya para nabi sebelum kamu.”

Ayat ini memberikan pesan kuat tentang penghiburan bagi orang percaya yang mengalami penderitaan karena nama Kristus. Artikel ini akan membahas eksposisi mendalam Matius 5:12 dengan meninjau konteksnya, makna teologisnya, serta pandangan beberapa teolog Reformed terkemuka.

1. Eksposisi Mendalam Matius 5:12

a. "Bersukacita dan bergembiralah"

Perintah Yesus kepada murid-murid-Nya adalah untuk bersukacita dalam penganiayaan, sesuatu yang tampaknya bertentangan dengan reaksi manusia pada umumnya. Kata "bersukacita" dalam bahasa Yunani adalah chairō (χαίρω), yang berarti bersukacita secara mendalam. Sedangkan "bergembiralah" berasal dari kata agalliaō (ἀγαλλιάω), yang berarti melompat kegirangan.

John Calvin, dalam Commentary on a Harmony of the Evangelists, menjelaskan bahwa sukacita dalam penderitaan bukanlah bentuk masokisme, tetapi ekspresi iman yang melihat melampaui penderitaan duniawi kepada kemuliaan surgawi. Calvin menulis:

“Ketika Kristus menyuruh kita bersukacita dalam penganiayaan, itu karena kita harus lebih menghargai janji-Nya daripada ketakutan kita akan penderitaan.”

Dengan kata lain, orang percaya dipanggil untuk melihat sukacita surgawi yang lebih besar daripada penderitaan duniawi.

b. "Karena besar upahmu di surga"

Yesus mengarahkan fokus murid-murid-Nya kepada upah kekal di surga, bukan kepada kenyamanan sementara di dunia. Kata "upah" dalam bahasa Yunani adalah misthos (μισθός), yang merujuk pada imbalan yang diberikan sebagai bentuk penghargaan atas kesetiaan seseorang.

Menurut Louis Berkhof, dalam Systematic Theology, upah surgawi bukan berarti manusia "mendapatkan" keselamatan melalui penderitaan, tetapi merupakan manifestasi dari kasih karunia Tuhan kepada mereka yang setia.

Dalam Institutes of the Christian Religion, Calvin juga menegaskan bahwa upah yang dijanjikan bukanlah hasil usaha manusia, tetapi pemberian Allah bagi mereka yang bertekun dalam iman.

c. "Karena demikianlah mereka menganiaya para nabi sebelum kamu"

Yesus menghubungkan penderitaan murid-murid-Nya dengan penderitaan para nabi Perjanjian Lama. Ini memberikan perspektif bahwa penganiayaan bukanlah hal baru, tetapi bagian dari sejarah umat Allah.

Menurut R.C. Sproul, dalam The Holiness of God, penganiayaan terjadi karena dunia selalu menentang standar kebenaran Allah. Sproul menulis:

“Kekudusan Allah adalah sesuatu yang dunia benci, dan karena itu para hamba-Nya yang hidup dalam kekudusan juga akan dibenci.”

Dengan kata lain, penganiayaan menjadi tanda bahwa orang percaya berada di jalur yang benar, karena mereka mengalami apa yang telah dialami oleh para nabi sebelumnya.

2. Makna Teologis Matius 5:12

Matius 5:12 merupakan bagian dari Khotbah di Bukit yang disampaikan oleh Yesus. Ayat ini secara khusus berbicara tentang sukacita di tengah penderitaan karena kebenaran. Berikut adalah beberapa pandangan dari pakar teologi Reformed mengenai makna teologis ayat ini:

1. John Calvin: Penderitaan sebagai Konfirmasi Panggilan Kristiani

John Calvin, dalam Institutes of the Christian Religion, menekankan bahwa penderitaan yang dialami oleh orang percaya adalah tanda bahwa mereka sedang berjalan di jalur yang sama dengan para nabi dan Kristus sendiri. Baginya, penderitaan bukanlah tanda ditinggalkan oleh Allah, tetapi justru sebuah konfirmasi bahwa seseorang sedang menghidupi iman yang sejati.

