Matius 26:30: Yesus di Bukit Zaitun: Ketaatan dan Pengorbanan

Yesus di Bukit Zaitun: Ketaatan dan Pengorbanan (Matius 26:30)

Pendahuluan

Matius 26:30 berbunyi:

“Setelah menyanyikan sebuah pujian, mereka pergi ke bukit Zaitun.” (Matius 26:30, AYT)

Ayat ini mungkin tampak sederhana, namun memiliki makna yang mendalam dalam konteks teologis dan liturgis. Peristiwa ini terjadi setelah Perjamuan Malam Terakhir, sebelum Yesus dan murid-murid-Nya menuju ke Getsemani, di mana Yesus akan berdoa dan kemudian ditangkap. Dalam tradisi Yahudi, menyanyikan pujian dalam konteks Paskah sangat berkaitan dengan Mazmur Hallel (Mazmur 113–118).

Dalam artikel ini, kita akan menggali makna ayat ini berdasarkan eksposisi beberapa teolog Reformed, serta melihat implikasi teologis dan aplikatifnya bagi kehidupan orang percaya.

1. Konteks Historis dan Latar Belakang

Matius 26:30 terjadi dalam konteks Perjamuan Paskah Yahudi. Yesus dan murid-murid-Nya mengikuti tradisi Yahudi dalam merayakan Paskah, yang mencakup penyembelihan anak domba, makan roti tidak beragi, dan meminum cawan anggur. Salah satu elemen penting dalam perayaan ini adalah menyanyikan Mazmur Hallel (Mazmur 113–118), yang biasanya dinyanyikan dalam dua bagian: Mazmur 113–114 sebelum makan dan Mazmur 115–118 setelahnya.

Beberapa ahli berpendapat bahwa "pujian" yang disebutkan dalam Matius 26:30 mengacu pada bagian terakhir dari Mazmur Hallel, terutama Mazmur 118, yang memiliki tema tentang kelepasan dan keselamatan oleh Tuhan.

2. Eksposisi Teologis Matius 26:30

a. Menyanyikan Pujian: Liturgi dan Kristologi

John Calvin, dalam komentarnya mengenai bagian ini, menekankan bahwa tindakan menyanyikan pujian oleh Yesus menunjukkan ketaatan-Nya kepada hukum Taurat serta peran-Nya sebagai Imam Besar yang sejati. Dalam Institutes of the Christian Religion, Calvin menekankan pentingnya nyanyian rohani dalam ibadah, bukan sekadar sebagai ekspresi emosi, tetapi sebagai sarana yang Tuhan pakai untuk mengajar, menghibur, dan memperkuat iman umat-Nya.

Menurut Calvin, menyanyikan pujian sebelum menuju ke penderitaan adalah contoh dari pengudusan hidup Yesus yang sempurna. Ia tidak hanya mengajarkan doktrin kepada murid-murid-Nya, tetapi juga memberi contoh bagaimana seorang percaya harus berespons dalam menghadapi pencobaan—dengan menyembah Tuhan.

Charles H. Spurgeon, meskipun bukan seorang teolog Reformed secara formal, namun banyak pengajarannya yang sesuai dengan prinsip Reformed. Dalam tafsirannya terhadap Mazmur Hallel, ia menunjukkan bahwa Mazmur 118 sangat cocok dinyanyikan sebelum Yesus menuju salib karena ayat-ayatnya menekankan kasih setia Tuhan dan janji keselamatan-Nya.

Misalnya, Mazmur 118:22 berkata:

“Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru.”

Ayat ini kemudian dikutip dalam Perjanjian Baru sebagai nubuat tentang Kristus (Matius 21:42). Ini menunjukkan bahwa ketika Yesus menyanyikan pujian sebelum pergi ke Bukit Zaitun, Ia sedang menyatakan ketaatan-Nya terhadap kehendak Bapa dan mengarahkan diri-Nya pada penggenapan nubuat mesianis.

b. Pergi ke Bukit Zaitun: Simbolisme Pengorbanan

Bukit Zaitun memiliki makna yang sangat penting dalam sejarah keselamatan. Dalam Perjanjian Lama, zaitun sering dikaitkan dengan minyak urapan, yang melambangkan Roh Kudus. Bukit Zaitun juga menjadi tempat di mana Yesus sering berdoa (Lukas 22:39).

