Arti Pengosongan Diri Yesus

Arti Pengosongan Diri Yesus

Pendahuluan

Salah satu misteri terdalam dalam doktrin Kristologi adalah tentang pengosongan diri Yesus, atau yang dikenal dalam teologi sebagai kenosis (dari bahasa Yunani kenóō, berarti “mengosongkan”). Doktrin ini didasarkan terutama pada Filipi 2:5-8, di mana Rasul Paulus menulis:

“... yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.” (Filipi 2:6-7, AYT)

Apa makna dari “mengosongkan diri-Nya”? Apakah Yesus berhenti menjadi Allah? Apakah Ia melepaskan atribut keilahian-Nya? Artikel ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan menelusuri pandangan beberapa teolog Reformed ternama seperti John Calvin, Herman Bavinck, Louis Berkhof, R.C. Sproul, dan Michael Horton, serta membandingkannya dengan pandangan-pandangan teologis lain di luar Reformed yang sering kali menyimpang dari inti Injil.

I. Latar Belakang Istilah "Kenosis"

Istilah kenosis berasal dari kata kerja Yunani ekenōsen yang digunakan dalam Filipi 2:7. Secara literal, berarti “mengosongkan”, namun dalam konteks teologis, pengertiannya harus diteliti secara hati-hati dan tidak dipahami secara harfiah seperti mengosongkan isi wadah.

Pandangan populer di beberapa kalangan liberal adalah bahwa Yesus meninggalkan keilahiannya atau “melepaskan” sifat-sifat ilahi-Nya ketika Ia menjadi manusia. Pandangan ini sering disebut sebagai teori kenosis radikal, yang berpotensi menyangkal doktrin penting yaitu dua natur Kristus – keilahian dan kemanusiaan-Nya secara utuh dan sempurna.

Teologi Reformed, sebaliknya, menegaskan bahwa Yesus tidak pernah berhenti menjadi Allah.

II. Perspektif John Calvin: Keilahian yang Tetap Tersembunyi

John Calvin dalam komentarnya atas Filipi 2, menekankan bahwa yang dimaksud dengan pengosongan diri bukan berarti bahwa Kristus meninggalkan natur ke-Allahan-Nya, melainkan bahwa Ia menanggalkan kemuliaan eksternal-Nya dan rela hidup dalam kerendahan sebagai manusia.

“Kristus, tanpa mengurangi apa pun dari keilahian-Nya, merendahkan diri dalam rupa manusia. Ia tetap Allah, tetapi menyembunyikan kemuliaan-Nya dalam kerendahan.” – John Calvin, Commentary on Philippians

Calvin tidak pernah menyatakan bahwa Kristus "berhenti menjadi Allah". Ia justru menekankan ketegangan antara keilahian yang tetap utuh dan kerendahan yang nyata dalam rupa manusia. Dalam konteks inkarnasi, Kristus mengenakan kemanusiaan tanpa mengurangi keilahian.

III. Louis Berkhof dan Doktrin Dua Natur

Louis Berkhof, dalam Systematic Theology-nya, secara sistematis menolak semua bentuk kenosis yang menyiratkan bahwa Kristus kehilangan atribut keilahian-Nya. Ia menyebut teori tersebut sebagai bentuk “pengurangan Allah” yang bertentangan dengan iman Kristen sejati.

Menurut Berkhof, ayat Filipi 2 bukan berbicara tentang pengosongan secara ontologis (mengenai esensi), tetapi secara fungsional dan relasional. Kristus melepaskan hak-Nya atas kemuliaan dan kedudukan-Nya, tetapi bukan hakikat keilahian-Nya.

“The Kenosis must be understood as a self-renunciation, not of the divine attributes, but of their independent exercise.” – Louis Berkhof

Artinya, Yesus tetap memiliki semua atribut ilahi (kemahakuasaan, kemahatahuan, kemahakuasaan), tetapi selama hidup-Nya di bumi, Ia tidak menggunakannya secara independen, melainkan dalam ketaatan penuh kepada kehendak Bapa dan pimpinan Roh Kudus.

IV. Herman Bavinck dan Inkarnasi sebagai Misteri Anugerah

Herman Bavinck, teolog Belanda Reformed, menegaskan dalam Reformed Dogmatics bahwa inkarnasi adalah suatu paradoks ilahi: Sang Anak Allah menjadi manusia sepenuhnya tanpa mengurangi ke-Allahan-Nya.

Bavinck menyebut inkarnasi bukan hanya sebagai “pengosongan” tetapi sebagai “pemenuhan”. Kristus, dalam mengambil natur manusia, tidak menjadi kurang dari Allah, tetapi menyatakan kasih dan kuasa Allah secara sempurna dalam bentuk manusia.

“The Son of God did not cease to be God, but became man. In the very act of condescension lies the revelation of divine glory.” – Herman Bavinck

Bavinck menolak ide bahwa kenosis adalah kehilangan keilahian. Sebaliknya, kenosis adalah bentuk kasih ilahi yang memilih untuk menyembunyikan kemuliaan demi keselamatan umat-Nya.