Calvin juga menyoroti bagaimana penderitaan dalam Kristus bukanlah sesuatu yang sia-sia. Justru, melalui penderitaan, Allah membentuk karakter orang percaya dan mengingatkan mereka bahwa tujuan akhir hidup bukanlah di dunia ini, melainkan dalam kemuliaan kekal di surga.

2. Herman Bavinck: Upah sebagai Dimensi Eskatologis

Herman Bavinck, seorang teolog Reformed Belanda, melihat ayat ini dalam konteks eskatologi (ajaran tentang akhir zaman). Ia menekankan bahwa janji "upah besar di surga" bukan berarti keselamatan diperoleh melalui penderitaan, tetapi mengacu pada berkat yang dijanjikan Allah kepada umat-Nya yang setia.

Bavinck menyoroti bahwa orang percaya harus hidup dengan perspektif eskatologis, yaitu memandang hidup dalam terang kekekalan. Penderitaan karena kebenaran menjadi bukti bahwa dunia ini bukanlah rumah sejati orang percaya, dan pengharapan mereka harus diarahkan kepada kerajaan Allah yang kekal.

3. R.C. Sproul: Sukacita sebagai Sikap Hati dalam Penderitaan

R.C. Sproul, seorang teolog Reformed kontemporer, menekankan bahwa Yesus tidak hanya meminta murid-murid-Nya untuk bertahan dalam penderitaan, tetapi juga untuk "bersukacita dan bergembira." Baginya, ini adalah panggilan radikal untuk memiliki sikap hati yang berbeda dari dunia.

Sproul menjelaskan bahwa sukacita ini bukan sekadar perasaan bahagia yang bersifat emosional, tetapi adalah sebuah respons iman yang didasarkan pada janji Allah. Orang percaya tidak perlu takut terhadap penganiayaan karena mereka memiliki jaminan bahwa Allah akan memberikan mereka bagian dalam kerajaan-Nya.

4. Martyn Lloyd-Jones: Penganiayaan sebagai Bukti Kekristenan yang Sejati

Martyn Lloyd-Jones, seorang pengkhotbah Reformed terkenal, melihat bahwa penganiayaan yang disebut dalam ayat ini bukanlah sesuatu yang bisa dihindari oleh orang Kristen sejati. Menurutnya, jika seseorang tidak mengalami tentangan atau penganiayaan karena imannya, maka ada sesuatu yang perlu dipertanyakan mengenai kekristenannya.

Lloyd-Jones juga menegaskan bahwa sukacita dalam penderitaan hanya bisa dialami jika seseorang benar-benar memiliki iman yang teguh kepada Kristus. Tanpa pengenalan yang mendalam akan kasih karunia Allah, sulit bagi seseorang untuk melihat penderitaan sebagai sesuatu yang bisa membawa sukacita.

Kesimpulan

Matius 5:12 mengajarkan bahwa penderitaan karena iman bukanlah tanda kegagalan, tetapi justru bukti bahwa seseorang sedang mengikuti jejak para nabi dan Kristus sendiri. Para teolog Reformed menyoroti bahwa:

  1. Penderitaan adalah bagian dari panggilan Kristen (Calvin).
  2. Upah besar yang dijanjikan mengacu pada dimensi eskatologis (Bavinck).
  3. Sukacita dalam penderitaan adalah sikap hati berdasarkan iman (Sproul).
  4. Penganiayaan adalah tanda iman yang sejati (Lloyd-Jones).

Oleh karena itu, orang percaya dipanggil untuk tetap setia, bahkan dalam penderitaan, dengan keyakinan bahwa Allah memberikan upah yang kekal bagi mereka yang tetap berpegang pada-Nya.

Next Post Previous Post