Beberapa teolog Reformed, seperti R.C. Sproul, melihat perjalanan Yesus ke Bukit Zaitun sebagai cerminan dari ketaatan-Nya yang sempurna terhadap kehendak Bapa. Sproul dalam bukunya The Holiness of God menjelaskan bahwa momen ini merupakan awal dari penderitaan Kristus yang klimaksnya adalah di salib.

Bagi Jonathan Edwards, dalam khotbahnya Christ’s Agony, momen di Getsemani (yang terjadi setelah Yesus sampai di Bukit Zaitun) adalah awal dari penderitaan sejati-Nya. Di sinilah Kristus mulai merasakan beban murka Allah atas dosa manusia. Oleh karena itu, perjalanan Yesus ke Bukit Zaitun bukanlah sekadar perjalanan fisik, tetapi sebuah langkah menuju penebusan dunia.

3. Implikasi Teologis dalam Teologi Reformed

a. Pentingnya Nyanyian dalam Ibadah

Teologi Reformed sangat menekankan regulative principle of worship (prinsip regulatif dalam ibadah), yang menyatakan bahwa ibadah harus dilakukan sesuai dengan yang diperintahkan dalam Kitab Suci. Nyanyian rohani, khususnya Mazmur, telah menjadi bagian penting dalam tradisi Reformed sejak Reformasi.

Reformator seperti Martin Luther dan John Calvin menekankan bahwa nyanyian dalam ibadah harus bersifat alkitabiah dan teologis. Oleh karena itu, tindakan Yesus menyanyikan pujian sebelum menghadapi penderitaan menunjukkan pentingnya nyanyian dalam memperkuat iman dan memberikan penghiburan dalam masa-masa sulit.

b. Kristus sebagai Imam Besar dan Pengantara Kita

Menurut Ibrani 7:25-26, Kristus adalah Imam Besar yang hidup selamanya untuk menjadi pengantara bagi kita. Dengan menyanyikan pujian sebelum penderitaan-Nya, Yesus menunjukkan bahwa Ia adalah Imam Besar yang bukan hanya mempersembahkan korban bagi umat-Nya, tetapi juga menyembah Allah dengan sempurna sebagai perwakilan kita. Ini mengingatkan kita akan pentingnya doa dan penyembahan dalam hidup seorang percaya.

c. Panggilan untuk Tetap Memuji di Tengah Penderitaan

Salah satu pelajaran terbesar dari Matius 26:30 adalah bahwa Yesus tetap memuji Allah meskipun Ia tahu penderitaan yang akan Ia alami. Ini adalah contoh bagi orang percaya untuk tetap menyembah Tuhan di tengah penderitaan dan tantangan hidup.

John Piper dalam bukunya Desiring God menekankan bahwa sukacita sejati dalam Tuhan tidak bergantung pada keadaan, tetapi pada relasi kita dengan-Nya. Jika Yesus, yang menghadapi penderitaan paling berat dalam sejarah, tetap dapat menyanyikan pujian kepada Bapa-Nya, maka kita juga dipanggil untuk melakukan hal yang sama dalam situasi sulit.

4. Aplikasi Praktis bagi Orang Percaya

a. Menghidupi Iman dengan Nyanyian

Orang percaya diajak untuk lebih lagi menghargai peran nyanyian rohani dalam kehidupan Kristen. Nyanyian bukan sekadar tradisi, tetapi memiliki dasar alkitabiah yang kuat dan dapat memperdalam iman kita.

b. Ketaatan kepada Tuhan dalam Segala Keadaan

Yesus tahu bahwa penderitaan dan salib ada di depan-Nya, tetapi Ia tetap taat. Hal ini mengajarkan kita untuk tidak lari dari panggilan Tuhan meskipun sulit.

c. Mengandalkan Tuhan dalam Masa Sulit

Pergi ke Bukit Zaitun berarti Yesus mempersiapkan diri untuk penderitaan. Kita juga perlu datang kepada Tuhan dan mencari kekuatan dari-Nya dalam masa-masa sulit.

Kesimpulan

Matius 26:30 mungkin tampak seperti ayat yang sederhana, tetapi memiliki kedalaman teologis yang luar biasa. Melalui nyanyian pujian, Yesus menunjukkan ketergantungan-Nya kepada Allah sebelum menghadapi salib. Perjalanan ke Bukit Zaitun adalah langkah menuju penebusan kita.

Eksposisi ini mengajarkan kita untuk meneladani Kristus dalam menyembah Tuhan di tengah pencobaan, menghargai nyanyian rohani dalam ibadah, dan tetap setia kepada panggilan Tuhan dalam segala keadaan.

Next Post Previous Post