V. R.C. Sproul: Keilahian Yesus Tidak Pernah Berkurang

R.C. Sproul, dalam banyak pengajarannya, mengkritik keras pengajaran kenosis yang menyiratkan bahwa Yesus berhenti menjadi Allah. Menurut Sproul, jika Yesus bukan sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia dalam satu pribadi, maka Ia tidak memenuhi syarat sebagai Juruselamat.

“If Jesus ever stopped being God, even for one second, the atonement would collapse.” – R.C. Sproul

Sproul menekankan persatuan hipostatik (hypostatic union): dua natur yang tidak tercampur tapi tidak terpisah, dalam satu pribadi Yesus Kristus. Dalam pengosongan diri-Nya, Kristus tidak kehilangan satu pun atribut keilahian-Nya, tetapi membatasi penggunaannya, bukan menghapusnya.

VI. Michael Horton: Pengosongan sebagai Kasih yang Aktif

Dalam buku The Christian Faith, Michael Horton menulis bahwa kenosis harus dipahami dalam kerangka kerendahan dan kasih Allah. Inkarnasi adalah aksi kasih, bukan kehilangan substansi ilahi.

Horton menjelaskan bahwa Yesus tidak menyerahkan keilahian-Nya, melainkan menyerahkan status kemuliaan-Nya di surga dan memilih untuk taat sampai mati di kayu salib. Hal ini menegaskan bahwa kenosis bukan kehilangan, tapi penambahan natur manusia ke dalam natur Allah Anak.

“In the incarnation, God did not become less than God. Rather, God the Son added to Himself a complete human nature.” – Michael Horton

VII. Kesalahpahaman dalam Doktrin Kenosis

1. Yesus Menjadi Manusia Saja

Beberapa kelompok Kristen yang menyimpang mengajarkan bahwa Yesus bukan lagi Allah selama hidup-Nya di bumi. Ini adalah heresy (bidat) yang menolak keilahian Kristus.

Teologi Reformed menegaskan bahwa pengosongan diri bukan kehilangan identitas ilahi, tetapi pengambilan posisi hamba dalam kerendahan yang sempurna.

2. Pengosongan Atribut

Ada pula pandangan yang mengatakan bahwa Yesus melepaskan atribut seperti kemahatahuan atau kemahakuasaan. Namun, para teolog Reformed menyatakan bahwa itu mustahil, karena Allah tidak dapat berubah (immutabilitas). Yesus tetap Mahatahu, tapi dalam daging-Nya, Ia tunduk pada kehendak Bapa dan memilih tidak memakai atribut-Nya secara mandiri.

VIII. Kenosis dalam Konteks Penebusan

Teologi Reformed sangat menekankan bahwa pengosongan diri Kristus adalah bagian dari karya penebusan. Dengan menjadi manusia, Yesus:

  • Mengambil tempat kita sebagai pengganti dalam penderitaan dan kematian.

  • Menunjukkan ketaatan penuh sebagai manusia yang sempurna, sesuatu yang tidak pernah bisa dicapai oleh manusia berdosa.

  • Memperlihatkan teladan kerendahan, sehingga kita yang percaya dipanggil untuk hidup dalam semangat yang sama (Filipi 2:5).

Dalam kata lain, pengosongan diri Yesus bukan hanya untuk menunjukkan kerendahan hati-Nya, tetapi bagian esensial dari penggenapan rencana keselamatan Allah.

IX. Dampak Praktis bagi Orang Percaya

  1. Panggilan untuk merendahkan diri

    “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus.” – Filipi 2:5

    Kita dipanggil untuk meneladani pengosongan diri Kristus: menolak keangkuhan, mengejar kasih yang rela berkorban, dan hidup dalam ketaatan kepada Allah.

  2. Keyakinan akan Kasih yang Nyata Pengosongan diri Kristus adalah bukti kasih Allah yang nyata. Dia yang tidak mengenal dosa rela merendahkan diri untuk mati di kayu salib demi kita.

  3. Kepastian Penebusan Karena Kristus tetap Allah dan sepenuhnya manusia, maka pengorbanan-Nya cukup dan sempurna. Kita memiliki dasar iman yang kokoh, bahwa Juruselamat kita layak dan sanggup menyelamatkan.

Kesimpulan

Pengosongan diri Yesus bukanlah pengurangan keilahian, tetapi kerelaan untuk merendahkan diri, menyembunyikan kemuliaan-Nya, dan mengambil rupa seorang hamba demi keselamatan umat pilihan-Nya. Dalam perspektif teologi Reformed, kenosis bukanlah kehilangan hakikat, tetapi bentuk kasih yang aktif dari Allah yang rela masuk ke dalam sejarah manusia.

Yesus adalah Allah sejati dan manusia sejati. Pengosongan diri-Nya menjadi jembatan yang memungkinkan keselamatan bagi umat manusia, tanpa mengorbankan atribut ilahi-Nya.

Sebagaimana Filipi 2:9-11 menyatakan, justru karena kerendahan itu, Allah meninggikan Dia dan mengaruniakan nama di atas segala nama.

“Sebab itu Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama...” (Filipi 2:9)

Kiranya kita senantiasa memandang kepada Kristus yang telah mengosongkan diri-Nya demi kita, dan merespons dengan hidup yang dipenuhi oleh kerendahan, ketaatan, dan kasih yang serupa dengan kasih-Nya.

Next Post Previous Post